• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PAI DENGAN METODE

C. Retensi

2. Prinsip-Prinsip untuk Meningkatkan Retensi

Pembelajaran perlu diperhatikan prinsip-prinsip untuk meningkatkan retensi belajar seperti yang diungkapkan dari hasil temuan Thom Burg (1984) dalam bukunya Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (2001) menunjukkan bahwa:

1. Isi pembelajaran yang bermakna, akan lebih mudah diingat dibandingkan dengan isi pembelajaran yang tidak bermakna.46

Untuk mencapai pengertian-pengertian baru dan retensi yang baik, materi-materi belajar selalu dan hanya dapat dipelajari bila dihubungkan dengan konsep-konsep, prinsip serta informasi yang relevan yang telah dipelajari sebelumnya. Substansi serta sifat organisasi latar belakang pengetahuan ini mempengaruhi ketetapan serta kejelasan pengertian-pengertian baru yang ditimbulkan serta kemampuan memperoleh kembali pengertian baru.47 Makin jelas, stabil serta terorganisasinya struktur kognitif siswa, proses belajar

44 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.

143

45 Verbeek, Ingatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 28

46 Muhaimin, op. cit., hlm. 143

47 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT. Rinneka Cipta, 1999(, cet. III, hlm. 123-124

38

yang bermakna dan retensi belajar makin mudah terjadi, sebaliknya struktur kognitif yang tidak stabil, kabur dan tidak terorganisir dengan tepat cenderung merintangi proses belajar yang bermakna dan retensi belajar.

Ada tiga variabel penting yang mempengaruhi belajar dan retensi materi-materi bermakna seperti hal-hal berikut ini:48

1) Tersedianya gagasan-gagasan khusus yang relevan di dalam struktur kognitif.

Bila gagasan khusus yang relevan tidak tersedia di dalam struktur kognitif atau tidak semua gagasan yang relevan dapat digunakan.

Dalam penerimaan materi-materi baru yang disajikan satu-satunya pilihan adalah belajar dengan menghafal. Bila materi-materi belajar baru kurang begitu dikenal oleh siswa, pengajar wajib mengaitkan materi belajar baru kurang begitu dikenal oleh siswa, pengajar wajib mengaitkan materi belajar baru dengan pengetahuan yang relevan yang kiranya sudah ada di dalam struktur kognitif siswa, sehingga materi belajar baru dapat mudah diterima.

2) Tingkat perbedaan (jelas/tidak jelas) antara materi-materi belajar baru dengan sistem gagasan yang sudah ada yang menerima.

Seringkali dalam usaha memahami lingkungan dan menggambarkannya di dalam struktur kognitif, materi-materi belajar baru yang serupa dengan pengetahuan yang sudah ada cenderung diinterpretasikan identik dengan pengetahuan yang ada, meskipun dalam kenyataannya ciri-ciri obyektif tidak demikian.

Siswa mungkin menyadari bahwa hal-hal yang dipelajari berbeda dari prinsip-prinsip yang sudah ada di dalam struktur kognitif, tetapi di mana letak perbedaannya siswa tidak mampu mengenalnya, maka hal ini lambat laun akan hilang dari ingatan

48 Ibid., hlm.

39

jangka panjang. Hal ini diharapkan seorang pendidik lebih efektif dengan membiarkan siswa melakukan “over learning” materi-materi baru.

3) Stabilitas dan kejelasan gagasan-gagasan yang berhubungan

Tercapainya proses belajar yang bermakna dan lamanya materi-materi baru tersimpan dalam ingatan menunjukkan fungsi stabilitas dan kejelasan gagasan ini. Gagasan yang kabur dan tidak stabil, menyebabkan kemampuan menghubungkan serta retensi materi-materi baru menjadi tidak kuat, materi-materi baru sulit dibedakan dari gagasan-gagasan tersebut.

Adapun tipe-tipe belajar yang bermakna, ada dua dimensi, yaitu sebagai berikut:

1) Dimensi menerima (reception learning) dan menemukan (discovery learning)

2) Dimensi menghafal (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful learning). 49

Di dalam reception learning semua bahan yang harus dipelajari diberikan dalam bentuk final dalam bahan yang disajikan. Di dalam discovery learning, tidak semua yang harus dipelajari dipresentasikan dalam bentuk final, beberapa bagian harus dicari dan diidentifikasikan oleh pelajar sendiri. Kemudian informasi itu diintegrasikan ke dalam struktur kognitif50 yang telah ada, disusun kembali, diubah, untuk menghasilkan struktur kognitif yang baru.

Usaha mengingat/menguasai apa yang dipelajari agar kemudian dapat dipergunakan, jika sudah dikuasai maka terjadilah belajar yang bermakna. Jika seorang hanya berusaha mengingat informasi baru, terjadilah rote learning.

49 Slameto, Op. cit., hlm. 23

50 Struktur Kognitif adalah perangkat fakta-fakta, konsep-konsep, generalisasi yang terorganisasi yang telah dipelajari dan dikuasai seseorang.

40

a. Benda yang jelas dan konkret akan lebih mudah diingat dibandingkan dengan benda yang bersifat abstrak.51

Taraf berfikir manusia mengikuti tahap perkembangan yang bermula dari berfikir konkrit ke berfikir abstrak, juga bermula dari berfikir sederhana ke berfikir kompleks.52 Begitu juga proses pembelajaran siswa lebih mudah menerima sebuah pengetahuan yang bisa mereka amati, lihat, dan sulit untuk menerawang pengetahuan yang belum dikenal. Hal ini disebabkan proses pembelajaran harus mampu diterima, sehingga dalam proses pembelajaran diperlukan alat bantu, yang mempunyai nilai-nilai praktis berupa kemampuan dan keterampilan untuk:

1. Memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan lingkungannya

2. Memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar siswa

3. Membangkitkan motivasi belajar

4. Menyampaikan informasi belajar secara konsisten dan dapat di ulang maupun disimpan menurut kebutuhan

5. Mengontrol arah maupun kecepatan belajar siswa.

Jadi jelas bahwa benda-benda yang konkret lebih mudah diterima siswa dalam peningkatan retensi belajar, karena siswa mengamati, melihat secara langsung dan jelas. Sedangkan benda-benda abstrak sulit diterima siswa.

b. Retensi akan lebih baik untuk isi pembelajaran yang bersifat kontekstual atau serangkai kata-kata yang mempunyai kekuatan asosiatif dibandingkan dengan kata-kata yang tidak memiliki kesamaan internal.53

Pembelajaran kontekstual lebih dimaksudkan suatu kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang

51 Muhaimin, op. cit., hlm. 143

52 Rahardjo, Media Pendidikan, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 260

53 Muhaimin, op. cit., hlm. 143

41

lebih mengedepankan idealitas pendidikan sehingga benar-benar akan menghasilkan kualitas pembelajaran yang efektif dan efisien.

Proses pembelajaran dituntut selalu menyesuaikan dengan dinamika masyarakat. Artinya proses atau model serta teknik dalam pembelajaran senantiasa menyesuaikan dengan tuntunan dan dinamika kehidupan masyarakat. Konsekuensinya, pembelajaran kontekstual merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap guru dan lembaga pendidikan.54

Kegagalan pendidikan bisa disebabkan oleh kegagalan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang statis dan konvensional akan memperlambat terwujudnya kualitas pendidikan, sebaliknya, pembelajaran yang dinamis, progresif dan kontekstual akan mempercepat terwujudnya kualitas pembelajaran.

Paulo Freire mengkritik secara tegas dan pedas dengan istilah pembelajaran sistem Bank (Banking sistem pedagogis), yang memuat pernyataan antagonis antara peran guru dan siswa, antara lain:

1) Guru mengajar, siswa belajar 2) Guru bicara, siswa mendengarkan

3) Guru sebagai subyek proses pembelajaran, siswa sebagai objek pembelajaran

4) Guru mengatur, siswa diatur

5) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti 6) Guru memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan diri.55

Pembelajaran kontekstual akan menjawab dan merupakan anti tesis dari kritik pedasnya Paulo Freire sehingga pembelajaran benar-benar berjalan secara efektif dan efisien. Pembelajaran

54 M. Saekhan Muchith, Pembelajaran Kontekstual, (Semarang: Rasail, 2008), hlm. 4

55 Ibid., hlm. 4

42

kontekstual didasarkan empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, yaitu:

1) Learning to do, maksudnya pembelajaran diupayakan untuk memberdayakan peserta didik agar mau dan bersedia dan mampu memperkaya pengalaman belajarnya.

2) Learning to know, yaitu proses pembelajaran yang didesain dengan cara mengintensifkan interaksi dengan lingkungan baik lingkungan fisik, sosial dan budaya sehingga peserta didik mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia sekitar.

3) Learning to be, yaitu proses pembelajaran yang diharapkan siswa mampu membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya. Pengetahuan dan kepercayaan dirinya. Pengetahuan dan kepercayaan diri itu diperoleh setelah peserta didik melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya.

4) Learning to live together, pembelajaran lebih diarahkan dalam upaya membentuk kepribadian untuk memahami dan mengerti kemajemukan sehingga melahirkan sikap dan perilaku positif dalam melakukan respon terhadap perbedaan atau keanekaragaman.56

c. Tidak ada perbedaan antara retensi dengan apa yang telah dipelajari peserta didik yang mempunyai berbagai tingkat IQ.57

Retensi yang baik merupakan kemampuan menyimpan data dan kesan yang tidak akan berubah dalam jangka waktu yang lama, sedangkan IQ (Intelligence Question) menurut William Stern seperti yang dikutip oleh Baharuddin, Psikologi Pendidikan, 2007, 126) mengatakan, inteligensi merupakan kesanggupan jiwa

56 Ibid., hlm. 5

57 Muhaimin, op. cit., hlm. 143

43

untuk menghadapi dan mengatasi keadaan-keadaan atau kesulitan baru dengan sadar, berfikir tepat dan cepat.58

Dokumen terkait