• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRIORITAS NASIONAL 9: LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN BENCANA

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 121-130)

JADWAL IMPLEMENTASI INSW 2007-

2.9 PRIORITAS NASIONAL 9: LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN BENCANA

2.9.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Sebagai bentuk antisipasi dalam mengatasi perubahan iklim telah dilakukan berbagai upaya perbaikan kerusakan lingkungan yang mengarah kepada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Beberapa permasalahan dan tantangan pokok yang dihadapi dalam upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim, antara lain adalah: (i) banyaknya pemangku kepentingan dalam penanggulangan dampak perubahan iklim, (ii) rendahnya kesiapan institusi dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia, (iii) masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap upaya penanganan perubahan iklim, (iv) masih kurangnya kebijakan dan peraturan yang berpihak pada pelaksana kegiatan di bidang perubahan iklim, (v) masih terbatasnya sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan penanganan dampak perubahan iklim, serta (vi) belum terciptanya sistem dan mekanisme insentif maupun disinsentif.

Dari aspek pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, masalah yang dihadapi adalah: (i) penurunan kualitas lingkungan hidup dan peningkatan potensi bencana ekologis; (ii) kecenderungan meningkatnya pencemaran lingkungan; (iii) meningkatnya luas wilayah yang tercemar dan rusak berat; (iv) masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola dan juga masih rendahnya kesadaran masyarakat; (v)

belum terpadunya kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati dan potensi timbulnya konflik antar daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan; (vi) bertambahnya lahan kritis dan kerusakan hutan; (vii) perlunya peningkatan koordinasi dalam pengelolaan hutan dan konservasi; (viii) belum optimalnya pengawasan pemanfaatan ruang; (ix) masih lemahnya koordinasi dan sinergitas antar pihak yang terlibat di dalam pengelolaan DAS; (x) pengelolaan terumbu karang, lamun dan mangrove yang perlu terus ditingkatkan; (xi) pemanfaatan sumber daya kelautan yang kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem alam; serta (xi) pencemaran laut di daerah pesisir akibat kegiatan di darat dan laut, termasuk tumpahan minyak di laut.

Sementara itu tantangan pokok dalam Sistem Peringatan Dini adalah tetap terkelolanya Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) dan Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS), sehingga data dan informasi yang diperoleh dapat segera disampaikan kepada masyarakat secepatnya. Permasalahan yang dihadapi dalam Sistem Peringatan Dini adalah: (i) belum tersedianya jaringan komunikasi yang dapat mendiseminasikan peringatan dini sampai tingkat kecamatan di seluruh wilayah Indonesia; (ii) masih terjadinya kesalahan dalam interpretasi informasi sehingga belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh sektor-sektor terkait, serta (iii) masih rendahnya kualitas sumber daya manusia pengelola Sistem Peringatan Dini.

Dalam hal penanganan bencana, besarnya potensi ancaman bencana alam di wilayah Indonesia merupakan gambaran dari kondisi geografis wilayah Indonesia, yang terletak pada pertemuan 3 jalur lempeng dunia yang aktif, yaitu: lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Interaksi antar lempeng tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempabumian yang tinggi. Disamping itu, relief permukaan yang bervariasi dari wilayah pegunungan hingga landaian pantai menyimpan potensi bencana

longsor, banjir dan tsunami yang tinggi. Kurangnya kesadaran pemerintah maupun masyarakat akan potensi ancaman bencana tersebut turut memicu meningkatkan kerentanan.

Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana yang telah mengalami perubahan yang semula lebih berorientasi pada penanganan darurat, menjadi upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana, diharapkan dapat menyikapi permasalahan dalam penanggulangan bencana, seperti: (i) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana karena keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia; (ii) keterbatasan sumber daya rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan terhambatnya proses pemulihan wilayah pasca bencana; (iii) besarnya ketergantungan pendanaan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana; dan (iv) belum tersedianya secara menyeluruh kerangka geodesi dan geodinamika serta belum memadainya sarana dan prasarana peringatan dini bencana gempa dan tsunami.

2.9.2.LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL- HASIL YANG DICAPAI

Sebagai wujud komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020, pada tahun 2010 telah disusun Rancangan Peraturan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 2020, yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh masing-masing sektor terkait. Sementara di tingkat daerah juga akan disusun Rencana Aksi Daerah (RAD-GRK) dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan sejak RAN-GRK ditetapkan sebagai Perpres. Disamping itu, telah disusun pula Rancangan Peraturan Presiden tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca, yang bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan serapan emisi GRK, termasuk informasi

pencapaian penurunan emisi GRK. Disamping itu, dalam

mengembangkan mekanisme pengelolaan pendanaan untuk

penanganan perubahan iklim telah dibentuk Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang merupakan alternatif mekanisme pendanaan yang disesuaikan dengan peraturan perundangan di Indonesia. Pada tahun 2010 melalui ICCTF telah didanai 3 (tiga) kegiatan percontohan (pilot project), yaitu (i) pengembangan manajemen lahan gambut berkelanjutan, (ii) konservasi energi pada industri baja dan pulp kertas, dan (iii) penyadaran publik, pelatihan dan pendidikan.

Selanjutnya, upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan dilakukan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan. Langkah kebijakan yang telah dilaksanakan dan hasil yang telah dicapai antara lain adalah: (i) Pengendalian dan pemulihan kerusakan ekosistem situ, danau, dan waduk; (ii) pengendalian pencemaran lingkungan dengan perbaikan pelaksanaan Program Kali Bersih (PROKASIH); (iii) pengawasan intensif kepada perusahaan-

perusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan terus

ditingkatkan melalui  Program Peringkat Kinerja Perusahaan

(PROPER); (iv) program langit biru dengan mengembangkan standar dan teknologi emisi dan kebisingan kendaraan; (v) menurunkan beban pencemaran limbah B3 dan pemulihan lahan terkontaminasi limbah; (vi) mencegah penurunan dan kerusakan keanekaragaman hayati dengan melaksanakan Program Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati); (vii) peningkatan tata kelola lingkungan yang baik; (viii) peningkatan penguatan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, serta (ix) penataan dan penegakan hukum lingkungan. Pada tahun 2011 ditargetkan beban pencemaran lingkungan akan menurun dan tingkat polusi juga menurun yang didukung oleh pelaksanaan pengendalian pencemaran air, udara, dan limbah padat di daerah, serta memperkuat

pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang lingkungan hidup.

Sementara itu, upaya lain yang dilakukan adalah peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan melalui: (i) penataan batas kawasan; (ii) konservasi termasuk penanggulangan illegal logging dan kebakaran hutan, pengembangan jasa lingkungan dan rehabilitasi hutan dan lahan; (iii) peningkatan fungsi daya dukung daerah aliran sungai (DAS); (iv) koordinasi para pemangku kepetingan di tingkat provinsi dalam rangka penyusunan DAS Terpadu di 36 DAS Prioritas; dan (v) peningkatan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.

Selanjutnya, dalam rangka memelihara ekosistem wilayah pesisir dan laut guna menjaga kelestarian sumber daya ikan dan biota lainnya, langkah-langkah yang telah dilakukan antara lain adalah (i) penyusunan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil; (ii) penyusunan peraturan tentang mitigasi bencana pesisir, peningkatan ketahanan masyarakat pesisir atas dampak perubahan iklim; (iii) rehabilitasi mangrove dan terumbu karang; serta (iv) pengelolaan kawasan konservasi perairan. Hasil yang telah dicapai antara lain, adalah (i) penetapan kawasan konservasi perairan seluas 13,95 juta hektar; (ii) rehabilitasi mangrove seluas 47 hektar; (iii) kerjasama antarnegara dalam pengelolaan sumber daya kelautan melalui Coral Triangle Initiative (CTI), The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA), serta (iv) rehabilitasi ekosistem terumbu karang di 16 kabupaten/kota di 8 provinsi.

Dalam hal pengembangan Sistem Peringatan Dini, kebijakan yang ditempuh adalah meningkatkan pelayanan data dan informasi meteorologi publik serta peringatan dini cuaca ekstrim, dan menyediakan kebijakan teknis dalam penanganan penyediaan informasi dini gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Hasil-hasil yang telah dicapai adalah terkelolanya Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) dan Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) meliputi

antara lain adalah (i) Radar Cuaca; (ii) Automatic Weather Station (AWS); (iii) Automatic Rain Gauge (ARG), dan (iv) Penakar Hujan Observasi sebanyak 1000 unit. Disamping itu, dihasilkan Atlas Normal Ikilm di Indonesia periode 1971 - 2000 yang memuat informasi iklim, meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, arah angin dan kecepatan angin. Terkelolanya Sistem Operasional Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Ina TEWS) yang meliputi antara lain, jaringan Sensor Seismik, Sistem Sirine, Sistem Komunikasi dan Integrasi, dan Sistem Prosesing; Sistem Monitoring CCTV, jaringan Accelerometer, dan jaringan Digital Video Broadcast (DVB).

Dalam rangka mendukung pelaksanaan penanggulangan bencana yang efektif, terpadu dan menyeluruh, kebijakan pembangunan dalam bidang penanggulangan bencana dititik beratkan pada: (i) peningkatan upaya pengurangan risiko bencana melalui integrasi ke dalam prioritas pembangunan nasional dan daerah serta penguatan kelembagaan penanggulangan bencana; (ii) peningkatan kapasitas penanganan kedaruratan dan penanganan korban yang terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial secara terkoordinasi, efektif dan terpadu dengan dukungan alat transportasi yang memadai dengan basis 2 lokasi strategis: Jakarta dan Malang; (iii) pemulihan wilayah pascabencana bencana, dengan fokus pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana Wasior, Provinsi Papua Barat, Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat, erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah serta wilayah pasca bencana alam lainnya.

Pencapaian pelaksanaan sesuai dengan arah kebijakan yang ditetapkan sampai dengan triwulan kedua tahun 2011 adalah: (i) telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 33 Provinsi dan 365 kabupaten/kota; (ii) telah dibentuk Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC-PB) yang berbasis di

Jakarta dan Malang; (iii) Rencana Penanggulangan Bencana 2010- 2014 sebagai kerangka kebijakan penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 3 Tahun 2010; (iv) Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010—2012 yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2010; dan (v) telah disusun informasi geospasial berbagai tema, baik matra darat maupun matra laut, sedangkan untuk kebutuhan khusus disusun pula berbagai atlas.

Dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah yang terkena dampak bencana di Wasior, Mentawai dan erupsi Gunung Merapi di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, telah diterbitkan: (i) Keputusan Presiden No. 16 Tahun 2011 tertanggal 5 Juli 2011 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah; (ii) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2011; (iii) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempabumi dan Tsunami di Wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 3 Tahun 2011; serta (iv) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Banjir Bandang di Wasior Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat Tahun 2010—2011, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2011.

2.9.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Tindak lanjut yang diperlukan dalam penanggulangan perubahan iklim, antara lain adalah ( i ) terus dilakukannya upaya-upaya dalam mengurangi lahan kritis melalui rehabilitasi dan

reklamasi hutan; (ii) peningkatan pengelolaan kualitas ekosistem lahan gambut; (iii) terus ditingkatkannya kualitas kebijakan konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan yang terpadu; (iv) rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir; (v) evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bersifat lintas K/L; (vi) dukungan terhadap penelitian dan pengembangan untuk penurunan gas rumah kaca dan adaptasi perubahan iklim; (vii) peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor pembangunan dan daerah; dan (viii) penyusunan insentif ekonomi dan fiskal bagi pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk berpartisipasi dalam program penanganan perubahan iklim. Selain itu, Peraturan Presiden mengenai RAN-GRK akan segera ditetapkan yang akan menjadi peraturan payung bagi seluruh sektor, dan akan ditindaklanjuti dengan disusunnya pedoman untuk penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD- GRK). Demikian pula dengan Peraturan Presiden tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca akan diselesaikan.

Sementara itu, tindak lanjut yang diperlukan dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah meningkatkan kualitas pengelolaan daya dukung lingkungan hidup agar kemampuannya dapat pulih kembali dalam mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang terutama difokuskan pada : (i) penurunan beban pencemaran lingkungan akibat meningkatnya aktivitas pembangunan; (ii) menekan laju kerusakan SDA dan lingkungan hidup, melalui upaya konservasi dan rehabilitasi ekosistem yang rusak, baik di kawasan hutan, laut, pesisir, maupun di areal bekas pertambangan, serta pengelolaan keanekaragaman hayati dengan melakukan update Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP); (iii) penguatan kelembagaan serta peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam perbaikan kualitas lingkungan hidup; (iv) rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan di DAS prioritas; (v) pembinaan

penyelenggaraan pengelolaan DAS; (vi) pengendalian kebakaran hutan; serta (vii) menurunkan tindak pidana kehutanan.

Terkait dengan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, arah dan kebijakan yang akan dikembangkan dilakukan melalui langkah-langkah: (i) melanjutkan proses internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan pada 3 (tiga) pilar utama pembangunan berkelanjutan; (ii) menjabarkan hal-hal konkrit dalam pilar kerangka kelembagaan untuk mempercepat internalisasi 3 (tiga) prinsip pembangunan berkelanjutan, serta (iii) menyepakati ukuran-ukuran untuk pembangunan berkelanjutan yang tepat dan dapat digunakan, baik di tingkat nasional dan daerah, sehingga prinsip pembangunan berkelanjutan dapat berjalan nyata di lapangan.

Selanjutnya, tindak lanjut yang diperlukan dalam

pengembangan Sistem Peringatan Dini adalah (i) menyediakan informasi peringatan dini cuaca ekstrim di seluruh wilayah Indonesia; (ii) menyediakan informasi cuaca secara rutin untuk mendukung keselamatan transportasi dan masyarakat; (iii) mengembangkan sistem peringatan dini iklim ekstrim dan sistem informasi dini kualitas udara; (iv) meningkatkan ragam dan jangkauan informasi iklim, perubahan iklim, dan kualitas udara; (v) meningkatkan kecepatan, keakuratan, dan jangkauan diseminasi informasi dini gempa bumi dan peringatan dini tsunami.

Sementara, untuk pelaksanaan penanggulangan bencana, tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) mengintegrasikan kebijakan

penanggulangan bencana nasional ke dalam kebijakan

penanggulangan bencana di daerah, dimana dalam penjabaran Rencana Penanggulangan Bencana Nasional dilaksanakan dengan menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah, serta penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana, sebagai acuan pelaksanaan pengurangan risiko bencana oleh berbagai pemangku kepentingan di daerah; (ii) peningkatan kapasitas

kesiapsiagaan dan kewaspadaan pemerintah daerah serta masyarakat daerah dalam menghadapi bencana; serta (iii) percepatan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana Wasior, Provinsi Papua Barat, Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat, erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah serta wilayah pasca bencana alam lainnya, serta (iv) mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam menghasilkan data dan informasi kerangka geodesi dan geodinamika serta pasang surut laut real time sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan khususnya dalam rangka mitigasi bencana.

2.10 PRIORITAS NASIONAL 10: DAERAH TERTINGGAL,

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 121-130)