• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pro-Pe nya nda ng Diffa bilit a s

Dalam dokumen Edisi Tiga (Halaman 62-64)

Oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.*

H AK asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Hak itu bersifat univer- sal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan.

Negara Republik Indonesia adalah negara yang ber- dasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Konstitusi negara sudah tepat dan benar berkomit- men menjamin hak yang sama bagi warga negara. Akan tetapi pada kenyataannya warga negara lahir ke dunia ti- dak mempunyai nasib yang sama. Ada yang lahir normal, sempurna jasmani dan rohaninya. Ada pula yang lahir tidak normal, dalam arti tidak sempurna jasmani dan rohaninya. Bagi yang lahir tidak normal, tentu mereka tidak minta untuk lahir seperti itu, dan dalam menjalani hidup pun me- reka tidak minta dikasihani, karena sesungguhnya mereka

terlahir sudah sesuai dengan itrahnya, dan oleh Tuhan

dianugerahi kemampuan yang berbeda. Oleh sebab itu penyebutan nama (nomenklatur) bagi mereka yang terla- hir tidak normal adalah kelompok “diffabilitas” (beda ke- mampuan). Dahulu mereka disebut “disabilitas” (kurang mampu). Sebelumnya kebanyakan orang menyebutnya penyandang cacat, tetapi sebutan ini sudah ditinggalkan karena terkesan tidak manusiawi.

Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang diffabilitas, Pemerin- tah RI telah membentuk berbagai peraturan perundang-un- dangan mengenai perlindungan terhadap penyandang diffabilitas. Salah satu bentuk komitmen Pemerintah ada- lah dengan menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Pe nyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di

New York. Kemudian, konvensi tersebut telah diratiikasi

de ngan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Kon- vensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Dalam konvensi tersebut, penyandang disabilitas, yai-

tu orang yang memiliki keterbatasan isik, mental, intelek-

tual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat- nya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Dengan demikian, yang ha- rus dilakukan Negara adalah pemberdayaan penyandang diffabilitas, perbaikan lingkungan penunjang, termasuk in- frastruktur dan mekanisme, serta peningkatan kepedulian dan sensitivitas masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif menuju kesetaraan martabat.

Charity-based Approach

Departemen Sosial c.q Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial terus berupaya untuk mensosial- isasikan para penyandang cacat agar dapat diterima baik di instansi pemerintah maupun swasta yang lebih mengede- pankan kredibilitas dan kemampuan dalam menjalankan

pekerjaan tanpa memandang faktor isik, mengingat jum- lah penyandang cacat di Indonesia semakin meningkat. Data Pusdatin Depsos tahun 2008 jumlah penyandang cacat sebanyak 1.554.184 jiwa, faktor ini sangat menjadi perhatian cukup besar dari pemerintah.

Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dr. Makmur Sunusi, PhD, paradigma penanganan ma salah kecacatan dan penyandang cacat telah bergeser dari pendekatan berdasarkan belas kasihan (Charity Based Approach), yakni pendekatan yang lebih mengedepan kan pemenuhan hak-hak penyandang cacat (Right Based Ap- proach) ke pendekatan ini sudah tentu perlu dikembang- kan untuk meningkatkan terobosan-terobosan yang berpi- hak pada penyandang cacat.

Perlindungan Hukum

Upaya untuk memberikan perlindungan hukum ter- hadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para pe- nyandang diffabilitas, di samping dengan Undang-Undang

tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain be- berapa peraturan tentang ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitasi bagi penyandang ca- cat, sebagai berikut:

a. Amandemen IV UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1)

b. UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 1

c. UU No 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, Pasal 35 (1)

d. UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Ang- kutan Jalan, Pasal 49 (1)

e. UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 42

Persoalannya, dari beberapa peraturan tersebut, ne- gara masih memberlakukan kelompok diffabilitas dengan pendekatan berdasarkan belas kasihan (charity based approach). Buktinya, dalam undang-undang kelompok dif- fabilitas ditangani oleh Kementerian Sosial. Seharusnya ditangani secara multi sektoral. Di sini terdapat ketidak- sinkronan antara jiwa UUD 1945 dan praktek penyeleng- garaan negara.

Sesungguhnya adalah kewajiban negara menye- diakan sarana dan prasarana hidup bagi kelompok diffa- bilitas agar mereka bisa hidup sejajar dengan warga yang

normal isiknya.

Aksesibilitasi bagi Penyandang Diffabilitas

Pemberian aksesibilitasi terhadap penyandang dif- fabilitas di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwu- jud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Un- dang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, upaya perlindungan belum memadai. Padahal ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang.

Pada kenyataannya, betapa sulit seorang penyan- dang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas publik, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hu- kum, pendidikan, informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan.

Salah satu diskriminasi bagi para penyandang cacat terjadi pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra ti- dak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Ia tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karenanya, ia harus mengua- sakannya kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan pemberian kuasa tersebut harus disahkan notaris.

Kesamaan Hak dan Kesempatan

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, termasuk hak-hak para penyandang cacat. Dan kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan sosial pe- nyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahte- raan bagi penyandang cacat.

Kewajiban itu tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang-undangan), namun juga pada kebijakan aplikatif serta eksekutif. As- pek substansi hukum yang menjamin aksesibilitasi bagi penyandang diffabilitas dari sejumlah peraturan perun- dang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Na- mun, perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak-hak bagi para penyandang cacat.

Sederetan undang-undang yang menyangkut pe- nyandang diffabilitas di atas baru merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat penyan- dang diffabilitas, guna mewujudkan kemandirian dan ke- sejahteraan penyandang diffabilitas. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan merupakan tanggung- jawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang diffabilitas sendiri. Tetapi hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung.

Penanganan masalah penyandang diffabilitas harus bergeser dari pendekatan berdasarkan belas kasihan (charity based approach) kepada pendekatan yang lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak penyandang diffa- bilitas (right based approach). Dengan adanya pendekat- an ini sudah tentu dari aspek hukum, formulasi substansi peraturan yang ada perlu diaplikasikan yang lebih konkret yang berpihak pada penyandang diffabilitas.

Kom pe t e nsi Pe nga dila n T U N

Dalam dokumen Edisi Tiga (Halaman 62-64)

Dokumen terkait