• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap profesi kesehatan memiliki badan atau lembaga dimana anggotanya memiliki kesamaan dalam latar belakang pendidikan. Dalam pembahasan ini, kelompok ini akan disebut sebagai masyarakat profesi. Secara umum, masyarakat profesi adalah setiap lembaga atau badan yang anggotanya memiliki kesamaan profesi, misalnya profesi kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat dan bidan. Masyarakat profesi termasuk didalamnya adalah organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan dan kolegium keilmuan. Peran masyarakat profesi kesehatan tidak dapat disangkal lagi dalam membangun profesi tersebut. Misalnya saja organisasi profesi. Tanpa adanya organisasi profesi, profesi kesehatan tidak mungkin dapat berkembang dan menjalin kerjasama dengan sesama profesinya atau bahkan teman sejawatnya di dunia praktik. Organisasi profesi kesehatan di Indonesia telah berkembang sejak mereka didirikan. Misalnya saja organisasi profesi keperawatan yaitu Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang berdiri sejak tahun 1974. Pada awal pembentukannya, PPNI bertujuan untuk mengembangkan pelayanan dan profesi keperawatan serta diharapkan perawat Indonesia dapat mengabdikan diri pada masyarakat, bangsa dan negara secara optimal. Hingga saat ini tujuan organisasi profesi tersebut telah meluas dalam hal mempersiapkan anggotanya untuk lebih berperan nyata pada masyarakat dengan memperkecil kesenjangan dalam pelayanan kesehatan, mempermudah masyarakat dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan, serta mendapatkan kesamaan pelayanan yang berkualitas.

Hal tersebut pada dasarnya menjadi tujuan seluruh organisasi profesi kesehatan di Indonesia. Oleh karenanya, kerjasama antar organisasi profesi dan capacity building atau penguatan organisasi profesi dengan stakeholder lain adalah hal yang mutlak dan perlu dalam mencapai tujuan bersama ini.

Penguatan organisasi atau dalam istilah lain disebut capacity building adalah istilah yang digunakan untuk menyebut proses penguatan kemampuan suatu institusi atau organisasi untuk secara efektif mengatur program-program yang mereka miliki dan mencapai tujuan dengan bantuan dari luar seminimal mungkin (chain.net.cn). Menurut Rosensweig (2011) Penguatan organisasi adalah proses sistematik yang menggunakan variasi intervensi untuk meningkatkan kemampuan organisasi. Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwa penguatan organisasi profesi kesehatan dengan stakeholder adalah suatu usaha untuk

meningkatkan kemampuan organisasi profesi dan stakeholder dalam mencapai tujuan peningkatan tenaga kesehatan yang berkualitas dengan bantuan eksternal seminimal mungkin.

Persiapan tenaga kesehatan yang berkualitas sejalan dengan salah satu tujuan proyek Health Professional Education Quality (HPEQ) yang didanai oleh bank dunia yaitu peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kualitas tenaga kesehatannya termasuk, dokter, dokter gigi, perawat dan bidan. Salah satu kegiatan utama dari proyek HPEQ adalah dengan memperkuat sistem penjaminan mutu yang didalamnya termasuk sistem akreditasi dan sertifikasi institusi pendidikan. Sistem penjaminan mutu ini yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkan. Key Performance Indicators (KPI) dari proyek ini adalah pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) dan National Agency for Competition Examination of Health Professional (NACE Health Pro), yang berdasarkan keputusan lintas kementerian sekarang disebut sebagai Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK). Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, adanya standar kompetensi dan standar pendidikan serta adanya naskah akademik sistem pendidikan pada setiap profesi adalah hal yang penting dan diutamakan mengingat poin-poin dalam borang akreditasi institusi pendidikan nantinya akan mengacu pada standar pendidikan yang ada. Begitu pula dengan standar kompetensi yang dikembangkan oleh organisasi profesi yang menjadi acuan dalam penyusunan standar pendidikan dan kurikulum di institusi pendidikan.

Mengingat adanya keterkaitan antara beberapa organisasi profesi dengan stakeholder lain dalam hal peningkatan kualitas lulusan tenaga kesehatan, maka penguatan organisasi profesi dengan stakeholder yang terlibat adalah salah satu hal yang diutamakan dan menjadi salah satu agenda yang mendukung pencapaian KPI proyek HPEQ.

Hasil Benchmark

1. Strengthening Midwifery Association

Penguatan organisasi profesi dapat dilakukan oleh berbagai pihak, tidak terbatas pada pemerintah setempat atau institusi lain yang lebih besar. Seperti yang dilakukan International Confederation of Midwives (ICM) yang menyadari bahwa anggotanya berada pada level perkembangan yang berbeda-beda. Ada anggota

organisasi yang baru memulai dan belum memiliki struktur organisasi yang pasti dan ada pula yang sudah berkembang dengan struktur yang jelas. Oleh karena itu, ICM memiliki program untuk memfasilitasi organisasi-organisasi anggotanya agar mampu berkembang dan memperkuat setiap anggotanya agar mampu mencapai tujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Dalam program penguatan organisasi ini ICM memiliki berbagai strategi dan kegiatan diantaranya:

a. Twinning: yaitu pertukaran yang saling menguntungkan antara 2 individu anggota organisasi. Pertukaran ini adalah kolaborasi yang bersifat formal dan substantif antara dua organisasi.

b. Capacity assessment: yaitu proses yang mengukur efisiensi dan efektifitas beberapa komponen dalam organisasi untuk mengukur tingkat perkembangan organisasi. c. Positioning and Profiling Midwifery: yaitu kegiatan 3 hari dimana para bidan

dibimbing melalui proses membangun identitas dan status quo, membangun tujuan (visi), apa yang harus mereka lakukan (misi), bagaimana mereka mencapai tujuan (strategi), dan apa saja sumber daya yang diperlukan. Beberapa stakeholder akan dilibatkan dan pembuat keputusan akan diundang pada hari terakhir kegiatan. d. Leadership development materials. ICM memiliki beberapa material yang sudah

diujicobakan untuk perkembangan kepemimpinan. Untuk organisasi dan asosiasi yang membutuhkan penguatan kepemimpinan, materi-materi sudah tersedia dan dapat diadaptasi sesuai konteks organisasi tersebut.

2. Four approaches to capacity building in health: consequences for measurement and accountability by Beth R. Crisp, Hal Swerissen and Stephen J. Duckett

Dari hasil studi literature, proses capacity building dapat dikelompokkan berdasarkan pendekatan yang dilakukan, yaitu:

a. Bottom up organizational approach.

Memiliki beberapa ahli dalam suatu organisasi sering kali dilihat sebagai sesuatu yang esensial, sehingga mereka dapat merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan dan program-program kesehatan yang tepat. Pendekatan ini memiliki pandangan bahwa memiliki kumpulan ahli akan mengurangi ketergantungan terhadap konsultan dari luar dan meningkatkan kemampuan lokal untuk mempertahankan sustainabilitas, terutama ketika dukungan dana juga berkurang. Selain itu, pendekatan ini berfokus untuk melatih anggota-anggotanya dengan keahlian dan keterampilan yang tidak hanya bermanfaat terhadap individu

itu sendiri, tetapi juga kepada organisasi dan masyarakat luas. Pelatihan yang dilakukan pun diutamakan tidak sampai mengirim trainee ke luar organisasi, tetapi mengundang trainer dari luar. Kemudian individu yang sudah dilatih menjadi ‘reflective practitioners’ baik secara individual maupun kolektif dengan harapan program-program kesehatan yang dikembangkan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

b. Top-down organizational approach.

Membangun dan mempertahankan kemampuan dalam organisasi membutuhkan kemampuan organisasi itu sendiri dan juga kemampuan individunya. Program-program pelatihan harus difasilitasi melalui proses pengambilan keputusan dalam organisasi yang memfasilitasi keterlibatan anggotanya. Infrastruktur organisasi juga melibatkan sumber daya non-personel dimana ada tidaknya mereka berpengaruh terhadap kemampuan organisasi. Bagaimanapun juga koordinasi dan perencanaan sering diperlukan untuk memastikan sumber daya mampu berfungsi dengan baik saat dibutuhkan.

Usaha-usaha dalam capacity building berfokus pada perubahan pemimpin organisasi. Beberapa bentuk restrukturisasi yang mengakibatkan organisasi lebih responsif terhadap isu-isu kesehatan dapat berdampak pada peningkatan kapasitas. c. Partnerships.

Membangun kerjasama antara organisasi maupun antara beberapa kelompok orang yang sebelumnya sedikit atau belum pernah melakukan kerjasama dalam bentuk apapun adalah cara lain dalam proses capacity building. Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa akan ada pertukaran ilmu pengetahuan yang akan mengarah kepada kerjasama dimana kedua pihak dapat saling memanfaatkan sumber daya satu sama lain.

d. Community organizing approach.

Pendekatan ini melihat bahwa proses capacity building dari organisasi kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat harus melibatkan masyarakat itu sendiri. Kegiatan yang dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat, kesadaran dan keterampilan dan dengan menggunakan sumber daya dari masyarakat itu sendiri dalam memecahkan masalah.

Pendekatan ini merubah individu dari penerima yang bersifat pasif menjadi partisipan yang aktif dalam proses perubahan. Karena biasanya program-program yang sukses adalah program yang diawali dan dilaksanakan oleh komunitas lokal.

Akan tetapi, pendekatan ini pun memiliki keterbatasan dan akan lebih efektif jika dilakukan pada komunitas yang sudah memiliki fasilitas kesehatan. Selain itu, pendekatan ini membutuhkan individu dari masyarakat yang aktif, sehingga pada saat support dari luar berkurang, program-program kesehatan yang sudah berjalan dapat terus dilaksanakan.

Tabel 19. Berbagai pendekatan capacity building dan area yang diukur

Pendekatan Area yang diukur

Top-down organizational - Perkembangan kebijakan - Alokasi sumber daya - Pelaksanaan organisasi

- Sanksi/ penghargaan sebagai imbalan

Bottom-up organizational - Program pengembangan tenaga kerja/ profesional - Keahlian, pengetahuan, partisipasi dan komitmen staf - Ide-ide yang muncul dan dilaksanakan

Partnerships - Aktivasi masyarakat

- Kolaborasi dan berbagi informasi antar organisasi - Kepadatan jaringan kerja

- Reorientasi pelayanan dan program oleh organisasi individual

Community organizing - Keterlibatan tokoh masyarakat

- Keterlibatan orang-orang dari grup yg kurang beruntung - Kepemilikan public

BAB II

PEMBAHASAN

Usaha pelaksanaan sistem penjaminan mutu internal pada profesi kesehatan sudah dilakukan oleh masing masing organisasi profesi. Hanya saja, kerjasama antara organisasi profesi dengan pemangku kepentingan yang lain masih belum terkoordinir selama masa sebelum proyek HPEQ dilaksanakan. Misalnya saja standar kompetensi profesi kesehatan. Standar kompetensi dan pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dibuat oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan standar kompetensi perawat dibuat oleh PPNI. Lain halnya dengan profesi bidan yang standar kompetensinya sudah diatur dalam Kepmenkes 369 tahun 2007.

Sampai saat ini, sudah ada beberapa pertemuan antara organisasi profesi dengan asosiasi pendidikan dan pemangku kepentingan lain yang yang dilaksanakan dalam rangka memperkuat sistem penjaminan mutu profesi. Misalnya saja rapat kerja AIPNI, PPNI dan Forum D3 Keperawatan DKI Jakarta yang membahas mengenai pengembangan kompetensi lulusan program studi ilmu keperawatan di perguruan tinggi serta penyusunan leveling kompetensi pada awal 2010. Dengan adanya proyek HPEQ, berbagai workshop dan kegiatan penguatan capacity building semacam ini semakin difasilitasi sehingga mempercepat pencapaian target-target yang pada dasarnya menjadi agenda masing profesi.

Kerjasama lintas organisasi seperti yang sudah dilaksanakan selama ini sebenarnya sudah tercantum dalam program kerja atau kebijakan-kebijakan dari organisasi profesi dan asosiasi pendidikan pada beberapa profesi. Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) mencantumkan bentuk kerjasama ini dalam misi organisasinya yang berbunyi “Membina dan menjadi simpul kerjasama dengan lembaga lain (stakeholders) yang terkait dengan pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan”. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan organisasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yaitu “Meningkatkan kemitraan dengan organisasi profesi, instansi pemerintah dan non pemerintah untuk menerapkan praktik kedokteran yang melindungi masyarakat”. Begitu pula dengan profesi bidan, dimana Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan (AIPKIND) membahas hal-hal yang berkaitan dengan penguatan organisasi ini pada 6 dari 9 poin misinya.

Setelah proyek HPEQ berlangsung, sistem penjaminan mutu yang sudah ada sebelumnya disempurnakan melalui proyek ini melalui program capacity building profesi dengan memfasilitasi pertemuan dan kerjasama antara organisasi profesi (IDI, PDGI, PPNI dan IBI),

asosiasi institusi pendidikan (AIPKI, AFDOKGI, AIPNI dan AIPKIND) dan pemangku kepentingan lainnya. Beberapa pertemuan yang difasilitasi oleh HPEQ dalam rangka penguatan koordinasi ini adalah pertemuan untuk menyusun atau merevisi naskah akademik serta pertemuan untuk menyempurnakan standar kompetensi dan standar pendidikan yang dilakukan di komponen 1 proyek HPEQ, serta pengembangan uji kompetensi untuk tenaga kesehatan yang dilakukan di komponen 2 proyek HPEQ ini. Dalam setiap pertemuannya, HPEQ selalu melibatkan berbagai pihak dari profesi terkait, terutama organisasi profesi dan asosiasi pendidikan.

Diharapkan setelah proyek HPEQ selesai pada tahun 2014 nanti, program capacity building dapat terus dilakukan oleh organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan di institusi masing-masing sehingga kerjasama lintas organisasi dapat dipertahankan demi terjalinnya kerjasama dan tercapainya tujuan bersama, yaitu meningkatkan kualitas lulusan tenaga kesehatan.

AHPRA

Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia yang direncanakan berdasarkan RUU Tenaga Kesehatan nantinya diharapkan dapat berfungsi sebagaimana Australian Health Practitioner Regulation Agency (AHPRA). AHPRA adalah organisasi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan registrasi dan akreditasi di Australia.

Pendirian AHPRA dipelopori oleh Health Practitioner Regulation National Law Act 2009 yang efektif sejak tanggal 1 Juli 2010. Ini berarti untuk pertama kalinya 10 badan profesi kesehatan di Australia diatur dalam sistem legislasi nasional. dimana organisasi-organisasi kesehatan untuk semua profesi kesehatan bernaung dalam satu badan hukum (National Boards).

Didalam undang undang ini disebutkan bahwa salah satu fungsi AHPRA adalah memberikan masukan kepada Dewan Kementerian (Ministerial Council) terkait administrasi registrasi nasional dan skema akreditasi. Selain itu, juga memberikan bantuan atau informasi terkait registrasi nasional dan skema akreditasi. Beberapa fungsi lainnya dapat ditentukan kemudian berdasarkan hukum ini.

AHPRA juga dapat melaksanakan fungsinya dengan bekerjasama atau dengan bantuan dari negara-negara Commonwealth, termasuk bekerjasama dengan agen pemerintahan di negara Commonwealth, badan registrasi lokal dan otoritas pembantu regulasi. Dan Jika AHPRA meminta bantuan atau informasi kepada badan badan tersebut diatas, maka mereka berkewajiban memberikan informasi yang diperlukan kepada AHPRA.

AHPRA memiliki Agency Management Committee yang beranggotakan 5 orang dan dipimpin oleh seseorang yang tidak teregistrasi sebagai praktisi kesehatan selama minimal 5 tahun. Komite ini berfungsi untuk mengawasi urusan AHPRA, menentukan kebijakan dan memastikan AHPRA bekerja sesuai fungsinya. Komite ini tunduk pada Dewan Kementerian sesuai dengan Health Practitioner Regulation National Law Act than 2009.

Saat ini lebih dari 520.000 praktisi kesehatan yang sudah terdaftar di AHPRA. Selain berfungsi untuk kepentingan publik, AHPRA juga bertanggung jawab terhadap registrasi practitioners dan mahasiswa. Kesepuluh national boards tersebut adalah:

1. Chiropractic Board 2. Dental Board 3. Medical Board

4. Nursing and Midwifery Board 5. Optometry Board 6. Osteopathy Board 7. Pharmacy Board 8. Physiotherapy Board 9. Podiatry Board 10. Psychology Board

Australia adalah negara pertama yang memperkenalkan registrasi nasional dan skema akreditasi kepada praktisi kesehatan. Registrasi nasional dan skema akreditasi yang terpusat ini meliputi:

1. Bergabungnya 85 health practitioners boards dengan membentuk 10 national boards diatas.

2. Terjadinya proses pemindahan dari 65 jenis peraturan kedalam satu hukum nasional. 3. Penyatuan delapan sistem hukum territorial kedalam satu hukum nasional.

4. Pemindahan 1,2 juta data dari 85 sumber berbeda kedalam 1 sistem IT yang terintegrasi untuk membangun sistem registrasi praktisi kesehatan secara online.

Visi dari AHPRA adalah membangun tenaga kesehatan yang kompeten dan fleksibel yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Australia sekarang dan di masa depan dengan misi untuk mengatur praktisi kesehatan di Australia untuk kepentingan publik.

Dalam skema akreditasi, AHPRA memiliki Otoritas Akreditasi yang memiliki standar akreditasi dan direkomendasikan pada National Board untuk persetujuan. Otoritas akreditasi juga melakukan assessment terhadap program studi dan penyedia pendidikan untuk menilai kecocokan dengan standar akreditasi yang dimiliki oleh AHPRA. Otoritas Akreditasi untuk setiap profesi kesehatan dalam AHPRA dilakukan oleh konsil akreditasi masing-masing profesi.

Salah satu nilai yang dimiliki AHPRA adalah bekerja sama untuk memberikan pendidikan tenaga kesehatan yang berkualitas. Selain itu, dalam salah satu Key Strategic Priority 2011-14 AHPRA adalah mendorong kesadaran masyarakat dan stakeholder dalam hal pengaturan tenaga kesehatan. Hal ini menggambarkan bahwa organisasi-organisasi profesi kesehatan di Australia difasilitasi sedemikian rupa oleh pemerintah dalam mengatur profesinya. Meskipun demikian organisasi ini bersifat mandiri dalam hal pengambilan keputusan, meski tetap dalam kebijakan yang diatur oleh Dewan Kementerian. Diharapkan, organisasi profesi di Indonesia kedepannya mampu melakukan tugas dan fungsi yang serupa seperti ini.

BAB III

PENUTUP

Penguatan organisasi dilakukan untuk membuat organisasi menjadi mandiri, mampu melakukan kerjasama lintas organisasi maupun dengan stakeholder lainnya. Penguatan organisasi profesi kesehatan di Indonesia saat ini masih difasilitasi dengan program capacity building dari proyek HPEQ. Diharapkan setelah selesai proyek HPEQ pada tahun 2014 nanti, kerjasama yang baik antara stakeholder, organisasi profesi dan institusi pendidikan antara satu profesi dengan profesi yang lain dapat dipertahankan.

REFERENSI

1. Crisp, Beth R., Hal Swerissen dan Stephen J. Duckett. Four approaches to capacity building in health: consequences for measurement and accountability. Oxford Journals. Diambil dari http://heapro.oxfordjournals.org/content/15/2/99.full#sec-3 tanggal 15 September 2011 2. Definition of capacity building. Diambil dari

http://www.chain.net.cn/document/20070820153314748375.pdf tanggal 15 September 2011 3. Health practitioner regulation national law act – 2009

4. Project Appraisal Document for HPEQ Project. 2009

5. Rosensweig, Fred (2010). Building local capacity for health system strengthening.ppt diambil dari www.healthsystem2020.org tanggal 15 September 2011

6. Strengthening Midwifery Associations. Diambil dari

http://www.internationalmidwives.org/Projects/StrengtheningMidwivesAssociations/tabid/336/ Default.aspx tanggal 14 September 2011.