PROFIL USAHA KECIL DAN MODEL PENGEMBANGANNYA
Sampai saat ini, batasan usaha kecil masih berbeda, tergantung pada fokus permasalahan masing-‐masing. Seperti dikemukakan oleh Dun Steinhoff dan John F. Burgess (1993 : 14), "Usaha kecil telah didefinisikan dengan cara yang berbeda, tergantung kepada kepentingan organisasi."
Dalam Small Business Act (1934) yang dikutip oleh Dun Steinhoff dan John F. Burgess (1993 : 14), dikemukakan bahwa "A small business is which independently owned and operated and is not dominant in its field.dz
Menurut Small Business Development Centre University of Winconsin Madison, perusahaan kecil memiliki ciri-‐ciri sebagai berikut : "Greater potential, greater risk, limited access to capital, one or few managers and less able survive major mistakes."
Dilihat dari perangkat manajemennya, Lambing (2000: 43), menge-‐ mukakan bahwa kontrol atau pengawasan pada usaha kecil, biasanya bersifat informal. Apabila hanya terdapat beberapa karyawan, maka deskripsi pekerjaan dan segala aturan, lebih baik secara tidak tertulis, agar wirausaha mudah mengontrol usahanya. Banyak wirausaha yang cende-‐ rung menggunakan manajemen mikro dalam usahanya. M. Kusman Sulaeman (1988-‐1989 : 43) mengemukakan beberapa ciri pekerjaan, dari manajerial usaha kecil dan menengah, yang dikutip dari beberapa hasil studi, yang dilakukan oleh Porter (1963), Mintzberg (1973), Clifford (1976) dan Scott (1973). Ciri-‐ciri tersebut yaitu :
DzNo training, job is directly important, challenging, satisfying, less formal work, much operating, mixed works, direct cotact, informal communication and much more telephone, sales less than $200 m, earning / share is low, less diversified production, less conservative financing method and market position is weak, more operational, routine work, authoritarian, short term thinking and operating orientation."
Di Indonesia sendiri, belum terdapat batasan dan kriteria yang baku mengenai usaha kecil. Berbagai instansi menggunakan batasan dan kriteria menurut fokus permasalahan yang dituju. Dalam Undang-‐Undang No. 9/1995 Pasal 5 tentang usaha kecil, disebutkan beberapa kriteria dalam usaha kecil, yaitu sebagai berikut :
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Biro Pusat Statistik Indonesia-‐BPS (1988) mendefinisikan usaha kecil, dengan ukuran tenaga kerja, yaitu lima sampai dengan sembilan belas pekerja, yang terdiri atas (termasuk) pekerja kasar yang dibayar, pekerja pemilik dan pekerja keluarga. Perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja, kurang dari lima orang diklasifikasikan sebagai industri rumah tangga.
Sedangkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Stanley dan Morse, industri yang menyerap tenaga kerja 1-‐9 orang disebut sebagai industri kerajinan rumah tangga. Industri kecil menyerap 10-‐49 orang pekerja, industri sedang menyerap 50-‐99 orang pekerja dan industri besar menyerap tenaga kerja 100 orang lebih.
Berdasarkan terminologi tersebut, banyak kriteria yang digunakan dan selain dari ukuran secara kuantitatif, pada umumnya perusahaan kecil memiliki ciri-‐ciri khusus, yaitu :
a. Manajemen
Pada usaha kecil, manajer yang mengoperasikan perusahaan adalah pemilik usaha itu sendiri, sehingga dirinyalah, yang mengambil berbagai keputusan secara mandiri.
b. Persyaratan modal
Jumlah modal yang diperlukan, biasanya relatif kecil dan hanya dari beberapa sumber.
c. Pengoperasian yang bersifat lokal
Oleh karena permodalan relatif kecil dan dikelola secara mandiri, maka daerah operasinya bersifat lokal, sehingga majikan dan karyawan tinggal, dalam suatu daerah yang sama, dengan bahan baku dan pemasarannya.
Beberapa usaha kecil menghasilkan produk, untuk keperluan ekspor dengan skala yang relatif kecil, relatif spesifik atau kurang diversifikasi, misalnya barang-‐barang untuk keperluan rumah tangga dan cenderamata seperti mebel, hiasan dan mainan anak-‐anak. Usaha kecil, pada umumnya
107
memiliki jumlah karyawan yang sedikit, modal terbatas dan volume penjualan yang rendah. Akan tetapi, secara keseluruhan merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lokal, yang cukup besar dan tersebar.
Komisi untuk Perkembangan Ekonomi (Committee for Economic Development-‐CED), mengemukakan kriteria usaha kecil sebagai berikut : 1. Manajemen berdiri sendiri, karena manajer adalah pemilik usaha itu
sendiri.
2. Modal disediakan oleh pemilik atau dari kerabat/keluarga pemilik. 3. Daerah operasi bersifat lokal.
4. Ukuran dalam keseluruhan relatif kecil
Selain ciri-‐ciri tersebut, usaha kecil memiliki kekuatan dan kelema-‐ han tersendiri. Beberapa kekuatan usaha kecil antara lain :
1. Memiliki kebebasan untuk bertindak. Apabila ada perubahan, misalnya ada perubahan produk, teknologi dan mesin baru, maka usaha kecil, dapat bertindak dengan cepat, untuk dapat beradaptasi dengan keadaan yang berubah tersebut. Sedangkan pada perusahaan besar, tindakan cepat tersebut, sulit dilakukan.
2. Fleksibel. Perusahaan kecil sangat luwes, dapat menyesuaikan usaha, dengan kebutuhan setempat. Bahan baku, tenaga kerja dan pemasaran produk usaha kecil, pada umumnya menggunakan sumber-‐sumber yang bersifat lokal. Beberapa perusahaan kecil menggunakan bahan baku dan tenaga kerja bukan lokal, yaitu mendatangkan dari daerah lain atau diimpor.
3. Tidak mudah goncang. Oleh karena, bahan baku dan sumber daya lainnya, kebanyakan bersifat lokal, maka perusahaan kecil tidak rentan terhadap fluktuasi bahan baku impor. Bahkan, apabila bahan baku impor sangat mahal, sebagai dampak dari naiknya nilai mata uang asing, maka kenaikan mata uang asing tersebut, dapat dijadikan peluang oleh perusahaan kecil (yang menggunakan bahan baku lokal), untuk memproduksi barang-‐barang keperluan ekspor.
Sebagai contoh, perusahaan cenderamata dan mebel yang sudah mengekspor produknya dan menggunakan bahan baku lokal, sehingga ketika terjadi kenaikan nilai mata uang asing, perusahaan kecil dapat menjadikan kondisi ini sebagai peluang, untuk dapat bersaing dengan produk yang berbahan baku impor.
Sedangkan kelemahan perusahaan kecil, dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu :
1. Kelemahan Struktural merupakan kelemahan dalam struktur perusa-‐ haan, misalnya dalam bidang manajemen dan organisasi, pengendalian mutu, pengadopsian dan penguasaan teknologi, kesulitan mencari permodalan, tenaga kerja masih lokal dan terbatasnya akses pasar. Kelemahan faktor struktural yang satu, saling terkait dengan faktor yang lain, kemudian membentuk lingkaran ketergantungan yang tidak berujung dan membuat usaha kecil terdominasi dan rentan.
Secara struktural, salah satu kelemahan usaha kecil yang paling utama adalah kurangnya permodalan.
a. Akibatnya, terjadi ketergantungan pada pemilik modal.
b. Karena pemilik modal juga lebih menguasai sumber-‐sumber bahan baku dan dapat mengusahakan bahan baku, maka pengusaha kecil memiliki ketergantungan pada pemilik modal yang sekaligus, bertindak sebagai penguasa bahan baku.
c. Selain menguasai sumber-‐sumber bahan baku, pemilik modal juga menguasai akses dan informasi pasar, sehingga dengan demikian ketergantungan usaha kecil terhadap bahan baku, menjadi ketergan-‐ tungan juga terhadap pasar.
d. Karena penguasa pasar, banyak mengetahui dan mengenal pasar, dalam hal ini adalah mengenal standar/kualitas, motif, maupun jumlah, maka standar, desain, teknik dan jumlah produk, ditentukan oleh pemilik informasi pasar yang sekaligus bertindak sebagai penyandang dana.
e. Akibat ketergantungan tersebut, otomatis harga jual produk yang dihasilkan usaha kecil, secara tidak langsung ditentukan oleh pengua-‐ sa pasar dan pemilik modal, sehingga terjadilah pasar monopsoni. f. Demikian juga, harga jual bahan baku dan bunga modal yang
ditanggung oleh usaha kecil, ditentukan juga oleh penguasa pasar dan modal.
g. Karena harga jual barang-‐barang yang dihasilkan usaha kecil, ditentukan oleh pemilik informasi pasar, yang juga sebagai pemilik informasi bahan baku, maka ia akan menentukan harga jual bahan baku, sehingga terjadi sistem monopoli. Dengan kondisi ini, maka batas keuntungan pengusaha kecil, ditentukan oleh batas harga jual produk dan batas harga beli bahan baku, seingga terjadilah repatriasi keuntungan, sehingga mengakibatkan permodalan usaha kecil, jumlahnya tetap kecil.
h. Kondisi tersebut, mengakibatkan ketergantungan bagi pengusaha kecil, sehingga menjadi buruh pada perusahaan sendiri, dengan upah yang ditentukan oleh batas keuntungan dari pemilik modal, yang sekaligus sebagai penguasa pasar dan penguasa sumber-‐sumber bahan baku.
2. Kelemahan Kultural berdampak, terhadap terjadinya kelemahan struktural. Kelemahan kultural mengakibatkan, kurangnya akses infor-‐ masi dan lemahnya berbagai persyaratan lain, untuk memperoleh akses permodalan, pemasaran dan bahan baku, seperti kurangnya :
a. Informasi peluang dan cara memasarkan produk.
b. Informasi untuk mendapatkan bahan baku yang baik, murah dan mudah diperoleh.
c. Informasi untuk memperoleh fasilitas dan bantuan pengusaha besar, dalam menjalin hubungan kemitraan dan untuk memperoleh bantuan permodalan dan pemasaran.
109
d. Informasi tentang tata cara pengembangan produk, baik mengenai desain, kualitas, maupun kemasannya.
e. Informasi untuk menambah sumber permodalan, dengan persyaratan yang terjangkau.