• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana Bagi Warga

BAB III : PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

C. Proses Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana Bagi Warga

Upaya penegakan hukum yang diprogramkan dalam pemerintahan oleh mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, setelah berjalan lebih dari 1 tahun,

163 Petrus Irwan Panjaitan, Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm..38

mulai terlihat keberhasilannya, walaupun berbagai kendala internal khususnya pembersihan dilingkungannya sendiri dalam proses penyidikan. Selain kendala internal, ditemui juga kendala eksternal, dimana dalam hal ini pihak-pihak penegak hukum sendiri justru memanfaatkan pihak-pihak yang melakukan kejahatan, dan penyalah gunaan wewenang.164

Seperti telah dijelaskan, kendala internal yang dialami (melekat) dalam penegakan hukum, yang sekarang sedang mengemukakan pemberantasan hampir jajaran polri, kejaksaan, hakim dan lembaga pemasyarakatan masih belum seragam, satupala, satu sikap, dan satu bahasa dalam melaksanakan tugas pokok, dan fungsinya. Kesemuanya itu sangat tergantung semangat keberanian dari unsur pimpinan untuk menegakkan hukum didukung unsur bawahan dan masyarakat setempat. Sebaiknya kalau unsur pimpinan lemah, bawahan juga ikut lemah dan warga masyarakatpun membenarkan dan mendukung tersangka korupsi, pada gilirannya upaya penegakan hukum menjadi terbengkalai.

Sebelum sampai di pengadilan, proses penegakan hukum memang ada yang melalui polisi, dituntut jaksa dan diproses di persidangan, dan untuk kejahatan (tindak pidana khusus), dimungkinkan penuntut umum langsung menyidik dan mempersiapkan tuntutan pada tersangka dan tertuduh, termasuk dalam perkembangan yang ada sehingga tidaklah keliru apabila penelitian hukum tentang pelaksanaan

164 Suharyo, Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum Tentang Masalah Hukum Pelaksanaan Putusan Peradilan Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2005), hlm. 26

Universitas Sumatera Utara

putusan pengadilan juga mengkaji dan memperhatikan sistem peradilan pidana (criminal justice system) secara keseluruhan.165

Hal ini beranjak dari rangkaian proses sistem peradilan, termasuk eksekusinya juga secara permanen melibatkan polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, bahkan dalam keadaan darurat dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat dalam pelaksanaan eksekusi misalnya berubah menjadi rusuh dan polici (lokal) tidak mampu mengatasi maka militer (tentara) terdekat dapat minta bantuannya. Khusus tentang pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman, serta pemidanaan bagi pihak-pihak sebagai tokoh di daerah yang melakukan tindak pidana dan pada saat yang bersamaan daerah tersebut sedang dilanda konflik kekecewaan, maka proses penegakan hukum sampai selesai dapat ditarik di pusat pemerintahan, namun yang jelas walaupun pemerintahan sekarang bertekad erat mewujudkan supremasi hukum, dan keadilan, serta menumbuhkan demokrasi, ternyata warga masyarakat menilai bahwa pemerintah belum bertindak maksimal.

Setelah selesai proses persidangan, maka hakim mengambil keputusan yang diucapkan dimuka sidang terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian perkara pidana tindak pidana narkotika dimana putusan hakim tersebut baru dapat dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan kembali dan grasi-grasi.166 Tugas pelaksanaan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuaan hukum

165 Ibid., hlm. 27

166 Ibid., hlm. 32

yang tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (jaksa). Pelaksanaan ptusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa yang untuk itu panitera mengirim salinan surat putusan padanya. Setelah jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah menjadi tetap dan panitera pengadilan, maka telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pelaksanaan putusan perkara pidana tidak luput dari permasalahan yang timbul terutama dalam hal pelaksanaan putusan pidana mati. Belakangan ini, pelaksanaan putusan pidana mati menjadi sorotan masyarakat atau lembaga terkait dan mempertanyakan keberadaan puluhan terpidana mati yang hingga saat ini belum dieksekusi. Terlepas dari permasalahan politis dan lainnya, permasalahan pelaksanaan putusan pidana mati dapat dilihat dari aspek yuridis, diantaranya:167 a. Jangka waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali, dimana terhadap

perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dan grasi. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya, dan permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.168 Dengan tidak dibatasinya jangka waktu permintaan peninjauan kembali mengakibatkan pelaksanaan pidana mati tidak dapat dilaksanakan dengan waktu yang telah direncanakan. Seperti yang terjadi

167 Ibid., hlm. 36

168 Pasal 263, Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Universitas Sumatera Utara

di baru-baru ini terhadap terpidana narkotika asal Filiphina, dimana terpidana mati yang sudah akan dieksekusi, tapi sehari sebelumnya dia mengajukan peninjauan kembali sehingga pelaksanaan hukuman mati itu ditunda.

b. Jangka waktu pengajuan permohonan grasi dimana dalam hal grasi, permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya atau keluarganya kepada presiden. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat megajukan permohonan grasi kepada presiden.

Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya atau keluarganya kepada presiden disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara tingkat pertama utuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui kepala lembaga pemasyarakatan tempat terpidana mejalani pidana, dalam hal ini kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.169 Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.170 Permohonan grasi tanpa batas waktu membawa konsekuensi yuridis pelaksanaan putusan pidana mati akan mengalami kendala waktu untuk dieksekusi sepanjang terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya belum

169 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

170 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

mengajukan grasi. Walaupun terpidana tidak mengajukan grasi tapi keluarganya belum bersikap untuk memohon grasi atau tidak maka pelaksanaan putusan mati belum bisa dilaksanakan.

Pengajuan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang diajukan kepada Mahkamah Agung, apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya, dan apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tntutan penuntut umum, putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Sedangkan grasi merupakan upaya hukum yang khas menjadi wewenang Presiden yang bebentuk pemberian pengampunan (grasi) dan diatur lebih lanjut dalam UU Grasi.171

Pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dimana pasal tersebut memuat ketentuan:

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.

(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

171 Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945

Universitas Sumatera Utara

(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal:

a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut atau

b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila kebijakan hukum pidana dimaksudkan sebagai upaya pembalasan akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara estetika terpidana harus menerima penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.172

Ketentuan kebijakan pelaksanaan pidana mati saat ini diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa bangsa dimana pada saat sebelum penetapan presiden yang berlaku adalah hukuman gantung.

Menurut ketentuan dalam penetapan presiden ini secara tegas-tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan, baik dilingkungan

172 Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 145

peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati dengan tata cara sebagai berikut:173

1. Kebijakan hukum pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.

2. Kebijakan hukum pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, keculai jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.174

3. Kepala Polisi Daerah bertanggung jawab untuk pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.

4. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Daerah lain, maka Kepala Polisi Daerah tersebut merundingkannya dengan Kepala Polisi Daerah lain itu.

5. Kepala Polisi Daerah atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan jaksa tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.

6. Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh jaksa tinggi.

7. 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.

8. apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi tersebut.

9. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.

10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.

11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

12. Untuk pelaksanaan pidana mati, Kepala Polisi Daerah yang bertanggung jawab membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI).

13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.

14. Regu penembak ini dibawah perintah jaksa tinggi sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

173 Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer

174 Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer

Universitas Sumatera Utara

15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.

16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.

17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.

18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.

19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut.

20. Jika dipandang perlu, jaksa tinggi dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan oleh jaksa.

22. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.

24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.

25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, komandan regu penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak segera memerintahkan kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.

27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter.

28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum jaksa memutus lain.

29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan yang dianut terpidana.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) setempat bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati, yang dimaksudkan dengan bertanggung jawab untuk pelaksanaan ialah bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati serta menyediakan

tenaga dan alat-alat yang diperlukan untuk itu. Tenaga yang dimaksud ialah membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang bintara, dua belas orang tamtama di bawah pimpinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile.

Semuanya ini berada dibawah perintah jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya sampai selesainya pelaksanaan pidana mati tersebut.175

Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tersebut. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan si terpidana dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana boleh berdiri, duduk atau berlutut.176

Jika dipandang perlu maka jaksa tersebut dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya atau diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi sepuluh meter dan tidak boleh kurang dari lima meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka jaksa tersebut memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati dan dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri

175 J. E. Sahetapy, Op. Cit., hlm. 67

176 Ibid., hlm. 59

Universitas Sumatera Utara

dari terpidana. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat komandan regu penembak memberikan perintah supaya bersiap kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

Apabila setelah penembakan itu terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati maka komandan regu segera memerintahkan kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana diminta bantuan seorang dokter. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum jaksa tersebut memutuskan lain.

Andaikan tidak ada juga kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarga atau sahabat terpidana, maka penguburan diselenggarakan oleh negara dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan yang dianut oleh terpidana.177 Jaksa tersebut harus membuat berita acara dari keseluruhan pelaksanaan pidana mati tersebut. Isi dari pada berita acara tersebut harus disalinkan ke dalam surat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ditanda-tangani olehnya.178

177 Ibid., hlm. 62

178 Ibid., hlm. 63

Pelaksanaan kebijakan hukum pidana (khususnya pidana mati) dapat dilihat dari pelaksanaan eksekusi dua terpidana bali nine yakni Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran yang merupakan warga asing berkebangsaan Australia. Andrew Chan, pada tanggal 14 Februari 2006 menerima putusan hukuman mati dari, kemudian melakukan banding kepada Pengadilan Tinggi Bali pada tanggal 26 April 2006, dan hukuman tidak berubah. Kemudian melakukan judicial review dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 13 Agustus 2010. Kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 10 Mei 2011, hukuman tetap tidak berubah.

Kemudian meminta grasi kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Januari 2015, dan permohonan grasi di tolak.

Myuran Sukumaran, dijatuhi hukuman mati pada tanggal 14 Februari 2006 oleh Pengadilan Negeri Denpasar, kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali pada tanggal 26 April 2006 hukuman tidak berubah, kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, hukuman tetap tidak berubah, kemudian melakukan permohonan grasi kepada presiden namun ditolak. Pelaksanaan kebijakan (khususnya pidana mati) terhadap dua bali nine yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang merupakan warga asing berkebangsaan Australia,, telah dilaksanakan eksekusinya bersama enam terpidana mati lainnya di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada hari Rabu tanggal 29 April 2015, jam 00.00 WIB.179

179 Harian Online Sinar Indonesia, Pelaksaan Hukuman Mati Duo Bali Nine Sesuai Jadwal, http://daerah.sindonews.com/read/974165/22/pelaksaan-hukuman-mati-duo-bali-nine-sesuai-jadwal-1425901486, (di akse terakhir tanggal 20 Agustus 2015).

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP WARGA NEGARA ASING PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA

A. Hambatan Pra Pelaksanaan Kebijakan Hukum Pidana (Khususnya Pidana