BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
1. Proses Pembelajaran di Kelas
Proses pembelajaran di kelompok eksperimen menggunakan strategi pembelajaran konflik kognitif. Pada setiap pertemuan, masing-masing siswa diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dapat membantu dan mengarahkan setiap siswa untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan mengenai bangun ruang sisi datar. Strategi konflik kognitif dalam penelitian ini terdiri dari 3 tahapan, yaitu: tahap pendahuluan (preliminary stage), tahap konflik kognitif (conflict cognitive stage), dan tahap penyelesaian (resolution stage).
Sebagai contoh, pada tahap pendahuluan dipertemuan kedua guru menampilkan kotak kue yang berbentuk kubus dan memberikan pertanyaan stimulus seperti, “Jika kalian membuka kotak kue ini, kemudian guntinglah searah dengan keempat rusuk tegaknya, maka bagaimana bentuk kotak kue itu
sekarang?”. Kemudian guru menampung berbagai variasi jawaban yang
diberikan siswa pada kelompok eksperimen. Berikut ini beberapa variasi jawaban siswa:
a. Bangun ruang akan berubah menjadi bangun datar.
b. Ada 6 buah persegi yang disalah satu sisinya saling berhimpit. c. Terbentuk jaring-jaring balok.
Sejak awal pembelajaran dengan menggunakan strategi konflik kognitif siswa sudah dilibatkan untuk berpikir. Makna belajar bukan berangkat dari sesuatu yang benar-benar belum diketahui, melainkan mengaitkan dari pengetahuan yang sudah dimilikinya. Senada dengan pandangan Jerome Burnner mengemukakan bahwa pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstruk) pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman/ pengetahuan yang sudah dimilikinya.3 Jeane dalam bukunya Educational Psychology Developing Learners mengatakan bahwa seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skema (pikiran dan
3
tindakan).4 Artinya beberapa siswa dikelompok eksperimen telah memiliki dan dapat mendayagunakan skemanya. Semakin sering skema yang dimiliki siswa ini dimodifikasi melalui adaptasi dengan lingkungannya (pengalaman) maka akan semakin baik pola kualitas skemanya. Dengan demikian, strategi konflik kognitif mendukung pengembangan skema siswa. Sementara guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana yang memudahkan siswa dalam memahami materi.
Berikut gambar kegiatan siswa pada tahapan pendahuluan di kelompok eksperimen.
Gambar 4.1
Kerjasama Siswa dalam Membuat Jaring-Jaring
Pada Gambar 4.1 merupakan contoh kegiatan siswa pada tahapan pendahuluan yaitu siswa bekerja secara kelompok. Ada siswa yang bertugas menggunting model prisma, sementara yang lain menyebutkan dan mencatat rusuk mana yang digunting agar menjadi jaring-jaring. Disini nampak tanggung jawab individu pada kelompok. Masing-masing memiliki peranannya dan beraktivitas menuju tujuan bersama. Bertukar peran dapat dimungkinkan pada pertemuan berikutnya sehingga masing-masing siswa dapat menguasai materi pelajaran secara keseluruhan.
Berikut ini gambar hasil pekerjaan siswa pada tahap pendahuluan di kelompok eksperimen.
4
Jeane Ellis Ormrod, Buku Edisi Keenam Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Terj. dari Sixth Edition Educational Psychology Developing Learners oleh Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk, (Jakarta: Erlangga, 2008), Jilid 1, h. 38.
75
Gambar 4.2
Hasil Pekerjaan Siswa Pada Tahap Pendahuluan di LKS 2
Gambar 4.2 merupakan gambar tahap pendahuluan pada LKS 2, tahapan pendahuluan pada LKS ini masih “otoriter”, ditunjukkan pada siswa harus memotong rusuk yang telah ditentukan pada LKS sehingga menghasilkan berbagai macam jaring-jaring kubus. Hal ini dilakukan atas pertimbangan agar siswa secara sedikit demi sedikit diajak untuk belajar terbiasa dengan diterapkannya strategi konflik kognitif dalam proses pembelajaran. Pada LKS pertemuan selanjutnya siswa sendiri yang memutuskan rusuk yang akan digunting kemudian akan nampak kemampuan berpikir lancarnya dalam membuat beragam jaring-jaring bangun ruang dengan lengkap dan benar.
Menurut peneliti hal ini yang menyebabkan kemampuan berpikir lancar siswa tidak berkembang dengan baik. Otonomi siswa seharusnya diberikan oleh guru sejak awal. Siswa didorong untuk mencari jawaban sendiri dan membiarkan siswa berdasarkan pengetahuan awalnya untuk menggunting rusuk kubus. Sementara guru sebagai fasilitator tidak lagi bertindak diatas panggung, tetapi memandu siswa dari samping . Maknanya pada saat memberi bantuan guru dalam posisi sejajar dengan siswa.
Berikut contoh gambar hasil pekerjaan siswa pada LKS 3.
Gambar 4.3
Hasil Pekerjaan Siswa Pada Tahap Pendahuluan di LKS 3
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa siswa sudah mulai bisa dan terbiasa menggunakan strategi konflik kognitif dalam proses pembelajaran. Kemudian siswa dilatih untuk memformulasi rumus luas permukaan balok dan dilatih kemampuan berpikir lancar (fluency) dalam menentukan rusuk mana yang harus digunting, sehingga siswa dapat membuat berbagai macam bentuk jaring-jaring balok.
Kemudian siswa menemukan konsepnya sendiri mengenai jaring-jaring dan luas permukaan balok. Beberapa diantaranya mengungkapkan gagasan mengenai jaring-jaring bangun ruang sebagai berikut:
a. Jaring-jaring bangun ruang selalu berbentuk bangun datar, namun susunannya bisa diubah-ubah.
b. Jaring-jaring bangun ruang yang terbentuk bisa berbeda-beda sesuai dengan rusuk mana yang digunting.
77
c. Jaring-jaring bangun ruang adalah sebuah rangkaian. Jadi, apabila ada satu bidang yang terputus maka itu namanya bukan jaring-jaring lagi. d. Luas permukaan balok adalah luas jaring-jaring balok itu.
Dengan demikian kegiatan berpikir pada tahap pendahuluan ini merupakan suatu upaya untuk menarik informasi dari pengetahuan dan pengalaman. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap pendahuluan strategi konflik kognitif memenuhi prinsip – prinsip dasar konstruktivisme. Prinsip – prinsip konstruktivisme menurut pendapat Suparno, beberapa diantaranya pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial; pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar; siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah serta guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan berjalan mulus.5 Indikator kemampuan berpikir kreatif matematis yang dapat ditingkatkan dalam tahap ini adalah berpikir lancar, berpikir fleksibel, dan berpikir kebaruan.
Pada tahap konflik kognitif di setiap LKS terdapat soal-soal yang menimbulkan konflik secara kognitif bagi siswa serta mewakili indikator kemampuan berpikir kreatif matematis. Konflik berupa masalah terbuka yang mengandung miskonsepsi. Pada awalnya siswa membaca serta memahami sendiri soal-soal yang terdapat pada LKS tersebut, setelah itu guru mempersilahkan mereka untuk berdiskusi dengan kelompok. Diskusi kelompok ini dengan tujuan agar siswa terlatih bekerjasama, berkomunikasi, menumbuhkan rasa toleransi dalam perbedaan, saling memberi dan membagi ide dalam penyelesaian konflik, saling membantu dan berbagi informasi. Setiap anggota kelompok menuangkan hasil pemikiran dalam LKS yang dirancang oleh guru. Kemudian siswa merencanakan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan konflik beserta alternatifnya. Guru memfasilitasi kelompok siswa yang mengalami kesulitan. Sementara kelompok yang tidak
5
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 139.
mengalami konflik dapat membantu teman kelompoknya untuk menyelesaikan konflik.
Indikator kemampuan berpikir kreatif matematis yang dapat ditingkatkan dalam tahap ini adalah berpikir lancar, berpikir fleksibel, dan berpikir kebaruan. Berikut ini contoh variasi jawaban dua siswa dalam mengerjakan LKS pertemuan ke-1 “Sifat – sifat Prisma dan Limas”
Gambar 4.4
Contoh Jawaban Siswa yang Memiliki Kemampuan Berpikir Lancar
Gambar 4.5
Contoh Jawaban Siswa yang Belum Memiliki Kemampuan Berpikir Lancar
79
Nampak perbedaan jawaban kedua siswa tersebut. Pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa siswa dapat memberikan jawaban yang beragam dengan menggambarkan dua buah bangun datar yaitu prisma segitiga dan kubus. Sementara pada Gambar 4.5 menunjukkan bahwa siswa belum dapat memberikan jawaban yang beragam karena menggambarkan hanya satu buah bangun ruang, yaitu kubus. Dengan demikian siswa pada Gambar 4.4 dapat dikatakan memiliki kemampuan berpikir lancar (fluency) sedangkan siswa pada gambar 4.5 belum memiliki kemampuan berpikir lancar (fluency).
Pada tahap penyelesaian konflik setelah selesai berdiskusi dengan kelompok, kemudian salah satu kelompok yang bersedia mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Pada tahap ini siswa dapat membagi ataupun bertukar ide dalam penyelesaian soal konflik antar kelompok. Jika ada kelompok yang memiliki perbedaan dalam penyelesaiannya, maka kelompok ini diberi apresiasi oleh guru berupa kesempatan mempresentasikan idenya. Kemudian bersama-sama dengan siswa yang lain mendiskusikan kembali penyelesaian-penyelesaian dari kelompok tersebut. Sejalan dengan Utami, bahwa membangkitkan kreativitas di sekolah dapat dilakukan melalui hadiah. Hadiah yang terbaik untuk pekerjaan yang baik adalah yang tidak berupa materi (intangible), melainkan seperti kesempatan untuk menampilakan dan mempresentasikan pekerjaan, kata penghargaan, dan lainnya.6 Guru memfasilitasi pembahasan hasil-hasil diskusi siswa dan juga memberikan penguatan agar materi tidak menjadi bias bagi siswa. Tahapan ini diakhiri dengan pemberian stampel kreatif bagi kelompok yang telah mempresentasikan hasil diskusinya serta bagi siswa yang berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Berikut ini gambar contoh kegiatan siswa dalam tahapan penyelesaian konflik.
6
Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h.114.
Gambar 4.6
Perwakilan Kelompok Menuliskan Hasil Diskusi di Papan Tulis
Gambar 4.6 menunjukkan salah satu kegiatan siswa dalam tahap penyelesaian konflik kognitif yaitu perwakilan kelompok menuliskan hasil dikusi dari kelompoknya masing-masing yang kemudian siap untuk di diskusikan di kelas.
Sementara, pada kelompok kontrol proses pembelajarannya menggunakan strategi ekspositori. Tahapan pembelajaran dalam strategi ekspositori, yaitu persiapan, penyajian, menghubungkan, menyimpulkan, penerapan dan penutupan. Pada tahap persiapan guru mengkondisikan kelas, memberikan apersepsi, menyampaikan indikator pembelajaran, serta memotivasi siswa untuk belajar. Pada tahap penyajian guru menjelaskan materi sementara siswa memperhatikan dan mencatat penjelasan guru. Pada tahap menghubungkan, guru menghubungkan materi yang telah dipelajari melalui contoh–contoh soal. Misalnya, menghubungkan materi bangun ruang ini dengan materi luas dan keliling bangun datar, teorema phytagoras, serta bilangan berpangkat atau akar. Pada tahap menyimpulkan, siswa diberi kesempatan untuk bertanya-jawab dan mencatat kesimpulan materi yang diberikan oleh guru. Namun, kebanyakan disetiap pertemuan tidak ada siswa yang bertanya kepada guru. Pada tahapan penerapan, siswa diberikan soal-soal latihan yang ada pada buku paket, LKS (LKS dari sekolah) dan soal buatan peneliti. Sementara, guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan. Kemudian siswa diberi
81
kesempatan untuk menuliskan hasil pekerjaannya di papan tulis dan dibahas bersama-sama. Pada tahapan penutup, guru memberikan konfirmasi terhadap hasil pekerjaan siswa.
Pembelajaran dikelompok kontrol cenderung pasif, siswa hanya mendengarkan, mencatat, dan mengerjakan latihan-latihan soal. Berikut ini gambar contoh potongan soal LKS dari sekolah yang telah dijawab oleh siswa kelompok kontrol.
Gambar 4.7
Contoh Potongan Soal LKS Sekolah Kelompok Kontrol
Gambar 4.7 menunjukkan kurangnya ketelitian serta pemahaman materi siswa kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan kepasifannya itu. Siswa tidak bertanya jika ia tidak mengerti. Ketika dalam proses pembelajaran, siswa yang tergolong pintar saja yang terkadang bertanya, pertanyaannya pun terfokus pada pertanyaan prasyarat. Siswa pun enggan untuk memeriksa kembali atas jawaban serta cara penyelesaian yang dikerjakan. Selain itu, penyelesaian soal yang dilakukan pun masih mengikuti cara-cara/ jawaban dari guru.
Aktivitas siswa pada kedua kelompok terlihat berbeda ketika proses pembelajaran. Nampak pada kelompok eksperimen yang menggunakan strategi konflik kognitif aktivitas siswa dominan. Sebaliknya, pada kelompok kontrol yang menggunakan strategi ekspositori aktivitas guru yang mendominasi proses pembelajaran. Sehingga menyebabkan hasil pembelajarannya pun berbeda. Hasil
pembelajaran tidak saja meningkatkan pengetahuan, melainkan meningkatkan keterampilan berpikir. Semakin peserta didik aktif, pembelajaran akan semakin efektif. Hal ini sejalan dengan pendapat Eggen dan Kauchak yang menyatakan bahwa suatu pembelajaran akan efektif bila peserta didik secara aktif dilibatkan dalam pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan).7