BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
2. Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Matematika
2. Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Matematika
“Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.”24
Dalam penelitian ini strategi pembelajaran matematika yang digunakan adalah strategi konflik kognitif.
a. Pengertian Strategi Konflik Kognitif
Belajar menurut Anthony Robbins adalah proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah dipahami dan sesuatu
23
Ibid., h.10.
24
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 139.
17
(pengetahuan) yang baru. Senada dengan pandangan Anthony Robbins tersebut, Jerome Burnner mengemukakan bahwa pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstruk) pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman/ pengetahuan yang sudah dimilikinya.25 Jadi makna belajar di sini bukan berangkat dari sesuatu yang benar-benar belum diketahui (nol), tetapi mengaitkan dari dua pengetahuan yang sudah ada dengan pengetahuan baru sehingga menyatu menjadi pengetahuan yang lebih kompleks. Belajar bukan semata-mata mentransfer pengetahuan baru yang ada di luar diri seseorang, melainkan sebuah proses berpikir.
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransormasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Siswa harus bekerja memecahkan masalah, menemukan informasi, dan memberdayakan ide-ide agar dapat memahami dan menerapkan pengetahuan.
Prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivis menurut Suparno adalah sebagai berikut:26
1) Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial.
2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar.
3) Siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4) Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.
Jean Piaget penganut aliran kognitif mewakili teori konstruktivisme, menyebutkan bahwa “struktur kognitif merupakan kumpulan dari
25
Ibid., h.38.
26
skema (schemata).”27
Lebih lengkap lagi Jeane mendefinisikan bahwa “skema (schemes) merupakan kumpulan tindakan dan pikiran yang serupa, yang digunakan secara berulang dalam rangka merespon lingkungan.”28
Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Pada awalnya skema-skema tersebut bersifat motorik, namun seiring berlalunya waktu menjadi lebih bersifat mental, dan akhirnya abstrak. Skemata ini dimodifikasi terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya (pengalaman), sehingga menjadi terintegrasi satu sama lain. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut.
Proses adaptasi dengan lingkungannya ini dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, kerena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses akomodasi, skema yang ada memodifikasi diri atau menciptakan skema baru sehingga sesuai dengan stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan demikian proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan skema, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata secara kuantitas. Sedangkan pada akomodasi menghasilkan perubahan skemata secara kualitas.
Misalnya, bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pegintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada di benak
27
Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA- Universitas Pedidikan Indonesia (UPI), 2001), h. 38.
28
Jeane Ellis Ormrod, Buku Edisi Keenam Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Terj. dari Sixth Edition Educational Psychology Developing Learners oleh Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk, (Jakarta: Erlangga, 2008), Jilid 1, h. 41.
19
siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) inilah yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik.29
Jika asimilasi dan akomodasi terjadi secara bebas (tanpa konflik), maka dikatakan bahwa struktur kognitif berada dalam keadaan ekuilibrium dengan lingkungannya. Namun sebaliknya, jika asimilasi dan akomodasi tidak terjadi secara bebas (konflik) maka dikatakan bahwa struktur kognitif berada dalam keadaan disekuilibrium dengan lingkungannya atau ketidakseimbangan antara apa yang dipahami dengan apa yang ditemukan.
Keadaan disekuilibrium ini mungkin saja dialami oleh siswa karena situasi/ masalah yang sepenuhnya tidak dapat ditangani dengan skema yang ada. Hal ini terjadi karena siswa kekurangan data sehingga informasi yang didapat tidak cocok dengan pengetahuan atau struktur kognitif (schemata) yang dimiliki, sehingga informasi yang ada tidak dapat diasimilasi, akibatnya proses akomodasipun tidak terjadi terhadap informasi tersebut.30
Pada dasarnya siswa mencoba untuk mengurangi ketidakseimbangan dengan fokus pada stimulus yang menyebabkan disekuilibrium dan kemudian mengembangkan skema baru atau menyesuaikan skema lama hingga ekuilibrium pulih kembali. Proses pemulihan keseimbangan ini disebut ekuilibrasi. Menurut Piaget, pembelajaran bergantung pada proses ekuilibrasi ini. Ketika ekuilibrium terganggu, anak-anak mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya, secara kualitatif muncul cara baru untuk berpikir menyelesaikan masalah, dan anak-anak melangkah ke tahap perkembangan baru.31
29
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h.10-11.
30Dasa Ismaimuza, “Pembelajaran Matematika dengan Konflik Kognitif”, Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika, Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tadulako Palu, Palu, 2008, h. 164.
31
Robert E. Slavin, Buku Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik Terj. dari Educational Psycology: Theory and Practice oleh Marianto Samosir, (Jakarta: Indeks, 2008), Ed. Ke-8, Jilid 1, h. 44.
Jeane menyebutkan bahwa ekuilibrasi merupakan pergerakan dari ekuilibrium ke disekuilibrium dan kembali lagi ke ekuilibrium.32
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah konflik yang menyebabkan ketidaklancaran proses asimilasi dan akomodasi dapat memicu proses ekuilibrasi. Proses ekuilibrasi akan mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan peningkatan pengetahuan siswa. Namun, konflik harus dapat membuat siswa yang bersangkutan melakukan usaha untuk menjaga stabilitas mental dalam dirinya karena tanpa proses penyeimbangan ini, perkembangan kognitif seseorang justru akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur.
Sejalan dengan Bono yang menyebutkan bahwa satu-satunya metode yang tersedia untuk mengubah atau mengganti gagasan adalah konflik yang berlangsung dalam dua cara. Pada cara pertama terdapat konfrontasi langsung antara dua gagasan yang saling bertentangan, dimana terdapat gagasan yang mendominasi. Gagasan yang mendominasi ini menekan gagasan lainnya, namun tidak mengubah gagasan lainnya. Pada cara kedua terdapat konflik antara informasi baru dan gagasan lama. Akibat dari konflik ini gagasan lama diperkirakan akan berubah. Inilah metode ilmu pengetahuan yang selalu berupaya membangkitkan informasi baru guna menggoyahkan gagasan lama dan menghasilkan gagasan baru.33
Sebagai contoh disekuilibrium, Abby, 4 tahun, diberikan sepuluh manik-manik kayu (delapan berwarna cokelat dan dua berwarna putih), dan ditanyakan kepadanya “Mana yang lebih banyak manik-manik cokelat atau manik-manik kayu?” Abby menjawab bahwa terdapat lebih banyak manik-manik cokelat, dan ia tampaknya merasa senang dengan jawaban tersebut. Abby berada dalam kondisi ekuilibrium. Tampaknya Abby memiliki kesulitan membayangkan manik-manik cokelat sebagai anggota dari dua kategori (cokelat dan kayu) pada saat yang bersamaan, sehingga ia membandingkan manik-manik cokelat dengan manik-manik yang tersisa (yakni yang berwarna putih). Oleh karena itu, Abby diminta untuk menghitung manik-manik cokelat (ia menghitung delapan) dan kemudian menghitung manik-manik kayu (ia menghitung sepuluh). Kemudian ditanyakan lagi pada Abby “Jadi, mana lebih banyak, manik-manik cokelat atau manik-manik kayu?” Jika Abby mengenali inkonsistensi penalarannya––delapan tidak
32
Jeane Ellis Ormrod, Buku Edisi Keenam Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Terj. dari Sixth Edition Educational Psychology Developing Learners oleh Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk, (Jakarta: Erlangga, 2008), Jilid 1, h. 41.
33
Edward de Bono, Buku Berpikir Lateral, Terj. dari Lateral Thinking oleh Sutoyo, (tt.p.: Erlangga, 1991),Cet. 3, h. 9.
21
mungkin lebih banyak dari sepuluh––ia akan mengalami disekuilibrium. Pada titik ini ia mungkin mengorganisasikan ulang pemikirannya untuk mengakomodasi gagasan bahwa sejumlah manik-manik berwarna cokelat sekaligus terbuat dari kayu, sehingga harus digolongkan sekaligus ke dalam kedua kategori tersebut.34
Selanjutnya, Piaget percaya bahwa pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan sangat berperan penting agar terjadi perubahan perkembangan. Interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya perdebatan dan diskusi membantu untuk memperjelas pemikiran dan pada akhirnya menjadikannya lebih logis. Dengan demikian, dunia ini berfungsi sebagai sarana untuk memajukan perkembangan kognisi siswa jika menghadapkan mereka dengan pengalaman atau data yang tidak cocok dengan teori mereka sekarang.
Ada banyak istilah yang digunakan para peneliti dalam menggambarkan dan menjelaskan konflik kognitif, seperti ketidakcocokan kognitif (dissonance cognitive), kesenjangan kognitif
(gap cognitive), konflik konsep (conceptual cognitive),
ketidaksesuaian (discrepancy), disequilibrium, konflik internal (internal conflict).35
Konflik kognitif telah sejak lama diteliti sebagai strategi dalam pembelajaran, awalnya dalam pembelajaran fisika dan saat ini telah mengalami perkembangan sehingga strategi ini dapat juga digunakan dalam pembelajaran matematika diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Dasa Ismaimuza pada tahun 2008 mengenai pembelajaran matematika dengan konflik kognitif, Pada tahun 2009 Lucy Sayce mengemukakan tahapan-tahapan pelaksanaan konflik kognitif dalam pembelajaran matematika dalam “The Route to Cognitive Conflict”, serta Asdar pada tahun 2012 melakukan penelitian pengembangan desain pembelajaran berorientasi model konflik konseptual dalam pemecahan masalah matematika (MKKPM) pada materi geometri.
“The cognitive conflict strategy is based on the idea that by
introducing anomalous data or discrepant events into learning, learners
34
Jeane Ellis Ormrod, op. cit.., h. 42-43.
35Dasa Ismaimuza, “Pembelajaran Matematika dengan Konflik Kognitif”, Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika, Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tadulako Palu, Palu, 2008, h. 158.
are caused to recognize that their existing understanding cannot explain
the evidence presented.”36
kutipan tersebut menjelaskan bahwa strategi konflik kognitif adalah strategi yang berdasarkan ide dengan mengajukan data yang menyimpang atau kejadian yang tidak sesuai ke dalam pembelajaran, sehingga siswa mengakui bahwa pemahamannya tidak dapat menjelaskan fakta yang disajikan.
Strategi ini berkembang berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa pengetahuan siswa sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka mempelajari pengetahuan yang baru dan membentuk gambaran ide yang baru. Setelah siswa menyadari bahwa pemahaman awalnya tidak sejalan dengan pengetahuan barunya, disinilah peran guru untuk memberikan scaffolding. Teman pun bisa menjadi scaffolding bagi siswa yang mengalami konflik kognitif tersebut. Selain melalui scaffolding, konflik pada siswa juga dapat diselesaikan dengan membaca buku, melakukan observasi/eksperimen, diberikan kontradiksi, analogi, contoh-contoh tandingan, atau berdiskusi. Guru memberikan siswa waktu untuk merubah ide nya.
Strategi konflik kognitif merupakan strategi alternatif dalam pembelajaran matematika yang sengaja menghadirkan konflik kognitif (data yang menyimpang atau situasi yang tidak sesuai) sebagai upaya untuk membiasakan siswa dan memberi pengalaman bagaimana menghadapi suatu situasi yang tidak dikehendaki, memberi tantangan dan kesempatan kepada siswa untuk memantapkan pengetahuan dan keterampilan berpikir matematis yang dimilikinya, dalam hal ini berpikir kreatif matematis. Jika sudah mencapai proses equilibrium (konflik terselesaikan), perkembangan kognitif siswa akan berjalan dengan lancar. Artinya, informasi baru dapat disimpan dalam bentuk jaringan yang saling berkaitan dengan informasi sebelumnya. Selanjutnya menurut Tulving, informasi baru yang cocok masuk ke dalam suatu skema yang telah
36
David Heywood dan Joan Parker, Contemporary Trends And Issues In Science Education The Pedagogy of Physical Science, (London: Springer, t.t.) p. 66.
23
dikembangkan dengan baik terserap jauh lebih cepat daripada informasi yang tidak cocok masuk kedalam suatu skema.37
b. Tahapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi Konflik Kognitif Menurut Lee dan Kwon strategi konflik kognitif memiliki 3 langkah, yakni preliminary stage, conflict stage, and resolution stage.38
Tahap-tahap pembelajaran pada penelitian ini didesain sebagaimana sintaks berikut ini:
1) Preliminary stage
Sebelum melaksanakan proses pembelajaran guru mengidentifikasi miskonsepsi yang umum terjadi pada siswa. Kemudian miskonsepsi ini dihadirkan dalam bahan ajar pada proses pembelajaran.
Pada tahap kegiatan inti dalam proses pembelajaran diawali dengan prakonsepsi. Pada kegiatan prakonsepsi guru memfasilitasi siswa memperoleh pengetahuan awal. Kemudian, pengetahuan awal ini akan dibawa kepada suatu pengalaman belajar atau informasi baru.
2) Conflict stage
Konflik kognitif yang dihadirkan pada tahap ini berupa miskonsepsi atau masalah non rutin yang mengkonflikkan prakonsepsi siswa dalam prakonsepsi. Pada tahap ini siswa memahami konflik secara individual dan mendiskusikan hasil pemikiran melalui belajar kelompok dengan tujuan agar siswa terlatih bekerjasama, berkomunikasi, menumbuhkan rasa toleransi dalam perbedaan saling memberi ide dalam penyelesaian konflik, saling membantu dan berbagi informasi. Setiap anggota kelompok menuangkan hasil pemikiran dalam LKS yang dirancang oleh guru. Kemudian siswa merencanakan
37
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 36.
38Gyoungho Lee dan Kwon Jaesool,”What Do We Know About Students’ Cognitive Conflict
In Science Classroom: A Theoretical Model of Cognitive Conflict Process”, Prosiding Annual Meeting of the Association for the Education of Teachers in Science, Costa Mesa, CA, 18-21 Januari, 2001, h. 10.
strategi yang digunakan untuk menyelesaikan konflik beserta alternatif nya.
3) Resolution stage
Pada tahap ini guru mengorganisasikan siswa untuk belajar dan mengatasi konflik sesuai rencana pada tahap sebelumnya. Guru atau siswa yang tidak mengalami konflik dapat memberikan batuan berupa pertanyaan-pertanyaan bertahap (scaffolding), demonstrasi, analogi, contoh-contoh tandingan (counter example), atau eksperimen kepada siswa yang tidak dapat menyelesaikan konflik. Selama siswa mengalami konflik, pada saat itu juga guru perlu mengamati perilaku yang ditampilkan siswa tersebut. Kemudian siswa mengecek kembali resolusi konflik secara berkelompok.
Setelah resolusi konflik diperoleh, guru memfasilitasi siswa untuk mengembangkan dan menyajikan hasil pemecahan masalah
(communication). Kriteria untuk memilih hasil diskusi kelompok yang
dipresentasikan antara lain jawaban kelompok berbeda dengan jawaban dari kelompok lain, ada ide penting dalam hasil diskusi kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus. Dengan demikian kelompok penyaji bisa lebih dari satu. Kelompok lainnya diberi kesempatan untuk menanggapi berupa kritikan disertai alasan-alasan, masukan bandingan pemikiran, sesekali guru mengajukan pertanyaan yang dapat ditanggapi oleh semua kelompok.
Tahapan ini diakhiri dengan evaluasi dan refleksi. Guru memfasilitasi pembahasan hasil-hasil pemecahan masalah yang dilakukan kelompok siswa. Memberikan stempel kreatif bagi siswa yang aktif dan memotivasi siswa yang belum aktif. Siswa mengevaluasi pemecahan masalah tersebut dan memperkuat atau merekonstruksi pemahaman konsep yang telah dimilikinya.
25
3. Strategi Ekspositori dalam Pembelajaran Matematika