• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

C. Budaya Religius Sekolah

2. Proses Terbentuknya Budaya Religius di Sekolah

Menurut Ndaraha budaya berbentuk prescriptive serta terprogram sebagai learning process atau solusi atas suatu masalah. Pertama-tama ialah pembentukan budaya religius sekolah melalui penurutan, peniruan penganutan dan penataan pada scenario dari pelaku budaya . Pola ini biasa disebut pola pelakonan,dengan model yaitu:

Gambar 2.1 Pola Pelakonan

Kedua yaitu pembentukan budaya yang terprogram dengan learning process. Bermula dari elaku budaya dan suara kebenaran., keyakinan, anggapan dasar atau dasar yang di jadikan pendirian dan di realisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan prilaku. Kebenaran didapatkan dengan pengalaman dan pengkajian trial and error dan pembuktiannya peragaan

Tradisi perintah Penurutan Peniruan Penganutan Penataan Skenario dari luar, dari atas

pendiriannya. Hal itu yang menyebabkan aktualisasi disebutpola peragaan. Berikut ini modelnya :

Gambar 2.2 Pola Peragaan

Budaya religius yang di sekolah di realisasikan dalam dan luar pelaku budaya melalui dua cara. Realisasi budaya yang terjadi secara overt dan ada yang overt. Yang pertama adalah aktualisasi budaya yang berbeda antara aktualisasi budaya kedalam dengan keluar ini yang disebut covert yaitu seseorang yang tidak berterus terang , berpura-pura lain di mulut lain dihati, penuh kiasan dalam bahasa lambang, ia diselimuti rahasia. Yang kedua adalah aktualisasi budaya yang tidak menunjukkan adanya perbedaan aktualisasi kedalam dengan aktualisasi keluar ini disebut dengan overt. Pelaku overt ini langsung berterus terang dan langsung pada pokok pembicaraan.

Berkaitan dengan hal diatas, menurut Ahmad tafsir strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius di sekolah diantaranya adalah melalui : 1) memberikan contoh, 2) membiasakan hal-hal yant baik, 3) menegakkan disiplin, 4)memberikan motivasi dan

PENDIRIAN di dalam diri

pelaku budaya Sikap Prilaku Penurutan

dorongan, 5) memberikan hadiah terutama psikologis, 6) menghukum, 7) penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.96

Dengan demikian secara umum ada empat komoponen pendukung terhadap keberhasilan memenej pembelajaran PAI dalam mewujudkan budaya religius di sekolah yaitu pertama kebijakan pimpinan sekolah yang mendorong terhadap menejemen pembelajaran PAI, kedua keberhasilan kegiatan pembelajaran PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama, ketiga semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler di bidang agama yang dilakukan oleh para pengurus OSIS khususnya seksi agama dan keempat dukungan warga sekolah terhadap keberhasilan memenej pembelajaran PAI.

Sedangkan strategi dlam mewujudkan budaya religius di sekolah meminjam teori koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan, meniscayakan upaya pengembangan dalam tiga tataran yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktek keseharian, dan tataran symbol-simbol budaya.

Pada tataran nilai yang dianut perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah utnuk selanjutnya membangun komitmen dan loyalitas bersama diantara semua warga sekolah terhadap nilai yang telah disepakati. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hilman dan Silva97 bahwa terdapat tiga langkah untuk mewujudkan budaya yaitu : commitmnet, competence, dan consistency. Sedangkan nilai-nilai yang disepakati tersebut bersifat vertical dan horizontal.

96

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004, h. 112

97

Hickman dan Silva dalam Purwanto, Budaya Perusahaan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1984, h. 67

Yang vertical berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah SWT dan yang horizontal berwujdu hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya dan dengan alam sekitar.

Dalam tataran praktik keseharian nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwiujudkan dalam bentuk sikap dan prilaku kesahrian oleh semua warga seklolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan denga tiga tahap yaitu : pertama sosialisasi nilai-nilai agama yang telah disepakati sebagai sikap dan prilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua penetapan action mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga memberikan penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru , tenaga kependidikan atau siswa sebagai usaha pembiasaan yang menjunjung sikap dan prilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang dispakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi melainkan juga dalam arti social, cultural, psikologik ataupun lainnya.

Dalam tataran symbol-simbol budaya , pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan symbol-simbol yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan dengan mengubah berpakaian dengan prisnip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto dan motto yang mengandung pesan-pesan dan nilai keagamaan.

Adapun strategi utnuk mebudayakan nilai-nilai agama di sekolah dpat dilakukan melaui : 1) power, yani strategi pembudayaan di sekolah dengan cara menggunakann keukuasaan atau melalui people power, dalam hal ini peran kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalm melakukan perubahan, 2) persuasive strategi, yang dijalankan lewat opini dan pendapat masyarakat atau warga sekolah dan 3) normative re-educative. Norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatan lewat education. Normative digandengkan dengan re-educative untuk menanamkan dan mengganti paradigma berfikir warga sekolah yang lama dengan yang baru.

Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward dan punishment. Allah SWT memberikan contoh dalam hal shalat agar manusia melaksanakan dalam setiap waktu dan setiap hari, maka diperlukan hukuman yang sifatnya mendidik, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :

Artinya :

“Ajarilah anak shalat oleh kalin sejak usia 7 tahun dan pukullah dia karena meninggalkannya bila telah berusia 10 tahun. “

Sedangkan pada strategi kedua dan strategi ketiga tersebut

dikembangakn melalui pembiasaan dan keteladanan dan pendidikan persuasive atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatnnya bisa

berupa aksi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi yaitu membuat aksi atas inisiatif diri sendiri , jenis dan arah ditentukan sendiri , tetapi membaca munculnya aksi-aksi dengan nilai-nilai aqidah dan akhlak islam yang dikembangkan melalui proses keterpaduan antara pengetahuan, perasaan atau penghayatan dan tindakn sehingga siswa memiliki karakter sebagai seorang muslim yang shaleh.98