• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres Kerja

5. Proses Terbentuknya Somatisasi

Proses terbentuknya somatisasi dimulai sejak kecil, khususnya dipelajari orang-orang terdekat dalam kehidupan individu (Ford 1983). Setiap orang akan menunjukkan perilaku yang berbeda dalam mempersepsi serta mengevaluasi simptom-simptom fisik yang dialami.

Liposwski (dalam Ford, 1983) mengkategorikan beberapa kemungkinan yang dapat timbul pada diri seseorang dalam mempersepsi, mengevaluasi sakit yang dialami terlepas dari penyakit yang sesungguhnya. Seseorang mungkin menginterpretasikan penyakit sebagai suatu pembebasan. Sakit yang dirasakan dapat diharapkan sebagai penangguhan harapan-harapan, tuntutan dan tanggung jawab sosial.

Kemungkinan lain, penyakit dapat pula dipandang sebagai suatu strategi untuk mengatasi tuntutan hidup. Persepsi dan evaluasi ini akan menghasilkan perilaku yang berbeda-beda yang akan mereka tampakkan berkaitan dengan persepsi dan eveluasinya tersebut. Hal ini oleh Mechanic (dalam Ford 1983) disebut sebagai perilaku sakit (illness behavior). Perilaku sakit sering pula tidak dapat dipisahkan dari stres yang dialami individu.

Gangguan somatisasi disebabkan oleh keluhan somatik yang kronik dan terjadi berulangkali. Orang-orang dengan gangguan somatisasi percaya bahwa mereka akan memberikan alas an yang panjang lebar untuk meyakinkan orang lain tentang keadaan dirinya keluhan dalam gangguan somatisasi biasanya digambarkan secara dramatis, tidak jelas dan dilebih-lebihkan.

Menurut Sarasan dan Sarasan (1993) orang-orang yang somatisasi terkesan tidak matang dan sangat mudah dirangsang. Ternyata tidak sedikit orang menggunakan somatisasi ini sebagai kebiasaan untuk menghindari masalah-masalah dalam hidupnya, tugas dan tanggungjawab.

Perilaku sakit dimulai dari persepsi seseorang dari symptom-simptom fisik yang dialaminya, eveluasinya tentang tingkat keparahan symptom-simptom tersebut dan berbagai tindakan yang dialaminya sebagai suatu strategi untuk mengatasi tuntutan hidup.

Hal-hal yang melekat pada peran sakit antara lain:

a. Orang sakit dibebaskan dari kewajiban-kewajiban kemasyarakatan yang berlaku pada situasi normal dan umum

b. Orang sakit tidak dapat disalahkan karena kondisinya, dia tidak dapat diharapkan untuk sembuh hanya dengan kekuatan sendiri dan dia harus dirawat oleh orang lain

Bagaimanapun juga peran sakit kadangkala dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu dalam kehidupan, tetapi masyarakat tidak dapat menerima gangguan emosional atau kesulitan dalam menghadapi masalah hidup sebagai alasan untuk memainkan peran sakit.

Menurut Meiwati (2002) hak-hak yang melekat pada peran sakit yaitu dibebaskan dari kewajiban-kewajiban soial kemasyarakatan, misalnya masuk sekolah atau bekerja dan tidak dapat disalahkan mengingat keterbatasan kondisinya sehingga seseorang tidak diharapkan sembuh hanya dengan kemauannya sendiri, tetapi harus mendapatkan perawatan dari orang lain. Menurut Ford (1983) seseorang dapat mempelajari somatisasi sebagai salah satu cara melarikan diri dari tanggung jawab dari orang-orang terdekat seperti orang tua dan saudara-saudaranya.

Disini dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya somatisasi karena interpretasi sakit sebagai suatu pembebasan dan strategi untuk menghindarkan diri dari masalah tuntutan-tuntutan hidup dan tanggung jawab. Dimulai dari persepsi seseorang atas simptom-simptom fisik yang dialaminya. Karena orang sakit dapat terbebas dari kewajiban-kewajiban sosial dan tidak dapat disalahkan Karena kondisinya.

Menurut Kisker (1997) berkembangnya reaksi somatisasi secara tidak disadari juga berkaitan dari adanya kebutuhan untuk sakit. Timbulnya gangguan somatisasi ini karena adanya konflik yang tidak disadari dengan menjadi sakit maka kebutuhan yang tidak disadari itu akan dapat terpuaskan. Akibatnya kecenderungan semacam ini akan selalu diulang bila kebutuhan-kebutuhan yang tidak disadari tersebut mendesak untuk dipuaskan.

Lazarus (1976) seorang ahli stres yang menyatakan bahwa individu yang menghadapi lingkungan baru atau lingkungan yang berubah, akan terlibat dalam proses penilaian untuk menentukan arti dari peristiwa yang terjadi dalam lingkungan tersebut. Peristiwa ini mungkin dilihat sebagai sesuatu yang positif atau normal atau negatif termasuk konsekwensinya. Peristiwa-peristiwa negatif mempunyai kemungkinan adanya bahaya ancaman.

Biasanya tidak semua gangguan terdapat pada seseorang, dan pada masing-masing orang bentuk gangguannya tidak selalu sama. Biasanya gangguan somatisasi ini menyerang bagian tubuh yang paling lemah dari orang tersebut. Durbar (dalam Kisker 1977) menyatakan bahwa jenis

somatisasi yang menyerang organ tubuh seseorang tergantung juga pada kepribadian seseorang. Tidak ada batasan usia yang jelas mengenai penderita somatisasi ini, tapi Maxwen (dalam Ford, 1983) mengatakan bahwa gangguan somatisasi meningkat pada usia remaja akhir dan seterusnya gangguan ini turun naik terpengaruh oleh tekanan-tekanan yang datang dari lingkungan.

Seseorang dengan gangguan somatisasi biasanya mempunyai sejarah panjang terhadap keluhan yang berhubungan dengan penyakit fisik yang ringan dan dimulai sebelum berusia 30 tahun sedangkan menurut Ford (1983) seseorang menderita somatisasi biasanya dimulainya sebelum berusia 35 tahun. Jadi somatisasi adalah keluhan fisik atau stres yang telah menetap lama (membadan) dan menyebabkan individu merasakan sakit secara fisik.

Ada beberapa manfaat yang diharapkan oleh orang yang melakukan somatisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Menurut Ford (1983) kegunaan psikologis dan keuntungan pribadi yang diperoleh dari somatisasi.

Contoh kegunaan psikologis dari Somatisasi yaitu, pertama sebagai pemindahan emosi yang tidak mengenakkan pada simptom fisik misalnya preokupasi terhadap fungsi usus besar yang tidak berjalan lancar untuk mengganti depresi. Kedua simptom digunakan untuk berkomunikasi melalui cara-cara simbolik, misalnya kelumpuhan histeris untuk menyatakan perasaan tidak berdaya. Ketiga yaitu dapat mengurangi rasa bersalah melalui penderitaan, misalnya menderita sakit yang tidak menentu dan tidak sembuh-sembuh setelah kematian orang yang penting dalam hidupnya. ]

Contoh keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh melalui somatisasi antara lain, adanya kemampuan untuk memanipulasi hubungan antar pribadi, misalnya istri menolak ajakan intim suami dengan alasan sakit kepala. Keuntungan lainnya adalah dapat menghindari tugas dan tanggung jawab, seperti tanggung jawab pekerjaan.

Keuntungan finansial, misalnya menerima asuransi bila sakit dan dirawat di rumah sakit. Memperoleh perhatian dari orang lain, misalnya ketika sakit merasa orang memperhatikannya, dengan menjenguk atau menanyakan keadaannya.

Menurut Cameron (1963) ada beberapa keuntungan dengan melakukan somatisasi, yaitu dengan menjadi sakit secara fisik dirasa lebih terhormat daripada penyakit neurotis yang kelihatan lemah dan tidak terhormat atau sering dikatakan gila. Somatisasi memberikan hak-hak istimewa pada pasien tanpa berhubungan dengan rendahnya harga diri. Gangguan somatisasi sering melibatkan kecemasan yang berlebihan yang mudah ditahan daripada kecemasan sekunder yang didasarkan pada konflik impuls masa kanak-kanak yang tidak disadari dimana orang tidak dapat mengendalikan dan mengenalinya. Penderita somatisasi akan menggunakan sakit fisiknya untuk mendapatkan perhatian, perawatan dan kasih sayang yang tidak ia dapatkan jika dalam keadaan sehat.

Dokumen terkait