• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan stress kerja dilihat dari sumber stres dengan somatisasi karyawan PT. Mataram Tunggal Garment Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan stress kerja dilihat dari sumber stres dengan somatisasi karyawan PT. Mataram Tunggal Garment Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN STRES KERJA DILIHAT DARI

SUMBER STRES DENGAN SOMATISASI

KARYAWAN PT. MATARAM TUNGGAL GARMENT

YOGYAKARTA

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Psikologi

Oleh :

Nama : Agustinus Santoso Budi Susilo NIM : 989114144

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk

:

1. My Savior Jesus X’Tus,

thanks 4 e’thing U’ll give 2 me

2. Alm. Bapak, suami, sahabat kami yang tercinta Bapak

Martinus Widodo Teguh

Santoso di kerajaan surga.

Terima kasih untuk

‘tempaanmu’ kepadaku

untuk dapat menjadi

generasi mandiri dan bukan generasi ‘kere’.

3. Ibu yang selalu mendoakan

aku di Jogja agar bisa

menjadi ‘orang’

4. Kakak-kakakku tercinta yang selalu membimbingku baik

dalam segi dorongan untuk menyelesaikan studi ini juga dalam dukungan dana

5. Bapakku kedua tercinta

Bapak Bijono dan Mamaku

tersayang yang selalu

menyayangiku seperti

menyayangi anak-anaknya

sendiri, juga buat adik-adik

tersayang Ikrar, Adjie,

Reko... always love you all

6. My Beloved Lucia Nian

Pakerti, kita jalani lagi

berdua proses kehidupan

selanjutnya sayang...

7. Paulus Lidi dan Kian

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Desember 2006

Agustinus Santoso BS

(6)

ABSTRAK

Hubungan Stres Kerja yang dilihat dari sumber stres dengan Somatisasi Karyawan PT. Mataram Tunggal Garment, Yogyakarta

Agustinus Santoso BS 989114144

Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada atau tidaknya hubungan antara Stres kerja yang dilihat dari sumber stres dengan somatisasi pada karyawati PT. Mataram Tunggal Garment, Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan berdasarkan latar belakang bahwa banyak muncul fenomena karyawan mengubah dirinya menjadi sakit (perilaku sakit) untuk melarikan diri dari berbagai permasalahan stres kerja di perusahaan. ‘Perilaku sakit’ sebagai coping dianggap karyawan sebagai suatu pembebasan, penangguhan harapan-harapan dan tuntutan serta tanggung jawab sosial. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawati usia 20-50 tahun sebanyak 80 orang. Teknik pengumpulan data penelitian ini dengan menggunakan dua skala psikologi yaitu skala stres kerja dan skala somatisasi. Skala dibagikan kepada karyawati dan dikerjakan di rumah karena akan mengganggu produktivitas kerja bila langsung dikerjakan di pabrik.

Analisa hasil penelitian ini menggunakan teknik Korelasi Product Moment

dari Pearson. Hasil analisis penelitian memperoleh nilai koefisisen korelasi antara stres kerja sebagai variabel bebas dengan somatisasi sebagai variabel tergantung, sebesar r = 0,398 ( p< 0,01 ). Ini berarti bahwa ada hubungan positif antara stres kerja dengan somatisasi. Korelasi yang positif ini menunjukkan bahwa semakin tinggi stres kerja maka semakin tinggi somatisasi.

(7)

ABSTRACT

The Correlation between a Work Stress is looked at from Stressor and Somatization PT. Mataram Tunggal Garment, Yogyakarta Employees

Agustinus Santoso Budi Susilo 989114144

The purpose of research to know that there are have or doesn’t have correlation between a Work Stress is looked at from Stressor and Somatization for PT. Mataram Tunggal Garment Yogyakarta employees. The research has performed based on the background with phenomena from employees change themselves be sick to run away from a work stress problem in the company. The illness behavior as coping employees as a freedom, to run away from their expectation, claim and social responsibility.

The subject in research were the employees 20-50 years, they were 80 people. The technical of data collecting uses two psychology scale are a work stress and somatization scale. The scale was given to employees and it was done at home because would disturb the work produktivitas if it was done in the factory.

The research result analysis uses Product Moment Correlation technical from Pearson. The research analysis result got correlation coefficient between work stress as free variable and somatization as hanging variable is r = 0,398 ( p<0,01 ). This means that have positive correlation between work stress and somatization. The positive correlation to show that the higher work stress, the higher somatization.

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan, bimbingan dan saran kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. dan Bapak Y. Agung Santoso, S.Psi., selaku dosen pembimbing, yang telah merelakan waktunya untuk memberikan bimbingan.

2. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji, saya sangat mengharap segala kritik serta saran yang membangun.

3. PT. MTG, Bpk. Eben Ezer selaku Manager Personana & Umum, Ibu Maria Vitarina (Staf Personalia) dan seluruh karyawati yang telah membantu penelitian ini.

4. Teman-teman Psikologi Sunu Cempe, Ardi Kebo, Den Baguse Ngarso Bram, Fajar Japra, Arie Koebis, Moa Pao, Martin Markon, Kowuk, Amek, Dili, Radix, Gendute Dea

5. Semua Scooterist Jogja, terima kasih atas pertemanannya, always Brotherhood dan semua Pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu...Maturnuwun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERSEMBAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja ... 8

1. Defenisi Stres Kerja ... 8

2. Pengaruh Stres pada Pikiran, Emosi dan Perilaku ... 9

3. Penyebab Timbulnya Stres Kerja ... 11

4. Akibat dari Stres Kerja ... 27

5. Penghayatan Subyektif ... 29

B. Somatisasi 1. Defenisi Somatisasi ... 31

(11)

2. Bentuk – bentuk Somatisasi ... 34

3. Simptom – simptom Somatisasi ... 35

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Somatisasi ... 37

5. Proses Terbentuknya Somatisasi ... 42

6. Sakit Sebagai Cara Pengatasan Masalah ... 46

C. Hubungan antara Stres Kerja dengan Somatisasi... 47

D. Hipotesis ... 50

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ... 51

B. Definisi Operasional ... 51

C. Subjek Penelitian ... 52

D. Teknik Pengumpulan Data ... 52

E. Validitas dan Reliabilitas ... 55

F. Metode Analisis Data ... 56

BAB IV. HASIL DAN ANALISIS DATA A. Persiapan Penelitian ... 57

B. Pelaksanaan Penelitian ... 61

C. Deskripsi Data Penelitian ... 61

D. Analisis Hasil Penelitian ... 62

E. Pembahasan ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel Aspek Stres Kerja... 27

2. Sebaran Item Stres Kerja Sebelum Diujicobakan... 54

3. Sebaran Item Somatisasi Sebelum Diujicobakan... 55

4. Sebaran Item Stres Kerja Setelah Ujicoba... 60

5. Sebaran Item Somatisasi Setelah Ujicoba ... 61

6. Hasil Uji Normalitas... 63

7. Hasil UjiLineritas... 64

8. Hasil Uji Korelasi Product-Moment Stres Kerja dengan Somatisasi... 65

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema Model Stres ... 31 2. Skema Hubungan Stres Kerja yang dilihat dari sumber stres dengan

Somatisasi... 74

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skala Stres Kerja dan Somatisasi (Ujicoba) ...78

2. Data Stres Kerja dan Somatisasi (Ujicoba)...79

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ...80

4. Skala Stres Kerja dan Somatisasi (Penelitian) ...81

5. Data Stres Kerja dan Somatisasi (Penelitian)... 82

6. Hasil Analisis (Normalitas, Linearitas, Korelasi) ... 83

7. Surat Keterangan Penelitian ...84

(15)

HUBUNGAN STRES KERJA DILIHAT DARI

SUMBER STRES DENGAN SOMATISASI

KARYAWAN PT MATARAM TUNGGAL GARMENT

YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia seringkali dihadapkan pada masalah hidup yang mau tidak mau harus dihadapi untuk dapat mencapai hidup yang lebih baik. Segala sesuatu yang dapat menyebabkan kita menjadi stres disebut sebagai sumber stres. Berawal dari sumber stres yang berasal dari situasi dan kondisi yang kita jumpai sehari-hari, seperti kematian pasangan hidup, saat pertama mulai bekerja, bertengkar dengan atasan dan sebagainya. Sumber stres kemudian dinilai oleh individu, apakah hal itu sebagai hal yang normal-normal saja atau sebagai sesuatu yang positif yang bisa membangkitkan semangat hidupnya atau malah dinilai individu sebagai sesuatu yang negatif yang dapat mengancam hidupnya. Bila seseorang menilai dirinya mampu mengatasi situasi dan kondisi tersebut, maka situasi dan kondisi tersebut tidak dinilai sebagai stres.

Umumnya kasus-kasus yang berkaitan dengan stres banyak dijumpai di dalam lingkungan kerja atau organisasi (Matesson & Ivancevich, 1982;Robbins, 1993). Sebagian besar waktu yang kita miliki digunakan untuk bekerja atau untuk kegiatan yang berhubungan dengan karir. Dalam dunia kerja khususnya, karyawan dihadapkan pada berbagai sumber stres baik dari segi

(16)

internal maupun dari segi eksternal. Sumber stres dari segi eksternal seperti tugas-tugas, peran karyawan di perusahaan dan di lingkungan fisik serta lingkungan sosial yang berada di sekitar perusahaan. Sumber stres dari segi internal yaitu seperti dari karakteristik personal individu itu sendiri seperti kepribadian, usia, kemampuan intelektual dan gaya kognitif yang mempengaruhi cara seseorang untuk menanggapi lingkungan kerja yang berpotensi membawa stres (Edward, 1988) dalam Cooper & Payne (1991).

(17)

keluhan fisik yang menetap lama dan menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis tetapi tidak ada dasar fisik yang dapat ditemukan. Dalam dunia kerja, somatisasi timbul sebagai salah satu cara yang digunakan oleh karyawan secara tidak langsung untuk mengatasi stres kerja dengan cara menjadi sakit atau melalui keluhan fisik. Cara ini merupakan bentuk penyesuaian diri yang sering digunakan untuk menghindari tanggung jawab (Schneiders, 1984).

Somatisasi disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor budaya, kepercayaan diri, tekanan psikososial, dukungan sosial dan sakit sebagai pengatasan masalah. Penjelasan budaya tentang keluhan sakit seseorang berkaitan dengan perasaan sakit dan makna sakit yang berhubungan dengan norma, meliputi beratnya simptom individu, ciri khas simptom individu dan identifikasi kondisi sakit menurut budaya setempat. Masing-masing budaya mempunyai konsep sendiri tentang status sakit, meskipun ada konsep universal tentang status sakit seperti dalam DSM IV. Pada suatu budaya tertentu, individu didalamnya menempatkan kesehatan sebagai suatu hal yang paling penting, sehingga saat individu merasakan ada gangguan fisiologis pada tubuhnya, ia akan segera mencari pertolongan medis untuk mendapatkan status sakit dan menghindarkan diri dari kesulitan yang dihadapi. Pada budaya lain gangguan fisiologis yang ringan seperti sakit kepala, pening, sakit perut, kemungkinan tidak mendapatkan perhatian serius.

(18)

berhubungan dengan faktor lain seperti pendidikan dan pandangan tentang kesehatan.

Tekanan psikososial berkaitan dengan perubahan sosial. Perubahan sosial mempunyai dampak yang begitu besar bagi kehidupan manusia yang menuntut adanya penyesuaian yang cepat pada diri individu. Padahal tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Individu yang tidak dapat menyesuaikan diri akan mengalami kondisi tertekan baik fisik maupun mental. Keadaan inilah yang disebut stres. Martianah (1991) memberikan data mengenai jenis stresor psikososial yang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan sakit (somatisasi) yakni keadaan dan kondisi perumahan yang makin hari makin sempit, kebisingan, kepadatan lalu lintas, polusi dan lingkungan yang makin kumuh. Thurlow (dalam Ford 1983) menambahkan bahwa persepsi seseorang tentang lingkungan berhubungan erat dengan sejumlah keluhan sakit. Misalnya individu yang bekerja pada lingkungan yang kurang menyenangkan seperti bising, terlalu padat, pengap, kurang ventilasi akan mudah mengartikan stresor tersebut sebagai stress yang akan diikuti dengan munculnya keluhan sakit.

Kualitas dukungan sosial mempengaruhi kecenderungan pilihan sakit. Blake (dalam Ford 1983) mengatakan bahwa dukungan sosial yang rendah mengakibatkan individu tergantung pada pertolongan medis dan merupakan hal yang penting untuk mengunjungi dokter walaupun sebenarnya tidak ada keluhan yang gawat.

(19)

akibat dan perbedaannya dengan keadaan normal (Cole & Lejeneu dalam Ford 1983).

Selain hal di atas, somatisasi erat hubungannya dengan lingkungan kerja. Sistem dan pola kerja yang tidak sesuai dengan harapan karyawan, tuntutan pekerjaan yang berlebihan seringkali mengakibatkan munculnya berbagai keluhan sakit pada sejumlah karyawan. Sedikitnya ada dua hal negatif yang dihasilkan oleh stres di tempat kerja (Robbins, 1993). Pertama, stres dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit dan kedua, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sehubungan dengan stres sangat mahal. Dalam Kompas (6 September 1995) dikatakan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan di Amerika sehubungan dengan stres mencapai 10% dari pendapatan nasional pertahun. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membiayai pos, klaim kompensasi atau asuransi kesehatan atau perawatan medis, kemangkiran, turunnya tingkat produktivitas, mati muda, pemecatan atau pengunduran diri.

(20)

tantangan yang sangat besar. Di samping itu pekerjaan juga mengandung unsur stres yang potensial merugikan kesehatan fisik dan mental individual (Cooper Straw, 1995). Peneliti tertarik untuk melihat apakah ada hubungan yang signifikan antara stres kerja yang dialami karyawan dengan somatisasi. Peneliti merasa pentingnya penelitian ini karena menurut (Chaplin, 1968), individu yang dapat menyesuaikan diri akan dapat mengatasi tuntutan dan tekanan kerja serta mampu bekerja dengan maksimal. Namun individu yang tidak dapat menyesuaikan diri akan mengalami stres yaitu suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis. Menurut Martaniah (1994), stres dapat menjadi pemicu munculnya keluhan fisik lainnya atau keluhan fisiologi individu yang berulang seperti pusing, sakit perut, keringat dingin, jantung berdebar-debar, sesak nafas dan sejumlah keluhan fisik lainnya. Shuval (Ford 1983) mengatakan bahwa sakit dapat digunakan sebagai alasan untuk membolos kerja dan lain-lain.

(21)

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada hubungan antara stres kerja yang dilihat dari sumber stres dengan somatisasi ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara stres kerja yang dilihat dari sumber stres dengan somatisasi

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoretis

a. Memberikan informasi tentang dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari somatisasi (keluhan sakit) baik bagi pabrik maupun bagi karyawan

b. Sebagai literatur dalam melaksanakan penelitian yang relevan di masa yang akan datang

2. Manfaat praktis

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dipaparkan berbagai teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini. Pandangan berbagai ahli diungkapkan untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian dan hubungan antar variabel tersebut.

A. Stres Kerja

1. Defenisi Stres Kerja

Defenisi dari stres itu sendiri adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Seorang ahli menyebut tanggapan tersebut dengan istilah “fight or flight response”. Jadi sebenarnya stres adalah sesuatu yang amat alamiah (Pandji,1992,hal.108).

Soewondo (1993) dikatakan bahwa secara awam stres sering diartikan sebagai suatu kondisi tegang yang tidak menyenangkan. Menurut pendapat ahli, stres terjadi akibat adanya interaksi antara individu dengan lingkungan, yang menghasilkan pola transaksi yang khas dan problematik antara individu dengan lingkungannya (Soewondo, 1993). Lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan kerja yang kita temui sehari-hari, memiliki tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh individu. Untuk menghadapi tuntutan tersebut, individu melakukan penilaian-penilaian. Apabila individu menilai adanya kesenjangan (discrepancy) antara tuntutan dengan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan itu, atau dengan kata lain, bila ia mempertanyakan apakah ia akan dapat mengatasi

(23)

atau beradaptasi tehadap tuntutan tersebut, maka munculah stres (Soewondo, 1993; Safarino, 1994). Pada dasarnya individu akan melakukan penilaian dengan memperhatikan apakah peristiwa atau kondisi yang dialaminya mengancam kesejahteraannya atau tidak. Bila jawaban ya, individu akan merasakan adanya tuntutan dan berusaha untuk menghadapi atau mengatasi tuntutan tersebut (Soewondo, 1993).

Stres kerja merupakan kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul karena karyawan merasa terancam dalam bekerja. Perasaan terancam ini disebabkan hasil persepsi dan penilaian karyawan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara karakteristik tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan sistem kepribadian karyawan (Arsenault dan Dohan,1983).

Cirillo (1983), mengemukakan bahwa pekerjaan yang paling membuat stres adalah yang mempunyai tuntutan kerja yang tinggi.

2. Pengaruh Stres pada Pikiran, Emosi, dan Perilaku

Menurut Hardjana (1994,hal.39), stres yang diakibatkan oleh faktor suhu udara yang terlalu panas atau dingin, suara bising atau tugas yang menentukan nasib hidup seperti ujian, dapat mengganggu kerja pikiran dan menyulitkan konsentrasinya. Ruangan kerja yang buruk, misalnya, kotor dan panas, menghambat kerja pikiran dan produktivitas kerja.

(24)

stres. Emosi yang biasa menyertai stres adalah takut, sedih atau depresi, dan amarah.

Takut adalah emosi yang biasa muncul pada waktu kita merasa, entah nyata atau hanya dalam bayangan, berhadapan dengan hal yang berbahaya atau ada dalam situasi bahaya. Dalam rasa takut tersangkut rasa tidak enak batin sekaligus sikap siap-siap terhadap bahaya yang kita anggap akan menimpa kita. Rasa takut bisa amat sangat sehingga menjadi fobi (phobia), atau lunak, sekedar menjadi kecemasan(anxiety).

Stres juga mendatangkan rasa sedih (despression). Namun rasa sedih menjadi kekacauan atau penyakit (disorder) psikologis bila keras, kerap dan berlangsung terus-menerus. Rasa amarah timbul terutama bila orang berhadapan dengan keadaan dan orang yang menurunkan harga diri, nama baik, atau merugikan dan mengecewakan. Karena tanggapan tubuh yang menyeluruh, stres juga mempengaruhi perilaku orang yang mengalaminya. Perilaku dapat konstruktif, membangun dan baik, dapat juga asosial dan desdruktif.

(25)

tersebut, bisa terganggu dalam menjalankan tugas dan mudah terkena kecelakaan. Misalnya dalam menjalankan mesin di tempat kerja dan mengendarai mobil di jalan.

Jadi secara tak langsung stres dapat mendatangkan penyakit karena membuat orang mengambil tindakan yang dapat mengakibatkan sakit, atau mudah menjadi pelaku perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.

Penyakit lain yang dapat diakibatkan oleh stres adalah penyakit psikosomatis (psychosomatic illnesses) atau gangguan psikofisiologis (psychophysiological disorder). Penyakit ini adalah penyakit atau gejala penyakit yang disebabkan oleh unsur atau faktor psikologis, terutama stres emosional. Penyakit ini antara lain adalah bisul, radang perut, asma, kepala pusing yang kronis, eksim, penyakit kulit, tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan kanker. Jadi, stres menimbulkan tanggapan pada tubuh dan mempengaruhi kerja pikiran, emosi dan perilaku. Oleh karena itu secara langsung dan tidak langsung stres mempengaruhi kesehatan.

3. Penyebab Timbulnya Stres Kerja

(26)

survei terbaru yang melaporkan bahwa mereka sering muak dengan kebisingan tersebut. Stres pekerjaan mempunyai konsekuensi yang serius bagi baik karyawan maupun organisasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja menurut Mcgrath (dalam Dunnete,1976,hal.369) adalah sebagai berikut:

a. Karakteristik Intrinsik Pekerjaan (Tugas)

Termasuk kategori ini adalah hal-hal yang berkaitan dan ada dalam pekerjaan itu sendiri, misalnya karakteristik tugas , pelaksanaan tugas dan hubungan antara tugas satu dengan lain. Tugas maupun pelaksanaan kerja karyawan di dalam organisasi merupakan suatu prosedur sistematis yang yang harus dilakukan karyawan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Karakteristik tugas yang penting dalam pengaruh timbulnya stres kerja adalah taraf kesulitan, ambiguitas dan beban kerja.

Sejalan dengan pendapat McGrath tersebut hasil penelitian French (1980) menunjukkan bahwa ketidakmampuan karyawan memenuhi tuntutan tugas yang terlalu tinggi merupakan faktor stres kerja yang potensial. Demikian juga halnya dengan tuntutan tugas yang terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat kemampuan dan pekerjaan yang repetitif merupakan faktor yang mempengaruhi timbulnya stres kerja.

(27)

kawan-kawan dimana beban kerja pada tingkat menengah atau sedang cenderung mendorong karyawan dapat berfungsi dan bekerja optimal dibandingkan dengan beban kerja yang terlalu berat atau ringan (Cox, 1980).

Ada beberapa keadaan yang membuat tugas berpotensi menimbulkan stres yaitu tugas yang terlalu berat. Tugas terlalu sulit bila persyaratan yang diperlukan untuk mengerjakan tugas lebih tinggi dari kemampuan individu. Berry & Houston (1993), situasi ini sebagai kelebihan beban kerja dari segi kualitas. Tinggi rendahnya stres yang timbul ditentukan oleh persepsi individu tentang tuntutan tugas, kemampuannya untuk memenuhi tuntutan tugas, serta akibat yang mungkin timbul dari kegagalan menjalankan tugas tersebut.

Tugas juga dapat menjadi sumber stres jika individu mempersepsikan tugas yang ia hadapi tidak cukup jelas atau membingungkan. Ketidakjelasan dalam syarat atau langkah pelaksanaan tugas, hasil yang yang diharapkan serta umpan balik tentang hasil tugas menimbulkan stres bagi indivdu (Riggio, 1990).

(28)

Tugas yang mencakup tanggungjawab pada manusia menimbulkan stres lebih tinggi dibandingkan dengan tugas yang mencakup tanggungjawab pada barang (Taylor, 1995).

b. Karakteristik Peran

Peran merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial. Hal mendasar dalam perilaku interaksi yaitu informasi dan pengaruh tercakup dalam peran. Menurut Kahn (dalam McGrath, 1976), peran menjadi sumber stres jika ada ketidaksesuaian antara peran yang diharapkan, tuntutan peran yang diberikan, peran yang diterima dan perilaku peran.

Pekerjaan atau jabatan yang disandang individu memberikan peran yang spesifik. Hal itu akan menekan penyandangnya. Peran dapat menjadi sumber stres ketika ada kekaburan peran (role ambiguitas) dan konflik peran (role conflict). Konflik peran terjadi jika harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan yang ditujukan pada individu sulit atau tidak mungkin dipenuhi bersama-sama (Robbins, 1989; Beehr, 1995).

Kelebihan peran juga termasuk dalam konflik peran. Kelebihan peran ini timbul karena jumlah tuntutan yang dihadapi individu jauh melebihi jumlah yang wajar atau yang dapat ditangani individu dalam waktu tertentu.

(29)

organisasi terjadi hambatan arus informasi. Beehr (1995) menambahkan hubungan formal dan informal dalam organisasi serta persepsi karyawan tentang kontrak psikologis sebagai sumber stres dalam kelompok tuntutan peran. Hubungan interpersonal yang buruk di lingkungan kerja cenderung menimbulkan stres kerja yang tinggi. Demikian pula jika karyawan mempersepsi hubungannya dengan organisasi tidak seimbang atau dengan kata lain karyawan merasa hal-hal yang ia terima dari organisasi tidak sebanding dengan hal-hal yang telah ia berikan pada organisasi.

c. Setting Perilaku

Aturan dan batasan yang ada dalam lingkup pekerjaan yang membatasi perilaku yang ditampilkan dalam melakukan suatu pekerjaan. d. Karakteristik Lingkungan Sosial Kerja

Komposisi personalia suatu organisasi akan membentuk pola hubungan interpersonal yang potensial menimbulkan stres. Fontan (dalam Inayati, 1996), berpendapat bahwa kondisi sosial yang menjadi sumber stres tidak terbatas pada bentuk hubungan antara rekan kerja saja, tapi juga hubungan atasan-bawahan dan klien atau konsumen.

e. Karakteristik Lingkungan Fisik

(30)

lengkapnya peralatan. Tempat kerja yang kotor, bau yang tidak sedap dan udara yang panas dan pengap juga dapat menimbulkan stres di tempat kerja (Hardjana, 1994)

f. Karakteristik Individual

Karekteristik ini menentukan bagaimana individu memandang dan menilai tuntutan lingkungan dan serta kemampuan yang ia miliki untuk memenuhinya. Perbedaan pengalaman dan pengaruh stres pada setiap individu ditentukan oleh karakteristik individu tersebut. Berbagai karakteristik individu atau aspek personal sering diteliti untuk dilihat bagaimana hubungan atau pengaruhnya pada stres yang timbul dalam diri individu.

Menurut Beehr (1995) karekteristik individu ini mencakup sebagai ciri-ciri relatif tetap yang mempengaruhi persepsi atau penilaian reaksi individu terhadap penyebab stres. Ciri-ciri tersebut mencakup kondisi psikologis dan biologis individu. Kondisi biologis antara lain berupa sejarah penyakit dalam keluarga, pola makan dan kondisi kesehatan. Kondisi tubuh yang kurang sehat misalnya cenderung menyakitkan individu dalam mengatasi stres yang timbul karena energi yang tersedia dalam tubuh tidak mencukupi. Kondisi-kondisi biologis ini banyak diteliti dari sudut pendekatan medis.

(31)

mempunyai pengaruh penting dalam penilaian kognitif individu terhadap stres serta cara dan hasil penanggulangan stres yang diharapkan. Lazarus & Folkman (dalam Prokop dkk, 1991) mendefenisikan kontrol psikologis atau perasaan mempunyai kontrol sebagai keyakinan individu ia mampu mengontrol sumber stres. Penelitian Glass & Singer (dalam Brehm & Kassin, 1993) menunjukkan bahwa perasaan mampu mengontrol stimulus stres fisik mengurangi dampak negatif yang timbul dari sumber stres tersebut. Hal ini dipertegas oleh Thompson & Spacapan yang menyimpulkan bahwa perasaan mampu mengendalikan suatu peristiwa yang menekan berpengaruh positif pada keseimbangan emosi, kesuksesan mengatasi situasi menekan, kesehatan yang baik dan peningkatan performansi dalam tugas-tugas kognitif (dalam Taylor, 1995).

Menurut Rodin (dalam Brehm & Kassin, 1993) persepsi tentang kontrol penting bagi organisasi yang sebagian besar kehidupannya diatur oleh orang lain. Hal ini nampak pada karyawan-karyawan di posisi tingkat menengah kebawah. Sebagian besar pekerjaan mereka dikendalikan dan diatur oleh atasan dan orang-orang lain sehingga mereka hanya memiliki sedikit kontrol dalam bekerja dan cenderung merasa tertekan. Menurut Thompson & Spacapan tekanan yang timbul karena kurangnya kontrol yang dimiliki individu akan semakin berat jika kemungkinan individu untuk menerapkan kontrol tersebut kecil (dalam Taylor, 1995).

(32)

tekanan yang timbul. Hal ini didukung oleh pendapat Jackson (dalam Riggio, 1990) bahwa karyawan yang merasa mampu mengontrol lingkungan kerja cenderung mempunyai stres yang rendah dan meningkat kepuasan kerjanya. Karakteristik individu yang mempengaruhi timbulnya stres atau aspek personal adalah karakteristik atau hal-hal yang relatif tetap dalam diri individu yang mempengaruhi persepsi atau penilaian dan reaksinya terhadap stres. Karakteristik tersebut mencakup kondisi-kondisi biologis dan psikologis individu.

Edward (dalam Cooper & Payne, 1991) serta Matteson & Ivancevich (1982) menyebutkan faktor kepribadian, usia, pengalaman, jenis kelamin, kemampuan intelektual, gaya kognitif, kebutuhan dan nilai mempengaruhi cara seseorang berespon terhadap lingkungan kerja yang potensial menimbulkan stres. Sehingga tidak semua orang yang menghadapi sumber stres yang sama akan mengalami stres, dan tingkatan stresnya pun berbeda-beda (Soewondo, 1993).

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa ada lima aspek yang penting dalam dinamika terbentuknya stres kerja pada suatu organisasi, yaitu :

1. Karakteristik Peran

(33)

terjadinya stress kerja adalah ambiguitas peran dan beban tugas dalam peran tersebut.

a. Ambiguitas Peran

Individu dalam hidupnya dapat mempunyai beberapa peran sekaligus, inilah yang disebut dengan ambiguitas peran. Misalnya seseorang laki-laki sebagai kepala keluarga sekaligus sebagai karyawan dan anggota perkumpulan organisasi yang masing-masing punya norma tersendiri dan tidak jarang saling bertentangan antara satu dengan lainnya sehingga menimbulkan konflik pada diri individu.

Ambiguitas peran yang terjadi sering membuat individu kekurangan waktu untuk melakukan tanggung jawab pada salah satu peran atau lebih. Misalnya karena sering kerja lembur maka seorang ayah tidak sempat untuk mengajak keluarganya untuk rekreasi, juga tidak sempat untuk mengikuti kegiatan social yang diadakan oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

b. Beban Tugas

(34)

2. Seting Perilaku

Merupakan tuntutan-tuntutan situasional pada saat perilaku akan muncul. Selain menghadapkan individu pada tuntutan-tuntutan tersebut, seting perilaku juga memberikan kesempatan untuk timbulnya perilaku. Tepat atau tidaknya perilaku yang muncul sangat tergantung pada kemampuan individu dalam membaca situasi serta memanfaatkan fasilitas-fasilitas situasional yang ada.

Menurut McGarth (1976), karakteristik seting perilaku yang terpenting dan berhubungan dengan stres kerja adalah :

a. Taraf Kesulitan Kerja

Tugas yang sangat sulit atau tidak mampu untuk dikerjakan akan membuat karyawan menjadi tertekan, tidak mampu berkonsentrasi atau juga membuatnya merasa rendah diri di hadapan teman kerja yang lain. Namun tugas yang sangat mudah atau dibawah kemampuan karyawan akan membuat karyawan merasa jenuh, memiliki kesempatan lebih banyak untuk melamun.

b. Kekaburan Kerja

(35)

c. Beban Kerja

Beban kerja yang bisa mengakibatkan terjadinya stres kerja adalah beban kerja dilihat dari kuantitas pekerjaan yang harus dilakukan. Bisa tugas yang terlalu banyak (overload), sehingga individu akan mengalami keletihan yang sangat saat bekerja, atau juga tugas yang sangat sedikit(underload), ternyata juga akan menimbulkan masalah. 3. Karakteristik Lingkungan Fisik

Hampir semua lingkungan fisik yang bersifat ekstrim dapat mengakibatkan stres kerja, baik karena ekstrim kekurangan atau kelebihan. Seperti yang dikemukakan oleh Fleming (dalam Abdijati 2000) bahwa stres kerja tidak dapat lepas dari pengaruh langsung lingkungan fisik. Lingkungan fisik teknologi yang dapat mengakibatkan stres pada karyawan adalah :

a. Penggunaan bahan kimia dan beracun.

Bahan yang beracun biasanya menimbulkan resiko cacat atau bahkan kematian, sehingga penggunaannya akan membuat karyawan tidak tenang, tegang dan terlalu berhati-hati.

b. Alat pengaman yang tidak memadai.

(36)

akan membuat karyawan tidak tenang dalam melakukan pekerjaannya dan mengalami ketegangan.

c. Bekerja dalam ruangan yang terlalu penuh.

Bekerja dalam ruangan yang terlalu penuh dengan orang, barang atau mesin, akan membuat suasana menjadi sumpek dan tidak nyaman, sehingga akhirnya dapat menimbulkan ketegangan bahkan permusuhan bagi karyawan saat bekerja.

d. Cara pengaturan cahaya.

Pengaturan cahaya yang kurang baik, misalnya terlalu terang atau juga kurang terang. Pencahayaan yang terlalu terang akan membuat mata silau menimbulkan resiko terhadap kecelakaan kerja dan gangguan konsentrasi. Demikian juga bila cahaya kurang terang akan membuat karyawan mengalami gangguan penglihatan dan mengalami kecelakaan kerja.

e. Adanya suara bising saat individu bekerja.

Suara bising bisa berasal dari suara mesin atau alat-alat produksi. Bekerja di bagian produksi tentu saja tidak dapat menghindari suara bising, akibatnya karyawan akan mengalami ketegangan bahkan masalah dalam bekerja.

(37)

sangat dingin bisa membuat karyawan berkali-kali ke kamar mandi untuk buang air kecil, pusing dan tidak nyaman.

Kurangnya privasi bagi masing-masing karyawan. Hal ini akan dapat menimbulkan stres kerja karena karyawan merasa tidak punya kesempatan untuk melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan pribadinya karena kondisi perusahaan. Misalnya bekerja dalam ruangan yang sempit dan penuh dengan orang.

4). Karakteristik Lingkungan Sosial

Karakteristik Lingkungan sosial meliputi hubungan interpersonal karyawan dengan atasan, kesuksesan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh karakteristik ini. Hasil penelitian French (dalam Shinn, 1984) menunjukkan bahwa hubungan sosial antara karyawan, atasan dan bawahan yang kurang baik akan menimbulkan kepuasan yang rendah, gejala-gejala psikologis serta gangguan somatik sebagai pertanda timbulnya stres kerja.

Aspek lingkungan sosial yang terpenting dan berhubungan dengan stres kerja adalah :

(38)

b. Hubungan antara karyawan dengan atasan yang tidak harmonis. Adakalanya hubungan antara karyawan dan atasan seperti dibatasi tembok yang betul-betul memisahkan antara seseorang yang disebut dengan atasan yang hanya memeriksa serta memerintah dan karyawan yang harus bekerja dan diperintah. Sehingga hubungan hanya terjalin dalam masalah pekerjaan saja.

c. Adanya pemusatan kekuasaan. Seringkali karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dalam perusahaan dan seakan-akan karyawan hanya wajib untuk dikenai peraturan yang sudah disusun oleh atasan dan tidak berhak untuk menolak atau memberikan masukan.

d. Komunikasi yang kurang baik.

Komunikasi yang tidak baik dapat terjadi antara karyawan dengan atasan, juga antara karyawan dengan rekan sekerja. Akibatnya akan membuat karyawan yang bersangkutan tidak dapat bekerja dengan baik, ada saling salah pengertian dan perbedaan pendapat.

e. Adanya sistem pengontrolan yang tidak jelas.

(39)

kerjanya, sehingga karyawan bekerja dengan santai dan semaunya sendiri.

5). Karakteristik Individu

Merupakan aspek-aspek kepribadian tertentu yang membuat individu menjadi lebih mudah mengalami stres. Folkman (1984), mengemukakan bahwa pada situasi yang samar-samar, tidak jelas atau membingungkan bagi individu yang orientasinya pada kendali internal sehingga cenderung menilai situasi tersebut sebagai situasi yang dapat dikendalikannya, sehingga lebih sulit mengalami stres dibandingkan individu yang orientasinya pada kendali eksternal.

Aspek karakteristik individu yang terpenting dan berhubungan dengan stres kerja adalah :

a. Resistensi terhadap Kelelahan

Kondisi setiap orang berbeda dalam menghadapi pekerjaan. Ada yang merasa tidak mudah lelah namun sebaliknya ada yang baru bekerja sedikit saja sudah mengalami kelelahan.

b. Pengalaman Kerja

(40)

c. Tujuan atau Motivasi dalam Bekerja

Dalam bekerja seseorang memiliki tujuan yang berbeda dengan orang lain dalam perusahaan yang sama. Misalnya ada yang bertujuan mendapatkan uang yang sebanyak-banyaknya dari pekerjaan yang dilakukannya, ada yang bertujuan mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya, ada yang disebabkan karena merasa tidak mempunyai pilihan pekerjaan yang lain.

d. Keadaan Kesehatan

(41)

Terry Behr, John Newman (1978) dalam artikel yang ditulis oleh Jacinta FR (2002) membagi stres kerja dalam tiga aspek yaitu :

Tabel 1. Tiga Aspek Stres Kerja

Gejala Psikologis Gejala Fisik Gejala Perilaku

 Kecemasan, ketegangan

 Bingung, marah, sensitif

 Memendam perasaan

 Komunikasi tidak efektif

 Mengurung diri

 Depresi

 Merasa terasing & mengasingkan diri

 Kebosanan

 Lelah mental

 Menurunnya fungsi intelektual

 Kehilangan daya konsentrasi

 Kehilangan semangat hidup

 Menurunnya harga diri & percaya diri

 Kehilangan spontanitas & kreativitas

Meningkatnya detak jantung & tekanan darah

Meningkatkan sekresi adrenalin & nonadrenalin

Gangguan gastrointestinal, mis: gangguan lambung

Mudah terluka

Mudah lelah secara fisik

Gangguankariovaskuler

Gangguan pernafasan

Lebih sering berkeringat

Gangguan pada kulit

Kepala pusing/migraine

Kanker

Ketegangan otot

Problem tidur (insomnia, kebanyakan tidur)

 Menunda/ menghindari pekerjaan

 Penurunan prestasi & produktivitas

 Perilaku sabotase

 Meningkatnya frekwensi absensi

 Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan maupun kekurangan)

 Penurunan berat badan secara drastis

 Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi (ngebut, judi)

 Meningkatnya agresivitas & kriminalitas

 Penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan

teman

 Kecenderungan bunuh diri

4. Akibat atau Konsekuensi dari Stres Kerja

(42)

terhadap stres menimbulkan reaksi kimiawi dalam tubuh yang menyebabkan perubahan-perubahan antara lain meningkatnya: tekanan darah tinggi, tingkat metabolisme, produksi kolestrol dan adrenalin. Stres juga mempunyai konsekuensi yang serius bagi organisasi, termasuk merosotnya kuantitas dan kualitas kinerja jabatan, meningkatnya kemangkiran dan perputaran karyawan, dan bertambah banyaknya keluhan.

Namun stres tidak perlu disfungsional. Beberapa orang misalnya, bekerja baik hanya kalau agak mengalami stres dan mereka ternyata lebih produktif begitu mendekati tenggat waktu. Yang lain menemukan bahwa stres bisa mengakibatkan suatu pencarian yang mengarah ke pekerjaan yang lebih baik atau ke suatu karir yang lebih berarti, mengingat kecerdasan orang itu. Satu level stres yang sedang atau bahkan bisa menghasilkan kreativitas lebih besar jika situasi bersaing menyebabkan munculnya gagasan baru ( Dessler, hal. 325).

Stres pekerjaan yang begitu hebat yang melampaui batas-batas toleransi akan berkaitan langsung dengan gangguan psikis dan ketidakmampuan fisis. Oleh karena itu, jika banyak karyawan di perusahaan kita yang mogok kerja, sering mangkir, atau tidak masuk kerja dengan alasan yang dicari-cari atau kalau toh masuk, tetapi situasi kantor lesu, sering ada konflik dengan pimpinan atau antar karyawan, maka itulah pertanda ada sesuatu yang tidak beres dalam perusahaan. Kemungkinan besar mereka terlalu stres dalam pekerjaan.

(43)

dihasilkan tersebut ada di antara beberapa komponen sistem. Dilihat dari segi operasional dan antropometrik, manusia merupakan komponen terlemah dalam sistem itu, maka biasanya sebagian atau seluruh ketegangan yang diakibatkannya terwujud dalam tangan manusia. Dengan demikian, stres terjadi dalam komponen-komponen fisik.

Pekerjaan atau lingkungan sosial pekerjaan biasanya dapat mengakibatkan ketegangan pada manusia, baik karena sebab-sebab yang rumit ataupun yang sederhana. Beberapa buku yang ditunjang oleh sejumlah literatur telah menunjukkan bahwa unsur-unsur tertentu seperti suara gaduh, suhu udara yang tinggi atau terlalu rendah dan banyak kondisi penghambat lain mempunyai kemungkinan yang tak terelakkan sebagai penyebab stres di dalam lingkungan kerja. Dan tak dapat disangkal lagi, bahwa dimana terdapat kondisi demikian, stres akan muncul, dan pada gilirannya perasaan tidak puas akan sedikit banyak mempengaruhi produktivitas dan prestasi kerja.

Jenis pekerjaan yang sedikit banyak menimbulkan stress menurut Fraser dikelompokkkan menjadi dua, yaitu pekerjaan yang terutama menuntut kekuatan fisik (pekerjaan dengan otot), dan pekerjaan yang terutama menuntut keterampilan atau kemahiran (pekerjaan dengan ketrampilan) (Pandji, 1992,h.112).

5. Penghayatan Subyektif

(44)

kejadian sehari-hari yang dialami adalah stress atau bukan (Soewondo, 1993). Penghayatan subyektif ini terdiri dari dua unsur utama yaitu (Cox & Ferguson dalam Soewondo, 1993) :

a. Penilaian Primer, terjadi ketika individu menilai apa artinya kondisi baginya dan apakah kondisi tersebut terkait dengan kesejahteraannya. Bila berkaitan, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah hal tersebut merupakan tantangan atau ancaman yang merugikan atau merupakan sesuatu yang aman dan bahkan berdampak positif? Bila situasi ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam dan negatif, maka individu akan menilai situasi tersebut sebagai tuntutan yang harus dihadapi. Selanjutnya akan terjadi proses penilaian sekunder.

b. Penilaian sekunder, berupa pertanyaan : Bagaimana cara menghadapi dan mengatasi tuntutan tersebut? Pada penilaian ini individu juga akan menilai kemampuan dan ketrampilan yang ada pada dirinya sendiri maupun dukungan dari lingkungannya, untuk mengatasi masalah atau tuntutan yang sedang dihadapinya.

(45)

Gambar 1. MODEL STRES

Penghayatan Subyektif

    

Model stres pada gambar tersebut bermula dari adanya sumber stres. Sumber stres ini dapat berasal dari situasi atau kondisi yang kita jumpai sehari-hari, seperti kematian pasangan hidup, saat pertama mulai bekerja, bertengkar dengan atasan dan sebagainya. Sumber stres tersebut kemudian dinilai oleh individu melalui proses penilaian primer dan sekunder seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Bila seseorang menilai dirinya mampu mengatasi situasi dan kondisi tersebut, maka situasi dan kondisi tersebut tidak dinilai sebagai stres dan ada perbedaan antara tuntutan (situasi dan kondisi) dengan kemampuan yang ada pada dirinya, maka mengakibatkan munculnya adanya penyakit.

Dalam Luthans (1992) dikatakan bahwa reaksi-reaksi stres tersebut dapat berupa reaksi fisik, psikologi dan perilaku. Reaksi fisik misalnya, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah. Reaksi psikologik misalnya perubahan mood dan emosi yang lain. Reaksi perilaku seperti meningkatnya

Faktor Individu

Sumber Stres P. Primer P. Sekunder Stres Reaksi Penyakit

(46)

frekuensi merokok pada perokok atau perubahan pola makan. Ketiga macam reaksi ini saling berhubungan dan tidak jarang muncul bersamaan (Soewondo, 1993).

Bila stres berkelanjutan, individu terus-menerus dalam keadaan tegang fisik dan emosional dan akan sampai pada urutan terakhir dari model stress, yaitu energi habis terbakar dan sakit. Seseorang bisa menderita sakit jantung, mendapat serangan otak, depresi, apatis terus-menerus dan sebagainya.

Faktor-faktor perbedaan individu dan lingkungan juga berpengaruh pada penilaian terhadap stres tidak selalu tuntutan-tuntutan yang ada menimbulkan stres pada seseorang. Ada orang yang tidak merasa stres saat menghadapi suatu stressor, namun ada pula orang yang merasakan stres saat berhadapan dengan stres yang sama pula.

Kondisi atau peristiwa yang sama dapat menimbulkan respon atau reaksi yang berbeda pada orang yang berlainan. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik personal individu, seperti kepribadian, usia, jenis kelamin, pengalaman, kemampuan intelektual dan gaya kognitif yang mempengaruhi cara seseorang untuk menanggapi lingkungan kerja yang berpotensi membawa stres (Edward, 1988) dalam Cooper & Payne (1991).

(47)

B. Somatisasi

1. Definisi Somatisasi

Somatisasi pertama kali dikemukakan oleh Pierre Briquet tahun 1859 sehingga gangguan ini juga sering disebut sebagai Briquets syndrome. Penyakit-penyakit kompleks seperti kesulitan menstruasi pada wanita nafas pendek, sakit jasmani, gangguan sensasi dalam seksual juga dapat diterangkan kemunculannya sebagai bentuk keluhan somatisasi (Comer, 1992).

Somatisasi merupakan suatu gejala somatoform dengan ciri tidak adanya dasar organik atas sejumlah penyakit-penyakit fisik yang dikeluhkan. Somatisasi merupakan proses pemanfaatan tubuh atau soma untuk tujuan psikologis dan pencapaian-pencapaian pribadi (Ford,1983).

Botain dkk (1993), mendefenisikan somatisasi sebagai sejumlah keluhan fisik yang telah menetap lama dan menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis tetapi tidak ada dasar fisik yang dapat ditemukan. Menurut Lazarus (1976), somatisasi adalah gangguan fisik tertentu yang disebabkan oleh kesalahan dalam penyesuaian.

(48)

2. Bentuk-bentuk Somatisasi

Ada dua bentuk somatisasi : a. Psikosomatis

Meliputi gangguan fisik, yang disebabkan keadaan emosional yang terganggu. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan pengaruh proses psikologi terhadap proses biologis. Proses yang terjadi dalam psikosomatis adalah keadaan psikiologis (emosional) yang sangat terganggu, yang mempengaruhi sistem syaraf dan sistem biokemis yang pada gilirannya kemudian mempengaruhi berbagai organ seperti sistem pencernaan (misal; ulcer atau bisul pada lambung), sistem pernafasan (misal;asma), keadaan emosional yang terganggu terutama bentuk stres, misalnya akibat lingkungan yang menimbulkan frustrasi atau individu berada dalam situasi konflik (Lazarus, 1976).

b. Hipokondriasis

Berbentuk kekhawatiran yang difokuskan pada kesehatan tubuh individu. Simptom utama yang dialami adalah kecemasan, tetapi simptom organik tidak ditemukan secara medis.

(49)

3. Simptom – simptom Somatisasi

Menurut DSM IV (1994), terdapat sejumlah keluhan untuk mendiagnosis gangguan somatisasi yaitu :

a. 4 simptom keluhan sakit seperti sakit kepala, sakit punggung, persendian sakit dada, tangan dan sakit selama menstruasi

b. 2 simptom gastrointestinal seperti mual, diare, kembung, muntah (selain masa kehamilan)

c. 1 simptom sexual seperti disfungsi ejakulasi/ereksi, menstruasi tidak teratur.

d. 1 simptom neurologis seperti kerusakan sistem keseimbangan, pandangan ganda, ketulian, kesulitan bernafas dan kehilangan kesadaran

Pada penderita somatisasi, seperti halnya penderita hipokondriasis sering melaporkan adanya personal dalam bentuk kecemasan dan depresi. Menurut Kendall dan Hammen ( dalam Mulyo, 1998) seseorang dengan gangguan somatisasi cenderung mengalami konflik psikologis dan distres dalam bentuk simptom somatisasi. Mereka menyalahartikan simptom-simptom tersebut sebagai indikasi penyakit yang serius dan cenderung membuat keluhan somatisasi meskipun tidak ditemukan dasarnya secara medis.

(50)

tubuh. Pada saat orang mengalami stres maka jantung, paru-paru, alat pencernaan, endokrin dan sistem syaraf akan bekerja keras.

Setiap menghadapi tekanan dalam hidupnya ia akan merasa mengalami gangguan dalam organ tubuhnya. Somatisasi ini berupa berbagai macam keluhan fisik yang selalu berulang dan tidak ada simptom penyebabnya secara fisiologis menurut Rosehan dan Seligman (1989).

Indikator-indikator dalam somatisasi antara lain : a. Sakit kepala atau sakit kepala sebelah

b. Sakit dan nyeri pada punggung

c. Sakit persendian pada tangan dan kaki d. Badan terasa lemah dan mudah capek e. Sakit perut (misalnya: tukak lambung)

f. Sakit pada waktu menstruasi, mudah timbul rasa pedih g. Marah dan emosi

h. Nyeri pada dada

i. Tangan sering berkeringat j. Pinggang terasa sakit dan nyeri k. Pelipis sering sakit dan berdenyut l. Leher sering merasa tegang m. Bermasalah pada pencernaan n. Sulit tidur.

(51)

Hanya saja psikosomatis mempunyai dasar penyakit fisik, sedangkan hipokondriasis tidak ada dasar fisiknya (Ford, 1983).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa somatisasi merupakan proses pemanfaatan tubuh untuk tujuan psikologis atau untuk kepentingan pribadi dan simptom yang dialami dapat mempunyai dasar penyakit fisik yang jelas (psikosomatis) atau tidak ada dasar penyakit fisiknya (hipokondriasis).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Somatisasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi somatisasi (Ford, 1983) adalah ; a. Usia, Jenis Kelamin dan Status Sosial Ekonomi

(52)

b. Budaya

Penjelasan budaya tentang keluhan sakit seseorang berkaitan dengan perasaan sakit dan makna sakit yang berhubungan dengan norma, meliputi beratnya simptom individu, ciri khas simptom individu dan identifikasi kondisi sakit menurut budaya setempat. Nilai dalam budaya secara tidak langsung membentuk persepsi individu tentang status sakit dan sehat. Nilai dalam satu budaya belum tentu sama dengan nilai budaya lain. Masing-masing budaya mempunyai konsep sendiri tentang status sakit, meskipun ada konsep universal tentang status sakit seperti dalam DSM IV.

Pada suatu budaya tertentu, individu didalamnya menempatkan kesehatan sebagai suatu hal yang paling penting, sehingga saat individu merasakan ada gangguan fisiologis pada tubuhnya, ia akan segera mencari pertolongan medis untuk mendapatkan status sakit dan menghindarkan diri dari kesulitan yang dihadapi. Pada budaya lain gangguan fisiologis yang ringan seperti sakit kepala, pening, sakit perut, kemungkinan tidak mendapatkan perhatian serius. Individu tetap melakukan aktivitasnya tanpa merasa terganggu oleh kondisi tersebut, karena lingkungan mengkondisikan individu untuk tidak terlalu memanjakan dirinya.

c. Kepercayaan Diri

(53)

berhubungan dengan faktor lain seperti pendidikan dan pandangan tentang kesehatan. Orang yang sering mencari pertolongan medis mempunyai kepercayaan diri yang rendah.

d. Tekanan Psikososial

Perubahan sosial yang terjadi dewasa ini mempunyai dampak yang begitu besar bagi kehidupan manusia. Perubahan tersebut menuntut adanya penyesuaian yang cepat pada diri individu. Padahal tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Individu yang tidak dapat menyesuaikan diri akan mengalami kondisi tertekan baik fisik maupun mental. Keadaan inilah yang disebut stres.

Martianah dkk (1991) memberikan data mengenai jenis stresor psikososial yang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan sakit (somatisasi) yakni keadaan dan kondisi perumahan yang makin hari makin sempit, kebisingan, kepadatan lalu lintas, polusi dan lingkungan yang makin kumuh, akan memberikan pengaruh bagi timbulnya stress. Hal ini yaitu suasana keluarga, situasi kerja, hubungan antar teman dan tetangga, krisis hidup yang dialami, masa transisi perkembangan yang dialami remaja menjadi dewasa, kehilangan orang yang dicintai/ pekerjaan, bangkrut/ sakit mendadak yang harus dirawat di rumah sakit.

(54)

mudah mengartikan stresor tersebut sebagai stress yang akan diikuti dengan munculnya keluhan sakit.

Tekanan psikososial ini erat dengan faktor budaya lain, karena lingkungan kehidupan yang berbeda, sehingga tekanan budaya yang dihadapi juga berbeda. Namun stresor ini adalah fakta kehidupan yang ada dalam setiap lingkungan masyarakat, yang dapat mencetuskan penyakit organis dan dapat pula menimbulkan penyakit jiwa (Foster & Anderson 1986).

e. Dukungan Sosial

Kualitas dukungan sosial mempengaruhi kecenderungan pilihan sakit. Blake dkk (dalam Ford 1983) mengatakan bahwa dukungan sosial yang rendah mengakibatkan individu tergantung pada pertolongan medis dan merupakan hal yang penting untuk mengunjungi dokter walaupun sebenarnya tidak ada keluhan yang gawat. Petroni (dalam Ford 1983) mengadakan penelitian tentang hubungan antara peran sakit dengan sikap pasangan. Ternyata sikap istri-istri berhubungan dengan perilaku sakit suaminya, begitu juga sebaliknya.

5. Proses Terbentuknya Somatisasi

(55)

Liposwski (dalam Ford, 1983) mengkategorikan beberapa kemungkinan yang dapat timbul pada diri seseorang dalam mempersepsi, mengevaluasi sakit yang dialami terlepas dari penyakit yang sesungguhnya. Seseorang mungkin menginterpretasikan penyakit sebagai suatu pembebasan. Sakit yang dirasakan dapat diharapkan sebagai penangguhan harapan-harapan, tuntutan dan tanggung jawab sosial.

Kemungkinan lain, penyakit dapat pula dipandang sebagai suatu strategi untuk mengatasi tuntutan hidup. Persepsi dan evaluasi ini akan menghasilkan perilaku yang berbeda-beda yang akan mereka tampakkan berkaitan dengan persepsi dan eveluasinya tersebut. Hal ini oleh Mechanic (dalam Ford 1983) disebut sebagai perilaku sakit (illness behavior). Perilaku sakit sering pula tidak dapat dipisahkan dari stres yang dialami individu.

Gangguan somatisasi disebabkan oleh keluhan somatik yang kronik dan terjadi berulangkali. Orang-orang dengan gangguan somatisasi percaya bahwa mereka akan memberikan alas an yang panjang lebar untuk meyakinkan orang lain tentang keadaan dirinya keluhan dalam gangguan somatisasi biasanya digambarkan secara dramatis, tidak jelas dan dilebih-lebihkan.

(56)

Perilaku sakit dimulai dari persepsi seseorang dari symptom-simptom fisik yang dialaminya, eveluasinya tentang tingkat keparahan symptom-simptom tersebut dan berbagai tindakan yang dialaminya sebagai suatu strategi untuk mengatasi tuntutan hidup.

Hal-hal yang melekat pada peran sakit antara lain:

a. Orang sakit dibebaskan dari kewajiban-kewajiban kemasyarakatan yang berlaku pada situasi normal dan umum

b. Orang sakit tidak dapat disalahkan karena kondisinya, dia tidak dapat diharapkan untuk sembuh hanya dengan kekuatan sendiri dan dia harus dirawat oleh orang lain

Bagaimanapun juga peran sakit kadangkala dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu dalam kehidupan, tetapi masyarakat tidak dapat menerima gangguan emosional atau kesulitan dalam menghadapi masalah hidup sebagai alasan untuk memainkan peran sakit.

(57)

Disini dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya somatisasi karena interpretasi sakit sebagai suatu pembebasan dan strategi untuk menghindarkan diri dari masalah tuntutan-tuntutan hidup dan tanggung jawab. Dimulai dari persepsi seseorang atas simptom-simptom fisik yang dialaminya. Karena orang sakit dapat terbebas dari kewajiban-kewajiban sosial dan tidak dapat disalahkan Karena kondisinya.

Menurut Kisker (1997) berkembangnya reaksi somatisasi secara tidak disadari juga berkaitan dari adanya kebutuhan untuk sakit. Timbulnya gangguan somatisasi ini karena adanya konflik yang tidak disadari dengan menjadi sakit maka kebutuhan yang tidak disadari itu akan dapat terpuaskan. Akibatnya kecenderungan semacam ini akan selalu diulang bila kebutuhan-kebutuhan yang tidak disadari tersebut mendesak untuk dipuaskan.

Lazarus (1976) seorang ahli stres yang menyatakan bahwa individu yang menghadapi lingkungan baru atau lingkungan yang berubah, akan terlibat dalam proses penilaian untuk menentukan arti dari peristiwa yang terjadi dalam lingkungan tersebut. Peristiwa ini mungkin dilihat sebagai sesuatu yang positif atau normal atau negatif termasuk konsekwensinya. Peristiwa-peristiwa negatif mempunyai kemungkinan adanya bahaya ancaman.

(58)

somatisasi yang menyerang organ tubuh seseorang tergantung juga pada kepribadian seseorang. Tidak ada batasan usia yang jelas mengenai penderita somatisasi ini, tapi Maxwen (dalam Ford, 1983) mengatakan bahwa gangguan somatisasi meningkat pada usia remaja akhir dan seterusnya gangguan ini turun naik terpengaruh oleh tekanan-tekanan yang datang dari lingkungan.

Seseorang dengan gangguan somatisasi biasanya mempunyai sejarah panjang terhadap keluhan yang berhubungan dengan penyakit fisik yang ringan dan dimulai sebelum berusia 30 tahun sedangkan menurut Ford (1983) seseorang menderita somatisasi biasanya dimulainya sebelum berusia 35 tahun. Jadi somatisasi adalah keluhan fisik atau stres yang telah menetap lama (membadan) dan menyebabkan individu merasakan sakit secara fisik.

Ada beberapa manfaat yang diharapkan oleh orang yang melakukan somatisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Menurut Ford (1983) kegunaan psikologis dan keuntungan pribadi yang diperoleh dari somatisasi.

(59)

Contoh keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh melalui somatisasi antara lain, adanya kemampuan untuk memanipulasi hubungan antar pribadi, misalnya istri menolak ajakan intim suami dengan alasan sakit kepala. Keuntungan lainnya adalah dapat menghindari tugas dan tanggung jawab, seperti tanggung jawab pekerjaan.

Keuntungan finansial, misalnya menerima asuransi bila sakit dan dirawat di rumah sakit. Memperoleh perhatian dari orang lain, misalnya ketika sakit merasa orang memperhatikannya, dengan menjenguk atau menanyakan keadaannya.

(60)

6. Sakit Sebagai Cara Pengatasan Masalah

Untuk menghadapi tuntutan-tuntutan yang mengancam dan melindungi diri dari tekanan psikologis, individu menempuh cara tertentu yang dikatakan sebagai strategi coping individu. Coping merupakan faktor yang menentukan kemampuan manusia untuk melakukan penyesuaian terhadap situasi yang menekan.

Proses pemanfaatan tubuh untuk melindungi diri dari tekanan psikologis merupakan salah satu bentuk strategi coping. Individu menggunakan keluhan sakitnya sebagai cara mengatasi masalah. Sakit sebagai cara pengatasan masalah digunakan individu yang mempunyai pandangan yang rasional, yakni individu yang membutuhkan penjelasan sebab akibat dan perbedaannya dengan keadaan normal (Cole & Lejeneu dalam Ford 1983). Shuval dkk (Ford 1983) mengatakan bahwa sakit dapat digunakan sebagai alasan untuk membolos kerja dan lain-lain. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peran sakit digunakan seseorang bila:

1) Lebih dapat diterima secara kultural

2) Sistem dukungan sosial dirasakan tidak mencukupi 3) Individu merasa di bawah stres psikososial

4) Peran sakit memecahkan masalah pribadi 5) Individu kurang percaya diri

6) Menurunnya ketrampilan penyesuaian diri.

(61)

tuntutan pekerjaan yang berlebihan seringkali mengakibatkan munculnya berbagai keluhan sakit pada sejumlah karyawan.

Sum'maur (dalam Wijaya 1990) menyatakan bahwa kesehatan jiwa merupakan syarat mutlak bagi pencapaian tingkat produktivitas yang tinggi. Ketidaksesuaian mental psikologis dan jasmani seorang pekerja, dapat menghambat pekerja tersebut dalam mengaktualisasikan potensi dan kemampuannya. Tidak jarang hal ini menjadi sumber rendahnya prestasi kerja, bahkan kegagalan dalam berkarya.

C. Hubungan Antara stres kerja yang dilihat dari sumber stres dengan

somatisasi pada karyawan

Bertolak dari kajian pustaka, penulis mengemukakan hubungan antar variabel dalam penelitian ini, hubungan antar stres kerja dengan somatisasi. Lazarus (1976) seorang ahli stres yang menyatakan bahwa individu yang menghadapi lingkungan baru atau lingkungan yang berubah, akan terlibat dalam proses penilaian melalui proses primer dan sekunder seperti yang dijelaskan sebelumnya, untuk menentukan arti dari peristiwa yang terjadi dalam lingkungan tersebut.

(62)

positif? Bila situasi ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam dan negatif, maka individu akan menilai situasi tersebut sebagai tuntutan yang harus dihadapi. Ada perbedaan antara tuntutan (situasi dan kondisi) dengan kemampuan yang ada pada dirinya, maka mengakibatkan munculnya stres.

Di dalam dunia kerja, karyawan dalam suatu perusahaan atau pabrik menghadapi berbagai macam masalah. Banyaknya tekanan kerja yang dirasakan tidak seimbang dengan kemampuan karyawan juga lingkungan kerja yang dirasakan tidak nyaman bagi karyawan.

Tekanan kerja dapat berupa adanya tuntutan tugas yang sulit, adanya tugas yang berat yang harus diselesaikan dalam suatu tenggat waktu tertentu, bekerja dalam ruangan yang terlalu penuh dengan orang, barang atau dengan mesin yang bising, tempat kerja yang tidak baik untuk kesehatan karyawan, komunikasi yang kurang baik antara atasan dengan bawahan dan sebagainya. Hal ini menjadi kondisi psikologis yang tidak menyenangkan dan ancaman bagi karyawan itu sendiri dalam bekerja (stres kerja).

Ada individu yang dapat mengatasi stressor dengan cara yang efektif bahkan dapat memanfaatkannya menjadi hal-hal yang positif, tetapi tidak jarang juga individu yang tidak dapat mengatasi stres dengan baik bahkan melarikan diri dari permasalahan. Untuk menghadapi tuntutan-tuntutan yang mengancam dan melindungi diri dari tekanan psikologis, individu menempuh cara tertentu yang dikatakan sebagai strategi coping individu.

(63)

tubuh untuk melindungi diri dari tekanan psikologis merupakan salah satu bentuk strategi coping dengan jalan mengubah dirinya menjadi sakit. Seseorang mungkin menginterpretasikan penyakit sebagai suatu pembebasan. Sakit yang dirasakan dapat diharapkan sebagai penangguhan harapan-harapan, tuntutan dan tanggung jawab sosial. Kemungkinan lain, penyakit dapat pula dipandang sebagai suatu strategi untuk mengatasi tuntutan hidup. Persepsi dan evaluasi ini akan menghasilkan perilaku yang berbeda-beda yang akan mereka tampakkan berkaitan dengan persepsi dan eveluasinya tersebut. Hal ini oleh Mechanic (dalam Ford 1983) disebut sebagai perilaku sakit(illness behavior).

Individu menggunakan keluhan sakitnya sebagai cara mengatasi masalah. Somatisasi (hipokondriasis) adalah berbentuk kekhawatiran yang difokuskan pada kesehatan tubuh individu. Simptom utama yang dialami adalah kecemasan, tetapi simptom organik tidak ditemukan secara medis. Pada penderita somatisasi, seperti halnya penderita hipokondriasis sering melaporkan adanya personal dalam bentuk kecemasan dan depresi.

Menurut Kendall dan Hammen ( dalam Mulyo, 1998) seseorang dengan gangguan somatisasi cenderung mengalami konflik psikologis dan distres dalam bentuk simptom somatisasi. Mereka menyalahartikan simptom-simptom tersebut sebagai indikasi penyakit yang serius dan cenderung membuat keluhan somatisasi meskipun tidak ditemukan dasarnya secara medis.

(64)

diterima secara kultural, sistem dukungan sosial dirasakan tidak mencukupi, individu merasa di bawah stres psikososial, peran sakit memecahkan masalah pribadi, individu kurang percaya diri, menurunnya ketrampilan penyesuaian diri.

Perilaku sakit dimulai dari persepsi seseorang dari simptom-simptom fisik yang dialaminya, eveluasinya tentang tingkat keparahan simptom-simptom tersebut dan berbagai tindakan yang dialaminya sebagai suatu strategi untuk mengatasi tuntutan hidup. Individu yang mengalami stres kerja lebih senang memindahkan stres kerja menjadi keluhan fisik untuk memperoleh peran sakit karena orang sakit dapat terbebas dari kewajiban-kewajiban sosial dan tidak dapat disalahkan karena kondisinya.

Meiwati (2002) mengatakan bahwa kaitan erat antara kesehatan fisiologis dan kesehatan psikologis biasanya tidak dapat dilepaskan dari stres yang dialami individu. Hal ini disebabkan karena akumulasi pengaruh stres berakibat pada menurunnya kesehatan psikologis dan fisiologis (somatik). Cara ini merupakan bentuk penyesuaian yang sering digunakan untuk menghindari tanggung jawab.

(65)

D. Hipotesis

(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas : Stres Kerja yang dilihat dari sumber stres 2. Variabel Tergantung : Somatisasi

B. Defenisi Operasional

1. Somatisasi

Adalah sejumlah keluhan fisik yang diungkapkan secara verbal berulang-ulang seperti sakit kepala, perut, tenggorokan, punggung, dada. Letih, lemas dan pening (Ford 1983). Somatisasi akan diukur dengan skala somatisasi yang dikembangkan Prawitasari dkk (1987). Semakin tinggi skor skala somatisasi maka semakin tinggi pula tingkat somatisasi yang dialami subyek.

2. Stres Kerja yang dilihat dari sumber stresnya

Adalah kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul karena karyawan merasa terancam dalam bekerja (Arsenault dan Dohan, 1983). Stres kerja yang dilihat dari sumber stresnya akan diukur dengan skala stres kerja yang dikembangkan Endah Baskorowati (1986). Semakin tinggi skor skala stres kerja maka semakin tinggi pula tingkat stres kerja yang dialami subyek.

(67)

C. Subjek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah karyawan-karyawati PT Mataram Tunggal Garment, Yogyakarta yang berusia 20 sampai dengan 50 tahun (sesuai dengan batasan usia seseorang menderita somatisasi menurut Maxwen dan Ford). Alasan pemilihan subyek yang ingin diteliti adalah subyek yang sesuai dengan kriteria yaitu usia tersebut adalah usia produktif yang potensial mengalami stres dalam kerjanya.

Tempat penelitian adalah PT MTG Yogyakarta karena sesuai dengan ciri populasi yang relevan yaitu bagian produksi yang mempunyai kondisi ruang kerja yang terlalu bising dan padat.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan :

1. Skala yaitu memberikan respon tertulis dari subyek terhadap sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang telah disusun sebelumnya. Ada dua jenis skala yaitu:

a. Skala stres kerja yang dilihat dari sumber stres

(68)

Tabel 2. Sebaran item stres kerja yang dilihat dari sumber stres sebelum diujicobakan

Komponen ButirFavorable ButirUnfavorable Jumlah Karakteristik Peran 6,10,26,38,51,52 2,16,19,48,59,60 12 Setting Perilaku 4,23,32,36,46,50 3,11,18,21,22,29 12 Karakteristik

Lingkungan Fisik

7,12,13,25,28,42 5,8,20,24,35,41 12

Karakteristik Lingkungan Sosial

15,17,34,43,45,53 1,14,31,39,49,56 12

Karekteristik Individu 30,33,37,44,55,58 9,27,40,47,54,57 12

TOTAL 30 30 60

b. Skala Somatisasi

(69)

Tabel 3. Sebaran item somatisasi sebelum diujicobakan

Komponen Nomor Item Total

Favorable 3,4,7,10,15,17,18,19,20,22,24,25,26,27,30,31,32,33

Metode pengukuran yang digunakan dalam menyusun kedua skala ini adalah metode rating yang dijumlahkan (sumated rating) dengan 4 kategori pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS).

Item-item dalam skala ini akan disusun atas pernyataan favourable (yang mendukung konsep) dan pernyataan yang unfavourable (yang tidak mendukung konsep). Setiap jawaban subjek di skor dengan nilai kategori jawaban, kemudian masing-masing skor tersebut dijumlahkan sehingga merupakan skor total subjek pada skala ini. Nilai jawaban diberi bobot 1 (satu) sampai dengan 4 (empat).

Setiap kategori diberi nilai sebagai berikut :

1). Untuk item favourable jawaban SS, S, TS, STS masing-masing diberi skor 4, 3, 2, 1

(70)

Skor total subjek merupakan jumlah dari skor subjek pada setiap item. Makin tinggi skor jawaban yang diberikan subjek berarti semakin tinggi somatisasi yang dialami subjek.

Alasan dalam penelitian ini digunakan SS, S, TS, STS agar kedua skala ini tidak ada jawaban tengah atau netral, hal ini dimaksudkan untuk :

1). Responden atau subjek lebih tegas dalam memilih alternatif jawaban.

2). Menghindari jawaban tengah, sebab bisa saja subjek belum bisa memutuskan jawaban pada saat itu sehingga memilih jawaban tengah atau netral.

E. Validitas Dan Reliabilitas

Sebelum digunakan pada penelitian yang sebenarnya yaitu pengambilan data, angket di ujicobakan terlebih dahulu pada kelompok responden yang memiliki ciri relatif sama dengan subyek penelitian untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.

(71)

Validitas berarti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Validitas tinggi apabila instrumen atau alat ukur yang digunakan dapat menjalankan fungsi ukurnya, yaitu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dan tujuan dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 1997).

Reliabilitas berarti keandalan, keajegan, kestabilan, dan konsistensi yang menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dapat dipercaya atau akurat (Azwar, 1997). Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama akan diperoleh hasil yang relatif sama

F. Metode Analisis Data

(72)

BAB IV

PERSIAPAN, PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah

Subjek penelitian yang digunakan adalah karyawan-karyawati PT Mataram Tunggal Garment, Yogyakarta yang berjumlah 100 orang. Mereka ini bekerja pada bagian produksi. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu sampel yang dipilih berdasarkan ciri-ciri yang telah ditentukan dengan karakteristik :

a. Karyawan yang berusia 20 sampai dengan 50 tahun. Karyawan yang berusia 20 sampai dengan 50 tahun adalah batasan usia seseorang menderita somatisasi menurut Maxwen dan Ford).

b. Karyawan bagian produksi yang mempunyai kondisi kerja yang berbahaya serta berada di tempat kerja yang padat dan bising

Angket dikerjakan di rumah karyawan masing-masing agar tidak mengganggu produktivitas pabrik. Dari jumlah 100 angket yang disebar, hanya 80 angket yang berhasil dikembalikan karena adanya angket yang hilang.

2. Perijinan

Saya sebagai mahasiswa yang ingin mengadakan uji coba dan penelitian di PT Mataram Tunggal Garment meminta surat ijin resmi dari Dekan

(73)

Psikologi Sanata Dharma dengan No: 62 b/D/USD/III/ 2003. Dengan surat ijin tersebut saya dapat mengadakan penelitian disana dengan sambutan yang baik.

3. Pelaksanaan Uji Coba

Uji coba dilaksanakan pada Selasa, 20 Januari 2006, dengan menyebarkan angket uji coba kepada 50 orang karyawan-karyawati PT MTG Yogyakarta 4. Hasil Uji Coba Penelitian

Skala yang disebarkan untuk uji coba adalah skala stres kerja dan somatisasi. Dari 50 skala yang disebarkan semua terisi lengkap sehingga dapat digunakan untuk analisis uji coba alat. Hasil uji coba ini digunakan untuk analisis item, estimasi validitas dan reliabilitas sehingga alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini valid dan reliabel.

a. Analisis Item

(74)

sampai dengan 0,6002 dan dijadikan item skala penelitian dan 23 item gugur karena memiliki korelasi item yang kurang dari 0,25.

Tabel 4. Sebaran item Stres Kerja yang dilihat dari sumber stres setelah uji

coba (penelitian)

No. Komponen Favorable Unfavorable Total

1. Karakteristik Peran 26,38,52 2,16,19,59 7

2. Setting Perilaku 4,36,46,50 11,18,21,22,29 9 3. Karakteristik

Gambar

Tabel 1. Tiga Aspek Stres Kerja
Gambar 1. MODEL STRES
Tabel 2. Sebaran item stres kerja yang dilihat dari sumber stres sebelumdiujicobakan
Tabel 3. Sebaran item somatisasi sebelum diujicobakan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Apabila permasalahan yang telah diungkapkan di atas tidak segera ditemukan solusi yang tepat dalam penanganannya mungkin prestasi olahraga permainan bola basket

Kendala-kendala yang menghambat stategi pembelajaran menulis puisi bahasa Indonesia di kelas VI SD Negeri Cangkol 3 Kabupaten Sragen antara lain : kurang

However, there are still double functions that a number of cash and accounting functions of the finance function, which has the potential of fraud.. From the

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa-siswa sekolah dasar dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif, dengan experiental learning.

Fajariah (2009) menggunakan fraksi etil asetat dari ekstrak etanol kayu secang untuk menguji aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus diperoleh hasil KBM 0,25% dan

Syarat-syarat konstruksi ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran, dan kejelasan, yang pada hakekatnya harus tepat

ISDN juga dapat didefini- sikan sebagai pengembangan dari jaringan telepon IDN (Integrated Digital Network) yang menye- diakan hubungan digital dari ujung satu pelanggan ke ujung

M.Hum., as the Head of English Departement of Teacher Training English and Education Faculty of Muhammadiyah University of Purwokerto.. Endang Kusrini,