• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Refleksi Kateketis

Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran yang pada hakekatnya merupakan sebuah upaya menuju pada penerangan budi. Hal ini berdasar pada eksistensi manusia sebagai subyek berpikir dan agen moral yang mampu mencapai kebenaran ilmiah. Di dalam proses pembelajaran manusia menemukan pengetahuan-pengetahuan baru melalui pengalaman hidup mereka dan belajar untuk menghayatinya, dengan demikian nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam hidup sehari-hari.

Berkaitan dengan perihal di atas, maka pendidikan kepangudiluhuran juga mempunyai cita-cita yang mulia yakni pembinaan pribadi manusia untuk mencapai tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan sekaligus untuk kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya). Artinya dalam setiap pribadi manusia khususnya siswa-siswi dibantu agar dapat menemukan dan menghayati nilai-nilai hidup seperti percaya kepada Tuhan, rendah hati, memiliki semangat juang, bijaksana, berpengetahuan, saleh, solider, peduli dan sebagainya yang berguna bagi perkembangan hidupnya.

Maka dari itu, dalam proses pembelajaran pun selalu ditekankan untuk menempatkan murid sebagai subyek berpikir dan rekan dialog bersama guru sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru mengatur alur proses pembelajaran sehingga setiap murid dapat mengutarakan pandangan berdasarkan pengalaman hidup dan pengetahuannya secara ilmiah. Sedangkan sebagai

mendorong mereka untuk mempelajari hal-hal baru, atau memberikan kepada mereka kesempatan mempelajari pengalaman yang relevan. Peranan guru adalah menstimulasi murid untuk berpikir, bertanya, berargumentasi dan menemukan kemungkinan pemecahan masalah.

Seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran abad ke-21, kita diingatkan bahwa proses belajar-mengajar bukanlah dua aktivitas yang terpisah, melainkan dua aspek dari satu aktivitas yang sama. Hubungan antara

pendidik-peserta didik merupakan satu kesatuan relasi dalam proses “mencintai

pengetahuan.” Sebuah pengetahuan mungkin diperoleh seorang „guru‟ dengan

belajar dari seorang murid, sebagaimana seorang murid dapat belajar dari seorang guru. Relasi saling belajar antara guru dan murid hendaknya berpedoman pada Yesus sebagai Sang Guru yang mengajarkan pengetahuan akan nilai-nilai hidup kepada murid-murid-Nya. Yesus tidak hanya menjadi seorang Guru tetapi Ia juga menjadi fasilitator dan motivator yang handal bagi murid-murid-Nya. Menurut Lalu (2007:94) dalam katekese fasilitator sangat diperlukan sebab ia dapat dapat menciptakan suasana yang komunikatif, membangkitkan gairah dan motivasi kepada para peserta untuk berani berbicara mengungkapkan pengalaman iman mereka secara terbuka dengan demikian peserta dapat menemukan pengetahuan baru bagi hidupnya. Tanpa seorang fasilitator maka proses katekese itu sendiri tidak dapat berjalan dengan baik dan tentunnya sulit untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru dari pengalaman-pengalaman peserta tersebut. Maka dari itu, pendidikan kepangudiluhuran hendaknya menempatkan guru sebagai fasilitator dan sekaligus motivator yang mampu mengantar para murid

menemukan pengetahuan-pengetahuan baru guna membangkitkan “jiwa”

kreativitas, keaktifan, otonomi dan tanggung jawab dalam diri mereka untuk mencari dan mencintai pengetahuan (kebijaksanaan) itu sendiri. Dengan demikian mereka semakin mampu mencapai kepenuhan hidup rohani dalam Krtistus.

Aspek penghayatan merupakan muara dari pengetahuan yang telah diperoleh dari setiap pengelaman-pengalaman baru. pengetahuan dan penghayatan, keduanya tak terpisahkan. Tanpa penghayatan akan nilai-nilai hidup atau nilai-nilai iman Kristiani yang diperoleh melalui pengetahuan maka sia-sialah pengetahuan tersebut.

Sebagi makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi manusia memiliki pikiran, perasaan, akal budi dan kehendak. Melalui pikiran, perasaan dan kehendak tersebut manusia dapat menjalin relasi dengan sesama dan Tuhan. Manusia yang mempunyai relasi dengan Tuhan biasanya dapat dideskripsikan atau digambarkan secara lahiriah. Misalnya dengan berdoa, beribadat atau membaca kitab suci. Selain itu juga nampak dalam tindakan untuk berbuat baik, memperhatikan atau peduli kepada sesama yang membutuhkan uluran tangan. Setiap orang dapat menjawab relasi dengan Tuhan melalui penghayatan akan nilai-nilai hidup. Penghayatan nilai-nilai hidup merupakan motivasi, dorongan, landasan dari sikap seseorang yang melakukan sesuatu dalam relasinya dengan Tuhan. Maka pengetahuan yang telah diperoleh tersebut tidak cukup hanya dihayati tetapi perlu juga diungkapkan, misalnya dengan berdoa, beribadat maupun membaca Kitab Suci atau dapat diwujudkan dalam perbuatan konkret yang didasarkan pada nilai-nilai kebaikan atau nulai-nilai-nilai iman yang bersumber pada pribadi yang diimani

untuk menyatakan pikiran, perasaan, hati dan imannya. Memperhatikan orang yang membutuhkan, berbuat baik dengan mengasihi sesama dan peduli pada keadaan orang lain khususnya sesama yang miskin, kecil, lemah, dan menderita merupakan wujud dari penghayatan akan nilai-nilai iman tersebut. Pendekatan aspek analisa sosial dalam terang Injil (Aspek Sosiologis) dalam katekse dapat diterapkan dalam pendidikan kepangudiluhuran. Pendidikan kepangudiluhuran perlu memprioritaskan nilai-nilai iman yang hendak dihayati oleh guru, karyawan maupun para siswa. Dengan demikian hidup mereka dapat menjadi berkat yang berlimpah bagi sesamanya.

Aspek proses dalam pendidikan kepangudiluhuran mencakup segala macam hal yang digunakan berkaitan dengan pembelajaran seperti profesionalitas guru, metode, materi, tujuan, proses, sarana, situasi kelas, dan evaluasi. Semuanya semata-mata demi menunjang pendidikan kepangudiluhuran yang bermutu. Dengan proses pendidikan kepangudiluhuran yang dimiliki diharapkan semakin mampu membantu para siswa menemukan nilai-nilai iman yang hendak diwujudnyatakan dalam hidup sehari-hari. Dalam hal ini, proses pendidikan kepangudiluhuran dapat meneladani sikap dan tindakan Yesus, sebagaimana Ia mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Allah kepada orang-orang Yahudi. Selain Yesus berkotbah, Ia juga mengajar dengan menggunakan perumpamaan, menjalin relasi dengan mereka yang dikucilkan, Ia tidak hanya mengajar akan nilai-nilai hidup tetapi Ia sendiri juga memberikan contoh konkret melalui sikap dan perbuatannya. Sikap dan perbuatan yang dilakukan Yesus menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama. Proses pendidikan kepangudiluhuran pun hendaknya

demikian, mampu menginspirasi siswa-siswi sehingga mereka semakin mampu untuk mewujudkan dalam tindakan konkret apa yang telah mereka dapatkan dalam proses pendidikan kepangudiluhuran.

Proses pendidikan kepangudiluhuran pada intinya merupakan usaha pendampingan dan pendalaman sepuluh keutamaan Bruder Bernardus Hoecken, untuk meningkatkan mutu hidup beriman siswa-siswi. Upaya tersebut diusahakan dengan aneka metode, situasi, dan suasana yang dikembangkan agar mereka ditumbuhkan pengolahan yang mendalam atas imannya baik pengetahuan maupun sikap hidupnya dalam beriman. Tumbuh dan berkembangnya iman orang tidak dapat dipengaruhi secara langsung. Dengan demikian, prinsip katekese lebih sebagai usaha untuk menciptakan situasi dan suasana hidup beriman sedemikian rupa, sehingga membantu dan mendukung tumbuh-berkembangnya iman orang. Proses tumbuh-berkembangnya hidup beriman ini menyiratkan bagaimana orang berkembang secara utuh, baik secara kognitif, afektif maupun perilaku dan kehendaknya dalam menghayati apa yang diimaninya. Maka metode pembelajaran adalah jalan atau cara yang memudahkan pendidik dan peserta didik untuk tidak sekedar mengobservasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), berasosiasi, lalu menyimpulkan dan mengkomunikasikan pengetahuannya. Lebih dari itu, metode pembelajaran adalah sebuah diskursus antara guru dan murid untuk bertanya tentang totalitas eksistensi diri, pengalaman dan realitas. Singkatnya,

sebuah metode pembelajaran tak lain adalah “jiwa” yang memampukan murid

untuk tidak hanya mengetahui bahwa sesuatu itu ada melainkan terlebih mengapa sesuatu itu ada sebagaimana adanya.

Dalam proses katekese pun perlu diperhatikan dua unsur penting, yaitu segi isi dan suasana. Isi memuat proses edukatif dan konsientisasi menyangkut visi dan pengetahuan iman, nilai dan pesan moral bagi peserta katekese. Isi katekese tidak dapat dilepaskan dari pengaruhnya atas suasana, baik faktor perkembangan psikologis peserta katekese itu sendiri dan aspek-aspek eksternalnya, yaitu lingkungan, sarana, pendekatan dan metodenya. Maka diperlukan suasana akomodatif yang mampu menghantar isi kepada peserta katekese.

Katekese hendaknya dipahami dalam keseluruhan eksistensinya. Katekese tidak boleh berhenti pada beberapa aspek tertentu dari dinamika iman, misalnya pengetahuan tentang kebenaran yang diwahyukan atau persetujuan akan perilaku moral. Tetapi katekese perlu memperluas jangkauan sampai pada kepekatan sikap iman sebagai jawaban pribadi dan menyeluruh atas panggilan hidup Kristiani, yakni mengarahkan diri kepada Kristus dan mengikuti-Nya dalam hidup praksis sehari-hari.

Hal ini sesuai dengan proses pendidikan kepangudiluhuran yang terjadi. Hasil penelitian ditemukan bahwa proses yang terjadi kurang baik tetapi hasilnya baik. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa ada aspek lain yakni kultur keseharian siswa-siswi yang ikut mempengaruhinya. Maka dari itu, pendidikan nilai hendaknya tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas (formal), namun perlu juga diupayakan di luar ruangan (non formal), melalui live in di panti asuhan, di masyarakat, kunjungan orang sakit, kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (LP), retret, rekoleksi, bakti sosial. Melalui kegiatan non formal ini diharapkan

siswa-siswi dapat mengalami secara langsung nilai-nilai yang mereka pelajari. Aspek-aspek pedagogis tersebut harus menjadi bagian dari program pendidikan kepangudiluhuran dan menjadi strategi yang tepat dalam membentuk pribadi yang sadar dan mampu membangun hidup bersama. Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Pendidikan kepangudiluhuran perlu menerapkan strategi langsung dan tidak langsung. Strategi langsung, pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. oleh karena itu sering diidentikkan dengan ceramah, biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal. Strategi tidak langsung merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subiek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode ini adalah sebagai pembimbing dan fasilitator.

Selain itu juga, perlu diperhatikan bahwa kriteria menjadi penting dalam mengevaluasi pendidikan kepangudiluhuran. Istilah kriteria dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata tolak ukur, atau standar. Kriteria, tolak ukur, atau standar, adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal untuk seesuatu yang diukur. Kriteria atau standar dapat disamakan dengan “takaran”.

Jika untuk mengetahui berat beras digunakan timbangan, panjangnya benda yang digunakan adalah meteran maka, kriteria atau tolak ukur digunakan untuk menakar kondisi obiek yang dinilai. Dengan demikian kriteria memudahkan dalam menentukan berhasil atau tidaknya pendidikan kepangudiluhuran.

Dokumen terkait