• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Respons Imun terhadap Mycobacterium tuberculosis

Tuberkulosis berawal dari inhalasi bakteri Mycobacterium tuberculosis ke dalam alveoli paru. Bakteri berikatan dengan reseptor fagosit yang terdapat diberbagai sel seperti alveolar makrofag, sel dendritik dan monosit yang masuk dari pembuluh darah. Makrofag dan sel dendritik mengkespresikan reseptor fagosit dan toll like receptors (TLR). Ikatan spesifik antara TLR dengan patogen akan menciptakan sebuah signal transduksi pada host. Sinyal ini akan mengaktifkan NF-kβ, selanjutnya akan menginduksi sitokin dan kemokin. Jadi aktivasi TLR merupakan penghubung yang penting antara respons imun alami dengan respons imun selular. Oleh karena itu, respons imun terhadap Mycobacterium tuberculosis memegang peranan penting dalam

hasil keluaran infeksi Mycobacterium tuberculosis (Bhat et al., 2007). Bila seseorang terpapar bakteri tersebut maka keluaran penyakit tergantung respons imun individu tersebut, seperti yang digambarkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kemungkinan luaran bila individu terpapar Mycobacterium tuberculosis (Bhatt et al.,2007).

Meskipun makrofag merupakan target utama untuk infeksi M. tuberkulosis tetapi berbagai sel juga berperan pada perkembangan penyakit. Neutrofil adalah sel pertama yang dimobilisasi ke tempat dimana agen patogen masuk ke dalam tubuh atau ketika dipicu oleh sinyal inflamasi. Sel tersebut mempunyai mekanisme mikrobisidal yang tergantung oksigen dan mampu membentuk “neutrofil ekstraseluler trap” (Urban, 2006).

Pada penelitian infeksi tuberkulosis pada hewan, neutrofil dapat dideteksi pada awal infeksi dan memegang peranan mengontrol pertumbuhan mikobakterium tetapi sampai saat ini kemampuan neutrofil dalam membunuh bakteri tersebut masih diragukan (Pedrosa, 2000; Fulton, 2002). Kemungkinan peranan neutrofil dalam infeksi tuberkulosis adalah melalui produksi kemokin yang menginduksi terbentuknya granuloma dan bertindak sebagai sel penyaji Mycobacterium tuberculosis kepada makrofag. Jadi,

Imunitas didapat

cacat Infeksi <10%

Imunitas alami rendah

Imunitas alamirendah Imunitas didapat Infeksi laten

Containment> 90% Penyakit atau rekativasi <10%, bila terjadi imunosupresi Imunitas alami tinggi M.tuberculosis mati Tidak infeksi

keterlibatan neutrofil ada pada proses patogenesis bukan pada proteksi host (Keller, 2006).

Sel mast adalah sel efektor yang memegang peranan pada reaksi alergi dan perkembangan sel Th2. Mereka dapat ditemukan pada mukosa respirasi, gastrointestinal, traktus urinarius, pembuluh darah dan pembuluh limfe. Sel mast mengekspresikan reseptor terhadap IgE dan interaksi antara IgE dan reseptor pada permukaan sel mast menyebabkan sel tersebut mensekresi berbagai molekul seperti berbagai mediator dan mediator untuk sintesa “de Novo”. Berbagai mediator tersebut antara lain: histamin, triptose, kimase, karboksipeptidase dan heparin. Mediator pada sintesis de Novo adalah leukotrien C4, prostaglandin D2, faktor agregasi platelet, TNF-α, TGF-β, FGF-2, IL-4, IL-5, IL-8 (Turner,1999; William, 2000; Sayama, 2002). Selain interaksi antara IgE dengan antigen, agen lain dapat menginduksi aktivasi sel mast dan pelepasan sitokin. Produk mikroba juga menstimulasi sel mast melalui TLR-2 dan TLR-4 (Pando et al., 2007).

Sel mast di paru memegang peran dasar untuk pertahanan terhadap mikobakteria. Sebuah studi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah sel mast dan granulasinya pada binatang percobaan yang diinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Kehadiran sel mast juga dibuktikan di duodenum dan ileum sapi yang diinfeksi dengan para tuberkulosis. Penelitian lain menunjukkan bahwa interaksi antara sel mast dengan Mycobacterium tuberculosis melalui CD48. Interaksi ini memicu pelepasan mediator seperti histamin dan β-heksoamidase dan liberasi dari sitokin sintesis de Novo seperti IL-6 dan TNF-α yang terlibat aktif dalam aktivasi neutrofil dan pemeliharaan integritas dari granuloma (Pando et al., 2007).

Protein dari Mycobacterium tuberculosis yaitu Mycobacterium tuberculosis secreted antigen (MTSA-10) dan protein 6kDa early secretory antigenic target (ESAT-6) mempunyai kontribusi untuk mengaktifkan makrofag, sel dendritik dan juga sel mast untuk melepaskan mediator pro inflamasi (Pando et al., 2007).

Makrofag dianggap sebagai sel utama pada terjadinya infeksi tuberkulosis. Makrofag alveolar mempunyai peranan esensial untuk mengeliminasi organisme yang masuk ke dalam saluran napas. Makrofag merupakan sel yang pertama yang berinteraksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Interaksi awal antara bakteri dengan makrofag adalah melalui reseptor yang disebut Fc, komplemen, manose, protein surfaktan, dan CD43. Meskipun belum diketahui secara pasti jika bakteri berinteraksi dengan salah satu atau lebih reseptor tersebut tetapi secara invitro diketahui bahwa respons makrofag tergantung pada interaksi antara makrofag dengan salah satu reseptor. Interaksinya dengan Fc reseptor meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS) dan menyebabkan fusi antara fagosom yang mengandung bakteri dan lisosom. Di sisi lain interaksi antara bakteri dengan reseptor C3 mencegah respiratory brust dan memblokir maturasi antara fagosom yang mengandung bakteri dengan mencegah fusi antara fagosom dengan lisosom. Interaksi Mycobacterium tuberculosis dengan TLR-2 dan TLR-4 akan mengaktifkan berbagai komponen Mycobacterium tuberculosis seperti 19-kDa lipoprotein dan lipoarabinomannan (LAM) yang akan mengaktifkan makrofag melalui TLR-2 dan menginduksi IL-12 dan sintesis iNOS (Pando et al., 2007).

Tanpa memperhatikan reseptor yang berinteraksi dengan bakteri telah diteliti bahwa keberadaan kolesterol di membran sel merupakan molekul esensial untuk proses internalisasi bakteri. Dipercaya bahwa kolesterol seluler bekerja sebagai titik berlabuh dari bakteri dan sebagai stabilisator untuk berikatan dengan membran makrofag kemudian bakteri akan mudah ditelan. Ketika bakteri masuk ke dalam makrofag secara umum masuk ke dalam fagosom. Struktur ini diperoleh dari membran plasma dan kehadiran berbagai reseptor permukaan. Mycobacterium tuberculosis mampu menghalangi proses ini. Hambatan ini tergantung pada sebuah proses aktif yang diinduksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang hidup karena bakteri mati dapat mudah ditemukan di lisosom. Vakuol di mana didalamnya terdapat bakteri, memiliki morfologi yang berbeda yang disebut early endosomal compartemen marker diganti menjadi karakter late endosom. Fagosom Mycobacterium tuberculosis mempunyai petanda awal seperti Rab5 dan Rab14 GTPase dan tidak ada molekul Rab7. Sebuah penemuan yang konsisten dengan blokade proses maturasi dari early menjadi late endosom (Pando et al., 2007).

Gambar 2.4 Proses fagositosis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis (a) Proses maturasi fagosom, (b) Blokade fagolisosom oleh Mycobacaterium tuberkulosis (Kaufmann, 2001).

Karakteristik lain dari fagosom Mycobacterium tuberculosis adalah terbatasnya asidifikasi. Secara normal transport berbagai bahan menuju endosom membutuhkan medium asam untuk mengaktifkan kerja dari vesicular proton-pump adenosine triphosphatase (V-ATPase) pada late endosom. Jadi penurunan asidifikasi akan menghasilkan konsentrasi V-ATPase rendah atau nol di dalam fagosom yang mengandung mikobakterium. Lebih jauh lagi bahwa fagosom tersebut tidak dapat berhubungan dengan iNOS. Ketidakmampuan fagosom menjadi matur karena adanya protein tryptophan aspartate coat protein (TACO) pada fagosom. Pada sebuah penelitian telah dibuktikan bahwa sel dengan defisiensi TACO yang diinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis mampu membentuk fagosom yang matur dan dapat melakukan fusi dengan lisosom membentuk fagolisosom, sehingga sel mampu mengeliminasi bakteri. Hal ini membuktikan bahwa molekul tersebut sangat penting pada mekanisme pertahanan hidup dari mikobakterium. Hambatan maturasi fagososom oleh Mycobacterium tuberculosis mungkin juga dikendalikan oleh sitokin seperti IFN-γ dan TNF-α, karena kedua sitokin tersebut merangsang mekanisme mikrobisidal termasuk produksi oksigen reaktif dan nitrogen intermediate. Peran proteksi dari nitrogen intermediate telah didemonstrasikan pada berbagai model tikus yang berbeda. Tetapi peranan oksigen reaktif dan hidrogen peroksida masih belum sepenuhnya diketahui (Chan, 1992).

Sel lain yang penting pada respons imun alami tubuh terhadap Mycobacterium tuberculosis adalah sel dendritik. Sel dendritik jelas terlibat dalam pertahanan respons imun terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis. Ketika bakteri tersebut masuk secara inhalasi dan difagositosis oleh alveolar

makrofag, mereka tinggal dan replikasi di fagosom. Sel dendritik baik di darah maupun di jaringan paru ditemukan dalam jumlah besar (Sturgill-Koszyki, 1994; Pedroza et al., 2004)

Sel dendritik mengenali, menangkap, memproses antigen dan dipresentasikan oleh molekul MHC melalui CD1. Sel dendritik mengikat antigen melalui reseptor C-type Lectin dan reseptor Fcγ/Fcε dan ditelan melalui endositosis. Endositosis Mycobacterium tuberculosis dibawa keluar melalui reseptor C-type Lectin yang disebut dendritic cell specific interceluller adhesion molecule grabing non integrin (DC-SIGN) (Geijtenbeek, 2003; Tailleux, 2003). Molekul ini akan berinteraksi dengan mannose capped LAM, sebuah komponen dinding sel bakteri. Sel dendritik yang ditemukan dari pembuluh darah perifer dan sel dendritik imatur dari monosit mengekspresikan TLR-2 dan TLR-4, 2 macam toll receptor yang nampaknya berinteraksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Diasumsikan bahwa respons imun pertahanan mungkin diinduksi melalui sinyal ini. Interaksi antara mannose-LAM dengan DC-SIGN menginduksi IL-10. 19-kDa Mycobacterium tuberculosis lipoprotein dan TLR-2 menginduksi IL-12, TNF-α, IL-6. Ketika suatu antigen ditangkap dan ditelan, sel dendritik menjadi matur (ditandai dengan perubahan fungsi dan fenotip) dan secara efisien migrasi ke pembuluh limfe perifer atau kelenjar getah bening. Ada bukti secara in vitro Mycobacterium tuberculosis dan BCG dari jaringan paru ke kelenjar getah bening melalui sel dendritik yang terinfeksi. Migrasi sel dendritik yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis membutuhkan ekspresi dari kemokin reseptor 7 (CCR7) pada permukaannya. Ekspresi reseptor membuat mereka sensitif terhadap kemokin (CC) CCL-19 dan CCL-21. Hal ini penting untuk

menyebutkan bahwa maturasi sel dendritik tidak hanya dengan peningkatan sintesis MHC I dan II, tetapi juga melalui ekspresi dari molekul ko stimulasi seperti CD80 dan CD86 dan produksi IL-12 (Pando et al., 2007).

Dilaporkan bahwa ketika sel dendritik yang berasal dari monosit diinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis, kemampuan mereka menghadirkan antigen lipid gagal dan ekspresi CD 1 turun. Komponen dinding sel Mycobacterium tuberculosis yang menghambat maturasi sel dendritik adalah lipopolisakarida. Peningkatan virulensi bakteri berhubungan dengan ketidakmampuan maturasi dari sel dendritik. Pada respons pertahanan imun, sel dendritik menginduksi maturasi sel Th1 yang mensekresi sitokin IL-12, IL-8, IL-23 dan mungkin IFN α dan β bukan IFNγ. Sel Th1 memperluas responsnya terhadap antigen BCG yang dipresentasikan oleh sel dendritik di kelenjar getah bening dan migrasi menuju tempat infeksi dimana mereka melepaskan IFNγ yang akan mengaktifkan makrofag lokal yang mengontrol replikasi bakteri (Kadowaki, 2001; Wozniak, 2006).

Sel natural killer (NK) bermain dalam peran penting dalam perkembangan respons imun alami. Fungsi utamanya berhubungan dengan sitotoksisitas pada sel target dan merupakan sel pertama yang memproduksi IFNγ selama respons imun. Sel NK terlibat dalam infeksi virus, bakteri maupun kanker. Jumlah sel NK bertambah pada paru tikus C57BL/6 yang diinfeksi secara aerosol dengan Mycobacterium tuberculosis setelah 21 hari. Penyebaran sel ini dihubungkan dengan meningkatnya ekspresi petanda aktivasi dan maturasi dan produksi IFN-γ. Bagaimanapun juga kehilangan sel NK tidak mempengaruhi jumlah bakteri paru, mengindikasikan bahwa meskipun sel ini diaktifkan selama respons awal pada tuberkulosis paru,

mereka tidak punya peran esensial untuk pertahanan tubuh inang (Junqueira-Kipnis, 2003). Sel NK pada manusia telah ditunjukkan mempunyai kemampuan meningkatkan sitotoksisitas makrofag yang diinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Mereka juga mengoptimalkan kemampuan sel CD8+ untuk memproduksi IFN-γ dan melisis sel yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis kemudian menggabungkan respons imun alami menuju adaptif (Vankalayapati et al., 2002; Vankalayapati et al., 2004). Defensin adalah peptida antimikroba endogen. Terdiri dari 30-50 asam amino pada mieloid dan sel epitel semua spesies hewan. Mereka menunjukkan fungsi antibakteri, antifungi dan antiviral. Molekul diklasifikasikan pada α, β, θ defensin berdasarkan posisi residu sistein dan jumlah ikatan disulfur. Pada sel fagosit, defensin menunjukkan destruksi komponen mikroorganisme tergantung metabolisme O2. Diduga peptida ini memecah membran berbagai mikroorganisme dan beberapa mampu menembus membran sitoplasma dan masuk ke dalam sel yang terinfeksi. Pada makrofag manusia sampai sekarang belum diketahui apakah memiliki defensin tetapi pada neutrofil terdapat human neutrofil defensin peptides (HNP1, HNP2, HNP3) ditemukan aktif melawan M.avium intraseluler dan Mycobacterium tuberculosis. Secara invitro, α-defensin dari neutrofil manusia secara langsung menarik sel T CD4+/CD45RA+, CD8+ dan sel dendritik. Ekspresi β-defensin 2 dan 3 diinduksi oleh IL-1, TNF-α, TLR mengenali bakteri dan fungi. β-defensin manusia merupakan kemoaktran untuk CD β-defensin4+/CD45RA+ melalui CCR6 (Pando et al., 2007).

Tikus yang diinfeksi Mycobacterium tuberculosis mengekspresikan β-defensin yaitu mBD3 dan mBD4. Pada tahap awal infeksi, sel epitel dari

traktus respiratorius mengekspresikan kedua defensin tersebut yang berhubungan dengan mengontrol proliferasi bakteri. Bagaimanapun juga ekspresi menurun ketika penyakit berlanjut. Pada model infeksi laten, mBD3 dan mBD4 tetap terekspresi tetapi ekspresi menurun ketika terjadi reaktivasi. Ekspresi genetik HBD-2 didentifikasi di sel epitel di kulit, paru, trakea dan sistem urogenital. Defensin juga terdeteksi pada sel bronkial hasil lavase dari penderita terinfeksi M. avium. Monosit dari pembuluh darah perifer yang diberi HBD2 lebih baik mengontrol pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis daripada monosit tanpa HBD2. Sel alveolar epitel manusia yang diinfeksi Mycobacterium tuberculosis juga mengekspresikan HBD2. Tikus yang diinfeksi Mycobacterium tuberculosis yang diterapi dengan HNP-7 menurunkan jumlah bakteri di paru, liver dan limpa. Hal ini menunjukkan bahwa defensin dapat digunakan sebagai terapi baru (Pando et al., 2007).

Berbeda dengan respons imun alami, respons imun adaptif membutuhkan pengenalan spesifik dari antigen asing. Sistem imun alami sangat besar pengaruhnya pada tipe mekanisme imun didapat yang dikembangkan dan respons imun spesifik menjalankan berbagai fungsi efektor melalui aktivasi dari berbagai komponen dari imunitas alami. Respons imun spesifik dapat dibagi menjadi respons imun seluler dan respons imun humoral. Kedua mekanisme tersebut tidak eksklusif. Sel Th dibutuhkan untuk maturasi antibodi, perubahan isotipe dan memori, sedangkan sel B juga berfungsi sebagai sel penyaji dengan mengaktifasi sel T secara spesifik (Pando et al., 2007).

Mycobacterium tuberculosis merupakan contoh paling menonjol dari bakteri intraseluler yang tetap di dalam host untuk waktu yang lama

menyebabkan infeksi laten. Suatu infeksi kronik asimtomatik tanpa menyebabkan kerusakan jaringan. Pada infeksi intraseluler respons imun protektif lebih pada respons imun seluler daripada antibodi. Mycobacterium tuberculosis tinggal di dalam makrofag dan relatif resisten terhadap mekanisme mikrobisidal yang secara efisien mengeliminasi bakteri lain yang difagositosis. Hal ini merupakan bagian dari kemampuan bakteri tersebut untuk menghindari aktivasi makrofag oleh IFN-γ dan IL-12. Berbagai studi menunjukkan bahwa sitokin tersebut memegang peranan kritis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis baik pada manusia maupun pada hewan. Defisiensi dari IFN-γ dan IL-12 atau reseptornya menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi tersebut. Lebih dari 20 tahun diasumsikan bahwa induksi sel Th1 menghasilkan respons imun yang protektif terhadap infeksi tuberkulosis. Walaupun kenyataannya masih ada kehilangan informasi penting seperti peranan sel penyaji secara invivo selama tuberkulosis paru. Informasi ini penting untuk mengetahui induksi respons imun terhadap bakteri tuberkulosis dan dapat digunakan untuk mengontrol penyakit menjadi lebih efektif (Pando et al., 2007).

Dokumen terkait