• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Sel Alveolar Makrofag 41

Alveolar makrofag adalah salah satu populasi makrofag pada jaringan yang dengan mudah sapat dipelajari baik pada manusia maupun pada hewan coba. Pada tahun 1961, sel tersebut dapat dipanen dengan menggunakan metode bronchoalveolar lavage dan sejak saat itu sel alveolar makrofag mulai diteliti. Sel alveolar makrofag merupakan tipe sel yang predominan di dalam alveolus (Fels et al., 1986; Lohmann-Matthes et al., 1994).

Alveolar makrofag adalah sel yang berfungsi sebagai sel pertahanan seluler lini pertama untuk melawan pathogen yang masuk melalui saluran respirasi. Alveolar makrofag merupakan sel fagosit utama dari sistem imun alami pada paru. Sel tersebut bertugas untuk membersihkan ruang udara dari agen infeksi, toksik atau partikel alergen yang dapat lolos dari mekanisme pertahanan mekanik saluran respirasi seperti : mukosa nasal, glottis dan sistem transport mukosilia (Rubins, 2003; Peter-Golden, 2004). Alveolar makrofag mempunyai kemampuan untuk mengeliminasi patogen yang kita hisap setiap harinya pada manusia sehat melalui mekanisme fagositosis dan intracellular killing, sekresi dari metabolit oksigen, sekresi peptide dan protease anti mikroba. Ketika alveolar makrofag bertemu dengan patogen dalam jumlah besar atau patogen yang virulen, sel tersebut akan mensintesis dan mensekresi berbagai macam sitokin seperti interleukin-1, interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α, interleukin-8, TGF-β, kemokin dan metabolit arakidonat. Kemokin yang disekresi antara lain : macrophage inflammatory proteins 1 & 2, leukotrien B 4. Beberapa

sitokin yang diproduksi oleh alveolar makrofag juga menginduksi proliferasi fibroblas. Alveolar makroafag juga menginduksi berbagai sel seperti neutrofil, granulosit untuk menjadi aktif. Alveolar makrofag juga memegang peranan penting sebagai sel pengatur dari pertahanan alveolar. (Rubins, 2004; Kirby et al., 2009).

2.6. Kerusakan Jaringan Paru

Pada level yang fundamental, sebagian besar respons inflamasi terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis pada binatang dan manusia memiliki kemiripan. Perbedaan yang penting diantara manusia dan binatang adalah progresifitas perjalanan penyakit dan susunan tipe lesi. Pada binatang perjalanan penyakit lebih cepat sehingga binatang sangat menguntungkan untuk dijadikan hewan coba pada infeksi tuberculosis (Basaraba, 2008).

Lesi tuberkulosis pada jaringan paru pada semua spesies adalah spesifik campuran antara makrofag, limfosit, sel plasma dan granulosit yang melampaui batas pada jaringan paru. Tanda khas infeksi Mycobacterium tuberculosis terdapat dominasi dari makrofag baik dalam bentuk mononuclear maupun multinucleated giant cells (Basaraba, 2008).

Gambaran patologi kerusakan jaringan paru pada hewan coba dipengaruhi oleh cara infeksi bakteri, jenis dan strain hewan coba, dosis dan strain Mycobacterium tuberculosis. Perbedaan lesi morfologi pada hewan coba pada umumnya disebabkan karena resistensi genetik, stadium penyakit dan respons imun adaptif (Basaraba, 2008).

Derajad kerusakan jaringan paru dapat digunakan untuk menilai efektivitas obat yang diuji pada hewan coba, selain itu juga dapat digunakan untuk menilai

virulensi kuman (Dormans et al., 2004; Reviono, 2011). Ker usakan jaringan paru pada infeksi Mycobacterium tuberculosis mulai berupa lesi morfologi yang terdiri dari infiltrasi sel radang sampai granuloma. Granuloma merupakan tanda stadium kronik infeksi Mycobacterium tuberculosis sebagai usaha dari sistem imun pejamu untuk melokalisir multiplikasi dan penyebaran lebih lanjut ke organ lain (Ordway et al., 2005).

Respons pertama yang tampak setelah dilakukan pemberian infesi kuman adalah terkumpulnya sel mononuklear baik makrofag, limfosit maupun sel plasma dan neutrofil, baik berupa kelainan alveolitis, perivaskulitis maupun peribronkiolitis (Dormans et al., 2004). Pembentukan granuloma terjadi beberapa waktu kemudian, paling sering tampak pada hari ke-20 (Flynn et al., 2005; Cardona et al., 2000).

Gambar 2.7. Histopatologi jaringan paru mencit yang diinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis setelah 23 hari. Pribronkiolitis (B), Perivaskulitis (C) dan granuloma (G) (Dormans et al., 2004).

Perjalanan awal infeksi Mycobacterium tuberculosis sangat bervariasi, tergantung pada faktor imunitas, sensitivitas dari penjamu serta virulensi ataupun agresivitas dari kuman tersebut (Dormans et al., 2004). Lesi tuberkulosis pada awal perjalanan penyakit adalah proliferasi dan eksudatif. Pada individu yang resisten atau mempunyai daya tahan, reaksi fagositosis akan memulai dengan

B C

pembentukan batas dinding fibroplastik dan skar. Pada individu yang rentan, lesi eksudatif akan lebih luas dengan melibatkan banyak sel inflamasi dan ditandai kemampuan melokalisir yang buruk (Basaraba et al., 2008). Respons terhadap kuman selanjutnya berkembang sampai timbul kekebalan imun yang didapat dengan pembentukan granuloma. Kekebalan imun yang didapat pada tuberkulosis ada 2 yaitu cell mediated immunity (CMI) dan delayed type hypersentitivity (DTH). CMI menunjukkan proses yang menyebabkan akumulasi sejumlah makrofag teraktivasi yang bersifat mikrobisid, sedangkan DTH menunjukkan proses imun sitotoksik yang membunuh makrofag imatur dan tidak teraktivasi sehingga menyebabkan multiplikasi bakteri tuberkulosis (Saunders et al., 2007).

Pembentukan granuloma diawali dari pengenalan CD4+sel Th1 yang mengenali antigen fragmen peptida terbentuk melalui reseptor major histocompatibility (MHC) kelas II. Antigen fragmen peptida terbentuk oleh enzim digesti proteolitik yang dibangkitkan oleh antigen presenting cell misalnya makrofag dan sel dendritik. Beberapa sitokin diproduksi oleh CD4+ sel Th1 yaitu IFN-γ, GMCSF ke makrofag terinfeksi Mycobacterium tuberculosis untuk meningkatkan fungsi efektor pada makrofag tersebut. Sitokin lain yaitu IL-2 juga diproduksi oleh CD4+sel Th1 untuk merangsang CD8+ sel T sitotoksik, selanjutnya berperan menghancurkan makrofag imatur terinfeksi secara apoptosis. Makrofag yang teraktivasi mengelilingi lesi yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dengan mengeluarkan sitokin kemotaktik antara lain IFN-γ, monosit chemoactractant protein 1(MCP 1) dan Interleukin-8 (IL-8). Setelah terjadi agregasi pada lesi tersebut, monosit berpindah dari sirkulasi menuju lesi tersebut. Sejumlah monosit tersebut menjadi alveolar makrofag,

selanjutnya berubah menjadi histiosit palisade atau epitel. Beberapa sel tersebut berfusi untuk membentuk giant cells Laghans yang merupakan khas granuloma (Saunders et al., 2007). Granuloma pada tikus berbeda dengan granuloma pada manusia. Granuloma pada tikus tersusun oleh neutrofil, makrofag dan limfosit dengan struktur makrofag teraktivasi dan limfosit yang mengelilingi kumpulan makrofag terinfeksi. Pada granuloma ini tidak terdapat nekrosis. Meskipun strukturnya berbeda tetapi fungsinya sama yaitu mengendalikan infeksi dan mencegah penyebaran infeksi (Flyn et al., 2005).

Kerusakan jaringan paru pada infeksi tuberkulosis juga disebabkan karena Mycobacterium tuberculosis menginduksi ekspresi enzim matrix metalloproteinase-1 (MMP-1). MMP-1 merupakan anggota keluarga matrix metalloproteinase (MMPs) yang mempunyai fungsi untuk memecah matrik dan mengubah bentuk jaringan. MMPs merupakan anggota dari keluarga protease yang tergantung Zinc yang secara kolektif mampu mendegradasi semua komponen matriks ekstraseluler. Aktivitas MMPs secara ketat diatur pada tingkat transkripsi dan aktivasinya dilakukan oleh pemecahan proteolitik. MMPs secara spesifik dihambat oleh enzim tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMPs). Peningkatan yang berlebihan dari aktivitas enzin MMPs menyebabkan gambaran patologi yang luas pada jaringan paru yang ditandai dengan kerusakan matriks ekstraseluler (Elkington et al., 2011). Berbagai enzim dari keluarga tersebut juga mempunyai peranan penting pada proses angiogenesis, motilitas sel, apoptosis, regulasi imunitas, inflamasi dan pertahanan tubuh (Salgame, 2011).

MMP-1 secara spesifik telah ditunjukkan mempunyai kemampuan melakukan degradasi terhadap kolagen tipe I yang menyebabkan kerusakan jaringan paru. Penelitian yang dilakukan pada pasien tuberkulosis menunjukkan

adanya peningkatan enzim MMP-1 dan penurunan enzim tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMPs). Penelitian ini juga diperkuat pada penelitian mencit yang diinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, menunjukkan adanya peningkatan enzin MMP-1 yang mempunyai korelasi yang kuat dengan peningkatan kerusakan jaringan alveoli dan secara signifikan terjadi peningkatan pemecahan kolagen. Pada penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan jaringan paru akibat aktivitas MMP-1 berbeda dengan kerusakan jaringan paru karena proses nekrosis dan granuloma (Elkington et al., 2011).

Dokumen terkait