• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi terutama di negara- negara berkembang berhubungan erat dengan ketersediaan dan akses terhadap energi. Jika pasokan atau akses ke pelayanan energi berkurang maka akan terjadi kenaikan biaya yang dapat menekan perekonomian, mendorong meningkatnya kemiskinan dan pengangguran serta mengganggu prospek-prospek pembangunan lainnya (Nkomo, 2007).

Energi, baik yang berupa penerangan, panas, tenaga mekanika atau listrik, merupakan hal pokok pada masyarakat dan memainkan peran kunci dalam perspektif pembangunan, terutama untuk negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang (Domac et al, 2005). Energi juga memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk

terlaksananya pembangunan berkelanjutan dan mendukung kegiatan-kegiatan nasional (Schubert et al., 2007).

Secara global kebutuhan energi dunia diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan rata-rata 1.7 persen per tahun hingga tahun 2030. Pertumbuhan kebutuhan energi tersebut, terutama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di banyak negara, yang sekitar 90 persennya masih dipasok atau bersumber dari bahan bakar fosil (Prihandana dan Hendroko, 2007).

Konsumsi energi di Indonesia sendiri juga meningkat cukup cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan populasi. Indonesia hingga saat ini juga masih tergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Sumber energi fosil yang dimiliki Indonesia walaupun bervariasi (minyak bumi, gas, batu bara) namun jumlahnya terbatas. Data cadangan energi fosil dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Prihandana dan Hendroko, 2007) menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi yang terbukti tinggal sekitar 9 milyar barrel dan jika diproduksi rata-rata 500 juta barrel per tahun, cadangan tersebut diperkirakan akan habis pada tahun 2023. Gas bumi dengan potensi cadangan 182 TSCF dengan tingkat produksi 3 TSCF per tahun akan habis pada tahun 2065. Batu bara dengan cadangan sekitar 19.3 milyar TCE dan laju pemanfaatan 130 juta TCE per tahun akan habis pada tahun 2155.

Indonesia sendiri masih mengalami ketimpangan dalam proporsi penggunaan energi secara nasional atau energy mix (Prihandana dan Hendroko, 2007). Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral menyatakan bahwa sekitar 63 persen kebutuhan energi Indonesia masih bergantung pada minyak bumi, sementara fasilitas produksi minyak nasional terbatas dan kapasitas produksi

secara bertahap terus mengalami penurunan. Hal inilah yang menyebabkan untuk memenuhi konsumsi energi domestik maka Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan produk minyak jadi lainnya. Indonesia yang semula merupakan salah satu negara produsen minyak bumi menjadi sangat tergantung pada pasokan minyak dari luar negeri untuk memenuhi kenaikan konsumsi energi domestiknya.

Meningkatnya konsumsi minyak bumi tidak didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan penggunaan energi yang boros di Indonesia. Ini tercermin dari tingginya perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional atau elastisitas energi (Prihandana dan Hendroko, 2007). Elastisitas energi Indonesia sekitar 1.84, angka yang relatif tinggi, dibandingkan dengan elastisitas energi Jepang dan Amerika Serikat yang 0.10 dan 0.26 yang sudah terkenal sebagai negara yang efisien dalam penggunaan energi.

Indonesia yang semula adalah negara pengekspor minyak bumi,sejak tahun 2000 telah resmi berubah menjadi negara pengimpor minyak bumi. Pada tahun

2003, data dari Pertamina menunjukkan impor bersih minyak bumi Indonesia

mencapai 0.336 juta barrel per hari. Impor bersih di atas diperkirakan akan terus meningkat dengan makin menurunnya produksi lapangan-lapangan minyak Indonesia dan meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak penduduk Indonesia, apalagi jika tidak berubahnya perilaku boros dalam penggunaan energi di Indonesia.

Kenaikan harga minyak bumi internasional cukup membebani anggaran pemerintah terutama dalam hal penyediaan subsidi yang terkait dengan bahan bakar minyak. Walaupun subsidi yang terkait dengan bahan bakar minyak sempat

turun menjadi Rp. 39.8 Trilyun pada tahun 2005, namun pada tahun 2006 dan seterusnya, kecenderungannya terus naik sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Pada tahun 2008, dengan harga minyak bumi rata-rata US$ 101.31 per barel, realisasi subsidi bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan pemerintah mencapai Rp. 139.1 Trilyun. Suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran Indonesia. Prihandana dan Hendroko (2007) menyatakan bahwa jika harga minyak bumi berkisar pada angka US$ 60 per barrel dengan kebijakan subsidi tidak berubah maka pemerintah harus menyediakan anggaran minimal sekitar Rp. 89 Trilyun hanya untuk subsidi bahan bakar minyak.

Tabel 4. Harga Minyak Bumi dan Subsidi Bahan Bakar

Tahun Harga Minyak Mentah

(US$/Barrel)

Subsidi Bahan Bakar (Rp. Trilyun) 2004 36.00 72.9 2005 51.81 39.8 2006 61.08 64.2 2007 69.69 91 2008 101.31 139.1 2009 61.58 102.4

Sumber : Kementerian Keuangan RI, 2009

Besarnya beban subsidi di atas dapat menurunkan kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program pembangunan pada sektor-sektor penting lainnya seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan dasar masyarakat dan infrastruktur baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penurunan kemampuan pembiayaan program-program pembangunan tersebut menyebabkan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan optimal untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat menurunkan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.

Mengingat cadangan terbukti minyak bumi dunia pada tahun 2004 yang diperkirakan tinggal 1.27 trilyun barrel, maka jika tidak ada penemuan baru diperkirakan minyak bumi akan habis dalam 44.6 tahun ke depan (Prihandana dan Hendroko, 2007). Jika mengikuti hukum permintaan dan penawaran, diperkirakan harga minyak bumi dunia akan terus meningkat seiring naiknya permintaan minyak bumi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sementara penawaran relatif tetap.

Leeb dalam Prihandana dan Hendroko (2007) memperkirakan harga minyak bumi dunia akan terus meningkat bahkan dapat mencapai US$ 200 per barrel. Jika harga minyak bumi mencapai US$ 200 per barrel atau lebih maka diperkirakan beban anggaran yang harus ditanggung pemerintah untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap penduduk miskin dan perekonomian Indonesia akan semakin besar jumlahnya.

Setelah krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1997-1998, harga minyak bumi cenderung terus meningkat, yang mendorong meningkatnya inflasi dan tingkat kemiskinan di Indonesia serta membuat pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Jika harga minyak bumi terus meningkat sebagaimana terlihat pada Gambar 1, dikhawatirkan kinerja indikator makroekonomi Indonesia juga akan mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan dan inflasi dikhawatirkan akan meningkat tajam sementara pertumbuhan ekonomi semakin melambat bahkan bisa kembali negatif seperti waktu krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Jika hal ini terjadi maka dampaknya akan buruk bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia -30,00 -20,00 -10,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 US $ /Ba rr el

Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Harga Minyak Bumi

Gambar 1. Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia

Sumber : BPS, 2009

Untuk menurunkan dampak kenaikan harga minyak bumi terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah telah menyusun kebijakan makro energi nasional sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum, kebijakan makro energi nasional tersebut diarahkan untuk menjamin pasokan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan dan menjadi panduan pengelolaan energi nasional dalam rangka usaha-usaha untuk memenuhi ketahanan energi nasional. Kebijakan makro energi nasional di atas mengamanatkan pelaksanaan diversifikasi energi berupa pengembangan energi alternatif terutama yang dapat diperbaharui dengan potensi yang cukup besar di Indonesia, dimana salah satunya adalah bahan bakar nabati.

Tabel 5. Kebijakan Makro Energi Nasional Indonesia

No. Kategori Sisi Pasokan Sisi Penggunaan

1 Kebijakan Utama • Eksplorasi produksi

• Konservasi energi

• Optimalisasi produksi

• Efisiensi Energi

• Diversifikasi Energi

• Harga energi secara berkala berubah sesuai harga

keekonomian

• Mempertimbangkan faktor lingkungan

2 Kebijakan Pendukung

• Pembangunan infrastruktur energi

• Kebijakan subsidi untuk rakyat miskin

• Skema kemitraan pemerintah dan sektor swasta

• Pemberdayaan masyarakat

• Promosi riset dan pengembangan

• Koordinasi antara stakeholders terkait

Sumber : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009

Berdasarkan kebijakan makro energi nasional Indonesia di atas maka pemerintah kemudian menetapkan target proporsi penggunaan energi secara nasional Indonesia pada tahun 2025 dengan acuan kondisi awal pada tahun 2004. Target proporsi penggunaan energi nasional Indonesia tersebut menurunkan porsi penggunaan minyak bumi dan mendorong penggunaan sumber energi lain sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Target Proporsi Penggunaan Energi Indonesia

(%)

No Energi Proporsi Penggunaan Energi

2004 Target 2025

1 Minyak Bumi 52.50 ≤ 20

2 Gas 19.04 ≥ 30

3 Batu Bara 21.52 ≥ 33

4 Bahan Bakar Nabati 0.00 ≥ 5

5 Geothermal 3.01 ≥ 5

6 Energi terbarukan lainnya (biomassa,

matahari, angin, nuklir, hidro)

3.93 ≥ 5

7 Batu Bara Cair 0.00 ≥ 2

Sumber : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009

Selain geothermal, biomassa, angin, matahari dan sumber energi terbarukan lainnya, kebijakan energi nasional juga secara jelas menyatakan bahwa bahan bakar nabati sebagai salah satu sumber energi terbarukan ditargetkan mampu

memenuhi paling kurang lima persen dari total konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Jika harga minyak bumi internasional kembali meningkat seiring pulihnya permintaan terhadap bahan bakar minyak diperkirakan permintaan akan bahan bakar nabati juga semakin besar. Ini juga didorong oleh semangat untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan menurunkan dampak pemanasan global yang semakin dirasakan akhir-akhir ini.

Tabel 7. Kapasitas Produksi Terpasang Biodiesel di Indonesia

No Nama Perusahaan Kapasitas

(kl/thn) No Nama Perusahaan

Kapasitas (kl/thn)

1 P.T. Energi Alternatif 8 046 10 P.T. Prima Nusa Palma

Energi

24 000

2 P.T. Indo Biofuels Energi 68 966 11 P.T. Sintong Abadi 35 000

3 P.T. Anugrah Inti Gemanusa 45 977 12 P.T. Musim Mas 482 759

4 P.T. Eterindo Nusa Graha 45 977 13 P.T. Multi Kimia Inti Pelangi 14 000 5 P.T. Eternal Buana Chemical

Industries

45 977 14 P.T. Cemerlang Energi Perkasa

459 770 6 P.T. Wilmar Bio Energi Indonesia 1 206 897 15 P.T. Petro Andalan Nusantara 150 000 7 P.T. Sumi Asih Oleo Chemical 114 943 16 P.T. Bioenergi Pratama Jaya 75 429

8 P.T. Darmex Biofuels 172 414 17 P.T. Pura Agung 10 500

9 P.T. Pelita Agung Agrindustri 229 885 18 P.T. Pasadena Biofuels Mandiri

10 240

Sumber : APROBI, 2009

Sejak pengembangan bahan bakar nabati dimulai pada tahun 2004 di Indonesia, telah berdiri banyak industri biodiesel di berbagai wilayah di Indonesia. APROBI (2009) telah mencatat sampai dengan tahun 2009, telah beroperasi 18 perusahaan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas terpasang total sekitar 3184311 kiloliter/tahun seperti terlihat pada Tabel 7. Dari kapasitas produksi terpasang industri biodiesel dari kelapa sawit tersebut, baru sekitar 10 persen atau 318431 kiloliter/tahun yang terpakai. Rendahnya pemanfaatan kapasitas produksi terpasang industri biodiesel dari kelapa sawit ini disebabkan oleh hambatan harga jual biodiesel dari kelapa sawit yang tidak menguntungkan buat produsen.

Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit sebagai bagian dari pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia, beberapa tahun terakhir terkendala oleh masalah harga jual biodiesel dalam negeri yang harus bersaing dengan minyak diesel bersubsidi. Subsidi yang diberikan pemerintah pada minyak diesel (sebesar Rp2000/liter) menyebabkan harga jual biodiesel menjadi tidak kompetitif dan juga tidak feasible terutama untuk dipasarkan di dalam negeri.

Pada tanggal 23 Oktober 2009, telah terbit Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu, sebagai revisi Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa biodiesel pada tahun 2009 dan 2010 diberikan subsidi jika harga biodiesel domestik lebih rendah dari indeks harga biodiesel internasional di Argus (APROBI, 2009). Ini berarti jika harga minyak bumi meningkat sehingga harga biodiesel domestik sama atau lebih besar dari indeks harga Argus maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk biodiesel dari kelapa sawit. Ini juga berarti subsidi untuk biodiesel ini bersifat sementara atau bukan realokasi subsidi yang akan memberatkan anggaran pemerintah. Terbitnya Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2009 tersebut telah memberikan insentif bagi produsen untuk kembali memproduksi biodiesel dari kelapa sawit dengan mengoptimalkan kapasitas terpasang yang sudah ada. Hasil produksi biodiesel dari kelapa sawit tersebut dapat dipasarkan tidak hanya untuk pasar domestik namun juga untuk pasar ekspor.

Meningkatnya permintaan terhadap biodiesel dari kelapa sawit dan berkembangnya industri biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia akan berdampak terhadap indikator makroekonomi Indonesia. Berkembangnya biodiesel dari

kelapa sawit diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan petani di perdesaan melalui kenaikan harga tandan buah segar kelapa sawit. Kenaikan pendapatan petani dapat meningkatkan kesejahteraan para petani sehingga berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan Indonesia yang merupakan sumber bahan baku untuk biodiesel dari kelapa sawit.

Pada sisi lain, pengembangan biodiesel dari kelapa sawit diperkirakan dapat menyebabkan harga domestik minyak kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng sawit mengalami kenaikan. Kenaikan harga input ini menyebabkan harga minyak goreng sawit sebagai bahan pangan mengalami kenaikan. Kenaikan harga minyak goreng sawit ini menurut Susila dan Munadi (2008) dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin terutama yang ada di perkotaan karena naiknya harga bahan pangan tersebut.

Berkembangnya industri biodiesel dari kelapa sawit ini diharapkan dapat meningkatkan substitusi bahan bakar fosil terutama untuk minyak solar sehingga dapat menurunkan beban impor bahan bakar minyak. Dengan potensi bahan baku yang berlimpah, pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat juga diarahkan untuk memenuhi pasar ekspor (Kennedy et al, 2002). Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit yang dapat menurunkan beban impor, peningkatan ekspor dan meningkatkan nilai produksi sektor pertanian dan industri berdampak pada peningkatan output nasional atau pertumbuhan ekonomi yang dapat membuka banyak kesempatan kerja sehingga mampu menyerap banyak orang-orang yang tidak bekerja sehingga tingkat pengangguran berkurang.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan di Indonesia ?

2. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap

pengangguran di Indonesia ?

3. Bagaimana pengaruh pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia ?