• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sasi sebagai Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) di Maluku

5 KESIMPULAN DAN SARAN 13 1 Kesimpulan

2.4 Sasi sebagai Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) di Maluku

Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilaksanakan oleh masyarakat pedesaan Maluku yang keberadaannya sudah ada sejak dulu kala, dikenal dengan sebutan sasi Sasi berasal dari kata Sanksi (Witness) yang mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumber daya alam tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey and Zerner, 1992).

Untuk mengetahui keberadaan sasi sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat maka terlebih dahulu harus mema- hami sistematika rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku di Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Nikijuluw (2005) yang tertera pada Gambar 2.

Sumberdaya perikanan Indonesia dalam kerangka perspektif nasional adalah res communes atau ada pemiliknya seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa bumi dan air serta seluruh kekayaan alam yang dikandung di dalamnya adalah milik negara. Dengan demikian maka sumberdaya perikanan adalah properti negara (state property) dimana pemerintah bertanggung jawab dalam mengelola sumberdaya perikanan itu. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pengelolaan sumberdaya perikanan oleh negara dilakukan pemerintah, pemerintah

pada perairan ZEE serta laut teritorial di atas 12 mil. Dengan demikian maka maka pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan ini adalah rezim sentralistik.

Common Pool Wadah bersama

Res communes Res Nullius

Properti Bersama Tanpa Pemilik

Defacto

tanpa Pemilik Akses Properti Properti Properti

Terbuka Masyarakat Pemerintah Swasta

De Facto & De Jure Tanpa pemilik Laissez-faire Kepemerintahan Masyarakat Kepemerintahan Negara Diatur oleh mekanisme Open Competition Berbasis masyarakat Kepemerintahan internasional dan Regulasi Pasar

Non tradisional Neo Tradiosional Tradisional Sentralisasi Desentralisasi

Non indegenous indegenous Dekonsentrasi Delegasi Devolusi Swastanisasi

Gambar 2 Skema rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ( Nikijuluw, 2005)

Tanggung jawab pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yaitu pada per- airan teritorial hingga 12 mil dari garis pantai. Dengan demikian maka rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku di perairan hingga 12 mil ini adalah rezim desentralistik. Selain kedua bentuk rezim tersebut, di beberapa daerah yang masih kuat adat dan budaya lokalnya, berlaku juga rezim properti masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat. Keberada- an rezim ini umumnya berdasarkan hak ulayat laut (territorial use rihgts), dan hak asli (indigenous rights) yang dimiliki oleh penduduk asli setempat (indigenous people) yang memanfaatkan sumberdadaya secara arif dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi lokal (indigenous knowledge and technologies). Dalam jumlah yang terbatas di beberapa lokasi, hak pengelolaan sumberdaya per-

ikanan oleh pemerintah diberikan juga kepada perusahaan swasta atau individu. Umumnya perusahaan atau individu menggunakan haknya untuk masuk dan me- manfaatkan wilayah tertentu dalam kegiatan penangkapan atau budidaya ikan. Dalam hubungan ini maka perusahaan atau individu tidak bertindak sebagai pemilik (owner) tetapi pengguna (user) sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2005).

Konsep dasar pengelolaan sumberdaya perikanan properti masyarakat adalah pengaturan pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya ikan dimana masyarakat atau komunitas setempat mengambil tanggung jawab utama dalam pe- ngelolaan sumberdaya. Model pengelolaan ini menempatkan masyarakat setem- pat sebagai pihak yang diberi tanggung jawab dan wewenang oleh pemerintah dalam porsi yang cukup berarti (significant) untuk melakukan pengaturan peman- faatan sumberdaya ikan di wilayahnya. Masyarakat dalam hal ini adalah sekelompok orang atau komunitas di daerah pantai yang mempunyai tujuan yang sama yaitu memanfaatkan sumberdaya ikan dengan mengambil hasil laut di wilayah perairan pantai untuk memenuhi kebutuhannya dan sebagai mata pencahariannya (Murdiyanto, 2004).

Berdasarkan Gambar 2 di atas maka pengelolaan sumberdaya perikanan properti masyarakat terdiri dari non tradisional, neo tradisional, dan tradisional. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM) tradisional adalah pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang keberadaan- nya berdasarkan adat budaya serta praktik-praktik yang lazim atau telah ada di masyarakat sejak lama. Dengan kata lain, PSPBM tradisional umumnya merupa- kan adat istiadat atau tradisi yang masih di pegang dan dianut oleh masyarakat. Sementara itu, PSPBM yang keberadaannya karena sengaja dilahirkan ber- dasarkan aturan-aturan baru yang ditetapkan masyarakat sendiri atau karena di- fasilitasi pemerintah di kenal dengan PSPBM neo tradisional. PSPBM tradisional umumnya berdasarkan aturan-aturan tidak tertulis sehingga penyebaran informasi tentang aturan-aturan itu dilaksanakan secara verbal, ditransfer dari generasi tua ke muda. Revitalisasi PSPBM tradisional ini menyangkut aturan-aturan tidak ter- tulis yang dibuat menjadi aturan-aturan tertulis meskipun masih tetap informal. PSPBM neo tradiosional biasanya tertulis dengan baik karena dibuat berdasarkan

Meskipun demikian, karena tidak atau belum dijadikan sebagai suatu aturan formal pemerintah sehingga masih disebut sebagai PSPBM neo tradisional. Biasanya PSPBM muncul karena adanya pengetahuan baru yang dimiliki masyarakat yang relevan dan mampu menjawab masalah yang mereka hadapi. Kelahiran PSPBM neo tradisional umumnya melalui proses penyadaran masya- rakat yang dilakuikan oleh pihak luar yang lebih mengerti persoalan yang dihadapi masyarakat. Umumnya pihak luar ini adalah lembaga sosial atau pen- damping masyarakat yang tinggal dan hidup bersama masyarakat. (Nikijuluw, 2002). Berdasarkan uraian di atas maka sasi digolongkan sebagai PSPBM tradisional.

Ada dua bentuk sasi yaitu sasi darat dan sasi laut. Sasi darat yaitu meliputi semua jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi, seperti kelapa, pala, cengkeh, sagu, coklat, jeruk. Demikian juga sasi laut, seperti : lola, teripang, rumput laut, karang, pasir dan berbagai jenis ikan lainnya. Nikijuluw (2002) mengkaji sistem pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku khususnya di Pulau Saparua, memperlihatkan bahwa sistem pengelolaan tersebut memiliki tujuan, kaedah, pelaksanaan, superstruktur organisasi (Nikijuluw, 2002). Tujuan sasi adalah melindungi tradisi, meningkatkan pendapatan desa, melindungi lingkungan dan mencegah sumberdaya dimanfaatkan oleh orang lain. Kaedah sasi adalah : melarang mengambil lola, batu laga, tiram, akar bahar, teripang, caping- caping dan semua jenis ikan pada musim tutup sasi, penangkapan ikan pada saat musim buka sasi, alat tangkap ikan pada saat buka sasi adalah jala, bagan tancap, dan pancing tangan, daerah sasi adalah perairan depan desa dan sepanjang desa hingga kedalaman air 25 meter. Pelaksanaan buka sasi dilaksanakan oleh pemerin- tah desa sedangkan aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa, aturan dilaksanakan oleh pemerintah desa sedangkan pengawasan pelaksanaan aturan sasi oleh polisi desa (Kewang).

Pelaksanaan sasi laut dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu, masyarakat desa tidak diizinkan menangkap ikan selama periode tertentu di kawasan perairan ini. Periode penutupan penangkapan ikan dikenal dengan nama tutup sasi (closed season) sementara itu, periode musim penangkapan ikan dikenal dengan sebutan buka sasi (opened season).

Pelaksanaan sasi juga menyangkut hak penangkapan ikan oleh masyarakat desa, dimana orang luar desa tidak boleh menangkap ikan. Pada beberapa desa, hak penangkapan ini dapat dialihkan kepada pihak luar desa sejauh mereka meng- gunakan alat tangkap yang serupa digunakan oleh masyarakat setempat, selain itu, alat tangkap tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya ikan. Kawasan perairan yang di sasi adalah perairan di depan desa atau yang masih merupakan daerah teritorial desa, biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002).

Sasi sangat berkaitan dengan peran dan struktur lembaga adat, hal ini karena keberadaan sasi dahulu kala berada dalam kehidupan masyarakat adat yang memiliki lembaga-lembaga adat yang mengatur norma-norma masyarakat. Salah satu lembaga adat adalah Kewang yang memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam di desa. Lembaga ini mengalami kehilangan peranan setelah adanya UU No. 5 Tahun 1979 dimana lembaga ini tidak mendapat tempat dalam struktur pemerintahan desa.

Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya kondisi sosial, ekonomi dan teknologi maka dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku saat ini telah banyak mengalami perubahan. Novaczek et al. (2001) menyatakan bahwa, sebagai suatu pranata (institution), sasi tidak statis tetapi mengalami perubahan sesuai waktu. sasi dan budaya adat sangat mudah dipengaruhi dan lemah dari waktu ke waktu yang mencerminkan dampak dari kolonialisme, peperangan, perkembangan ekonomi dan perubahan sosial.

Perubahan sasi yang nampak terlihat adalah di sebagian pedesaan sudah tidak ada lagi pelaksanaan sasi laut seperti terlihat di Pulau Ambon dan kabupaten Maluku Tengah (Novaczek et al., 2001). Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena hak pemanfaatan sumberdaya ikan oleh masyarakat setempat telah dilelang bagi pihak luar masyarakat (Bandjar, 1998). Selanjutnya Bandjar (1998) menyatakan bahwa dengan pe- rubahan aturan sasi yakni pemanfaatan oleh masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya akses masyarakat terhadap sumberdaya

lihat dari aspek sosial, politik, ekonomi dan lingkungan. Menurut Kissya (2000), salah satu faktor penyebab perubahan yang melemahkan pelaksanaan sasi adalah karena hilangnya kewenangan dan peranan lembaga Kewang yang bertanggung jawab dalam pengaturan pengelolaan sumberdaya. Selain itu, aturan-aturan sasi tidak tertulis dengan baik dan selalu ditransformasikan dari generasi ke generasi melalui cerita orang tua. (Novaczek et al,. 2001). Perubahan sasi juga disebabkan karena adanya peningkatan populasi manusia, mobilitas penduduk dan pe- ningkatan pembangunan desa yang cukup tinggi (Norimarna, 1998).

Walaupun telah mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pe- ngelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku, namun persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan sasi laut khususnya di Pulau Saparua adalah masih baik. Hal ini berarti bahwa masyarakat setempat masih merasakan dampak manfaat dari pelaksanaan sasi bagi kelangsungan hidup masyarakat secara sosial ekonomi. Walaupun mereka sadar akan pengaruh faktor- faktor internal maupun eksternal yang sulit dikontrol oleh masyarakat itu sendiri.

Novaczek et al. (2001) membandingkan desa-desa sasi dan tidak disasi di Maluku Tengah, menyimpulkan bahwa umumnya keberlanjutan sosial lebih baik pada desa-desa sasi sedangkan untuk keberlanjutan ekonomi lebih baik pada desa- desa yang tidak sasi. Keberlanjutan sosial yang dimaksud dilihat pada kehidupan masyarakat yang lebih harmoni, melakukan aktifitas secara bersama-sama dan mendiskusikan tentang isu-isu desa. Dari keberlanjutan ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat untuk desa-desa yang disasi tidaklah lebih baik dari desa- desa yang tidak sasi.