• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEbuAh lOMPAtAN KE MASA DEPAN: PEluANG DAN tANtANGAN

Dalam dokumen Menjaga Indonesia dari Kepri (Halaman 172-179)

PENGElOlAAN PERbAtASAN DI KEPRI

I

ndonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta kilo meter persegi. Panjang garis pantai yang mencapai 81.900 kilo meter. Garis perbatasan darat keseluruhan di Indonesia mencapai 2.914,1 kilo meter.

Tentu mengawal batas sejauh dan sepanjang ini, akan jadi permasalahan tersendiri. Konsep perbatasan sendiri lahir setelah mulai dikenal bentuk satuan pemerintahan kerajaan. Setelah perjanjian Westphalia pada pertengahan 1600-an, mulai muncul juga konsepsi nation-state, atau negara bangsa. Ada ratusan negara yang kemudian lahir sampai saat ini, dan itu menuntut konsekuensi berupa garis perbatasan.

Dan kemudian, kawasan perbatasan, tidak sekedar menjadi garis berdebu di tengah hutan saja, melainkan menjelma menjadi banyak wajah. Sejumlah persoalan yang muncul di perbatasan, sebut saja meningkatnya tindak kejahatan di perbatasan (border

crime) seperti penyelundupan kayu, barang, dan obat-obatan ter- larang, perdagangan manusia, serta penetrasi ideologi asing telah mengganggu kedaulatan serta stabilitas keamanan di perbatasan negara.

Maka kemudian, perbatasan pun menjadi bahan kajian ter- sendiri. Bagi Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan, setelah sejumlah pulau lepas dari NKRI, kajian perbatasan pun marak digaungkan. Imbas dari kajian itu adalah lahirnya badan baru di pemerintahan, yang bertugas mengawal perbatasan.

Lalu lahir pula kebijakan lokasi prioritas (Lokpri) yang akan menjadi sentra pembangunan. Di Kepri, dari 19 pulau terdepan, ada sejumlah kecamatan yang masuk dalam kategori Lokpri. Ber- untung lah mereka yang tinggal di kawasan ini, mengingat ada alokasi dana dalam jumlah besar yang akan digunakan untuk mem- bangun sejumlah infra struktur, dari mulai pendidikan, ekonomi, sampai kesehatan.

Pendekatan yang berbeda terhadap perbatasan kini memang telah muncul. Selama ini, kawasan perbatasan Indonesia hanya di- anggap sebagai garis pertahanan terdepan negara, oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam mengelola perbatasan hanya pada pendekatan keamanan (security approach). Padahal, di beberapa negara tetangga, misalnya Malaysia, telah menggunakan pen dekatan kesejahteraan (prosperity) dan keamanan secara ber- dampingan pada pengembangan wilayah perbatasannya.

Maka mari kita lihat misalnya, mengapa Malaysia membangun Johor Bahru dengan begitu pesat. Jawabannya tak lain, Johor adalah pintu terdepan Malaysia yang berhadap-hadapan langsung dengan Singapura. Majunya Johor, berarti pula akan membuat pagar terdepan Malaysia pun menjadi kokoh. Sekarang, alur pemikiran dalam memandang perbatasan juga telah bergeser, dari yang sebelum nya menjadikan kawasan tersebut sebagai halaman belakang, kini menjelma menjadi halaman depan. Di mana pun, halaman

depan harus lebih indah, lebih maju, dan lebih tertata. Sebab, dari sanalah orang luar akan melihat sebuah negara.

Dengan pendekatan kesejahteraan, maka sudah saatnya kini kawasan perbatasan dibangun. Ini adalah kesempatan bagi masya- rakat di kawasan perbatasan untuk menjadikan kampung mereka sebagai salah satu kawasan termaju. Untuk membangun kawasan perbatasan, tentu diperlukan pembangunan SDM melalui pen- didikan dan pembangunan ekonomi. Karena itu, kebijakan peme- rintah setempat juga harus bisa memberikan prioritas beasiswa kepada pelajar-pelajar di kawasan perbatasan. Selain itu, pem- bangunan ekonomi juga harus dilakukan. Tentu sebagai kawasan perbatasan, lebih baik melihat kawasan perbatasan sebagai kota besar dan maju dari pada kawasan pemukiman nelayan miskin.

Dengan demikianlah, maka perbatasan akan menjadi daerah paling maju di Indonesia. Takdir kawasan perbatasan pun kini sedang berubah, dari sebuah kawasan pemukiman yang jarang diperhatikan, menjelma menjadi fokus utama pembangunan di negeri ini.

***

Kawasan perbatasan adalah titik paling penting untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Sejumlah langkah perlu ditempuh untuk me- masti kan bahwa tidak ada sejengkal pun tanah Indonesia di kawasan perbatasan berkurang. Memang, menjaga kawasan perbatasan tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak kendala di sana. Kita lihat saja seperti misalnya kawasan perbatasan Indonesia yang berada di Kepri. Persoalan terbesar adalah seringnya terjadi aksi pencurian ikan (illegal ishing) di perairan Kepri oleh nelayan- nelayan asing. Garis pantai Kepri yang berbatasan langsung dengan negara asing sangat luas, dan untuk menjaganya secara detail di setiap titik, tentu akan menciptakan kesulitan tersendiri.

Selain wilayah perbatasan yang berbentuk lautan, kesulitan lain yang dihadapi adalah menjaga 19 pulau terdepan di Kepri yang

merupakan batas antara Indonesia dengan negara tetangga. Dari 19 pulau terdepan itu, tidak semuanya berpenghuni, mengingat bahwa cadangan air bersihnya tidak ada sama sekali. Selain itu, beberapa pulau terdepan, seperti Pulau Sentut, hanya merupakan gugusan batu-batu karang saja.

Strategi terbaik untuk menjaga pulau perbatasan sebenarnya adalah dengan membuat pemukiman penduduk. Namun bagaimana mungkin kita bisa membuat pemukiman bila seandainya tidak ada cadangan air bersih di pulau itu. Hal ini seperti misalnya di Pulau Sekatung di Natuna, yang sama sekali tidak memiliki cadangan air bersih.

Selain itu, gagasan lain yang perlu juga dilakukan adalah dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau perbatasan. Bila ada penghuni di sekitar pulau perbatasan tersebut, tentu harus dipikirkan bagaimana melakukan suplai bahan makanan dan ke- butuhan lainnya secara reguler. Sebab, kalau suplai bahan pokok terputus, tentu penduduknya akan memilih pindah ke daerah lain yang lebih banyak memiliki akses terhadap pusat-pusat distribusi barang.

Ada sejumlah pemikiran lain untuk memberdayakan pulau- pulau di perbatasan. Dasar pemikirannya, apabila pulau perbatasan sudah digarap, maka klaim dari negara tetangga terhadap daerah itu pun akan surut. Kita bisa pelajari kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan. Hal itu bermula ketika potensi pulau tersebut tidak diber- dayakan.

Karena itu, sebenarnya ada banyak langkah untuk memberdaya- kan pulau perbatasan. Misalnya dengan menjadikan kawasan lahan pulau sebagai areal pertanian. Atau bisa saja bagi pulau yang lahan- nya tidak cocok untuk pertanian, maka dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata. Rata-rata pulau di perbatasan memiliki potensi pemandangan alam yang luar biasa indah. Sebut saja kalau kita berada di Pulau Nipah, yang berbatasan langsung dengan Singapura. Potensi daya tarik wisata resort di kawasan itu adalah menyajikan

pemandangan kerlap-kerlip lampu di Singapura. Jadi paket wisata yang bisa dikemas misalnya adalah menatap kerlap-kerlip lampu Singapura dari sebuah pulau. Demikian juga yang bisa dilakukan di Pulau Sekatung. Potensi wisata yang bisa digarak misalnya me- mancing dan lain sebagainya.

Bila potensi-potensi ini sudah ditemukan dan bisa digali, maka dengan sendirinya, pulau-pulau di perbatasan akan memiliki nilai ekonomis. Kalau sudah demikian, maka kawasan itu pun akan memiliki aktivitas. Maka, potensi klaim terhadap pulau tersebut pun menjadi kecil. Kalau kita sudah berhasil menjaga kawasan perbatasan tersebut, maka secara tidak langsung berarti kita sudah menjaga kedaulatan Indonesia. Kedaulatan Indonesia harus dimulai dari menjaga kawasan perbatasan dengan sebaik mungkin. Kalau tidak dijaga, maka satu persatu kawasan perbatasan akan hilang. Dan itu tentu akan berdampak besar bagi kedaulatan wilayah negara.

***

Tanjungpinang sebelum 1963, adalah kota yang berbeda. Ia tumbuh dalam geliat ekonomi yang nyaris seirama dengan Singapura. Adapun Singapura pada masa itu, memang tak semaju sekarang. Dan Tanjungpinang pada saat itu, juga tak tertinggal jauh dari Singapura. Mata uang yang berlaku di dua kawasan dengan dua warna bendera negara yang berbeda ini, juga sama, yakni dolar. Suplai barang, terutama sembako, masuk ke Tanjungpinang melalui pintu Singapura. Sebaliknya, warga Tanjungpinang juga menyuplai kopra, buah-buahan, dan berbagai hasil hutan lainnya.

Tak berhenti di situ, dengan adanya rute umum kapal laut dari dan ke Singapura, maka warga Tanjungpinang pun menikmati sejumlah kemudahan, termasuk kemudahan untuk menonton ilm di bioskop. Mereka menuju Singapura pada akhir pekan, untuk berbelanja, sekaligus menonton di bioskop. Tak ubahnya seperti

saat ini, ketika orang Tanjungpinang menghabiskan liburan akhir pekan mereka ke Batam.

Tapi semua berubah, setelah 1963. Pemerintah Jakarta menutup pintu perbatasan, dengan politik konfrontasi mereka terhadap Malaysia. Sejak saat itu, dua kawasan yang berada di bawah naungan warna bendera berbeda ini pun, menjadi jauh. Jarak satu jam perjalanan laut yang memisahkan mereka, menjadi terasa sebulan.

Sukarno, sang presiden pada masa itu, merasa kawasan per- batasan yang terlalu terbuka, akan berdampak buruk pada nasionalisme. Ibu kota Riau pun sebelumnya sudah dipindah, dari Tanjungpinang menuju Pekanbaru, yang menjorok jauh ke dalam wilayah Indonesia. Dan setelah Suharto mengambil alih kekuasaan, pemerintah Jakarta merasa perlu untuk membuat jalur distribusi barang ke Kepri, dari berbagai wilayah di Jakarta dan Sumatera. Tujuannya, memutus mata rantai ketergantungan ekonomi Tanjungpinang terhadap Singapura.

Politik, kadang mengubah semuanya. Struktur ekonomi dan sosial, juga terkena dampaknya. Termasuk juga budaya. Maka sejak saat itu, diberlakukan mata uang KR, kependekan dari Kepulauan Riau, sebagai mata uang transisi menuju rupiah. Dan satu tahun setelahnya, rupiah menjadi kewajiban. Maka, perekonomian pun guncang di Kepri. Masa-masa ini termasuk bagian dari episode tersulit kehidupan orang-orang Kepri.

Namun ternyata, pemerintah Jakarta juga setengah hati me- nutup pintu perbatasan. Tahun 170-an awal, keluar selembar surat Keputusan Presiden RI, yang waktu itu masih ditandatangani oleh Suharto. Pak Harto bermimpi bahwa Batam, sebuah pulau pe- mukiman nelayan yang sepi, suatu saat akan mempu menyaingi Singapura. Konseptor di belakangnya adalah BJ Habibie, orang yang kemudian dikenal sebagai presiden RI, menggantikan Suharto. Namun, setelah 40 tahun Batam dibangun, ternyata, ia tidak mengubah apapun dalam konteks persaingan pertumbuhan ekonomi. Tetap saja Singapura berkembang jauh, dan perekonomiannya

tumbuh beberapa langkah di depan. Sementara Batam, dengan berbagai keruwetan birokrasinya pada saat itu, terengah-engah mengejar Singapura.

Maksud hati adalah mengejar Singapura, namun yang terjadi, kawasan ini justru dimanfaatkan Singapura sebagai areal penopang perekonomiannya yang tumbuh pesat. Di situlah, Batam pun mendapat cipratan pertumbuhan ekonomi. Perbatasan, memang selalunya adalah kawasan penuh warna. Ia tidak bisa diperlakukan secara kaku, sebab, keunikan perbatasan, adalah ketika interaksi dan tarik menarik kepentingan antardua negara begitu kuat. Bagaimana kemudian perbatasan harus dibangun, tentu juga dengan kebijakan yang leksibel. Bagaimana kemudian konsep pemerintah Jakarta terhadap kawasan perbatasan di Kepri ini, mungkin menarik untuk disimak sampai beberapa dekade nanti.

Dalam dokumen Menjaga Indonesia dari Kepri (Halaman 172-179)