• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sudut Pandang

Dalam dokumen Menjaga Indonesia dari Kepri (Halaman 31-44)

Rasa nasionalisme daerah perbatasan khususnya di Kepri yang ber- batasan dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam tidak bisa di- sama kan dengan daerah lain atau Jakarta, kata pakar politik Zamzami A Karim sebagaimana dikutip oleh Kantor Berita Antara.

“Orang Jakarta mengukur nasionalisme dari ukuran Jakarta, tidak pernah melihat dari perspektif masyarakat perbatasan. Terkadang maksud nasionalisme itu adalah yang menguntungkan Jakarta, tidak peduli dengan nestapa yang dirasakan masyarakat di perbatasan,” kata Zamzami yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjungpinang.

Pengalaman sejarah antara Jakarta dan Jawa dengan komunitas daerah perbatasan menurut dia sangat jauh berbeda, terutama di Kepri. “Dari dulu Kepri merupakan daerah yang sangat terbuka dan plural, sehingga makna nasionalisme Indonesia yang mereka rasakan

tidak terlalu ‘chauvinis’ seperti Jakarta dengan jargon ‘right or wrong is my country’,” katanya.

“Pengalaman sejarah yangg berbeda juga membuat ekspresi nasionalisme yang beda pula, bukan berarti tidak cinta Tanah Air,” kata Zamzami. Menurut dia, pemerintah pusat harus menunjukkan ke wibawa annya berhadapan dengan negara tetangga dimulai dari kawasan perbatasan agar kepentingan nasional benar-benar di- lindungi.

Negara harus berwibawa, jangan justru tunduk pada kepentingan negara lain yang membuat kita malu sebagai warga negara, katanya. Sebagai contoh menurut dia, pemerintah tidak berdaya menghadapi penjarahan pasir, ikan, bauksit, bahkan hasil minyak bumi dan gas sehingga masyarakat tidak tahu berapa yang mengalir ke luar negeri, jangankan untuk ikut menikmatinya. “Agar kecintaan kita terhadap Indonesia terbalaskan, kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka, yang harus ditegakkan,” tegasnya. Namun demikian, rasa nasio- nalisme warga Kepri menurut Zamzami tetap tinggi, walaupun mereka selalu mem bandingkan nasib mereka dengan saudara-saudara mereka di negara tetangga. Hal itu menurut dia juga ditunjukkan dengan tidak banyak warga yang secara serius mau pindah kewarga- negaraan hanya karena perbedaan kesejahteraan. “Sepatutnya hal itu bisa mendorong pemerintah pusat agar menaruh perhatian besar kepada kesejahteraan masyarakat perbatasan, terutama meningkat- kan infrastruktur, agar mendapat kemudahan akses ke berbagai pusat ekonomi,” katanya.

Usaha pemerintah saat ini menurut dia sudah ada, tetapi mungkin belum sistematis karena selalu muncul program yang sifat nya tidak ber jangka panjang dan berkelanjutan. Misalnya mem- bantu nelayan dengan alat tangkap dan perahu, permodalan usaha, atau bedah rumah. “Itu semua hanya bersifat jangka pendek, dan biasanya tidak ‘sustainable’ (ber kesinambungan) agar bisa diukur dampak program-program ter sebut dari tahun ke tahun yang bisa

meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat perbatasan,” ujar Zamzami.

Rasa nasionalisme di Kepri tidak lepas dari pengaruh kesamaan budaya dan rasa persaudaraan seperti dengan negara tentangga Singapura dan Malaysia. Kepri secara historis memiliki hubungan emosional dengan Malaysia dan Singapura. Bahkan dulu wilayah Malaysia, Singapura adalah satu bagian kesultanan Melayu yang tak terpisahkan. Namun tetap saja Kepri sudah memutuskan menjadi bagian tak terpisahkan dengan Indonesia, sementara pada sisi lain warga Kepri tetap meng anggap orang Malaysia dan Singapura adalah bagian dari saudara mereka.

Jadi untuk memandang nasionalisme di Kepri, bisa dilihat dari teori kedaulatan di perbatasan. Bahwa terkadang kawasan perbatasan agak “aneh” dibanding kawasan lain, sebab di perbatasan bukannya nasionalisme sudah luntur, tetapi karena adanya hubungan emosional, sejarah, budaya dan lain sebagainya yang terjadi di masa lalu.

Yang perlu dilakukan sekarang, dalam rangka terus memupuk rasa nasionalisme itu, adalah membangun kesejahteraan di per- batasan. Wakil Ketua DPRD Provinsi Kepri Ing. Iskandarsyah mengata kan bahwa dengan kondisi geograis berbentuk kepulauan, maka dibutuhkan strategi tersendiri untuk membangun kesejahtera- an di beranda terdepan Indonesia tersebut. Pola pembangunan perbatasan yang berbentuk pulau memang membutuhkan biaya yang cukup besar. Sebab, sebaran penduduk tidak merata di setiap pulau. Ada sebuah pulau yang hanya dihuni oleh misalnya sepuluh kepala keluarga (KK). Kalau ingin mem bangun infrastruktur dasar, seperti Puskesmas, sekolah, listrik, sampai air bersih, tentu mem- butuh kan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, Iskandarsyah menawarkan konsep relokasi. Masyarakat yang ada di pulau-pulau kecil dikumpulkan ke dalam sebuah pulau, di mana di pulau itu dibangun infrastruktur dasar yang dibutuhkan, dari mulai listrik, sekolah, kesehatan, pasar, sampai hal lainnya. Sementara, pulau

lama yang mereka tempati, bisa diubah menjadi kawasan per- kebunan. Sehingga setiap hari masyarakat tetap dapat berpergian ke pulau lama mereka untuk bercocok tanam. Strategi ini ditempuh demi penyediaan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat dengan biaya yang rendah.

Terlepas dari itu, Iskandarsyah tetap berpandangan bahwa diperlu kan sejumlah terobosan visioner untuk membangun kawasan perbatasan Indonesia di Kepri. Sebab, ketika kesejahteraan itu sudah terjadi di perbatasan, maka rasa nasionalisme pun akan semakin mengental.

PERbAtASAN,

SEbuAh PENEluSuRAN tEORItIK

K

onsep perbatasan dikenal sejak era lahirnya negara-bangsa (nation state). Semuanya bermula ketika 24 Oktober 1648, ditandatangani Perjanjian Westphalia, yang menjadi salah satu cikal bakal lahirnya konsep negara bangsa. Dalam perkembangan se- lanjut nya, juga lahir semangat nasionalisme, yang pada akhirnya membentuk negara.

Era kemerdekaan negara yang terjadi mulai abad 18 inilah yang pada akhirnya memunculkan fenomena bahwa dunia kemudian diisi oleh sejumlah negara berdaulat dengan model pemerintahan yang berbeda-beda. Lahirnya negara inilah yang kemudian mem- bawa konsekuensi berupa munculnya kawasan perbatasan negara (state’s border).

Perbatasan negara inilah yang kemudian menghasilkan banyak fenomena, dari mulai perang, sampai bangsa yang terbelah oleh ideologi yang berbeda. Dalam perjalanan sejarah, tidak sedikit perang yang muncul akibat konlik perbatasan. Selain itu juga, fenomena perbatasan menghasilkan sejumlah bentuk, dari mulai kawasan perbatasan yang diberi pagar berupa gedung bertingkat, jembatan, laut yang jernih, gurun yang berdebu, kawat berduri,

tembok beton, sampai yang sekedar ditandai dengan cat tembok di lantai saja.

Mencermati perbatasan negara saat ini, setidaknya kita bisa melihat ada dua bentuk, yakni perbatasan yang dibentuk oleh alam, maupun perbatasan buatan. Untuk perbatasan buatan, di antaranya kita bisa melihat Tembok Berlin yang menjadi pemisah Jerman Barat dan Jerman Timur, sebelum dihancurkan pada 1989 lalu. Sementara untuk per batasan alam, dapat dilihat dalam sejumlah bentuk.

Selain perbatasan darat, juga ada perbatasan yang dibentuk oleh sungai, perbatasan yang berbentuk pegunungan, perbatasan berupa lautan dan terakhir adalah perbatasan negara di udara.6

Pembuatan batas wilayah sendiri bisa ditempuh melalui serangkaian perundingan. Namun demikian, sampai saat ini, masih ada sejumlah batas wilayah yang belum selesai dibahas dalam perundingan bilateral antardua negara yang bertetangga tersebut. Hal ini contohnya adalah antara Indonesia dengan Singapura, untuk batas wilayah yang ada di sekitar antara Pulau Bintan dengan Singapura dan Pulai Karimun Besar dengan Singapura. Konsep perbatasan negara sendiri awalnya adalah batas yang membelah sebuah wilayah yang dipisahkan oleh tata kelola pemerintahan negara yang berbeda. Karena itu, perbatasan negara pada titik paling awal hanyalah ber- bicara tentang konsep geograis-spasial. Namun kemudian, tidak semua wilayah perbatasan adalah tanah yang kosong melompong. Tidak semuanya berupa gurun pasir, atau hutan belantara tanpa penghuni, dan tidak semuanya juga berupa pegunungan yang dingin dan bisu. Justru di banyak kawasan perbatasan, wilayah geograis-spasial yang terlihat adalah pemukiman warga, yang

6 Ade Priangani, “Pengelolaan Potensi Ekonomi Wilayah Perbatasan Indonesia – Singapura dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Perbatasan”, Jurnal Westphalia, Vol. 11, No. 1 Januari-Juni 2012 (2012): hal 57-73.

kemudian atas perundingan dua buah negara, ditetapkan menjadi daerah yang terbelah. Artinya ada kehidupan sosial di sana. Karena itu, pembicaraan tentang konsep perbatasan negara pun berubah dari konsep awal yang berbentuk geograi spasial, menjadi konsep sosial. Nah, ketika dilihat dari perspektif sosial inilah, maka per- batasan pun tampil dalam banyak wajah, sekaligus banyak persoalan.

Menurut Riswanto Tirtosudarmo (2002), perbatasan negara atau state’s border dikenal bersamaan dengan lahirnya negara. Perbatasan adalah sebuah ruang geograis yang sejak semula merupa- kan wilayah perebutan kekuasaan antarnegara, terutama ditandai oleh adanya per tarungan untuk memperluas batas-batas antar negara. Dengan demikian, memang perbatasan negara sendiri adalah sebuah kajian yang baru muncul seiring dengan lahirnya konsep negara itu sendiri. Kajian tentang hal ini semakin mendapat porsi yang besar setelah kemunculan era kemerdekaan negara (state) pada Abad XVIII dan selanjutnya diikuti oleh konlik-konlik di wilayah per- batasan negara setelahnya.

Riwanto Tirtosudarmo, mengutip Ricklefs (1981), menyebut- kan bahwa perbatasan dari negara yang kini bernama Indonesia adalah di bangun oleh kekuatan militer kolonial (Belanda) dengan mengorbankan nyawa manusia, uang, perusakan lingkungan, perenggangan ikatan sosial dan perendahan harkat dan kebebasan manusia. O.J. Martinez, sebagai mana dikutip Riwanto Tirtosudarmo, mengkategorikan ada empat tipe perbatasan:

a. Alienated borderland: suatu wilayah perbatasan yang tidak ter- jadi aktiitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konlik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, per- musuhan agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik. b. Coexistent borderland; suatu wilayah perbatasan dimana konlik

lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang terselesaikan misalnya

yang berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya strategis di perbatasan.

c. Interdependent borderland; suatu wilayah perbatasan yang di kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain me- miliki tenaga kerja yang murah.

d. Integrated borderland; suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung dalam sebuah persekutuan yang erat.7

Mengacu pada tipologi Martinez di atas, Riwanto Tirtosudarmo mengkategorikan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia ter- masuk di antara tipe kedua dan ketiga yaitu coexistent dan inter- dependent borderland. Terlepas dari tipologi perbatasan yang di- kemuka kan di atas, ada baiknya bila kita melihat satu persatu konsep dan pengertian dari masing-masing bentuk perbatasan.

a. Perbatasan darat

Perbatasan darat adalah tempat kedudukan titik-titik atau garis-garis batas yang memisahkan daratan atau bagiannya ke dalam dua atau lebih wilayah kekuasaan yang berbeda. Perbatasan mempunyai sifat ganda, artinya bahwa garis batas tersebut mengikat kedua belah pihak pada sebelah menyebelah perbatasan tersebut. Jadi apabila terjadi perubahan pada satu pihak, akan menimbulkan

7 I Ketut Ardhana, et.al. Dinamika Etnisitas dan Hubungan Ekonomi pada Wilayah Perbatasan di Kalimantan Timur – Sabah, Studi Kasus di Wilayah Krayan dan Long Pasia (Jakarta : Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2007), hal. 1.

perubahan pada pihak lain, demikian pula hak-haknya (hak bersama/res communis).8

Dalam perjalanan sejarah, memang perbatasan darat selalu me- nampil kan sejumlah konlik. Hal ini menjadi wajar mengingat per- batasan darat kadang hanya dipisahkan oleh sebuah ruas jalan, atau oleh patok buatan manusia saja. Sehingga tidak ada pembatas yang jelas yang bisa menunjukkan bahwa kawasan ini masuk negara A, sementara kawasan di sebelahnya masuk ke dalam wilayah negara B. Unsur terpenting dari perbatasan adalah tempat kedudukan dari perbatasan tersebut, yaitu harus jelas, tegas dan dapat diukur. Sebab bila tidak memenuhi unsur itu, dipastikan bahwa potensi konliknya akan tinggi. Perbatasan yang tidak jelas akan menjadi bom waktu yang siap diledakkan kapan saja.

Perbatasan pada umumnya adalah kawasan dua dimensi, yakni bahwa yang dibatasi bukan hanya keadaan topograi di atas per- mukaan tetapi perbatasan itu sendiri juga membagi tanah dan kerak bumi di bawahnya serta ruang udara di atasnya. Terkait dengan persoalan batas daratan, mungkin agak mudah mencari penyelesaian konliknya, dan juga mudah memberikan batas penanda. Namun bagaimana dengan kawasan di bawah permukaan tanah, apalagi udara? Seperti contohnya saja kawasan perbatasan antara Indonesia dengan Singapura yang ber ada di Kepri. Untuk kawasan perbatasan udara, sampai tahun 2012 juga masih berada dalam tahap perundingan. Sebab, sampai 2012, ruang udara Indonesia di sebagian wilayah Kepri masih belum jelas titik perbatasannya. Pesawat-pesawat yang hendak mendarat di Bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjungpinang, atau di Bandara Hang Nadim Batam, atau juga di Palmatak, Anambas, meski melakukan koordinasi dengan pusat kontrol udara di Singapura. Padahal ketiga wilayah ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.

Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Wakil Menteri Perhubungan (Wamenhub) RI Bambang Susantono, bahwa pemerintah RI ber- tekad untuk mengambil kembali ruang udara Indonesia dari Singapura. Bambang menjelaskan, langkah ini sudah berkali-kali dilakukan, tapi selalu gagal. Kini kembali pemerintah mencoba mengambil langkah itu, yakni dengan mewujudkan Jakarta Air Traict Services (JATS) pada 2012 dan 2013. Indonesia juga akan melakukan pembicaran-pem bicaraan dengan IGO (International Geotraic Organization) tentang tujuan Indonesia mengambil ruang udara Batam dan sekitarnya yang dikuasai Singapura.9

Sebelum ruang udara itu diambil oleh Indonesia, maka saat ini Indonesia memerlukan izin dari Singapura saat pesawat militer ingin berangkat, mendarat, atau melintas di atas Batam, Tanjung- pinang, dan Natuna. Begitupun juga saat pesawat komersial dari dan ke Bandara Hang Nadim akan mendarat atau take of. Sejak 1946, setahun setelah bangsa ini merdeka, ruang udara Indonesia di Kepulauan Riau (men cakup Batam, Tanjungpinang, Natuna) ber- ada di bawah kendali Singapura. Luas penguasaan Singapura atas wilayah udara kita mencapai 100 nautical mile. Satu nautical mile setara 1,825 kilometer. Luas kekuasaan Singapura di atas negara kita sekitar 200 kilometer dari garis batas kedua negara, nyaris masuk ke wilayah Pangkal Pinang (Bangka) dan Palembang.10

Terlepas dari persoalan batas wilayah udara ini, perbatasan di atas permukaan tanah juga tetap memiliki potensi konlik yang tinggi. Karena itu, umumnya bagian perbatasan di permukaan tanah diberi lagi jalur-jalur perbatasan yang lain (zona) pada sebelah menyebelah per batasan yang mempunyai jarak tertentu dari perbatasan sesungguhnya. Zona ini kadang-kadang disebut dengan

free zone, atau safety zone, demilitarry zone, no man’s land dan

9 Batam Pos, 15 Agustus 2012. 10 Ibid.

seterusnya, yang masing-masing istilah sesuai dengan tekanan fungsinya.11

Akan tetapi dengan adanya zone bebas ini tidak berarti bahwa kedudukan perbatasan yang sebenarnya itu berubah. Pengertian “no man’s land” tidak berarti bahwa tidak ada pemiliknya, tetapi berarti bahwa kawasan tersebut harus dibebaskan dari hak-hak perdata. Di daerah itu tidak diperbolehkan terdapat perkebunan, pertanian, rumah dan seterusnya. Lebar zona-zona tersebut bervariasi ada yang 9 mil, 10 mil, bahkan sampai 20 mil, dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak.12

b. Perbatasan yang dibentuk oleh sungai

Selain perbatasan darat, juga masih ada perbatasan yang di- bentuk oleh sungai-sungai. Perbatasan seperti ini menjadikan sebuah aliran sungai sebagai pembatas antara wilayah dua negara yang bertetangga. Yang menarik adalah bahwa sungai bukanlah sebuah bagian alam yang statis, melainkan selalu dinamis. Sering terjadi pendangkalan alur, yang tentunya ini akan menjadi persoalan tersendiri bagi pembentukan garis perbatasan. Apalagi ada semboyan yang mengatakan, sejengkal tanah pun di perbatasan akan diper- tahan kan, demi menjaga nasionalisme. Padahal, kalau terjadi pen- dangkalan sungai, tanahnya tentu tidak sejengkal lagi, melainkan berjengkal-jengkal.

Karena itu, umumnya dua negara yang mendasari batas wilayah nya pada sungai, selalu mengadakan perjanjian yang mem- berikan gambaran aturan secara rinci. Sebut saja antara Indonesia dengan Papua Nugini, atau antara Amerika Serikat dan Kanada. Inti dari perjanjian itu adalah bahwa perbatasan akan terletak pada sumbu sungai yang dapat dilayari.

Contohnya adalah dalam Article III Konvensi 1895 tentang per batasan antara Indonesia dengan Papua Nugini menyebutkan:

11 Ade Priangani, op.cit.

“From that point the waterway (“halweg”) of the ly river forms the boundary up to the 141st degree of east longitude”. Menurut perjanjian tahun 1973 (UU No.6 Tahun 1973) disebutkan: “to the point of its most northerly intersection with the waterway (“halweg”) of the ly river”. Demikian halnya dengan perjanjian perbatasan tahun 1908 antara Amerika Serikat dengan Kanada di sungai St. Croix menyebutkan: “he line should follow the center of the main channel of halweg as naturally existing”.13

c. Perbatasan berbentuk pegunungan

Perbatasan juga menjadikan gunung sebagai salah satu titik awal pengukurannya. Kondisi seperti ini biasanya terjadi di negara- negara yang berada di dataran tinggi, dengan banyak pegunungan di sekeliling nya. Bila melihat dari kronik sejarah, memang sejak zaman dahulu, kawasan pegunungan merupakan bagian alam yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri untuk dijamah. Karena itu, kebanyakan pasukan tempur menjadikan kawasan pegunungan sebagai benteng alami bagi mereka untuk menghindari serangan musuh. Demikian juga, biasanya wilayah-wilayah kerajaan juga menjadikan pegunungan sebagai batas terjauh mereka.

Setelah lahirnya konsep negara-bangsa, dan munculnya feno- mena state’s border (batas negara), pegunungan tetap dijadikan salah satu bentuk favorit untuk mengatur batas negara. Bagian dari pegunungan yang menjadi perbatasan pada umumnya adalah bagian-bagian tertinggi pada pegunungan tersebut. Perbatasan yang demikian sering disebut dengan “Watershed” yang artinya bahwa bagian-bagian tertinggi dari pegunungan itu merupakan pemisah dari semua aliran sungai-sungai yang mengalirkan ke jurusan- jurusan yang berlawanan.

Perbatasan Kalimantan Indonesia dan Kalimantan Malaysia me rupa kan jenis perbatasan alam yang disebut sebagai watershed.

Watershed merupakan perbatasan alam terbaik, sebab tidak dapat diragukan lagi kedudukannya, bersifat abadi dan merupakan pemisah yang paling eisien.14

d. Perbatasan laut

Bentuk perbatasan yang satu ini memang banyak sekali di muka bumi. Laut dijadikan sebagai garis pemisah antara dua negara, meng ingat memang batas teritorial mereka dibatasi tengahnya oleh lautan. Untuk mengatur batas laut ini, sudah dilakukan beberapa kali konvensi, seperti misalnya Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982. Sementara itu, untuk menghadapi kasus di mana laut sebagai batas dua negara ternyata saling bersingungan atau berhimpitan, maka dilakukan perundingan bilateral antara dua negara untuk menyelesaikan nya. Dalam kasus bila ternyata perundingan gagal menemukan kata sepakat, maka perselisihan bisa dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.

e. Perbatasan udara

Ruang udara yang merupakan bagian wilayah negara adalah ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan di atas wilayah perairan. Teori-teori tentang hal ini pun muncul. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara memiliki sifat yang bebas (penganut teori udara bebas/”he Air Freedom heory”) dan mereka yang berpendapat bahwa negara memiliki kedaulatan terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya (he Air Sovereignty heory).15

14 Ibid. 15 Ibid.

Dalam dokumen Menjaga Indonesia dari Kepri (Halaman 31-44)