• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM

A. Harian Umum Kompas

1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya

Sejarah Harian Umum Kompas rupanya cukup erat dengan sejarah Indonesia, yaitu ketika suhu perpolitikan di Indonesia memanas menjelang tahun 1965, ketika itu Partai Komununis Indonesia (PKI) melakukan kegiatan sepihak, bahkan menyuarakan pembentukan angkatan kelima untuk menghadapi alat-alat keamanan Negara yang sah, ABRI. Dengan dalih landreform1 PKI melakukan penyerobotoan tanah milik Negara. Aksi serupa dilukiskan oleh ‘Harian Rakyat’ sebagai adil dan patriotik. Suatu hari di awal 1965, Letjen Ahmad Yani (1922- 1965) selaku menteri/panglima TNI-AD menelpon rekannya sekabinet, Drs Frans Seda. Ahmad Yani melemparkan ide untuk menerbitkan harian melawan pers komunis. Frans Seda menanggapi ide itu, lalu kemudian membicarakannya dengan Ignatus Josef Kasimo (1900-1986) sesama rekan dari partai katolik dan dengan rekannya yang memimpin majalah Intisari, Petrus Kanisius Ojong (1920- 1980) dan Jacob Oetama.

PK Ojong dan Jakob Oetama kemudian menggarap ide tersebut dan mempersiapkan penerbitan harian. Pada awalnya nama yang dipilih adalah “Bentara Rakyat”, pemakaian nama itu dumaksudkan untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa pembela rakyat yang sebenarnya bukanlah PKI. Dalam keperluan dinas Frans Seda sebagai Menteri Perkebunan (1964-1966) menghadap

21

1

Landreform atau reformasi tanah adalah redistribusi tanah yang dikuasai langsung oleh negara sebagai objek pengaturan penguasaan tanah kepada petani penggarap.

kepada Presiden Soekarno di Istana Merdeka, setelah Presiden Soekarno mendengar bahwa Frans Seda akan menerbitkan sebuah Harian lalu Soekarno menyarankan sebuah nama yaitu “Kompas”. Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba, maka jadilah nama Harian Umum Kompas

hingga sekarang, sementara nama Yayasan Bentera Rakyat sebagai penerbit Harian Umum Kompas. Para pendiri Yayasan Bentera Rakyat adalah para pemimpin organisasi katolik seperti: partai katolik, wanita katolik, PMKRI, dan PK Ojong. Pengurus Yayasan terdiri dari ketua : I.J. Kasimo, wakil ketua: Drs Frans Seda, Penulis I : F.C. Palaunsuka, penulis II : Jacob Oetama, Bendahara : PK. Ojong.

Walaupun mendapat bantuan dari Mgr. Soegijapranoto dan bantuan dari pimpinan Angkatan Darat, proses izin terbit mengalami kesulitan karena PKI dan antek-anteknya “menguasai” aparatur negara, khususnya Departemen Penerangan Pusat dan daerah. PKI tidak mentolerir sebuah harian yang menjadi saingan berat. Tahap demi tahap rintangan dapat teratasi, pusat memberi izin prinsip namun harus di konfirmasikan ke Daerah Militer V Jaya. Lalu persyaratan terakhir untuk terbit adalah harus ada bukti 3.000 orang pelanggan lengkap dengan alamat dan tanda tangannya. Frans Seda akhirnya punya inisiatif untuk mengumpulkan tanda tangan anggota partai, guru sekolah, anggota-anggota Koperasi Kopra Primerdi Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur. Dan dalam waktu singkat, daftar 3.000 pelanggan lengkap dengan alamat dan tanda tangan terkumpul. Bagian perizinan Puskodam V Jaya akhirnya menyerah dan mengeluarkan izin terbit. Pers PKI yang melihat kehadiran Harian Umum Kompas

Umum Kompas” sebagai “Komando Pastor”. Harian Umum Kompas lahir pada tanggal 28 Juni 1965 dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat”, pada keesokan harinya Harian Umum Kompas mulai dipasarkan. Harian Umum Kompas pertama kali terbit sebanyak empat halaman.

Kemudian setelah Orde Lama tumbang dan digantikan Orde Baru yang ditandainya peristiwa G30S/PKI, maka terbentuklah peta ideologi pers di Indonesia. Agassi dalam buku Akhmad Zaini Akbar berjudul 1966-1974 Kisah Pers Indonesia memetakan ideologi pers pada periode awal kebangkitan orde baru (Orba), yaitu:

a. “Pers Militer”, yaitu Harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera, Api Pancasila, Pelopor Baru dan Warta Harian. Empat harian yang terakhir adalah harian yang punya hubungan khusus dengan militer, namun satu sama lain tidak selalu satu pendapat tentang hal-hal tertentu dan bahkan tak jarang saling berentangan. Hal ini merupakan refleksi dari masih belum integratifnya pandangan dan sikap militer dalam menghadapi beberapa politik tertentu

b. “Pers Nasionalis” (Pers PNI), yaitu Suluh Marhaen dan El-Bahar.

Harian terakhir bukan pers PNI, tapi punya hubungan baik dengan kelompok kiri partai itu dan lebih kiri daripada pers PNI, serta selalu mendukung dan mengekspresikan pandangan-pandangan Soekarno, walaupun terbit di zaman Orba

c. “Pers Kelompok Intelektual”, yaitu Harian Kami, Nusantara, Indonesia dan Pedoman

d. “Pers Kelompok Muslim”, yaitu Duta Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam dan Mercu Suar

e. “Pers Kelompok Kristen”, yaitu Harian Umum Kompas (Katolik) dan SinarHarapan (Prostetan)

f. “Pers Kelompok Independem”, yaitu Harian Merdeka, Jakarta Times serta Revolusioner.2

Peta ini dibuat Agassi ini didasarkan atas ekspresi cultural (nilai-nilai, aliran atau ideologi) yang ditampilkan pers dalam politik redaksional (pemberitaan dan editorialnya). Misalnya, “Pers Militer” adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologis militer, walaupun tidak selalu uniform,

namun untuk sejumlah persoalan politik krusial selalu terdapat kesamaan pandangan, seperti dalam soal stabilitas, ketertiban politik nasional, ideologi Negara, kepentingan nasional, persatuan dan kesatuan nasional serta lainnya. Sedang “Pers Nasionalis” adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologis kaum nasionalis radikal dan Soekarnois. “Pers kelompok Intelektual” bisa dihubungkan dengan ekspresi ideologis kaum intelektual di dalam maupun di luar kampus yang menginginkan perubahan atau pembaharuan politik nasional. Kelompok ini sering dihubungkan dengan tokoh-tokoh PSI (Partai Serikat Islam) atau kelompok Sosialis. Selanjutnya, “Pers Muslim” adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologis kaum muslimin pada umumnya, namun perlu dicatat pula bahwa kelompok ini pun tidak selalu punya pandangan bahkan dalam banyak hal bertentangan secara diametral. Lalu “Pers kelompok Kristen”, adalah pers yang mengekspresikan pandangan idelologis umat Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Sedangkan “pers kelompok independen” adalah pers yang yang tidak mengekspresikan pandangan ideologis kelompok mana pun dalam masyarakat. Tapi, karena tidak punya pandangan ideologis ekslusif, maka di dalam prakteknya pers kelompok ini kadang-kadang terjebak dalam pandangan-pandangan ideologis dari kelompok pers lainnya, sehingga sering dikatakan “Pers plin-plan”3

Awalnya Kompas mempercayakan percetakan di Eka Grafika, namun setelah sebulan dicetak di Eka Grafika, harian ini kemudian dicetak di percetakan masa Merdeka Jl. Sangaji, Jakarta. Percetakan ini memang lebih baik dari percetakan pertama. Meskipun sistem settingnya masih cetak timbul, namun

2

Ahmad Zaini Akbar, 1966-1974Kisah Pers Indonesia, (Yogyakarta:LKiS,1955), hlm. 57

3

percetakannya sendiri sudah menggunakan mesin rotasi. Karena itu daya cetaknya lebih cepat.

Dan semenjak itulah oplah Harian Harian Umum Kompas naik dari semula 4.800 eksemplar di masa Eka Grafika melonjak menjadi 8.003 eksemplar. Pada tanggal 26 Juni 1967 oplah Harian Umum Kompas menjadi 30.650 ekslempar. Tepat setahun kemudian, tanggal 26 Juni 1968, menjadi 44.400. Lalu pada tanggal 26 Juni 1969 (ketika harian ini membuka stand di Jakarta Fair) oplahnya meningkat lagi menjadi 63.747 ekslempar. Tepat pada 26 Juni 1970 batas 80.000 telah dilewati, yaitu 80.412 ekslempar. Dari jumlah itu, kira-kira 31.000 beredar di Jakarta saja. Ini berarti hampir 40%. Selebihnya (60%) tersebar di luar Jakarta, di seluruh Nusantara. Pola ini menandakan bahwa Harian Umum Kompas

menjadikan harian nasional dan bukan harian lokal atau harian daerah, sudah ternyata sejak semula dan bertahan terus hingga kini.

Krishna Sen and David T. Hall, dalam bukunya Media, Culture and Politics in Indonesia, memandang Harian Umum Kompas sebagai:

Harian yang paling prestisius dan laku di Indonesia (lebih dari setengah juta kopi terjual setiap hari pada tahun 1995), dan juga harian berkualitas terbesar di Asia Tenggara.… Ini karena Harian Umum Kompas memiliki reputasi kedalaman analitis dan gaya penulisan yang rapi. Menganggap gaya tulisannya sebaga ‘determind boringness’ (gaya yang membosankan tapi tegas)“4. Maka wajar saja jika oplah Harian Umum Kompas terus menanjak.

Selanjutnya ketika oplah Harian Umum Kompas terus menanjak, ada peristiwa yang cukup mengegerkan insan pers pada waktu itu, termasuk Harian Umum Kompas sendiri. Puncaknya tanggal 15 Januari 1974 atau yang dikenal “Peristiwa 15 Januari 1974” (Malari), merupakan peristiwa pembredelan beberapa harian. Tidak mengherankan bahwa penurunan tiras tidak saja dialami oleh harian

4

Krishna Sen and David T. Hall, Media Budaya dan Politik di Indonesia, Penerjemah Sirikit Syah, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001), hlm. 68

yang baru saja dibredel, tapi juga oleh harian yang sebelumnya tidak bredel, contoh sebelum “peristiwa 15 Januari 1974” dan sebelum Harian Indnoesia Raya dibredel untuk selamanya, tiras tertinggi Harian Umum Kompas 177.000 ekslempar. Dalam bulan Mei jumlah tiras tinggal 169.000 ekslempar. Turun 8.000 ekslempar dalam lima bulan. Kenaikan kembali tiras baru terjadi setelah situasi normal kembali dan pers kurang lebih bisa berfungsi seperti biasa.5

Meskipun bisa pula terjadi suatu ketika tiras naik karena masyarakat ingin tahu apa yang disajikan suatu harian setelah ia bredel. Hal ini biasanya tidak berlangsung lama, karna akhirnya pembaca menghadapi kenyataan bahwa isi harian hambar. Ketika baru saja terbit tanggal 6 Februari 1978, setelah dibredel sejak 21 Januari 1978 (Januari 1974, Harian Umum Kompas tidak dibredel), Harian Umum Kompas mencapai tiras 293.000 ekslempar sedang tiras tertinggi selama dibredel 276.000 ekslempar. Setelah mencapai tiras “puncak” begitu terbit kembali setelah dilarang terbit itu, hari-hari berikutnya tiras terus merosot. Pada tanggal 25 Februari 1978 tinggal 272.387 ekslempar. Jika situasi tetap belum menentu dan ketidak pastian para wartawan masih berlangsung terus, masih sangat besar kemungkinan tiras cenderung terus menurun.6

Menurut Krishna Sen dan David T. Hall, Harian Umum Kompas yang menerapkan nilai kehati-hatian dan self-censorship dalam isu politik dan ternyata berhasil lolos dari pelarangan/pembredelan besar-besar pada tahun 70-an itu, meskipun dengan kesadaran yang semakin meninggi akan kerapuhan. Harian Umum Kompas merespon kerapuhan itu dengan strategi diversifikasi dan reinvestasi besar-besaran sepanjang tahun 80-an.

Lalu sepanjang tahun 1980-an oplah Harian Umum Kompas mengalami perkembangan pesat, misalnya 600.000 tahun 1986 selama sebulan. Sekarang rata-rata 500.000 eksemplar (Senin-Jumat), sekitar 600.000 di hari Sabtu-Minggu. Oplah terbesar di capai pada waktu ulang tahun Bung Karno ke 100 tahun dengan

5

Tim penerbit Buku Kompas, Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta:Buku Kompas, 2002), cet. 3, hlm. 203

6

Tim penerbit Buku Kompas, Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, cet. 3, hlm. 203

oplah 750.000 eksemplar dalam edisi khusus.7 Sejak 1989, dibawah divisi pers daerah (Persda), Harian Umum Kompas menjadi kerajaan bisnis yang cukup jaya dengan menggunakan nama Kompas-Gramedia Group dan pada kisaran tahun itu pula Harian Umum Kompas merangkul berbagai Harian daerah melalui suntikan modal, redaksional dan kolaborasi manajerial.8

Pada awal 90-an, Harian Umum Kompas memiliki 38 perusahaan, bukan hanya percetakan dan penerbitan tapi juga radio, travel, hotel, industry periklanan, tambak udang, lembaga pendidikan Bahasa Inggris, computer dan banyak lagi. Melalui berbagai buku, majalah dan harian, Kompas-Gramedia Group mendominasi industri penerbitan.9 Dan tepat pada tahun 1997, kelompok ini memiliki Sembilan harian, lima tabloid dan 14 majalah. Kompas-Gramedia Group menunjukkan keinginannya untuk terus beroperasi di bawah sejumlah hambatan terhadap isi berita yang ditetapkan oleh pemerintahan Orba (Orde Baru) sambil mengambil keuntungan penuh atas kebijakan pemerintah mendukung perusahaan sejak pertengahan 70-an. Kekuatan ekonominya yang berkembang di Orba telah diatur untuk bertahan terhadap rezim politik tersebut.10