• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH DAN PROSES PERSEBARAN KESENIAN NANDONG

4.1. Sejarah dan Perkembangan Kesenian Nandong

Dalam buku pengantar antropologi Koenjaraningrat (1981:240), penyebaran unsur-unsur kebudayaan bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia dimuka bumi, turut juga tersebar unsur-unsur kebudayaaan dan sejarah dari proses penyebaran unsure-unsur kebudayaan keseluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi. Salah satu bentuk difusi adalah penyebaran unsure-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi, yang dibawa oleh kelompok – kelompok manusia yang bermigrasi. Penaklukan suatu daerah juga dapat terjadinya difusi kebudayaan. Penaklukan sebenarnya hanya merupakan titik permulaan proses masuknya unsure-unsur kebudayaan asing. Penyiar agama juga membawa pengaruh yang besar terhadap kebudayaan. Pertemuan antara kebudayaan-kebudayaan yang disebabkan oleh penyiar agama seringkali juga baru mulai setelah penaklukan. Baru setelah suatu daerah sudah ditaklukan dan dibuat aman oleh pemerintahan jajahan, maka datanglah para penyiar agama, dan mulailah proses akulturasi yang merupakan akibat dari aktivitas itu.

Simeulue sendiri merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari banyak suku, salah satu nya suku aneuk jame. Suku aneuk jame cukup mendominasi di pulau Simeulue, khususnya di kecamatan Simeulue Timur. Terlebih dahulunya penulis

ingin menceritakan tentang asal mula suku Aneuk Jame yang ada di Aceh. Kata aneuk jame dalam bahasa Aceh dapat diartikan sebagai anak tamu. Nama ini diberikan kepada masyarakat Minang kabau yang bermukim di beberapa lokasi dalam wilayah pesisir barat Aceh. Seperti kata pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit

dijunjung. Demikian dengan perantau dari Minang kabau ini. Mereka kemudian

berbaur dengan masyarakat Aceh sehingga bahasa, adat, budaya dan tradisi mereka terjadi saling pengaruh dan mempengaruhi. Dalam proses pembauran mereka juga melakukan kawin campur, sehingga keturunan meraka tidak lagi mengaku sebagai orang Mianang Kabau atau tidak mengaku orang Aceh tetapi keturunan mereka menyebut dirinya sebagai aneuk jame yang artinya anak tamu.

Bahasa yang banyak digunakan masyrakat aneuk jame disebut bahasa jame (jamu), kosa kata bahasa jame lebih dominanan bahasa Minangkabau dari pada bahasa Aceh. Bahasa yang diucapkan oleh masing-masing penduduk pada tiap daerah mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan dialek dipengaruhi oleh factor geografi dan bahasa yang terdapat didaerah itu.

Sementara dalam system kekerabatan masyarakat aneuk jame, juga terdapat perpaduan antara unsure yang berasal dari Minangkabau dan unsure dari Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral dan adat menetap setelah menikah adalah uxiorilokal. gasis keturunan laki-laki diperhitungkan sebagai wali. Pihak kerabat ayah mempunyai status yang kuat didalam pewarisan dan perwalian.

Garis keturunan dipihak perempuan dipandang sebagai pihak kerabat ibu yang berada satu derajat diatasnya.

Pesebaran masyarakat aneuk jame di Aceh belum dapat diketahui secara pasti. Namun berdasarkan jejak-jejak sejarah, mereka telah ada sejak berdirinya keajaan Aceh Darusalam. Dalam “Profil Budaya Aceh Selatan” zainudin mengatakan bahwa masyarakat aneuk jame telah ada sejak abad XVII. Nenek moyang meraka berasal dari Minangkabau, antara lain dari daerah Lubuk Sikaping, Pasaman dan Pariaman.

Muhammad Umar dalam bukunya “Suku dan Adat Aneuk Jamee di Aceh”. Diperkirakan gelombang kehadirannya secara besar-besaran ketika pada tahun 1803-1893 di Sumatera Barat terjadi perang Padri yang dipimpin oleh tuanku Iman Bonjol melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam perang tersebut mereka merasa terancam tinggal di Sumatera Barat, sehingga banyak yang mengungsi ke Aceh dan mulai membangun pemukiman disepanjang barat Aceh seperti kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan dan Aceh Barat. Gelombang migrasi masyarakat Minangkabau terjadi lagi pada masa penjajahan Belanda di Aceh, yaitu ketika di Aceh dibangun jalan kereta api yang menghubungkan Kutaraja (sekarang Banda Aceh) dengan Medan. Seiring dengan dibangunnya jalan kereta api, Belanda juga membuka perkebunan kelapa sawit , karet dan kopi. Disamping itu juga Belanda juga membangun sekolah-sekolah rendah di kota yang tersebar di seluruh Aceh. Untuk mengisi kekosongan tenaga kerja tersebut, Belanda juga mendatangkan tenaga kerja

dari luar Aceh, salah satunya dari Minangkabau, sehingga terjadi migrasi dari Sumatera Barat.

Pada masa penjajahan Belanda, orang Minangkabau ikut serta dan bergabung untuk melawan pasukan Belanda. Orang Minangkabau sangat mengerti bagaimana kekejaman dan keserahkaan bangsa Belanda menjajah nusantara ini. Kekejaman Belanda tersebut diceritakan kembali oleh orang tua kepada anak cucunya sampai pada masa perjuangan kemerdekaan. Sebab itulah perpaduan dalam satu suku bangsa tersebut mereka pegang teguh sebagai amanat dan wasiat dari nenek moyang orang minang sesuai dengan ungkapan pepatah mereka yang berbunyi: “dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjung, dimano tambilang dihentak, disitu baniah di tanam, dimano rantiang tapijak disitu bunyi berdarai”.

Maksud dari pepatah itu adalah sebagai peringatan bagi warga Minangkabau, apabila merantau kenegeri orang hendaklah pandai menjaga diri, harus cepat beradaptasi dengan warga dan masyarakat setempat. Di daerah Minangkabau tempat mereka berasal, budaya, tradisi, etika, adat, sangat kental dengan budaya melayu, sangat sarat dengan amanat dan nasehat, penuh dengan berisi hikmah dan fisalfat, semua itu diungkapkan dalam bentuk pepatah, dalam bentuk pantun, gurindam, dalam pergaulan sehari-hari sangat terasa budaya Minangkabau hingga sekarang. Jika seorang anak ingin merantau ke negeri orang maka orang tuanya memberi pesan dan nasehat kepada anaknya, seumpama sebagi berikut:

Jiko anak pai kalapau Hiyu bali balanak bli Ikan panjang bali dahulu Jiko anak pai merantau Induak cari dusanak cari Induak samang cari dahulu Karakok madang dihulu Babuah babungo balun Kok marantau dagang dahulu Dikampung paguno balun

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia; Ikan Hiyu beli ikan Balanak beli

Ikan panjang (belut) beli dahulu Jika anak pergi meranatau Ibu cari family dicari Ibu angkat cari dahulu

Karakok (kayu) madang dihulu Sudah berbuah belum berbunga Kok pergi marantau anak dahulu Sedangkan dikampung belum berguna

Berdasarkan pantun yang berisi nasehat itulah masyarakat Minangkabau mengerti cara untuk untuk mengatasi kehidupannya. Dengan demikian orang Minangkabau dari dahulu hingga sekarang dapat dengan mudah beradaptasi dengan masyarakat setempat, dan sebuah pepatah / nasehat untuk melancarkan urusan, yaitu seorang anak perantau tidak boleh banyak berdebat dan tidak boleh banyak sanggahan dengan orang lain.

Aneuk jame yang mulai banyak tersebar di bagian Aceh Barat (termasuk Simeulue), Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Aceh Singkil. Mungkin karena daerah tersebutlah banyak orang Minangkabau maka disebagian Aceh menggunakan bahasa Aneuk Jame. Penyebaran orang Minangkabau ini di daerah Aceh maka terjadilah kawin silang, atau kawin campuran sehingga hubungan semakin erat menjadi suatu keluarga. Dan akhirnya disebabkan semakin lama semakin menjadi komunitas besar dalam pemerintah Aceh, kerajaan Aceh Darussalam memberi hak dan kebebasan bagi warga masyarakat suku Aneuk jame untuk mengurus

komonitasnya sendiri, yaitu memberlakukan adat, tradisi, dan budaya mereka sendiri, pemerintah Kerajaan Aceh mengganggap warisan budaya Suku Aneuk Jamee adalah sebagai budaya Kerajaan Aceh.

Sejarah Aneuk Jame diatas sangat erat hubungannya dengan sejarah dan kebudayaan yang ada di Simeulue. Dimana di Simeulue terdapat suku aneuk jame. Penyebaran yang dilakukan orang Minangkabau ke daerah-daerah Aceh membawa unsure-unsur kebudayaan mereka sehingga terjadi difusi. Kebudayaan yang orang Minangkabau bawa diadopsi oleh masyarakat Simeulue. Terlihat dari kesenian Nandong yang ada di pulau Simeulue. Kesenian ini sangat mirip dengan pepatah atau petuah orang Minangkabau. Seperti syair Nandong yang ada di pulau Simeulue sebagai berikut:

Jangan baladang jauh-jauh Tidolah rakik mangilikan Jangan marantau jauh-jauh Tido kampong mangunikan Sabab baladang jauh-jauh Ado rakik mangilikan Sabab marantau jauh-jauh Ado si upik di tinggakan Elok-elok makan di dulang Bukan dulang kupu-kupu Elok-elok dibanda urang Bikan tau banda ibu bapak Tau kami makan didulang Saraso dulang kupu-kupu Elok-elok dibanda urang Bukan tampek ibu bapak

Jangan beladang jauh-jauh

Tidak ada rakit yang mengantarkan Jangan merantau jauh-jauh

Tidak ada kampong yang menghunikan

Sebab berladang jauh-jauh Ada rakit yang mengantarkan Sebab merantau jauh-jauh Ada siupik yang ditinggalkan Baik-baik makan di dulang Bukan dulang kupu-kupu Baik-baik ditempat orang Bukan tempat ibu dan bapak Tahu kami makan didulang Terasa seperti diulang kupu-kupu Baik-baik ditempat orang

Syair diatas menjelaskan tentang seorang anak yang merantau, apabila dia merantau harus lah baik-baik dinegeri orang karena di negeri orang tak ada saudara dan ditempat orang haruslah bisa beradaptasi dengan masyarakat setempat. Apabila merantau tau lah di untung karena kita hidup merantau tidak seperti kita hidup bersama ibu dan bapak, dan apabila suatu hari telah berhasil di negeri orang maka kembalilah kekampung halaman karena ada orang yang di tinggal disana. Dilihat dari kedua syair diatas, kedua syairnya memiliki makna yang sama untuk seorang perantau.

Kesenian Nandong yang ada di Simeulue yang dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya yang dibawa oleh orang Minangkabau dan diadopsi oleh masyarakat Simeulue juga dijelaskan oleh seorang informan bapak Mahyudin mantan ketua Laka, yang didapat dari wawancara sebagai berikut:

“ kapan kesenian nandong itu ada belum dapat dipastikan, siapa penciptanya pun tidak ada yang mengetahui. Kesenian nandong ini memang telah lama ada di Simeulue. Cerita nenek moyang dulu atau nasehat – nasehatnya, selalu mereka ungkapkan lewat syair. Sehingga ungkapan itu dinyanyikan ketika berkumpul untuk memanen cengkeh, atau sedang menunggu tanggapan ikan dan waktu mengayun anak dalam ayunan. Syair Nandong ini biasanya dinyayikan dengan menggunakan bahasa jame. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh masuknya budaya Minangkabau yang di bawah oleh Tengku Di Ujung yaitu tokoh agama yang pertama

menyiarkan agama islam dan dapat dilihat adanya suku aneuk jame yang ada di Simulue”.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kesenian Nandong merupakan kesenian yang diadopsi dari orang Minangkabau yang bermigrasi ke Aceh khususnya di Simeulue. Dimana Suatu kesenian yang dianggap berguna dan bernilai didalam suatu masyarakat akan mudah dibawa, dipelajari dan dijadikan tradisi sendiri yang akan terus berkembang ditengah masyarakat Simulue sendiri. Kesenian Nandong yang telah menjadi suatu tradisi di Simeulue.

Dokumen terkait