• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK SOSIAL BUDAYA SUKU MANDAILING

2.2. Sejarah Desa Sipapaga

Mandailing Natal yang biasa disebut dengan Madina merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara dengan ibukota Panyabungan. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1988, berada paling ujung Sumatera Utara dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat. Dengan kondisi ini menyebabkan masyarakat Kabupaten Madina mengalami proses akulturasi nilai-nilai budaya dari dua kebudayaan, yaitu sistem kekerabatan Batak Toba di Tapanuli Utara yang menganut sistem Patrilineal dengan sistem Matrilineal dari masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat.

Berdasarkan asal usul nama kabupaten ini, terdapat beberapa versi nama untuk Natal. Ada yang mengatakan bahwa bangsa Portugislah yang memberi nama ini, karena ketika mereka tiba di pelabuhan di daerah pantai barat mandailing .mereka mendapat kesan bahwa pelabuhan alam ini mirip dengan pelabuhan Natal di ujung selatan Benua Afrika. Adapula yang menyebutkan bahwa armada Portugis tiba di pelabuhan ini tepat pada hari Natal, sehingga mereka menamakan pelabuhan tersebut dengan nama Natal. Versi lain menegaskan bahwa nama Natal sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kota Pelabuhan Natal di Afrika Selatan dan tidak ada pula kaitannya dengan hari Natal5.

Puti Balkis A. Alisjahbana, adik kandung pujangga Sutan Takdir Alisjahbana, menjelaskan bahwa kata Natal berasal dari dua ungkapan pendek masing-masing dalam bahasa Mandailing dan Minangkabau. Ungkapan dalam Bahasa Mandailing NATARida yang artinya yang tampak (dari kaki Gunung-gunung Sorik Marapi di Mandailing).Ungkapan ini kemudian berubah menjadi Natar.Sampai kini masih banyak orang Mandailing menyebut Natar untuk Natal, termasuk Batang Natar untuk Batang Natal. M. Joustra, tokoh Bataksch Instituut, juga menulis nama Natal dengan Natar dalam tulisannya De toestanden in Tapanoeli en de Regeeringscommissie yang dimuat dalam Bataksch Instituut no. 13 tahun 1917 halaman 14, yang antara lain menulis tentang perbaikan jalan pedati ke Natar dan perbaikan jalan raya Sibolga-Padang Sidimpuan sebagai bagian dari jalan yang menghubungkan Sumatera Barat dan Tapanuli. Lebih tua dari tulisan Joustra itu adalah laporan perjalanan dan penelitian Dr. S. Muller dan Dr. L. Horner di Mandailing Tahun 1838.Mereka menggambarkan keadaan Air Bangis yang dikuasai Belanda sejak tahun 1756 dan Natar yang letak geografisnya 0 0 3230’’ Lintang Utara dan 990 5 Bujur Timur dikuasai Inggris tahun 1751-17565.

Ungkapan bahasa Minangkabau raNAh nan data(r) kemudian menjadi Nata(r) yang artinya daerah pantai yang datar adalah salah satu versi tentang asal muasal nama Natal. Penyair besar Mandailing, Willem Iskandar menulis Sajak monumental “Sibulus-bulus si Rumbuk-rumbuk” mengukir tanah kelahirannya yang indah dihiasi perbukitan dan gunung.Terbukti tanah Mandailing mampu eksis dengan potensi sumber daya alam, seperti tambang emas, kopi beras, kelapa dan karet5.

Kabupaten Mandailing Natal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999 di kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan. Dalam rangka mensosialisasikan Kabupaten Mandailing Natal, Bupati Mandailing Natal, Amru Daulay, SH menetapkan akronim nama Kabupaten Mandailing Natal sebagai Kabupaten Madina yang Madani dalam Surat tanggal 24 April 1999

Nomor 100/253.TU/1999. Ketika diresmikan, Kabupaten Mandailing Natal baru memiliki 8 (delapan) Kecamatan, 7 Kelurahan dan 266 Desa. Pada tahun 2002 dilakukan pemekaran menjadi 17 Kecamatan, 322 Desa, 7 Kelurahan dan 10 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Pada tahun 2007 dimekarkan lagi menjadi 22 Kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah No.10 tahun 2007, setelah keluarnya Peraturan daerah No.8 Tahun 2008 tentang pembentukan Desa, perubahan nama desa dan penghapusan kelurahan, dengan demikian Kabupaten Mandailing Natal sampai pada akhir tahun 2010 terdiri dari 23 Kecamatan, 27 Kelurahan dan 377 Desa5.

Madina merupakan singkatan atau akronim dari Mandailing Natal yang merupakan wilayah/adat Kabupaten Daerah Tingkat II mandailing Natal.Motto daerah ini adalah “Madina yang Madani”. Madina merupakaan kependekan dari kata : Makmur, Aman, Damai,, Indah, Nyaman dan Asri. Sedangkan pengertian secara lengkap Motto daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal “Madina yang Madani” adalah Masyarakat Mandailing Natal yang hidup rukun, tenteram, cukup sosial dan mempunyai jiwa membangun yang cukup tinggi serta terbuka menerima perubahan (Madina yang Madani, Basyral Hamidy Hararap).

Selain Motto Madina yang Madani, Kabupaten Madina juga mengenal tentang Poda Na Lima.Poda Na Lima pada waktu itu disampaikan Oleh Kadis Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal yang berhubungan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat bagi Masyarakat Madina. Poda Na Lima berisi tentang:

1. Paias Rohamu (Bersihkan hatimu dengan selalu berfikir positif, berzikir, banyak bersyukur atas nikmat yang ada dan bersabar manakala ada cobaan)

2. Paias Pamatangmu (Bersihkan Tubuhmu. Mandi teratur, higienis dan sehat serta selalu dalam keadaan berwudhu apabila memungkinkan)

3. Paias Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu. Bersihkan pakaian dan cara memakainya. Selalu sopan, tertib juga menutup aurat)

4. Bersihkan Bagasmu (Bersihkan Rumahmu. Selain sehat, asri, nyaman sesuai tuntunan Al Qur’an. Rumahmu adalah syurgamu, istanamu dan rumah yang sehat akan membuat penghuninya sehat terutama kebersihan MCK, Kamar Tidur dan Sirkulasi Udara yang bebas dari asap rokok dan polusi lainnya)

5. Bersihkan Pekaranganmu (Bersihkan Halamanmu. Selain harus bersih, ramah lingkungan, asri melainkan juga aman dan nyaman). Tentu tidak harus mahal. Lihatlah misalnya perkampungan beberapa komunitas suku. Bagaimana Poda Na Lima di lingkungan Masyarakat Jawa, Aceh, Batak Toba, Angkola Mandailing dan Komunitas Tionghoa.

Menurut informan Kasubag Program Dinas Kesehatan Kabupaten Madina, Poda Na Lima ini merupakan pelajaran lama waktu dulu di sekolah dasar, beliau sendiri lupa apa itu Poda Na Lima, tapi itu merupakan cara-cara hidup supaya menjaga kebersihan baik diri maupun lingkungan. Informasi ini juga diperoleh ketika membuka internet tentang Poda Na Lima, karena sudah lupa selain juga sudah jarang diajarkan di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian, sebenarnya ajaran ini sudah menjadi bagian dalam program Pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal sendiri, hal ini terlihat ketika di sepanjang perjalanan khususnya di Ibukota Panyabungan terpampang setiap ruas jalan plang yang bertuliskan Bahasa Arab tentang Asmaul Husna.

Gambar 2.1. Plang Asmaul Husna yang

ada di sepanjang jalan di Ibukota Panyabungan

Sumber : Dokumentasi Peneliti 2015

Perjalanan yang dilalui menuju pemukiman Masyarakat Desa Sipapaga tidaklah membutuhkan waktu lama jika ditempuh dari Kota Panyabungan. Kota Panyabungan dapat kita tempuh jika dari Sibolga melewati Kota Padang Sidimpuan terlebih dahulu. Dari Sibolga, perjalanan dapat ditempuh selama lebih kurang 6 jam perjalanan jika kondisi lancar serta menggunakan mobil sendiri/carteran. Sedangkan jika menggunakan angkutan umum atau travel yang biasanya sambung-menyambung dari Sibolga ke Padang Sidimpuan, lalu kemudian dari Padang Sidimpuan baru menuju Kota Panyabungan bisa lebih lama lagi. Rute travel yang berhenti di loket atau terminal untuk menambah penumpang belum lagi jika turun-naik penumpang di - jalan, hal ini akan membutuhkan waktu lebih lama hingga 7-8 jam diperjalanan.

Gambar 2.2.

Travel sebagai angkutan umum Sibolga-Padang Sidimpuan-Panyabungan (PP)

Sumber : Dokumentasi Peneliti 2015

Jika sudah berada di Kota Panyabungan, Lebih kurang 3 km perjalanan lagi yang akan ditempuh sehingga kita sudah beradadi Desa Sipapaga. Kendaraan yang dapat ditumpangi adalah angkutan kota sampai Simpang Aek Godang dan selanjutnya naik becak menuju pemukiman masyarakat. Becak yang ada adalah becak yang ditarik dengan motor berisikan 2 orang penumpang.

Gambar 2.3.

Becak salah satu transportasi umum di Desa Sipapaga

Sumber : Dokumentasi Peneliti 2015

Gambar 2.4.

Angkutan Kota sebagai pilihanTransportasi umum

di Desa Sipapaga

Sumber : Dokumentasi Peneliti 2015

Selain becak yang biasa masuk ke Desa Sipapaga, ada angkutankotadan biasanya ada pada saat pagi dan sore hari untuk mengantar dan menjemput anak-anak sekolah yang berada di luar desa serta pada hari pasar, yaitu hari Kamis. Tarif angkutan kota hingga Desa Sipapaga hanya dengan Rp. 5.000,- saja begitu juga dengan tarif becak Rp. 5.000,- per orangnya.

A. Sejarah Terbentuknya Desa Sipapaga

Berdasarkan informasi yang berhasil dikumpulkan, Desa Sipapaga terbentuk setelah terjadinya Perang Padri pada akhir abad ke-19.Masyarakat yang berada di Desa Sibinail pada saat itu mengungsi melalui jalan pergunungan dan akhirnya sampai di wilayah yang pada saat itu di sebut Sipaga-paga dan sekarang lebih dikenal dengan sebutan Sipapaga.Sebelum desa sekarang terbentuk, pemukiman masyarakat berada lebih kurang berada 2 km lebih dekat arah ke Desa Aek Banir.Pada saat itu, karena jumlah penduduk yang masih sedikit dengan wilayah yang juga terbatas, masyarakat tinggal dan menetap disana.Namun lama kelamaan, sekitar Tahun 1970an dikarenakan jumlah penduduk yang semakin banyak ditambah dengan masalah kesulitan air akhirnya mereka berinisiatif pindah ke tempat yang lebih luas dengan wilayah sekarang yang ditempati. Seperti yang diungkapkan oleh informan Msl dalam petikan wawancara berikut ini:

“…dulunya Desa Sipapaga ini berada dekat ke Air Banir, sekitar tahun tujuh puluhan.Setelah tahun tujuhpuluhan itu pindah ke tempat sekarang.Dulunya tempat tinggal sekarang merupakan tempat gembala ternak punya orang dari Panyabungan. Rumah sekarang lebih rapat dengan penduduknya lebih banyak, sedangkan dulu jarang-jarang rumahnya dengan lebih sedikit penduduknya dari sekarang”

Desa Sipapaga adalah nama suatu wilayah di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal, wilayah selatan dari pusat Kota Panyabungan. Menurut beberapa tokoh masyarakat, Desa Sipapaga merupakan pecahan dari Kerajaan Pidoli Lombang. Nama Sipapaga berasal dari pohon papaga yang banyak tumbuh di dataran perkampungan desa, dimana daun papaga digunakan sebagai obat-obatan bagi masyarakatnya, sehingga lambat laun desa ini bernama Desa Sipapaga 6. Beberapa masyarakat yang ditemui banyak yang tidak tahu arti nama sipapaga itu sendiri, yang mereka tahu nama itu sudah ada sejak dulunya.

2.3 Geografi dan Kependudukan

Dokumen terkait