• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Dunia

PENDIDIKAN FARMASI

5.2 Pendidikan Farmasi di Dunia

5.2.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Dunia

Pendidikan formal farmasi di Dunia khususnya di Amerika Serikat sudah mulai berjalan sebelum perang sipil (1861-1864). Banyak pelatihan-pelatihan untuk menjadi

pharmacist atau apoteker dalam bentuk magang, yaitu berupa

pelatihan praktis langsung diberikan oleh apoteker untuk para peserta pelatihan apoteker, dan tidak ada pelatihan pelatihan farmasi formal.

Ada beberapa keraguan tentang mana perguruan tinggi atau universitas yang pertama memberikan kursus farmasi resmi untuk menjadi apoteker pada tingkat perguruan tinggi. Mungkin ada beberapa kursus di tempat praktek apoteker dalam hal ini di apotek selama perang saudara yang sekarang ini dikenal sebagai Philadelphia College of Pharmacy. Pada tahun 1860 University of Michigan (Ann Arbor) menawarkan kursus laboratorium di apotek untuk mahasiswa kedokteran. Pada tahun 1865, Baldwin University (Berea, OH) menjadi lembaga pertama yang menawarkan instruksi untuk program farmasi sebagai bagian dari program kuliah umum. Medical College of South Carolina

(Charleston) meluluskan beberapa orang dalam bidang farmasi pada tahun 1867.

Pada tahun 1876 kursus singkat di apotek yang telah diluncurkan di Universitas Michigan pada tahun 1868 menjadi sekolah farmasi yang terpisah dengan lembaga kursus apoteker di apotek. Sekolah ini dikenal karena telah menjadi pelopor dan sekaligus sebagai perintis lahirnya pendidikan formal dalam bidang farmasi, adalah Dr. Albert B. Prescott, seorang dokter yang meninggalkan kursus singkat di apotek dalam bentuk magang dan mengembangakan program laboratorium dalam ilmu farmasi (ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 5.1).

Gambar 5.1 Revolusi Pendidikan Farmasi. (diadopsi dari Bender, GA. And and Thom, RA. Great Moments in Pharmacy: The Stories and Painting in the Series, a History of Pharmacy in Pictures, by Parke Davis & Company.)

Beberapa literatur mengatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi: isolasi/sintesis, pembuatan, penggunaan, distribusi, dan pengendalian. Berdasarkan hal tersebut seorang farmasis/apoteker memegang peranan yang sangat penting yang meliputi:

1. Farmasislah yang memegang perananan penting dalam

membantu dokter menuliskan resep rasional.

Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai “bagaimana, kapan, dan mengapa” penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep dokter. 2. Farmasislah yang sangat handal dan terlatih serta pakar

dalam hal produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang berpengalaman.

3. Farmasislah yang merupakan posisi kunci dalam

mencegah penggunaan obat yang salah,

penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irrasional.

4. Farmasis memiliki kemampuan dan harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi obat.

Melihat hal-hal diatas, maka nampak adanya suatu kesimpangsiuran tentang posisi farmasi, dimana sebenarnya letak farmasi? Apakah berada di jajaran teknologi, ilmu sains murni, ilmu kedokteran, atau merupakan ilmu yang berdiri

sendiri? Kebingungan dalam hal posisi farmasi akan membingungkan para penyelenggara pendidikan farmasi, kurikulum semacam apa yang harus disajikan; para mahasiswa bingung menyerap materi yang semakin hari semakin banyak atau berat; dan yang paling membingungkan adalah lulusannya merasa tidak menguasai apapun.

Di Inggris Raya, sejak tahun 1962, dimulai suatu era baru dalam pendidikan farmasi, karena pendidikan farmasi yang semula menjadi bagian dari MIPA, berubah menjadi suatu bidang yang berdiri sendiri secara utuh. Profesi farmasi berkembang ke arah “patient oriented” memunculkan berkembangnya Ward Pharmacy (farmasi bangsal) dan Clinical

Pharmacy (Farmasi Klinik).

Di Amerika Serikat telah disadari sejak tahun 1963 bahwa masyarakat dan profesional lain memerlukan informasi obat yang seharusnya datang dari para apoteker. Temuan tahun 1975 mengungkapkan pernyataan para dokter bahwa apoteker merupakan sumber informasi obat yang “parah”, dimana mereka dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan para dokter akan informasi obat. Apoteker yang berkualitas dinilai amat jarang/langka, bahkan dikatakan bahwa dibandingkan dengan apoteker, medical representatif dari industri farmasi justru lebih merupakan sumber informasi obat bagi para dokter.

Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep

“Pharmaceutical Care” yang membawa para praktisi maupun para “Profesor” ke arah “wilayah” pasien.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan World Bank

Group memperkirakan bahwa diperlukan sekitar 40 sampai 50

untuk seluruh cakupan kesehatan secara universal. Pada pertemuan ilmiah dalam acara Global Conference of Parmacy

and Pharmaceutical Sciences Education yang dilaksanakan pada

bulan November 2016 di Nanjing, China. Untuk mencapai target cakupan kesehatan universal dengan tujuan mendukung sumberdaya manusia yang dicanangkan oleh WHO, dan untuk strategi kesehatan dan tujuan pembangunan berkelanjutan, sangat penting bahwa tenaga kerja yang memiliki keahlian farmasi atau farmasis harus cukup jumlahnya dan memiliki

kualitas untuk mempromosikan dan meningkatkan

pembangunan, distribusi dan penggunaan obat-obatan yang bertanggung jawab. Farmasis terutama sebagai apoteker harus bertanggungjawab untuk meningkatkan pelayaan pasien dan berkompeten untuk memberikan layanan kesehatan dan mengatasi tantangan nasional untuk kesehatan global.

Perubahan dan peningkatan tenaga kerja farmasi merupakan komponen penting untuk mencapai cakupan kesehatan universal dan dapat melakukan promosi kesehatan. Menurut data FIP (Intenational Pharmaceutical Federation) mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan tenaga

kerja farmasi di seluruh negara. Di negara-negara

berpenghasilan rendah khususnya, tenaga kerja farmasi perlu diperkuat dalam rangka meningkatkan kapasitas keseluruhan untuk memberikan pelayanan yang tepat dan berbagai layanan farmasi. Selain itu, ada kebutuhan untuk memastikan bahwa praktek farmasis sesuai dengan standar dan kemampuan penuh dari keterampilan dan kompetensi, dalam beragam lingkungan

dan dapat bekerjasama dengan berbagai pemangku

Farmasis/apoteker, melalui peran yang ada dan peran yang baru, perlu advokasi untuk mengetahui sistem kesehatan secara komprehensif dan memastikan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi melalui akses ke tim kesehatan secara multi-profesional. Kita perlu membuat dan mengadopsi bersama visi global bersama untuk profesi yang dapat menjadi acuan pada masing-masing negara yang bertujuan untuk meningkatkan akses menuju keahlian farmasi melalui penguatan dan pengembangan tenaga kerja farmasi yang berfokus pada sistem pendidikan farmasi.

Dokumen terkait