• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR

2005

v

Judul Tesis : Rencana Penglolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Di Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa- Jakarta Selatan.

Nama : Sitti Wardiningsih NIM : A. 165010041 Program Studi : Arsitektur Lanskap

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurhayati H. S. Arifin, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

vi RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kertosono, Jawa Timur pada tanggal 28 Oktober l958 merupakan putri ketujuh dari sembilan bersaudara dari ayah Marwoto Surodiharjo (Alm) dan ibu Suharti Ngali (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Indonesia, lulus pada tahun l984 di Jakarta. Penulis masuk S2 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan memilih Program Studi Arsitektur Lanskap pada tahun 2002.

Penulis bekerja di Jakarta International Airport Proyek Pembangunan Airport Cengkareng pada tahun 1984-1990, pada tahun 1990- l995 bekerja pada Konsultan Interior di Jakarta. Tahun l995 penulis bekerja sebagai tenaga edukatif di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Borobudur.

vii PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2003 sampai dengan bulan Oktober tahun 2004 ini merupakan penelitian lanskap budaya dengan judul Rencana Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan-Serengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Karya ilmiah ini memuat tentang konsep pengelolaan kawasan di Setu Babakan. Kawasan dikelola berdasarkan konsep zonasi ruang, ya ng terbagi menjadi tiga yaitu: zona konservasi budaya, zona konservasi ekologis dan zona pengembangan pariwisata sebagai wisata rekreatif. Kemudian berdasarkan pembagian zonasi tersebut diusulkan strategi dan program pengelolaan yang dapat diterapkan di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa dan Lembaga Kebudayaan DKI, Pemda DKI serta teman-teman S1 IPB dan S1 Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia serta Universitas Borobudur Jurusan Arsitektur, Universitas Persada Indonesia UPI YAI Jurusan Arsitektur yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada teman-teman dari Program Studi Arsitektur Lanskap, Pascasarjana IPB angkatan tiga atas bantua n dan dukungannya. Ungkapan terima juga disampaikan kepada suami Bimbo, anakku Anggie, serta kedua orang tua almarhum dan almarhumah, terimakasih kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Desember 2005

viii DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4 Sejarah Masyarakat Betawi... 4 Lanskap Budaya ... 7 Lanskap Budaya Betawi... 7 Pola Permukiman ... 8 Pola Pekarangan... 9 Elemen-Elemen Pekarangan ... 11 Pengelolaan Berkelanjutan ... 13 Pengembangan ... 14 Rencana Tata Ruang... 14 Konservasi Ekologis... 15 Konservasi Budaya ... 15 Wisata Budaya ... 16

METODE PENELITIAN... 18 Tempat dan Waktu... 18 Metode Penelitian... 18 Metode Survei ... 18 Pendekatan Analisis dan Sintesis ... 24

ix Halaman

KONDISI UMUM KAWASAN... 26 Sejarah dan Upaya Pelestarian Budaya ... 26 Geografi... 27

Aksesibilitas dan Lokasi... 28

Kependudukan Sosial dan Budaya ... 29 Permukiman dan Bangunan ... 30 Utilitas Lingkungan... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN... 31 Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan... 31 Kondisi Biofisik ... 31 Iklim ... 31 Topografi ... 31 Geologi ... 33 Hidrologi ... 36 Vegetasi ... 39 Fauna ... 41 Kondisi Fisik ... 41 Tata Guna Lahan ... 43 Fasilitas Sirkulasi ... 44 Permukiman ... 44 Pola Pekarangan... 45 Arsitektur Bangunan... 48 Kualitas Visual ... 51 Fasilitas Umum dan Sosial... 52 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya... 54 Kependudukan... 54 Sosial Ekonomi ... 55 Sosial Budaya ... 58

x

Halaman

Kebijakan Peraturan dan Rencana Pengembangan... 61 Status dan Fungsi Kawasan... 63 Pengelolaan dan Master Plan... 64 Aspek Wisata... 68 Aktivitas Pengunjung ... 68

Atraksi dan Obyek Wisata... 69 Fasilitas Penunjang Wisata... 70

Sirkulasi pada Kawasan... 71 Persepsi Masyarakat... 74 Analisis Tata Ruang ... 75 Analisis Kesesuaian Lahan... 75 Analisis Kesesuaian Master Plan 2010 ... 81 Potensi Lanskap Budaya ... 86 Potensi Lanskap sebagai Penyangga Sistim Ekologi ... 91 Potensi Lanskap Wisata... 93 Konsep Pengembangan Kawasan... 99 Konsep Zonasi Ruang ... 102 Konsep Sirkulasi ... 102 Konsep Pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi... 105 Zonasi Ruang Tingkat Pengelolaan... 105 Strategi Pengelolaan... 106 Program dan Tindakan Pengelolaan... 111

SIMPULAN DAN SARAN... 115 Simpulan... 115 Saran... 115 DAFTAR PUSTAKA ... 117 LAMPIRAN ... 122

xi DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan Indikator Pengamatan dan Sumber Data. ... 23 2. Luas Kemiringan Lahan... 33 3. Sifat dan Corak Tanah Setu Babakan ... 34 4. Rencana Penanaman Pohon oleh Pemda DKI Jakarta ... 40 5. Penggunaan Lahan di Setu Babakan... 43 6. Jumlah Penduduk Tahun 2002 di Setu Babakan... 55 7. Prosentase Penduduk Asli dan Pendatang... 55 8. Komposisi Jenis Profesi di Kawasan ... 58 9. Komposisi Tingkat Pendapatan per bulan Masyarakat di Kawasan... 58 10. Presentasi Masyarakat Betawi dan Non Betawi yang masih

melakukan Upacara Adat ... 59 11. Jenis Kegiatan Kesenian yang Terdapat di Kawasan... 60 12. Jumlah Pengunjung Perkampungan Budaya Betawi... 68 13. Jenis Aktivitas Wisata ... 69 14. Jenis Atraksi pada Kawasan... 70 15. Kriteria usia Responden ... 74 16. Persepsi Penduduk Betawi dalam Kawasan Terhadap Pengembangan

Kawasan sebagai Perkampungan Budaya Betawi... 75 17. Persepsi Pengunjung Terhadap Pengembangan Kawasan ... 75 18. Kesesuaian Lahan Secara Aktual dan Potensial... 76 19. Evaluasi Potensi Obyek Wisata... 96

xii DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pola Perkampungan di Perkotaan, (a) Kampung Kota, (b) Kampung

Pinggiran, (c) Kampung Perdesaan ... 8 2. Pola Perkampungan Perdesaan Betawi, (a) Kampung Bagian Dalam,

(b) Kampung Bagian Pesisir Pantai ... 9 3. Suasana Perkampungan Betawi, (a) Perkampungan Bagian Dalam di

Condet, (b) Perkampungan Bagian Pesisir Pantai di Marunda ... 9 4. Jenis-Jenis Rumah Betawi, (a) Rumah Bapang/Kabaya, (b) Rumah

Joglo, (c) Rumah Gudang... 12 5. Rumah Panggung Adat Betawi pada Daerah Pesisir ... 12 6. Lokasi Penelitian di Kampung Babakan Kelurahan Srengseng Sawah

Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan... 19 7. Tahapan dan Kerangka Pikir Penelitian ... 20 8. Batas-batas Administrasi Kawasan ... 27 9. Skema Aksesibilitas Menuju Lokasi Studi... 29 10. Peta Topografi dan Kemiringan Lahan ... 32 11. Peta Geologi Perkampungan Budaya Betawi... 35 12. Peta Hidrologi dan Drainase Tapak ... 37 13. Kondisi Saluran Irigasi pada saat musim kemarau ... 38 14. Kondisi Setu Mangga Bolong Ditumbuhi eceng gondok dan sampah ... 38 15. Peta Penyebaran Vegetasi ... 42 16.Penggunaan Lahan sebagai, (a) Danau, (b) Pekarangan, (c) Empang,

(d) Kebun Buah... 43 17. Kondisi Fisik, (a) Jalan Cone Block, (b) Jalan Cor Semen... 44 18. Sketsa Pola Permukiman secara umum Di Setu Babakan... 46 19. Sketsa Pola Permukiman, (a) Bagian Luar, (b) Bagian Dalam... 46 20. Beberapa Pola Penggunaan Lahan Pekarangan, (a) Ruang Terbuka,

(b) Nursery, (c) Tempat Menjemur (d) Kebun Buah ... 47 21. Sketsa Beberapa Contoh Pola Pekarangan... 49 22. Keragaman Arsitektur Bangunan di Setu Babakan, (a) Rumah Betawi, (b) Arsitektur bercirikan hanya pada bagian atas,

xiii Halaman

23. Kedudukan Posisi Bangunan Arsitektur Betawi terhadap tanah,

(a) Melekat pada tanah, (b) Berada diatas Umpak ... 50 24. Detail Arsitektur Betawi, (a) Langkan, (b) Gigi Balang, (c) Jendela

Setengah Lingkaran, (d) Jendela Krepyak Empat Persegi Panjang ... 51 25. Kondisi Visual Kawasan, Good View, (a) Visual Setu, (b) Rumah

Adat, (c) Aliran Air dari Out let Danau.

Bad View, (d) Lahan Kosong sebagai tempat penimbunan barang bekas, (e) Warung yang kurang tertata, (f) Keramba Jaring Apung

(g) Setu Mangga Bolong menjadi tempat Pembuangan Sampah, ... 53 26. Peta Persebaran Penduduk ... 56 27. Peta Persebaran Penduduk Asli dan Pendatang ... 57 28. Kegiatan Budaya di Setu Babakan

(a) Sepasang Pengantin, (b) Ngarak Penganten Sunat, (c) Tari Topeng,

(d) Lenong Denes... 60 29. Persebaran Kegiatan Budaya ... 62 30. Fasilitas Wisata di Kawasan, (a) Fasilitas Loket Pembayaran,

(b) Fasilitas Wisata Air ... 71 31. Pintu Gerbang (a) Si Pitung, (b) Penghubung... 72 32. Peta Sirkulasi di Kawasan Studi... 73 33. Peta Tata Guna Lahan... 78 34. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Permukiman ... 80 35. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Rekreasi... 82 36. Master Plan Perkampungan Budaya Betawi 2010 ... 84 37. Konsep Zonasi Ruang ... 104 38. Peta Zonasi Ruang Berdasarkan Fungsi... 105 39. Skema Sirkulasi Wisata... 106 40. Konsep Struktur Organisasi Pengelolaan... 110

xiv DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Jenis Fungsi Tanaman dan Lokasi Tanam... 122 Lampiran 2 Aktivitas Budaya Berkaitan dengan Siklus Hidup manusia ... 125 Lampiran 3 Aktivitas Budaya Berkaitan dengan Adat Kebiasaan

sehari- hari... 126 Lampiran 4 Aktivvitas Budaya Berkaitan dengan Hari Besar Islam ... 127 Lampiran 5 Susunan Perangkat Organisasi Perkampungan Budaya Betawi . 128 Lampiran 6 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Bangunan

(maksimum 3 lantai) ... 129 Lampiran 7 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Rekreasi... 130 Lampiran 8 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kemah ... 131 Lampiran 9 Hasil Analisis Kegiatan Budaya di Perkampungan

Budaya Betawi ... 132 Lampiran 10 Analisis Kawasan Sebagai Lanskap Budaya Berdasarkan

Potensi dan Kendala ... 133 Lampiran 11 Usulan Struktur Organisasi Pengelolaan... 139

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota Jakarta mempunyai dua fungsi dan kedudukan, yaitu sebagai ibukota negara dan kota metropolitan yang semakin lama semakin berkembang. Perkembangan ini sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pesatnya perkembangan kota memberi dampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial ekonomi, seni budaya, pola permukiman, arsitektur pada masyarakat Betawi yang merupakan embrio dari masyarakat Jakarta yang semakin terdesak ke daerah pinggiran dan semakin kehilangan identitasnya. Menurut Surjomiharjo (2000) penduduk Kota Jakarta pada tahun 2005 mencapai 12 juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan ruang, fasilitas permukiman, sarana perekonomian pendidikan, jalur sirkulasi, rekreasi, ruang terbuka dan rumah tinggal. Gejala perkembangan kota dan pertambahan penduduk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat Betawi, khususnya dalam wadah lembaga Badan Masyarakat Betawi dan Lembaga Kebudayaan Betawi dan Yayasan-Yayasan masyarakat Betawi yang memiliki tanggung jawab moral untuk memotivasi, membina dan mengembangkan serta sekaligus melestarikan budaya masyarakatnya. Organisasi dan lembaga masyarakat Betawi dalam naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan dan Dinas Permuseuman berusaha untuk melindungi dan melestarikan masyarakat dan budaya Betawi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pembentukan dan perkembangan kota Jakarta.

Kawasan Setu Babakan ditetapkan sebagai daerah resapan air untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan DKI Jakarta terutama bagian Selatan Jakarta, berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 tentang tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan diperjelas dalam paragraf 12 pasal 74, bahwa Kawasan termasuk dalam Perioritas Pengembangan di tingkat Kotamadya dan diarahkan pada bagian wilayah kota yang memiliki peran dan fungsi strategis bagi pengembangan kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Kawasan termasuk dalam perioritas pengembangan yang didukung hutan kota yang serasi untuk kawasan wisata budaya dan Setu Mangga Bolong sebagai wisata lingkungan.

2

Kawasan Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 92 Tahun 2000

,

tentang penataan lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengeng Sawah Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan. Berdasarkan aspek legal di atas kawasan yang memiliki luas ± 165 ha ini akan dikembangkan sebagai wilayah pelestarian alam, lingkungan ekosistem serta seni budaya tradisi masyarakat dengan tidak menghambat perkembangan lingkungan maupun penduduk sekitar untuk meningkatkan sosial ekonomi dan kesejahteraan hidupnya.

Kawasan Setu Babakan sebagai kawasan perlindungan budaya Betawi mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya yang menarik.Pengembangan kawasan Perkampungan Budaya Betawi sebagai kawasan wisata budaya membutuhkan penyediaan fasilitas untuk menunjang aset wisata budaya dan akan menyebabkan perubahan-perubahan pada kawasan. Tujuan pengembangan kawasan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi harus mempertimbangkan kepentingan dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungannya.

Penetapan kampung Setu Babakan sebagai kawasan perlindungan budaya Betawi karena kampung ini merupakan kawasan prioritas pada tingkat wilayah kotamadya. Setu Babakan memiliki peranan dan fungsi strategis bagi pengembangan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan kota, dengan skala prioritas pembangunannya dalam rangka mendorong pertumbuhan kota sesuai ke arah yang direncanakan.

Adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun l999 tentang Otonomi Pemerintah Daerah, berimplikasi pada desentralisasi kewena ngan pemerintah pusat kepada daerah. Pemerintah Daerah DKI Jakarta sebagai propinsi, mempunyai otonomi dan kewenangan, untuk mengatur kotanya secara penuh dengan mengembangkan berbagai potensi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai salah satu usahanya adalah mengembangkan sektor wisata, terutama yang berkaitan dengan seni budaya asli masrayakat Betawi.

Tindakan evaluasi terhadap pengembangan kawasan Setu Babakan perlu dilakukan dalam rangka menyusun sistim pengelolaan dengan memperha tikan

3

aspek ekologis dan sosial budaya yang berkaitan dengan upaya konservasi sumberdaya alam dan pelestarian budaya. Pengembangan kawasan Setu Babakan memerlukan pengelolaan yang terpadu dan terencana untuk tetap mempertahankan fungsi kawasan sebagai daerah resapan air (PP No. 6 tahun 1999) dan sebagai kawasan perlindungan budaya Betawi (SK Gubernur DKI Jakarta No. 92 tahun 2000). Pengelolaan lanskap kawasan yang bijaksana berbasis pada pengelolaan sumberdaya lanskap (alam, manusia, budaya) yang tepat, diharapkan dapat mempertahankan fungsi kawasan sebagai cagar budaya dan sistem ekologi, sehingga kehidupan masyarakat Betawi dapat berjalan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat secara luas.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola lanskap perkampungan Betawi dan faktor- faktor yang mempengaruhinya untuk menyusun suatu konsep pengelolaan agar upaya pelestarian kawasan dapat terwujud dalam sistem ekologis yang berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dinas-dinas terkait, para investor dan pihak pengembang serta pengelola kawasan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan perkampungan budaya Betawi.

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Masyarakat Betawi

Etnis Betawi merupakan hasil sejarah di mana terjadi perpaduan biologis dan unsur budaya antar suku dan antar bangsa, yang kemudian membentuk masyarakat khusus dengan ciri-ciri khusus (Wangrea 1985). Diawali ketika VOC mulai berjaya di Batavia tahun 1610 banyak mendatangkan para pedagang dari penjuru dunia dan menetap di Batavia (Castle, 1967). Pada masa pertumbuhannya Jakarta dihuni oleh orang Sunda, Jawa, Bali, Maluku dan dari beberapa daerah lainnya di samping orang Cina, Belanda, Portugis dan Arab. Mereka berdatangan dengan berbagai sebab dan tujuan masing- masing, tetapi secara sengaja dan tidak sengaja mereka membawa serta adat istiadat dan tradisi budaya mereka sehingga terjadi proses akulturasi diantara beberapa kelompok yang ada dan saling menyesuaikan diri Castles (1967) dan Siswantari (2000) menyatakan berdasarkan sejarah demografi etnis Betawi terbentuk antara tahun 1815-1893. Etnis baru tersebut merupakan hasil perkawinan orang-orang dari seluruh penjuru Nusantara dan juga dari luar Bengal, Malabar (India) dan Arakan (Birma) orang-orang tersebut datang sebagai budak. Sedangkan menurut Hanna (l986) orang Betawi berasal dari hasil perkawinan campuran orang Cina perantauan dengan wanita pribumi. Hal tersebut berbeda dengan peryatakan Saidi (l997) bahwa masyarakat Betawi berasal dari migran Melayu Kalimantan Barat yang melakukan perkawinan dengan penduduk asli Jawa yang pada akhirnya, disebut dengan Melayu Jawa dan diyakini sebagai cikal bakal orang Betawi. Kelompok-kelompok etnis tersebut menamakan kelompoknya sebagai “Orang Betawi” yang disatukan dengan penutur yaitu “dialek Betawi”. Menurut Melalatoa (1993) masyarakat Betawi merupakan salah satu etnis yang mempunyai daerah penyebaran di DKI Jakarta Raya dan di wilayah sekitarnya Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Menurut Shahab (l997), bahwa masyarakat Betawi terbagi menjadi empat kelompok besar yaitu:

1) Betawi Tengah, mendiami wilayah Jakarta Pusat yaitu: sekitar Gambir, Menteng, Senen, Kemayoran, Sawah Besar dan Taman Sari. Orang Betawi tengah dibedakan atas 2 bagian:

5

a) Orang gedong (kelas atas dengan tingkat ekonomi tinggi, berpendidikan tinggi, bekerja sebagai pegawai pemerintah).

b) Orang kampung (kelas bawah dengan tingkat ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, tinggal dalam perkampungan dan hidup sebagai petani, sopir, tukang sado, tukang cukur, pengrajin, pedagang berskala kecil).

2) Betawi Pinggir memiliki ciri keislaman yang menonjol mendiami sekitar Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pasar Minggu, Tebet, Pasar Rebo, Jatinegara, Pulo Gadung, Cakung, Kramat Jati, Matraman, Cempaka Putih, dan Grogol Petamburan.

3) Betawi Udik mendiami di pinggiran Jakarta yaitu disekitar, Tanggerang, Cengkareng, Kebon Jeruk, Cileduk, Ciputat, Keboyoran Lama, Cilandak, Sawangan, Cimanggis, Batu Ceper, Keramat Jati, Cakung, Pondok Gede, dan Bekasi. Orang Betawi Udik terbagi menjadi dua tipe yang dipengaruhi oleh: a) kebudayaan Cina, mendiami pada bagian utara dan barat Jakarta serta

Tanggerang.

b) kebudayaan Sunda, mendiami sebelah timur dan selatan Jakarta, Bekasi serta Bogor, dan mendapat sebutan dengan ”Betawi ora”.

4) Betawi Pesisir mendiami di pinggiran pantai Jakarta, yaitu: Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda Kepulauan Seribu. dipengaruhi oleh kebudayaan Cina.

Sebagai catatan, menurut Saidi (l967) kelompok Betawi Pinggiran yang mendiami bagian selatan Jakarta meliputi wilayah Jakarta Timur, sebagian Jakarta Selatan, Bogor dan Bekasi, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan Sunda.

Menurut Shahab (l997) bahwa penduduk asli dan migran yang datang ke ibukota dan menetap secara turun temurun disebut sebagai ”Betawi Baru”.

Muntaco menambahkan (l988) bahwa yang disebut dengan orang Betawi adalah masyarakat yang empat sampai lima generasi sudah tinggal di Jakarta, serta mengakui dirinya sebagai orang Betawi.

Kebudayaan merupakan keseluruhan sistim gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat l986). Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang dunia yang berada di balik

6

perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Menurut Koentjaraningrat (l986), ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu: (1) bahasa, (2) sistim pengetahuan (3) organisasi sosial, (4) sistim peralatan hidup dan teknologi, (5) sistim mata pencaharian hidup, (6) sistim religi, (7) kesenian. Tiap unsur kebudayaan tersebut menjelma dalam tiga wujud kebudayaan yaitu: berupa sistem budaya, berupa sistem sosial, dan berupa beberapa unsur kebudayaan fisik.

Lahirnya kebudayaan Betawi melalui proses yang berawal dari kedatangan para pendatang dengan tujuan masing- masing dan secara tidak sengaja membawa adat istiadat budaya masing–masing. Secara perlahan- lahan tetapi pasti terjadi proses alkulturasi di antara kelompok-kelompok yang saling menyesuaikan diri. Keberadaan kebudayaan Betawi dikarenakan adanya kelompok yang masih mendukung secara turun temurun dan masih terus berlangsung hidup sampai sekarang. Menurut Saidi (l997) bahwa komunitas Betawi merupakan suatu kelompok masyarakat etnis yang secara turun temurun menggunakan bahasa Betawi dan patuh terhadap adat istiadat. Keberadaan orang Betawi sebagai etnis tersendiri dapat dilihat dari identifikasi etnis menurut pengakuan dan ciri-ciri budaya yang ditampilkan misalnya bahasa, dialek, kesenian pakaian, makanan, dan sistem keyakinan dalam agama. Kebudayaan Betawi meliputi seluruh kelakukan dan hasil dari kelakukan manusia ya ng diatur oleh tata laku masyarakat pendukungnya dalam tradisi adat istiadat budaya yang bercirikan khas Betawi, dan bahasa dipergunakan sehari- hari sebagai alat pemersatu diantara mereka, adalah bahasa Melayu Betawi. Bukti hasil assimilasi budaya campuran ini masih terlihat dari tipe pakaian yang dikenakan oleh sepasang pengantin saat upacara perkawinan, atau benda-benda lainnya. Keunikan yang dimiliki kebudayaan Betawi adalah kelenturannya dalam menghadapi berbagai pengaruh dari dalam dan dari luar. Karena kelenturannya maka dengan mudah kita dapat mengenali ciri-cirinya seperti pada kesenian, seni drama, seni tari. Saidi (l995) menambahkan karena terlalu banyak unsur-unsur yang menpengaruhi dalam proses pembentukan kebudayaan Betawi sehingga sangat majemuk dan kosmopolit.

7

Lanskap Budaya

Lanskap adalah ruang di sekeliling kita di mana manusia sebagai mahluk yang merasakan, dan mencakup segala hal yang bisa dilihat dan dirasakan (Eckbo l964). Sung (1988) mengatakan lanskap sebagai integrasi fenomena budaya dimana hubungan antara budaya satu dengan budaya lainnya saling berinteraksi dengan baik dan membentuk satu kesatuan.

Lanskap budaya adalah istilah yang menunjukkan suatu kawasan lanskap yang tersusun oleh budaya manusia, dan dapat dikatakan juga sebagai konfigurasi secara keseluruhan dari topografi, penutupan vegetasi, tata guna lahan dan terdiri dari pemukiman yang membatasi keterkaitan dari proses budaya, alam serta aktivitasnya. Menurut Bimbaum (2001) lanskap budaya adalah suatu area geografis yang dilengkapi dengan kebudayaan dan sumber daya alam serta kehidupan satwa didalamnya yang terkait dengan suatu peristiwa bersejarah dan aktivitas seseorang yang menunjukkan suatu kebudayaan ataupun nilai keindahan. Lanskap budaya juga dapat dikatakan sebagai cerminan interaksi dari manusia dan lingkungan yang alami melalui ruang dan waktu serta merupakan suatu fenomena yang kompleks dengan identitas, baik yang dapat dilihat ataupun disentuh.

Lanskap Budaya Betawi

Lanskap budaya Betawi terjadi karena aktifitas orang Belanda yang melahirkan bagian kota dan mirip dengan kota di Belanda, di pihak lain tumbuh beberapa permukiman kaum asli yang memiliki ciri-ciri pertumbuhannya sendiri. Di daerah pantai, permukiman pribumi tersebut merupakan permukiman nelayan, dan di daerah hinterland (dalam) merupakan permukiman yang bercirikan desa pertanian/perkebunan. Daerah pantai kebanyakan dihuni oleh Jawa, Cina dan pendatang lainnya, sedangkan di daerah bagian dalam, di huni oleh orang Sunda, Jawa dan Betawi. Sejak saat ini dikenal istilah Kampung Melayu, Kampung Bali dan sebagainya yang menandai latar belakang etnis masing- masing permukimannya yang berkembang sejak abad ke 17 sampai saat kini.

Pada tahun 1840, istilah “kampung” (compound) untuk mengindikasikan “permukiman penduduk asli” yang dibedakan dari istilah “kota” untuk

8

permukiman Belanda. Pertumbuhan kampung pada umumnya pada jalur komunikasi dan pusat perdagangan yang dibangun Belanda saat itu.

Bentukan kampung secara tipologi diklasifikasikanmenjadi tiga (Harun, et. al.

1999) (Gambar 1) yaitu:

1) Kampung Kota berada di daerah pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya berkepadatan sangat tinggi (Kampung Kebon Sirih l975)

2) Kampung Pinggiran berada pada daerah pinggiran kota tetapi masih dalam batas wilayah dan kegiatan-kegiatan kota, berkepadatan rendah tetapi kadang- kadang ada juga yang berkepadatan tinggi (Kampung Budi Kemuliaan l975)

3) Kampung Perdesaan, berada di luar batas wilayah dan kegiatan perkotaan

yang berkepadatan rendah dan kebanyakan bertumpu pada kegiatan pertanian dan perkebunan ( Kampung Slipi l975).

Sumber: Harun, et, al. (1983)

Gambar 1 Pola Perkampungan di Perkotaan, (a) Kampung Kota, (b) Kampung Pinggiran, dan (c) Kampung Perdesaan.

Pola Permukiman

Permukiman dalam istilah Jawa mempunyai arti panggonan, kedudukan,