• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Sektor Informal

2.3.1 Pengertian

Terry Mc Gee berpendapat bahwa kecenderungan yang terjadi pada kebanyakan kota di negara-negara dunia ketiga yang pesat perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja. Luapan angkatan kerja tersebut lalu tertampung disektor informal dengan produktifitas yang bersifat subsisten, yaitu hanya untuk mempertahankan hidup (Rachbini, 1994: 14).

Gustav Ranis dan Frances Stewart (Kirdar, 1997: 247) mendefinisikan sektor informal adalah meliputi semua aktivitas yang berkembang di luar jangkauan regulasi pemerintah dan mencakup usaha-usaha kecil dengan tenaga kerja kurang dari sepuluh orang serta memanfaatkan teknologi tradisional yang sederhana.

Sementara Samir Radwan (Kirdar, 1997: 319) menyebutkan kebanyakan "pekerjaan" ini faktanya adalah "pengangguran" yang tersamar dengan upah rendah, tidak produktif dan tanpa perlindungan kerja.

Makalah klasik Keith Hart (Manning dan Effendi, 1996: 75) dari penelitiannya tentang Small-scale Enterpreuneurs in Ghana yang pertama kali dipresentasikan tahun 1971, memperkenalkan sebuah terminologi baru yang membedakan antara "sektor informal" dengan "sektor formal". Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pendapatan keluarga di kota Accra, Ghana, ditemukan bahwa terdapat variasi yang besar dalam hal tersedianya peluang pendapatan legal maupun ilegal pada kelompok miskin di perkotaan (Gilbert dan Gugler, 1996: 96).

Terminologi Hart kemudian digunakan oleh sebuah misi ke Kenya tahun 1973 di bawah bendera World Employment Programme yang diorganisir oleh organisasi buruh internasional (ILO). Misi tersebut berpendapat bahwa sektor informal telah memberikan tingkat ongkos yang rendah, padat karya, barang dan jasa yang kompetitif dan memberikan rekomendasi agar Pemerintah Kenya mendorong sektor informal tersebut (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 337).

Sektor ekonomi informal bisa dikatakan sebagai usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang dengan bebas dapat menentukan cara bagaimana dan di mana usaha mereka akan dijalankan, sehingga sangat efektif untuk melayani masyarakat luas (Rachbini, 1994: i).

The ILO Urbanization and Employment Research Project memberikan definisi sebagai berikut (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 338): sektor informal

meliputi unit-unit usaha skala kecil dalam produksi maupun distribusi barang dan jasa dengan tujuan utama untuk menghasilkan pekerjaan dan penghasilan bagi pelakunya, walaupun dengan keterbatasan sumberdaya alam maupun manusia, serta pengetahuan dan penghasilan.

Aktivitas-aktivitas informal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota-kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas sektor informal pada umumnya dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali diatur oleh peraturan yang ketat atau terkadang justru tidak diperhatikan oleh pemerintah (Gilbert dan Gugler, 1996: 96). Sektor informal kota di negara-negara berkembang mempunyai peran penting bagi kehidupan sebagian besar penduduk kota, sebab hampir setengah atau lebih tenaga kerja kota bekerja pada sektor ini (Gustav Ranis dan Frances Stewart dalam Kirdar, 1997: 246-258).

Hans Dieter-Evers menggambarkannya sebagai ekonomi bayangan yang merupakan berbagai kegiatan ekonomi yang tidak mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kegiatan ekonomi bayangan ini merupakan bentuk kegiatan ekonomi yang bergerak dalam unit-unit kecil sehingga bisa dipandang efisien dalam memberikan pelayanan. Dilihat dari sisi sifat produksinya, kegiatan ini bersifat subsisten yang bernilai ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, khususnya bagi masyarakat yang ada di lingkungan sektor informal (Rachbini, 1994:3).

Fenomena ekonomi informal kebanyakan adalah korban dari pembangunan yang tidak memadai kapasitasnya, baik karena strategi yang dipilih maupun karena

perlakuan pemerintah yang tidak sungguh-sungguh menaruh perhatian pada sektor ini. Perlakuan pemerintah daerah terhadap para pelaku ekonomi informal ini sering tidak manusiawi sehingga mematikan inisiatif dan kreativitas yang mereka bangun sendiri, tanpa dukungan insentif dari pemerintah (Rachbini, 1994: 81).

Ekonomi informal, yang juga biasa disebut underground economy, biasanya selalu dianggap sebagai masalah, yaitu tidak terdaftar secara formal, bersifat ilegal yang tidak membayar pajak dan tidak berkompetisi secara fair dengan perusahaan industri formal yang tunduk pada hukum dan membayar pajak secara baik. Dengan demikian, sektor informal sering, bahkan selalu, dipandang sebagai kegiatan yang melawan hukum (Rachbini, 1994: 78). Kesimpulan yang bisa diambil disini adalah bahwa sektor informal merupakan sebuah respons yang spontan dan kreatif, tetapi tidak mendapat peluang dan akses terhadap kapasitas negara dalam mengakomodasi semua dinamika kehidupan ekonomi masyarakat (Rachbini, 1994: 79)

2.3.2 Karakteristik Sektor Informal

Di Indonesia ekonomi informal memainkan peranan hampir 70%, paling tidak dilihat dari segi penyerapan tenaga kerjanya. Sementara itu pada sisi outputnya terlihat masih belum memadai karena produktivitas sektor informal masih sangat rendah. (Rachbini, 1994: 40). Jan Bremen mengkonsepsikan sektor informal sebagai sektor ekonomi yang memiliki ciri-ciri tidak terorganisasi, tidak terdaftar dan tidak dilindungi oleh hukum, yang seringkali tercakup dalam istilah "usaha sendiri" (Rachbini, 1994: 88).

Organisasi buruh internasional (lLO) menggambarkan ekonomi informal sebagai proses untuk menghasilkan pendapatan/pemasukan yang ditandai dengan satu hal penting; tidak diatur oleh institusi masyarakat/pemerintah, pada lingkungan sosial dan hukum dimana aktivitas yang sama juga diatur (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 338).

Kegiatan sektor informal yang menonjol biasanya terjadi di kawasan yang sangat padat penduduknya, dimana pengangguran (unemployment) maupun pengangguran terselubung (disguised unemployment) merupakan masalah utama. Dengan fakta seperti ini, limpahan tenaga kerja tersebut masuk ke dalam sektor informal, tetapi masih dipandang sebagai penyelesaian sementara karena di dalam sektor informal sendiri terdapat persoalan yang sangat rumit (Rachbini, 1994: 26).

Aktivitas-aktivitas sektor informal ini meliputi berbagai aktivitas ekonomi, yang ditandai dengan (Gilbert & Guggler, 1996: 96) mudah untuk dimasuki; Bersandar pada sumberdaya lokal; usaha milik sendiri; operasinya dalam skala kecil; padat karya dan teknologinya bersifat adaptif; keterampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal; tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasamya bersifat kompetitif.

Dalam sektor jasa perdagangan dapat dibedakan antara sektor formal dan sektor informal. Sektor formal mencakup perusahaan-perusahaan yang mempunyai status hukum, pengakuan dan izin resmi serta umumnya berskala besar. Berbeda dengan sektor formal, kegiatan dalam sektor informal ini bercirikan intensitas modal

rendah, produktivitas rendah dan terdapatnya teknologi yang tepat guna, dengan ciri-ciri sebagai berikut (Daldjoeni, 1997: 36-37):

1. Kegiatan usaha yang bersifat relatif sederhana, tidak memiliki kerja sama yang rumit dan dapat dilakukan perorangan atau keluarga dengan sistem pembagian kerja yang fleksibel.

2. Memiliki skala usaha yang relatif kecil dengan modal usaha dan modal kerja serta omset usaha yang umumnya juga kecil.

3. Penghasilan rendah dan umumnya tidak mempunyai ijin usaha serta tingkat resiko yang relatif kecil.

Mereka yang berkecimpung dalam bidang ini menjadi makin banyak dan kegiatan mereka meliputi bidang perdagangan (pedagang kaki lima), jasa (reparasi, calo), industri (pangan, mebel), angkutan (becak, dokar, ojek) dan bangunan (tukang batu, tukang kayu). Bidang-bidang tersebut memang mudah untuk dimasuki, hanya saja pengakuan pihak pemerintah terlihat masih sangat kurang.

Gustav Ranis dan Frances Stewart (Kirdar, 1997: 247-248) membedakan dua tipe aktivitas sektor informal, yaitu:

1. Aktivitas sektor informal tradisional, dengan ciri-ciri yaitu permodalan yang rendah; produktivitas pekerja rendah; pendapatan per kapita rendah; ukuran usaha kecil (dengan kurang dari tiga pekerja); dengan teknologi statis; seringkali dikelola dari dalam lingkungan rumah (keluarga).

2. Aktivitas sektor informal modern, dengan ciri-ciri yaitu modal lebih intensif; biasanya berukuran usaha agak besar (lebih dari sepuluh pekerja);

menggunakan teknologi yang lebih dinamis; cenderung memanfaatkan tenaga ahli yang sebagian berasal dari sektor formal kota dan sebagian dihasilkan melalui aktivitas pembelajaran dan pelatihan dalam sektor informal itu sendiri; produktivitas tenaga kerja lebih tinggi sehingga peningkatan pendapatan perusahaan dapat tercapai.

Mereka yang melibatkan diri di sektor informal pada dasarnya berkaitan dengan etos kewiraswastaan (enterpreneurship) yang mereka miliki. Mereka tertarik masuk ke sektor informal ini umumnya karena tiga hal (Rachbini, 1994: 92) antara lain hampir tiadanya prosedur resmi dalam pendirian usaha sektor ini, karenanya hampir tidak memerlukan biaya dan waktu yang lama, persyaratan modal relatif kecil, dan potensi keuntungannya cukup baik.

Sebagaimana dikatakan Bromley (1979: 103), kelemahan konsep sektor informal bukan hanya bersifat tidak analitis, konsep tersebut bahkan tidak mendorong adanya kebijakan pemerintah yang menentukan.

Sektor informal cukup luas dan bervariasi sehingga memerlukan kebijakan yang berbeda-beda sehingga mendorong pemerintah untuk menggabung-gabungkan peningkatan bantuan, hal-hal yang perlu dihilangkan, rehabilitasi dan tuntutan dalam keseluruhan kebijakan secara total (Gilbert & Gugler, 1996: 99).

Kesulitan pemerintah dan birokrasi untuk menggarap dan membangun ekonomi informal secara tuntas sering terbentur oleh beberapa kendala (Rachbini, 1994: 13):

1. Kurangnya pengetahuan deskriptif maupun analitis mengenai jenis, unit dan luas kegiatan ekonomi informal.

2. Tidak mempunyai kekuasaan birokrat untuk mencapai daerah pedesaan, pinggiran kota dan pemukiman kumuh yang kebanyakan digeluti oleh pelaku ekonomi informal.

3. Kurangnya tenaga yang mampu mengetahui dengan baik seluk beluk ekonomi informal.

4. Diterapkan peraturan dan prosedur yang kaku serta tidak luwes dalam sektor informal.

5. Terdapatnya suatu kenyataan yang sederhana, yaitu tidak adanya sumber dana yang dapat mencukupi permintaan sektor tradisional yang luas. Pertumbuhan ekonomi dan investasi umumnya tidak sanggup menanggapi surplus tenaga kerja yang muncul sejak awal pertumbuhan ekonomi. Arah investasi dan orientasi produksi menimbulkan sektor enclave yang tidak ramah terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Pergeseran tenaga kerja ke sektor non-pertanian yang tidak didasari dengan kekuatan ekonomi modern yang memadai, serta ketiadaan kompensasi bagi para pengangguran telah memaksa golongan usia kerja untuk bekerja seadanya. Dalam hal ini, sektor informal lebih berperan serta sifatnya lebih efisien dan menguntungkan, selain dapat menyalurkan tenaga kerja juga dapat menopang kehidupan masyarakat yang memiliki tingkat konsumsi rendah (Nasution, 1988: 8).

2.3.3 Pedagang Kaki Lima Dalam Sektor Informal

Kehadiran sektor informal, yang terutama menggejala di kota-kota besar, selain berdampak ekonomis juga menimbulkan berbagai persoalan yang umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketertiban, keamanan, kebersihan, keindahan dan kenyamanan kota (Rachbini, 1994).

Pedagang kaki lima (PKL) adalah merupakan salah satu bentuk aktivitas sektor informal. Istilah ini pertama kali muncul pada jaman pemerintahan Raffles yang mengacu pada ruang berukuran lima kaki yang berarti jalur bagi pejalan kaki pada pinggir/tepi jalan selebar kurang lebih lima kaki. Area tersebut kemudian dipergunakan untuk tempat berjualan para pedagang kecil, sehingga pedagang yang memanfaatkannya disebut juga sebagai pedagang kaki lima (Ardiyanto, 1998: 131).

Sementara menurut McGee dan Yeung (1977: 25) pedagang kaki lima mempunyai pengertian yang sama dengan Hawkers, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan/menjajakan barang dan jasa pada tempat-tempat umum, terutama di trotoar dan di pinggir-pinggir jalan.

Pengertian yang lebih spesifik dikemukakan oleh hasil penelitian Soedjana (1981) yang menyatakan bahwa pedagang kaki lima adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari (Widjajanti, 2000: 28).

Salah satu bentuk/upaya penetrasi publik ke kawasan bangunan adalah dengan cara mentolelir keberadaan pedagang kaki lima yang merupakan struktur potensial kota, guna mendukung "kehidupan" ruang terbuka antar bangunan. Hal seperti ini telah diterapkan di New York City dan Washington, DC dengan memberikan tempat aktivitas bagi para pedagang kaki lima, dimana struktur dan kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia (Wiryomartono, 1995: 187).

Sektor informal (usaha kaki lima) ternyata juga sering dijadikan pekerjaan sampingan oleh orang-orang yang telah bekerja di sektor formal, alasannya karena cara ini mudah untuk dijalankan (tanpa melalui prosedur yang berbelit) dan seringkali lebih efektif dalam menarik pembeli (Wirutomo dalam Rachbini, 1994: xiii).

Kawasan pedagang kaki lima biasanya merupakan area kota yang tumbuh secara tidak teratur, spontan dan "ilegal", namun menempati sebagian besar wilayah kota. Sedangkan sifatnya bisa dikatakan "marjinal" dalam pengertian campur tangan, pengawasan dan bantuan pemerintah; namun memainkan peranan yang penting dalam perkembangan kota umumnya, dan pada hakikatnya membentuk sifat-sifat serta prospek-prospek perkotaan (Suparlan, 1995: 86).