• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Sektor Informal Terhadap Ruang Publik Dalam Perkotaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Sektor Informal Terhadap Ruang Publik Dalam Perkotaan"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SEKTOR INFORMAL TERHADAP RUANG PUBLIK

DALAM PERKOTAAN

Studi Kasus: Kawasan Lapangan Merdeka

T E S I S

Oleh

SION SEMBIRING 117020027/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERAN SEKTOR INFORMAL TERHADAP RUANG PUBLIK

DALAM PERKOTAAN

Studi Kasus: Kawasan Lapangan Merdeka

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

SION SEMBIRING 117020027/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERNYATAAN

PERAN SEKTOR INFORMAL TERHADAP RUANG PUBLIK

DALAM PERKOTAAN

Studi Kasus: Kawasan Lapangan Merdeka

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2015

(4)

Judul Tesis : PERAN SEKTOR INFORMAL TERHADAP RUANG PUBLIK DALAM PERKOTAAN

Studi Kasus: Kawasan Lapangan Merdeka Nama Mahasiswa : SION SEMBIRING

Nomor Pokok : 117020027

Program Studi : TEKNIK ARSITEKTUR

Bidang Kekhususan : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Julaihi Wahid, Dipl.Arch, B.Arch, M.Arch, Ph.D) (Hajar Suwantoro, ST, MT)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, M.S.ME)

(5)

Telah Diuji Pada

Anggota Komisi Penguji : 1. Hajar Suwantoro, ST, MT

2. Beny O. Y. Marpaung, ST, MT, Ph.D 3. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, Ph.D

(6)

ABSTRAK

Keberadaan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan. Sektor informal bisa dikatakan sebagai usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang dengan bebas dapat menentukan cara bagaimana dan di mana usaha mereka akan dijalankan, sehingga sangat efektif untuk melayani masyarakat luas. Sedangkan ruang publik merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat pertemuan dan aktivitas bersama di ruang terbuka. Pengaruh keberadaan sektor informal (pedagang kaki lima) inilah yang seringkali memunculkan efek negatif bagi lingkungan fisik kota yang lebih besar dari pada sisi positifnya sebagai peluang kesempatan kerja baru. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peran sektor informal terhadap ruang publik di dalam kota di Lapangan Merdeka Kota Medan.

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan. Metode penelitian yang akan dilaksanakan yaitu melakukan survei keadaan lapangan dan memudahkan dalam penyusunan mengumpulkan data primer yang diperlukan. Survei dilakukan dalam satu minggu data sekunder melalui wawancara dengan pihak terkait untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan peran sektor informal. Pengolahan dilakukan dengan cara mentabulasi data yang didapat dan dikaitkan dengan studi literatur.

Kesimpulan yang didapat dari kompilasi data dan hasil analisa yaitu kondisi ruang publik yang dimanfaatkan pedagang kaki lima sebagai tempat aktivitas sebanyak 25,18% merasa sangat terganggu, 54,84% terganggu dan 19,35% tidak terganggu. Lapangan Merdeka merupaka ruang terbuka dengan model encounter model yaitu bebas diakses orang yaitu penduduk setempat dan orang asing. Berdasarkan analisis uji crosstab, jenis dagangan dan sarana fisik memiliki hubungan yang cukup kuat dengan kondisi ruang publik. Sedangkan sifat pelayanan, waktu pelayanan dan ruang aktivitas memiliki hubungan yang kuat dan mempengaruhi kondisi ruang publik. Pedagang kaki lima di sekitar Kawasan Lapangan Merdeka memiliki peran sebagai pendukung aktivitas pengguna bangunan disekitarnya, pengguna jalan dan pejalan kaki. Jalur pejalan kaki yang digunakan pedagang kaki lima sebagai lokasi berdagang di sekitar Kawasan Lapangan Merdeka Medan telah memenuhi standar yaitu 1,5-2,0 meter. Namun, pejalan kaki tidak merasa aman berada di jalur pejalan kaki tersebut dikarenakan adanya pedagang kaki lima yang berjualan dan permukaan trotoar yang tidak rata.

(7)

ABSTRACT

The existence of informal sectors cannot be separated from development process. It can be said that they are small businesses which are managed by individuals who freely choose how and where they want to do their businesses in order that they can serve people effectively. Meanwhile, public space is intended to be used as the place where people can get together and do their activities in the open space. The influence of informal sector (street vendors) usually causes negative effect on urban environment more than the positive one as an opportunity for new employment. The objective of the research was to find out the role of informal sectors in urban public space at Lapangan Merdeka, Medan.

The research was conducted at Kesawan Village, Medan Barat Subdistrict, Medan. It used a field survey for collecting primary data. Secondary data were gathered by conducting interviews with the party concerned in order to obtain information about the role of informal sector. The gathered data were analyzed by tabulating the data and relating them to library study.

The conclusion from data compilation and the result of the analysis was that 25.18% of public space used by street vendors was very disturbed, 54.84% was disturbed, and 19.35% was not disturbed. Lapangan Merdeka is an open space with encounter model, free from the access to local people and foreigners. The result of crosstab test showed that the type of the goods they sold and physical facility had significant correlation with the condition of public space, while services, service time, and space for activity had significant influence on public space. Street vendors at Lapangan Merdeka play their role as the supporting factors for the building users, road users, and pedestrians. Sidewalks used by them as the location for their business have met the standard of 1.5-2.0 meters. However, pedestrians do not feel comfortable walking on the sidewalk because street vendors sell their goods and the surface of the sidewalk is not flat.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya atas terselesaikannya laporan penelitian ini. Penulis

dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul ”Peran Sektor Informal Terhadap

Ruang Publik Dalam Perkotaan” Studi Kasus: Kawasan Lapangan Merdeka.

Penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan Mata Kuliah PPs–699 Ujian Tesis pada Program Magister Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM.&H, MSc (CTM)., Sp.A.(K), Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, M.S.ME, Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc., Sekretaris Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Beny O. Y. Marpaung, ST, MT, Ph.D., Koordinator Manajemen Pembangunan Kota, Bapak Dr. Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI.

(9)

penguji Ibu Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, Ph.D., Ibu Wahyuni Zahrah, ST, MS., Ir. Samsul Bahri, MT. dan Para Staf Pengajar dan Penguji Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas materi perkuliahan dan masukan-masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan penelitian ini. Ibu Novi Yanthi staf administrasi Program Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara atas administrasi yang baik selama ini.

Tesis ini kupersembahkan kepada Kedua orangtua yang sangat kukasihi, Bapak Timbul Josep Sembiring dan Ibu Enggomalem Justina br Perangin-angin. Untuk isteriku tercinta Ika Elvrianti S., AMF yang selalu sabar memberikan doa semangat dan dorongan, beserta kedua mertuaku Irwan Surbakti dan Rosmawati br Tarigan, SPd., dan keluarga abang Daniel Sembiring, ST., Keluarga abang Samuel Sembiring, Keluarga Sunarto Ginting, SP./Sri Feronika Br. Sembiring, Keluarga Juda Sembiring.

(10)

Dalam penyusunan tesis ini, saya menyadari adanya kekurangan-kekurangan dalam penulisan, yang diharapkan dapat disempurnakan atas bimbingan dan masukan dari pembimbing, penguji, dan pembaca.

Akhir kata, semoga makalah tesis ini dapat diterima dan memberi manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Atas perhatian dan kesempatannya diucapkan banyak terima kasih.

Medan, Februari 2015 Penyusun,

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sion Sembiring

Alamat : Perumahan Griya Kencana Permai Blok E No. 19. Jalan Petunia VII, Medan Tuntungan, Medan (20136) Agama : Kristen Protestan

Tempat/Tgl Lahir : Lau Buluh, 04 April 1979 Jenis Kelamin : Laki-laki

No. HP/e-Mail : 0812-6055-5579 / sion.goorkey@gmail.com

Pendidikan Formal

Tahun 1986 - 1992 : SD Negeri Lau Buluh Tahun 1992 - 1995 : SMP Negeri 1 Kuta Buluh Tahun 1995 - 1998 : SMK Negeri 1 Berastagi

Tahun 1999 - 2005 : Fakultas Teknik Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Katolik ST. Thomas Sumatera Utara Medan Tahun 2012 - 2015 : Magister Teknik Arsitektur Program Studi Manajemen - Pembangunan Kota (MPK) Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan

Riwayat Pekerjaan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Kerangka Berpikir ... 7

1.6 Struktur Penulisan Tesis ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Elemen Perancangan Kota ... 10

2.1.1 Sirkulasi dan parkir... 10

2.1.2. Ruang terbuka ... 12

2.1.3 Jalur pejalan kaki (pedestrian ways) ... 15

(13)

2.2.1 Pengertian ... 21

2.2.2 Fungsi ruang publik ... 24

2.2.3 Tipologi ruang publik ... 26

2.2.4 Karakter ruang pubik ... 28

2.3 Sektor Informal ... 29

2.3.1 Pengertian ... 29

2.3.2 Karakteristik sektor informal ... 32

2.3.3 Pedagang kaki lima dalam sektor informal ... 37

2.4 Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima ... 38

2.4.1. Jenis dagangan pedagang kaki lima ... 39

2.4.2. Bentuk sarana fisik aktivitas pedagang kaki lima ... 40

2.4.3. Pola sebaran pedagang kaki lima ... 42

2.4.4. Pola pelayanan pedagang kaki lima ... 43

2.4.5. Ruang aktivitas pedagang kaki lima ... 45

2.5 Ruang Publik Sebagai Tempat Aktivitas PKL ... 48

2.6 Defensible Space... 51

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 55

3.1 Jenis Penelitian ... 55

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 55

3.3 Variabel Penelitian ... 57

3.4 Sampel ... 57

3.5. Metode Analisis Data ... 59

3.5.1 Analisis deskriptif ... 59

3.5.2 Analisis kuantitatif ... 60

3.6. Kerangka Penelitian ... 61

BAB IV KAWASAN PENEITIAN ... 63

(14)

4.2 Gambaran Umum Kecamatan Medan Barat ... 64

4.3 Gambaran Umum Kawasan Studi ... 66

4.3.1 Administrasi kawasan studi ... 66

4.3.2 Kondisi kawasan lapangan merdeka ... 66

4.4 Sektor Informal di Kawasan Studi ... 74

4.4.1 Lokasi aktivitas ... 74

4.4.2 Jalur sirkulasi ... 77

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79

5.1 Karakteristik Sektor informal ... 79

5.1.1 Jenis dagangan ... 79

5.2. Aktivitas Pedagangan Kakilima Terhadap Ruang Publik ... 90

5.3. Analisa Hubungan Aktivitas PKL Terhadap Ruang Publik ... 91

5.4. Analisa Peran Aktivitas PKL Terhadap Ruang Publik ... 94

5.4.1. Lapangan ... 94

5.4.2. Jalan ... 96

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 103

6.1. Kesimpulan ... 103

6.2. Rekomendasi ... 104

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal.

1.1 Kerangka Berpikir ... 7

2.1 Ruang Terbuka ... 13

2.2 Pedestrian Ways ... 16

2.3 Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima ... 39

2.4 Bentuk Sarana Fisik Aktivitas Pedagang Kaki Lima ... 41

2.5 Pola Penyebaran Mengelompok ... 42

2.6 Pola Penyebaran Memanjang ... 43

2.7 Ruang Aktivitas Pedagang Kaki Lima ... 48

3.1 Kerangka Analisis ... 62

4.1 Diagram Administrasi Kecamatan Medan Barat Berdasarkan Luas . 64 4.2 Peta Administrasi Kecamatan Medan Barat ... 65

4.3 Peta Administrasi Lapangan Merdeka ... 67

4.4 Kondisi Tipe Pedestrian Lokasi Studi ... 68

4.5 Lokasi Pedestrian Kawasan Studi ... 69

4.6 Vegetasi di Kawasan Studi ... 70

4.7 Kondisi Lapangan ... 71

4.8 Kondisi Tempat Parkir ... 72

(16)

4.10 Sebaran Pedagang Kaki Lima di Kawasan Lapangan Merdeka ... 75

4.11 Diagram Alasan Memilih Lokasi Berdagang ... 76

4.12 Diagram Lama Berjualan ... 77

5.1 Diagram Jenis Dagangan ... 80

5.2 Peta Penyebaran Jenis Dagangan ... 81

5.3 Diagram Bentuk Sarana Fisik ... 82

5.4 Peta Penyebaran Berdasarkan Sarana Fisik ... 83

5.5 Pola Sebaran Memanjang ... 84

5.6 Pola Sebaran Mengelompok ... 85

5.7 Diagram Sifat Pelayanan ... 86

5.8 Pedagang Kaki Lima dengan Sifat Pelayanan Menetap ... 86

5.9 Pedagang Kaki Lima Dengan Sifat Pelayanan Semi Menetap ... 86

5.10 Pedagang Kaki Lima Dengan Sifat Pelayanan Keliling ... 86

5.11 Diagram Waktu Pelayanan ... 87

5.12 Diagram Ruang Aktivitas ... 88

5.13 Peta Penyebaran Berdasarkan Ruang Aktivitas ... 88

5.14 Diagram Kondisi Ruang Publik ... 90

5.15 Penampang Di Segmen E (Lapangan Merdeka) ... 95

5.16 Penampang Trotoar di Segmen A (Jalan Bukit Barisan) ... 97

5.17 Penampang Segmen D (Jalan Balai Kota) ... 98

(17)

5.19 Penampang B Badan Jalan Pada Segmen A (Jalan Bukit

(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal.

2.1 Jenis Jalur Pejalan Kaki ... 20

4.1 Administrasi Kecamatan Medan Barat Berdasarkan Luas (Ha) ... 64

4.2 Lokasi Berdagang Sekto Informal ... 74

4.3 Alasan Memilih Lokasi Berdagang ... 76

4.4 Lama Berjualan ... 77

5.1 Jenis Dagangan ... 80

5.2 Bentuk Sarana Fisik ... 82

5.3 Sifat Pelayanan ... 85

5.4 Waktu Pelayanan ... 87

5.5 Ruang Aktivitas ... 88

5.6 Kondisi Ruang Publik ... 90

(19)

ABSTRAK

Keberadaan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan. Sektor informal bisa dikatakan sebagai usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang dengan bebas dapat menentukan cara bagaimana dan di mana usaha mereka akan dijalankan, sehingga sangat efektif untuk melayani masyarakat luas. Sedangkan ruang publik merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat pertemuan dan aktivitas bersama di ruang terbuka. Pengaruh keberadaan sektor informal (pedagang kaki lima) inilah yang seringkali memunculkan efek negatif bagi lingkungan fisik kota yang lebih besar dari pada sisi positifnya sebagai peluang kesempatan kerja baru. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peran sektor informal terhadap ruang publik di dalam kota di Lapangan Merdeka Kota Medan.

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan. Metode penelitian yang akan dilaksanakan yaitu melakukan survei keadaan lapangan dan memudahkan dalam penyusunan mengumpulkan data primer yang diperlukan. Survei dilakukan dalam satu minggu data sekunder melalui wawancara dengan pihak terkait untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan peran sektor informal. Pengolahan dilakukan dengan cara mentabulasi data yang didapat dan dikaitkan dengan studi literatur.

Kesimpulan yang didapat dari kompilasi data dan hasil analisa yaitu kondisi ruang publik yang dimanfaatkan pedagang kaki lima sebagai tempat aktivitas sebanyak 25,18% merasa sangat terganggu, 54,84% terganggu dan 19,35% tidak terganggu. Lapangan Merdeka merupaka ruang terbuka dengan model encounter model yaitu bebas diakses orang yaitu penduduk setempat dan orang asing. Berdasarkan analisis uji crosstab, jenis dagangan dan sarana fisik memiliki hubungan yang cukup kuat dengan kondisi ruang publik. Sedangkan sifat pelayanan, waktu pelayanan dan ruang aktivitas memiliki hubungan yang kuat dan mempengaruhi kondisi ruang publik. Pedagang kaki lima di sekitar Kawasan Lapangan Merdeka memiliki peran sebagai pendukung aktivitas pengguna bangunan disekitarnya, pengguna jalan dan pejalan kaki. Jalur pejalan kaki yang digunakan pedagang kaki lima sebagai lokasi berdagang di sekitar Kawasan Lapangan Merdeka Medan telah memenuhi standar yaitu 1,5-2,0 meter. Namun, pejalan kaki tidak merasa aman berada di jalur pejalan kaki tersebut dikarenakan adanya pedagang kaki lima yang berjualan dan permukaan trotoar yang tidak rata.

(20)

ABSTRACT

The existence of informal sectors cannot be separated from development process. It can be said that they are small businesses which are managed by individuals who freely choose how and where they want to do their businesses in order that they can serve people effectively. Meanwhile, public space is intended to be used as the place where people can get together and do their activities in the open space. The influence of informal sector (street vendors) usually causes negative effect on urban environment more than the positive one as an opportunity for new employment. The objective of the research was to find out the role of informal sectors in urban public space at Lapangan Merdeka, Medan.

The research was conducted at Kesawan Village, Medan Barat Subdistrict, Medan. It used a field survey for collecting primary data. Secondary data were gathered by conducting interviews with the party concerned in order to obtain information about the role of informal sector. The gathered data were analyzed by tabulating the data and relating them to library study.

The conclusion from data compilation and the result of the analysis was that 25.18% of public space used by street vendors was very disturbed, 54.84% was disturbed, and 19.35% was not disturbed. Lapangan Merdeka is an open space with encounter model, free from the access to local people and foreigners. The result of crosstab test showed that the type of the goods they sold and physical facility had significant correlation with the condition of public space, while services, service time, and space for activity had significant influence on public space. Street vendors at Lapangan Merdeka play their role as the supporting factors for the building users, road users, and pedestrians. Sidewalks used by them as the location for their business have met the standard of 1.5-2.0 meters. However, pedestrians do not feel comfortable walking on the sidewalk because street vendors sell their goods and the surface of the sidewalk is not flat.

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan ruang kota yang dipengaruhi keberadaan sektor formal dan informal, pada waktu tertentu seringkali mengalami titik permasalahan sebagai akibat adanya kebutuhan ruang dalam menampung aktivitasnya. Permasalahan yang berupa ketidakteraturan penggunaan ruang tersebut menjadi permasalahan yang sering dihadapi Pemerintah Kota karena meningkatnya pemakaian ruang kota yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Chandrakirana dan Sadoko (1994:20), di negara berkembang kegiatan ekonomi yang bergerak di luar sistem regulasi formal masih besar jumlahnya dan bahkan semakin membesar. Kegiatan ekonomi di luar sistem regulasi ini kemudian disebut sebagai sektor ekonomi informal. Permasalahan ketidakteraturan ruang di kota-kota negara berkembang tersebut sering terjadi sebagai akibat perkembangan sektor informal. Sedangkan peningkatan sektor informal menurut Keith-Hart (dalam Soetomo, 1997:19-28), dikatakan selalu tumbuh bersama aktivitas formal dan sektor ini selalu meningkat, sebab sektor informal dianggap sebagai manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara berkembang sehingga mereka memasuki kegiatan berskala kecil di kota.

(22)

pembangunan dan sektor informal (Effendi, 1995:73). Pertama, pemikiran yang menekankan bahwa kehadiran sektor informal sebagai gejala transisi dalam proses pembangunan di negara sedang berkembang. Sektor informal adalah tahapan yang harus dilalui dalam menuju tahapan modern. Pandangan ini berpendapat bahwa sektor informal berangsur-angsur akan berkembang menjadi sektor informal seiring dengan meningkatnya dengan pembangunan. Berarti keberadaan sektor informal merupakan gejala sementara dan akan terkoreksi oleh keberhasilan pembangunan. Namun, berapa lama masa transisi itu harus dilalui tidak dijelaskan. Kedua, pemikiran yang berpendapat bahwa kehadiran sektor informal merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijakasanaan pembangunan. Kehadiran sektor informal dipandang sebagai akibat kebijaksanaan pembangunan yang dalam hal ini lebih berat pada sektor modern (perkotaan). Sektor informal akan terasa hadir dalam proses pembangunan selama sektor tradisional tidak mengalami perkembangan. Lebih lanjut penganut pandangan ini berpendapat bahwa berkembangan sektor informal tergantung pada sifat kebijaksanaan pembangunan. Selama ini kebijakasanaan pembangunan cenderung menguntungkan sektor modern dan sektor tradisional hanya dipandang sebagai penyedia bahan baku bagi sektor modern serta adanya sikap

“pergorbanan” dari sektor tradisional, maka sektor informal akan tetap ada dan cenderung bertambah.

(23)

jenisnya, yaitu meliputi usaha-usaha dibidang pertanian, peternak kecil, pedagang eceran, pedagang kaki lima, pemilik bengkel sepeda, pemulung dan penarik becak di daerah perkotaan. Keberadaan pedagang kaki lima inilah yang seringkali memunculkan efek negatif bagi lingkungan fisik kota yang lebih besar dari pada sisi positifnya sebagai peluang kesempatan kerja baru.

Permasalahan akibat efek negatif pedagang kaki lima juga terjadi di Kota Medan, pertumbuhan pedagang kaki lima sebagai aktivitas penunjang, terutama di daerah pusat kota menjadi perhatian serius masyarakat kota. Keberadaan pedagang kaki lima yang terus bertumbuh menggunakan ruang-ruang umum untuk aktivitas, mengakibatkan fungsi trotoar dan jalan kendaraan menjadi tidak lagi maksimal, bahkan seringkali seluruh fungsi ruang publik tersebut kemudian menjadi ruang pedagang kaki lima semuanya. Meningkatnya aktivitas pedagang kaki lima yang mulai mengganggu ini tidak diikuti dengan program pemerintah untuk mewadahi keberadaannya. Bahkan dalam perencanaan tata ruang, pemerintah daerah/kota lebih menitikberatkan pada pengaturan bangunan-bangunan sektor formal, padahal sektor informal juga memakai ruang di kota, hal ini dapat dilihat dalam buku rencana penggunaan ruang kota yang tidak mengatur secara jelas mengenai lokasi bagi sektor informal.

(24)

pemerintahan diantaranya kawasan Kesawan, kawasan Simpang Kantor Pos, kawasan Polonia, kawasan Simpang Golden.

Kawasan Lapangan Merdeka merupakan kawasan yang terletak di pusat Kota Medan yang telah mengalami pergeseran fungsi lahan yang semula menampung fungsi kegiatan budaya dan pendidikan berubah menjadi kawasan pusat kegiatan bisnis Central Bussiness District (CBD). Hal ini dapat dilihat dari bangunan disekeliling kawasan ini yang sebagian besar merupakan bangunan komersial Semakin banyak lahan yang terpakai sebagai komersial mengakibatkan semakin rendahnya keseimbangan kondisi lingkungan sekitar (karakteristik) kawasan tersebut.

Lapangan Merdeka merupakan sebuah ruang publik yang begitu ramai dikunjungi. Dari segi fisik Lapangan Merdeka telah memenuhi kriteria sebagai ruang publik. Hal ini berpengaruh terhadap kebiasaan masyarakat Kota Medan dimana pada akhir pekan dan pada sore hari setiap harinya sering memanfaatkan ruang publik tersebut. Namun banyak timbul kegiatan informal, seperti pedagang kaki lima.

(25)

1.2 Perumusan Masalah

Keberadaan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan. Sektor informal bisa dikatakan sebagai usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang dengan bebas dapat menentukan cara bagaimana dan di mana usaha mereka akan dijalankan, sehingga sangat efektif untuk melayani masyarakat luas.

Ruang publik merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka (Budihardjo dalarn Darmawan, 2003: 76). Sementara Wiryomartono (1995: 118) menyebutkan bahwa konsep penataan ruang publik dan bangunan disekitarnya merupakan ungkapan fisik serta simbol-simbol yang berkembang sesuai dengan persepsi masyarakat.

Pemanfaatan ruang publik di kawasan Lapangan Merdeka merupakan ruang milik bersama, ternpat masyarakat beraktivitas fungsional dan ritual dalam suatu ikatan komunitas, baik dalam kehidupan rutin sehari-hari maupun dalam perayaan berkala. Digunakan juga untuk pertemuan massal lainnya seperti demonstrasi, kampanye maupun upacara resmi. Selain itu ruang publik juga digunakan untuk kepentingan pribadi, kegiatan juai beli, untuk bertaman dan juga untuk berolahraga.

(26)

Berdasarkan klasifikasinya, maka rumusan masalah dapat dijabarkan sebagai berikut: “Bagaimana peran sektor informal terhadap ruang publik di dalam kota?.”

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada pokok permasalahan, tujuan penelitian ini yaitu mengetahui peran sektor informal terhadap ruang publik di dalam kota di Lapangan Merdeka Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, manfaat yang ingin dicapai antara lain sebagai berikut: 1. Studi ini dapat menjadi wadah bagi aspirasi masyarakat sebagai informasi

penting bagi para penentu kebijakan dalam penataan ruang, khususnya di Kota Medan. Hal ini dimaksudkan agar peran sektor informal terhadap ruang publik di perkotaan dapat di tangani dengan baik, sehingga terciptanya penataan yang dinamis dan teratur.

2. Memberikan kejelasan tentang adanya hubungan antara sektor informal dengan ruang publik sehingga dapat diberikan suatu rekomendasi yang memberikan win-win solution bagi sektor informal (pedagang kaki lima) dan masyarakat pada umum.

(27)

4. Hasil studi ini diharapkan pula dapat menjadi salah satu masukan sebagai arahan dalam penataan ruang publik secara menyeluruh, sehingga akan terwujud keselarasan antara sektor informal dengan ruang publik yang tertib, aman dan indah serta semua stakeholder kota akan merasa nyaman berada di kawasan ini.

1.5 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Sumber: Analisa, 2014

Kajian Teori

LATAR BELAKANG

1. Proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar melahirkan sektor informal yaitu pedagang kaki lima 2. Keberadaan pedagang kaki lima yang terus bertumbuh menggunakan seluruh fungsi ruang publik,

3. Secara visual yang memberikan tarikan adalah dari segi informal. Untuk itu perlu kajian tentang faktor pengaruh timbulnya sektor informal terhadap ruang publik

RESEARCH QUESTION

Bagaimana peranan sektor informal terhadap ruang publik kota di Kawasan Lapangan Merdeka Kota Medan

TUJUAN

Untuk mengetahui peranan sektor informal terhadap ruang publik kota di sekitar Kawasan Lapangan Merdeka Kota Medan

KARAKTERISTIK AKTIVITAS PKL

1. Kondisi ruang publik(sekitar Lapangan Merdeka Kota Medan)

2. Hubungan sektor informal dengan ruang publik

ANALISIS

 Karakteristik pedagang kaki lima dan kondisi ruang publik (Deskriptif kualitatif)  Hubungan sektor informal (pedagang kaki lima) terhadap ruang publik (analisis Chi-square)

(28)

1.6 Struktur Penulisan Tesis

Sistematika pembahasan penelitian secara garis besar diuraikan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka berfikir, dan sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Pada bab ini merupakan tinjauan pustaka yang meliputi teori-teori tentang perancangan kota, sektor informal, teori ruang publik, peranan dan keterkaitan dengan teori ruang publik.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini merupakan metode penelitianyang meliputi persiapan, langkah-langkah pokok penelitian, metode penggalian data dan informasi, sampel pengamatan, waktu penelitian, serta teknik penyajian dan analisa data.

BAB IV TINJAUAN KAWASAN

Pada bab ini merupakan deskripsi wilayah penelitian yang meliputi posisi kawasan Lapangan Merdeka terhadap Kota Medan, sirkulasi pedagang kaki lima di Kawasan Lapangan Merdeka.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

(29)

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat menginvetarisasi teori-teori dan kajian literatur yang dapat digunakan sebagai landasan teori dan alat untuk menelaah serta mengidentifikasi permasalahan rancangan pedestrian.

2.1 Elemen Perancangan Kota

Menurut Shirvani (1985), di dalam perancangan kota ada delapan elemen yang harus dipertimbangkan, antara lain land use (tata guna lahan), building form and massing (massa dan bentuk bangunan), sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalur pejalan kaki, activity support, signages, dan preservation (preservasi). Dari kedelapan elemen diatas empat diantaranya akan diperdalam, yaitu parkir dan sirkulasi, ruang terbuka, dan jalur pejalan kaki.

2.1.1 Sirkulasi dan parkir

Sirkulasi kota terkadang dapat menimbulkan masalah sehingga dibutuhkan suatu pemikiran yang mendasar, antara prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas pelayanan umum yang berpengaruh terhadap padatnya kegiatan, jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat serta perilaku masyarakat kota yang memanfaatkan jalan tersebut.

(31)

a. Jalan harusnya didesain menjadi ruang terbuka yang memiliki pemandangan yang baik antara lain bersih dan lansekap yang menarik, persyaratan ketinggian dan garis sempadan bangunan yang berdekatan dengan jalan, pengaturan parkir di pinggir jalan dan tanaman yang berfungsi sebagai penyekat jalan dan meningkatkan lingkungan alami yang terlihat dari jalan.

b. Jalan harus dapat memberi petunjuk orientasi bagi para pengendara dan dapat menciptakan lingkungan yang dapat dibaca. Lebih khusus lagi yaitu menciptakan bentuk lansekap untuk meningkatkan kualitas lingkungan kawasan sepanjang jalan tersebut, membangun perabot jalan yang berfungsi pada siang dan malam hari dengan hiasan lampu yang mendukung suasana jalan termasuk perencanaan umum jalan dengan pemandangan kota dan beberapa visual menarik yang dapat berperan sebagai landmark (tetenger), pembedaan susunan dan jalan-jalan penting dengan memberikan perabot jalan, trotoar, maju mundurnya batas bagunan, penggunaan lahan yang cocok dan sebagainya.

c. Sektor publik dan swasta merupakan rekan (partner) untuk mencapai tujuan tersebut di atas. Beberapa kecendrungan tujuan dalam perencanaan transportasi meliputi meningkatkan mobilitas di kawasan pusat bisnis

(32)

kemudahan pencapaian ke kawasan pusat bisnis (Brambilla and Cianni, 1977).

Parkir merupakan masalah yang selalu dihadapi di kawasan perkotaan terutama di kawasan pusat kota karena setiap muncul bangunan fungsional umum baru, kebutuhan parkir selalu ramai dibicarakan oleh masyarakat, para pakar dan pemerintah kota.

2.1.2 Ruang terbuka

Setiap orang yang berlainan profesinya akan memiliki pengertian yang berbeda tentang ruang terbuka. Ruang terbuka ini bisa menyangkut semua lansekap, elemen keras (hardscape), taman dan ruang rekreasi di kawasan kota. Elemen-elemen ruang terbuka juga menyangkut lapangan hijau, ruang hijau kota, pohon-pohonan, pagar, tanam-tanaman, air, penerangan, paving, kios-kios, tempat-tempat sampah, air minum, sculpture, jam dsb (Gambar 2.1). Secara keseluruhan elemen-elemen tersebut harus dipertimbangkan untuk mencapai kenyamanan karena elemen yang sangat esensial dalam perancangan kota (Shirvani, 1985).

(33)

boleh mengganggu aktivitas disekitarnya tetapi harus mendukung kegiatan street level dan menambah kualitas visual lingkungannya.

Gambar 2.1 Ruang Terbuka Sumber: www.google.com

Perencanaan sebuah kota merupakan suatu perencanaan bentukan ruang dengan bangunan-bangunan, dan antar bangunan-bangunan tersebut akan membentuk suatu ruang terbuka publik. Menurut Cohen (1999), ruang di perkotaan menciptakan bentuk-bentuk sekelilingnya dan memberi pengaruh kuat terhadap keruangan.

Carr (1992) berpendapat bahwa ruang publik merupakan ruang milik bersama, ternpat masyarakat beraktivitas fungsional dan ritual dalam suatu ikatan komunitas, baik dalam kehidupan rutin sehari-hari maupun dalam perayaan berkala. Digunakan juga untuk pertemuan massal lainnya seperti demonstrasi, kampanye maupun upacara resmi. Selain itu ruang publik juga digunakan untuk kepentingan pribadi, kegiatan juai beli, untuk bertaman dan juga untuk berolahraga.

(34)

untuk mendapatkan udara segar; sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat lain; dan ruang pembatas antar bangunan.

Berdasarkan hasil studi terhadap berbagai kriteria yang dikemukakan oleh Carr (1992) terdapat beberapa kriteria sifat yang harus dimiliki oleh sebuah ruang publik, agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu:

1. Ruang publik harus bersifat responsif (responsif spaces), yang menunjukkan bahwa ruang publik harus mampu melayani kebutuhan dan keinginan masyarakat penggunanya. Kriteria ini terbagi atas beberapa kriteria detail, yaitu bahwa ruang publik harus dapat memberikan kenyamanan (comfortable), relaksasi, pertemuan aktif dan pasif, serta menemukan hal-hal yg baru (inspiratif).

2. Ruang publik harus bersifat demokratis (democratic spaces), yang menunjukkan bahwa ruang publik harus dapat melindungi hak individu dan kelompok masyarakat penggunanya, atau dengan kata lain setiap penggunaan memiliki kesamaan hak dalam pemanfaatannya. Meskipun demikian, ruang publik harus tetap terjamin bahwa kegiatan seseorang atau sekelompok penggunaan tidak akan mengganggu kegiatan lainnya. 3. Ruang publik harus dapat memberikan arti (meaningful spaces), yaitu

(35)

dengan kepentingan individu serta pengalaman-pengalaman membuat suatu ruang menjadi suci bagi suatu masyarakat tertentu. Nilai motivasi ruang publik didefinisikan sebagai "kesejahteraan publik". Motivasi lingkungan dan visual masuk ke dalam kepuasan kebutuhan masyarakat untuk aktivitas pasit, penemuan dan makna. Ruang yang memuaskan kebutuhan masyarakat, melindungi hak mereka dan menawarkan suatu yang lebih bersifat atraktif serta dapat menunjang kesuksesan ekonomi. 4. Ruang publik harus mudah dikunjungi (accessible spaces), yang

menunjukkan bahwa ruang publik tersebut mudah dan aman dicapai masyarakat yang akan menggunakannya.

2.1.3 Jalur pejalan kaki (pedestrian ways)

Istilah pejalan kaki atau pedestrian berasal dari bahasa Latin pedesterpedestris

yaitu orang yang berjalan kaki atau pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari kata pedos bahasa Yunani yang berarti kaki sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki. Sehingga pedestrian ways mempunyai arti pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan moda berjalan kaki, sehingga jalur pejalan kaki dapat menyatu dengan lingkungannya. Pedestrian juga diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal (origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki (Rubenstein,1992).

(36)

terdapat penguatan berupa plasa terbuka dan merupakan lintasan untuk umum (Harvey M. Rubenstain, 1987). Jalur pejalan kaki yang fungsinya sebagai jalur sirkulasi terkadang dimanfaatkan untuk aktivitas lain yang dapat menyenangkan pejalan kaki dan mampu menghidupkan kawasan tersebut serta mendukung keberadaan jalur pejalan kaki selama tidak menimbulkan masalah dan mengganggu aktivitas berjalan (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Pedestrian Ways

Sumber: www.google.com

(37)

Jalur pedestrian merupakan daerah yang menarik untuk kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual, misalnya untuk bernostalgia, pertemuan mendadak, berekreasi, bertegur sapa dan sebagainya. Jadi jalur pedestrian adalah tempat atau jalur khusus bagi orang berjalan kaki. Jalur pedestrian pada saat sekarang dapat berupa trotoar, pavement, sidewalk, pathway, plaza dan mall. Jalur pedestrian yang baik harus dapat menampung setiap kegiatan pejalan kaki dengan aman. Persyaratan ini perlu dipertimbangkan di dalam perancangan jalur pedestrian. Agar dapat menyediakan jalur pedestrian yang dapat menampung kebutuhan kegiatan-kegiatan tersebut maka perancang perlu mengetahui kategori perjalanan para pejalan kaki dan jenis-jenis titik simpul yang ada dan menarik bagi pejalan kaki.

Jalur pedestrian sebagai unit ruang kota keberadaannya dirancang secara terpecah-pecah dan menjadi sangat tergantung pada kebutuhan jalan sebagai sarana sirkulasi.

Fungsi jalur pedestrian yang disesuaikan dengan perkembangan kota adalah sebagai fasilitas pejalan kaki, sebagai keindahan kota, sebagai media interaksi sosial, sebagai sarana konservasi kota dan sebagai tempat bersantai serta bermain. Sedangkan kenyamanan dari pejalan kaki dalam berjalan adalah adanya fasilitas-fasilitas yang mendukung kegiatan berjalan dan dapat dinikmatinya kegiatan berjalan tersebut tanpa adanya gangguan dari aktivitas lain yang menggunakan jalur tersebut.

(38)

1. Jalur pedestrian yang dibuat terpisah dengan jalur kenderaan, biasanya terletak berdekatan atau bersebelahan dengan jalan raya. Jalur tersebut digunakan oleh pejalan kaki untuk berjalan menuju suatu tujuan tertentu. Untuk itu diperlukan suatu fasilitas yang aman dari bahaya kenderaan dan jalur tersebut memiliki ketinggian yang berbeda dan permukaan yang rata, berupa trotar di tepi jalan.

2. Jalur pedestrian yang digunakan untuk menyeberang, jalur ini digunakan oleh pejalan kaki untuk menghindari konflik dengan moda transportasi lainnya. Jalur ini dapat berupa jalur penyeberangan jalan (zebra cross), jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah.

3. Jalur pedestrian yang sifatnya rekreatif dan mengisi waktu luang (sebagai ruang publik), yang terpisah sama sekali dari jalur kenderaan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku-bangku yang disediakan (taman kota/plasa kota).

4. Jalur pedestrian yang sisi sampingnya digunakan sebagai tempat berjualan, digunakan untuk melihat etalase pertokoan (mall).

Menurut Rapoport (1977), aktivitas termasuk berjalan kaki mengandung empat komponen yaitu sebagai berikut:

(39)

3. Aktivitas tambahan, yakni terkait dan merupakan bagian dari satu kesatuan dalam sistem aktivitas, misalnya berjalan sambil melihat-lihat etalase.

4. Makna dari aktivitas tersebut, misalnya untuk menghayati lingkungan. Selanjutnya Rapoport (dalam Mouden, 1987), mengklasifikasikan kegiatan yang terjadi di jalan raya dan di jalur pejalan kaki, sebagai berikut:

1. Pergerakan non pedestrian, yaitu segala bentuk kenderaan beroda dan alat angkut lainnya.

2. Aktivitas pedestrian, meliputi aktivitas yang dinamis/bergerak sebagai fungsi transportasi dan aktivitas pedestrian yang statis seperti duduk dan berdiri.

Hal ini berarti bahwa jalur pedestrian bukan hanya sekedar sebagai salah satu ruang sirkulasi dan transportasi, tetapi lebih dari itu juga berfungsi sebagai ruang interaksi masyarakat dengan sistem transportasi jalan raya dan transportasi di jalur pejalan kaki, yang dapat berhubungan dengan moda dan alat transportasi lainnya.

(40)

udara segar, penghubung antara satu ruang dengan ruang lainnya, pembatas jarak antar bangunan maupun berdagang.

Menurut Danisworo (1991) jalur pejalan kaki berdasarkan jenisnya terdiri dari enam jenis yaitu trotoar, jembatan penyeberangan, plasa, mall, dan zebra cross

(Tabel 2.1). Berdasarkan bentuknya jalur pejalan kaki terdiri dari empat jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Selasar, adalah jalur pejalan kaki yang beratap, tanpa dinding, pembatas pada salah satu atau kedua sisinya.

2. Gallery, adalah selasar lebar yang biasanya digunakan suatu kegiatan tertentu.

3. Jalur pejalan kaki yang tidak terlindungi/beratap

4. Gang, adalah jalur yang relatif sempit, terbentuk oleh bangunan yang padat.

Tabel 2.1 Jenis Jalur Pejalan Kaki No

Jenis Jalur Pejalan

Kaki

Pengertian Fungsi Karakteristik

1 Trotoar Jalur pejalan kaki yang dibuat terpisah dari jalur kenderaan 2. Lokasi di tepi jalan raya

yang dapat dilalui kenderaan.

3. Meiliki permukaan rata. 4. Lebar trotoar antara

1,50-2,00 meter.

(41)

Tabel 2.1 (Lanjutan) No Jenis Jalur

Pejalan Kaki Pengertian Fungsi Karakteristik 3 Mall Jalur pejalan kaki yang

4 Zebra Cross Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur

(42)

mengontrol tingkat interaksi, komunikasi atau pemisahannya dari manusia lain (Beng-Huat dan Edwards, 1992: 4).

Wilayah privat dan publik dapat juga dihubungkan dengan pengertian derajat privasi (privacy gradients), yaitu suatu tingkatan/derajat penetrasi kelas-kelas yang berbeda dari orang "luar" pada situasi "di dalam" (Amos Rapoport dalam Beng-Huat dan Edwards, 1992: 24).

Dinamika kehidupan masyarakat yang selalu berkembang memerlukan keseimbangan antara pemenuhan aktivitas publik maupun aktivitas privat, mengingat hubungan dan keterkaitan antara pengguna dan ruang publik tidaklah sederhana, mempunyai pola saling berkait dan sangat kompleks. Keterkaitan antara dinamika hidup bermasyarakat dan pemenuhan kebutuhan akan ruang aktivitas selalu membutuhkan perencanaan dan pengelolaan ruang publik secara dinamis untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antar pengguna ruang (Carr, 1992: 3-6).

Ruang publik merupakan satu elemen fisik kota yang berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama aspek sosial kemasyarakatan kota secara luas. Ruang publik juga merupakan tempat pertemuan yang cukup penting bagi sekelompok orang untuk melaksanakan aktivitas fungsional yang rutin maupun insidentil/periodik (Carr, 1992: xi).

(43)

diperlukan pemahaman tentang kultur dan karakter dari suatu daerah yang telah menjadi ciri khas daerah tersebut (Budihardjo, 1997: 48).

Nilai-nilai sosial kemasyarakatan sangat menentukan perwujudan elemen-elemen konseptual yang dapat dikombinasikan dengan fungsi dan kegiatan utama pada suatu kawasan tertentu sehingga akan menimbulkan adanya suatu ruang publik secara konkret (Roger Scruton dalam Beng-Huat dan Edwards, 1992:2). Ruang publik berperan besar dalam memberikan karakter suatu kota dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2003: 1).

Secara konseptual semua ruang publik dirancang dan diarahkan untuk menunjukkan intervensi manusia dalam upaya menciptakan garis batas untuk menentukan ruang-ruang aktivitasnya (Beng-Huat dan Edwards, 1992: 3).

Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi oleh masyarakat luas dengan berbagai tingkat kehidupan sosial-ekonomi-etnik, pendidikan, perbedaan umur dan motivasi atau kepentingan yang berlainan (Darmawan, 2003: 2).

Kriteria ruang publik secara esensial ada tiga, yaitu (Carr, 1992: 19-20): 1. Tanggap terhadap semua kebutuhan pengguna dan dapat mengakomodir

kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut (responsive).

2. Dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa ada diskriminasi (democratic).

(44)

2.2.2 Fungsi Ruang Publik

Ruang publik merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka (Budihardjo dalam Darmawan, 2003: 76). Sementara Wiryomartono (1995: 118) menyebutkan bahwa konsep penataan ruang publik dan bangunan di sekitarnya merupakan ungkapan fisik serta simbol-simbol yang berkembang sesuai dengan persepsi masyarakat.

Beng-Huat dan Edwards (1992: 1) menyebutkan kriteria ruang publik, yang umumnya digunakan untuk menunjukkan lokasi tertentu yang:

1. Direncanakan meskipun secara minimal. 2. Setiap orang memiliki akses yang saran.

3. Mewadahi di dalamnya semua pengguna dan tidak direncanakan/dibatasi secara khusus/tanpa kecuali.

4. Perilaku para pengguna satu sarna lain tidak terikat pada satu peraturan khusus, melainkan pada norma-norma yang berlaku secara umum di masyarakat.

Untuk mewujudkan suatu ruang publik yang berkualitas, sebagaimana halnya hubungan antara manusia dengan ruang kegiatannya atau aktivitas dengan tempat beraktivitas, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sarana lain seperti layaknya suatu wadah dengan isinya. Interaksi antara pengguna dengan ruang publik akan dapat memunculkan makna tempat bagi ruang itu sendiri (Carr, 1992: 85-86).

(45)

1. Sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat baik formal seperti upacara bendera, sholat Ied pada hari raya peringatan-peringatan yang lain, pertemuan informal seperti pertemuan individual, kelompok masyarakat dalam acara santai dan rekreatif atau demo mahasiswa dengan tujuan menyampaikan aspirasi, ide atau protes terhadap keputusan penguasa, instansi atau lembaga pemerintah maupun swasta.

2. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor jalan yang menuju ke arah ruang publik tersebut dan sebagai ruang pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-ruang fungsi bangunan di sekitarnya serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan beralih ke arah tujuan lain.

3. Sebagai tempat kegiatan pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan makanan dan minuman, pakaian, souvenir dan jasa entertainment atau pertunjukan terutama yang diselenggarakan pada malam hari.

4. Sebagai paru-paru kota yang semakin padat, sehingga masyarakat banyak yang memanfaatkannya sebagai tempat berolah raga, bermain dan bersantai bersama keluarga.

(46)

2.2.3 Tipologi Ruang Publik

Stephen Carr (1992: 79-84) mengelompokkan tipologi ruang publik menurut beberapa tipe dan karakter, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Taman Umum (public park)

a. Taman umum/pusat (public/central park), dibangun dan dikelola untuk ruang terbuka umum sebagai bagian dari sistem penataaan ruang kota. Bentuknya berupa zona ruang terbuka yang memiliki peran sangat penting dengan luasan melebihi taman kota lainnya. Disamping sebagai landmark kota juga dapat berfungsi sebagai landmark

nasional, biasanya berupa tugu/monumen yang didukung dengan elemen asesoris kota seperti air mancur, jalur pedestrian yang diatur dengan pola-pola menarik serta taman dan ruang hijau di sekitar kawasan tersebut.

b. Taman pusat kota (downtown parks), lokasinya berada di kawasan pusat kota, berbentuk lapangan hijau yang dikelilingi pohon-pohon peneduh atau berupa taman kota dengan pola tradisional, taman sejarah atau dapat juga dengan menerapkan disain pengembangan baru.

(47)

2. Lapangan dan Plasa (squares and plazas)

Lapangan pusat kota (central square), ruang publik ini sebagai bagian pengembangan sejarah, berlokasi di pusat kota yang sering digunakan untuk kegiatan formal seperti upacara peringatan hari nasional, merupakan tempat pertemuan bagi beberapa koridor jalan di kawasan tersebut. Disamping itu juga untuk kegiatan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun apresiasi budaya.

3. Pasar (markets)

Pasar hasil bumi (farmer's markets), ruang terbuka atau ruas jalan yang difungsikan untuk pasar hasil pertanian atau pasar loak. Biasanya berlangsung pada hari-hari tertentu atau bersifat temporer dan berlokasi di ruang-ruang yang ada, seperti jalan, taman atau lapangan parkir.

4. Jalan (streets)

Pedestrian sisi jalan (pedestrian sidewalk), merupakan bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang berjalan kaki menyusuri suatu jalan yang berhubungan dengan jalan-jalan yang lain.

5. Mal pedestrian (pedestrian mall), suatu jalan yang ditutup bagi lalu-lintas kendaraan bermotor dan diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. Fasilitas tersebut biasanya dilengkapi dengan asesoris kota seperti pagar, tanaman dan biasanya berlokasi di sepanjang jalan utama pada pusat kota.

(48)

kendaraan terpaksa berjalan lambat serta dihiasi dengan tanaman di sepanjang jalan.

7. Jalur hijau dan jalan taman (greenways and parkways), merupakan jalur pedestrian (pejalan kaki) atau kendaraan tak bermotor (sepeda) yang menghubungkan antar tempat rekreasi dan ruang terbuka lainnya.

2.2.4 Karakter Ruang Publik

Karakter ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang signifikan untuk kota maupun perkotaan.

Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang yang ada, baik ruang tempat bermukim hingga ruang yang dikunjungi ketika bepergian. Perilaku spasial yang ditentukan dan menentukan ruang merupakan bagian yang terintegrasi dengan eksistensi sosial masyarakat. Ruang publik menciptakan batasan spasial menjadi prasyarat utama dalam sebuah perancangan kota. Menciptakan batasan ruang-ruang yang hidup dan aktif merupakan kondisi yang penting untuk keberhasilan penyediaan ruang publik. Hal ini sangat penting bagi perancangan kota untuk menciptakan ruang publik positif, yaitu ruang yang dibatasi oleh bangunan.

(49)

keamanannya serta banyak jaringan jalan yang dikotak-kotakkan dan dibatasi aksesnya. Ruang publik sebagai integrasi kota menuju fragmentasi fungsional dibutuhkan karena pada zaman modern integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada spesialisasi ruang, dimana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan fungsional dari lingkungan publik dan privat. Kemampuan untuk menjangkau seluruh ruang perkotaan telah mengurangi kontak fisik antara penduduk kota dan lingkungan terbangunnya.

2.3 Sektor Informal

2.3.1 Pengertian

Terry Mc Gee berpendapat bahwa kecenderungan yang terjadi pada kebanyakan kota di negara-negara dunia ketiga yang pesat perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja. Luapan angkatan kerja tersebut lalu tertampung disektor informal dengan produktifitas yang bersifat subsisten, yaitu hanya untuk mempertahankan hidup (Rachbini, 1994: 14).

(50)

Sementara Samir Radwan (Kirdar, 1997: 319) menyebutkan kebanyakan "pekerjaan" ini faktanya adalah "pengangguran" yang tersamar dengan upah rendah, tidak produktif dan tanpa perlindungan kerja.

Makalah klasik Keith Hart (Manning dan Effendi, 1996: 75) dari penelitiannya tentang Small-scale Enterpreuneurs in Ghana yang pertama kali dipresentasikan tahun 1971, memperkenalkan sebuah terminologi baru yang membedakan antara "sektor informal" dengan "sektor formal". Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pendapatan keluarga di kota Accra, Ghana, ditemukan bahwa terdapat variasi yang besar dalam hal tersedianya peluang pendapatan legal maupun ilegal pada kelompok miskin di perkotaan (Gilbert dan Gugler, 1996: 96).

Terminologi Hart kemudian digunakan oleh sebuah misi ke Kenya tahun 1973 di bawah bendera World Employment Programme yang diorganisir oleh organisasi buruh internasional (ILO). Misi tersebut berpendapat bahwa sektor informal telah memberikan tingkat ongkos yang rendah, padat karya, barang dan jasa yang kompetitif dan memberikan rekomendasi agar Pemerintah Kenya mendorong sektor informal tersebut (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 337).

Sektor ekonomi informal bisa dikatakan sebagai usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang dengan bebas dapat menentukan cara bagaimana dan di mana usaha mereka akan dijalankan, sehingga sangat efektif untuk melayani masyarakat luas (Rachbini, 1994: i).

(51)

meliputi unit-unit usaha skala kecil dalam produksi maupun distribusi barang dan jasa dengan tujuan utama untuk menghasilkan pekerjaan dan penghasilan bagi pelakunya, walaupun dengan keterbatasan sumberdaya alam maupun manusia, serta pengetahuan dan penghasilan.

Aktivitas-aktivitas informal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota-kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas sektor informal pada umumnya dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali diatur oleh peraturan yang ketat atau terkadang justru tidak diperhatikan oleh pemerintah (Gilbert dan Gugler, 1996: 96). Sektor informal kota di negara-negara berkembang mempunyai peran penting bagi kehidupan sebagian besar penduduk kota, sebab hampir setengah atau lebih tenaga kerja kota bekerja pada sektor ini (Gustav Ranis dan Frances Stewart dalam Kirdar, 1997: 246-258).

Hans Dieter-Evers menggambarkannya sebagai ekonomi bayangan yang merupakan berbagai kegiatan ekonomi yang tidak mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kegiatan ekonomi bayangan ini merupakan bentuk kegiatan ekonomi yang bergerak dalam unit-unit kecil sehingga bisa dipandang efisien dalam memberikan pelayanan. Dilihat dari sisi sifat produksinya, kegiatan ini bersifat subsisten yang bernilai ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, khususnya bagi masyarakat yang ada di lingkungan sektor informal (Rachbini, 1994:3).

(52)

perlakuan pemerintah yang tidak sungguh-sungguh menaruh perhatian pada sektor ini. Perlakuan pemerintah daerah terhadap para pelaku ekonomi informal ini sering tidak manusiawi sehingga mematikan inisiatif dan kreativitas yang mereka bangun sendiri, tanpa dukungan insentif dari pemerintah (Rachbini, 1994: 81).

Ekonomi informal, yang juga biasa disebut underground economy, biasanya selalu dianggap sebagai masalah, yaitu tidak terdaftar secara formal, bersifat ilegal yang tidak membayar pajak dan tidak berkompetisi secara fair dengan perusahaan industri formal yang tunduk pada hukum dan membayar pajak secara baik. Dengan demikian, sektor informal sering, bahkan selalu, dipandang sebagai kegiatan yang melawan hukum (Rachbini, 1994: 78). Kesimpulan yang bisa diambil disini adalah bahwa sektor informal merupakan sebuah respons yang spontan dan kreatif, tetapi tidak mendapat peluang dan akses terhadap kapasitas negara dalam mengakomodasi semua dinamika kehidupan ekonomi masyarakat (Rachbini, 1994: 79)

2.3.2 Karakteristik Sektor Informal

(53)

Organisasi buruh internasional (lLO) menggambarkan ekonomi informal sebagai proses untuk menghasilkan pendapatan/pemasukan yang ditandai dengan satu hal penting; tidak diatur oleh institusi masyarakat/pemerintah, pada lingkungan sosial dan hukum dimana aktivitas yang sama juga diatur (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 338).

Kegiatan sektor informal yang menonjol biasanya terjadi di kawasan yang sangat padat penduduknya, dimana pengangguran (unemployment) maupun pengangguran terselubung (disguised unemployment) merupakan masalah utama. Dengan fakta seperti ini, limpahan tenaga kerja tersebut masuk ke dalam sektor informal, tetapi masih dipandang sebagai penyelesaian sementara karena di dalam sektor informal sendiri terdapat persoalan yang sangat rumit (Rachbini, 1994: 26).

Aktivitas-aktivitas sektor informal ini meliputi berbagai aktivitas ekonomi, yang ditandai dengan (Gilbert & Guggler, 1996: 96) mudah untuk dimasuki; Bersandar pada sumberdaya lokal; usaha milik sendiri; operasinya dalam skala kecil; padat karya dan teknologinya bersifat adaptif; keterampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal; tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasamya bersifat kompetitif.

(54)

rendah, produktivitas rendah dan terdapatnya teknologi yang tepat guna, dengan ciri-ciri sebagai berikut (Daldjoeni, 1997: 36-37):

1. Kegiatan usaha yang bersifat relatif sederhana, tidak memiliki kerja sama yang rumit dan dapat dilakukan perorangan atau keluarga dengan sistem pembagian kerja yang fleksibel.

2. Memiliki skala usaha yang relatif kecil dengan modal usaha dan modal kerja serta omset usaha yang umumnya juga kecil.

3. Penghasilan rendah dan umumnya tidak mempunyai ijin usaha serta tingkat resiko yang relatif kecil.

Mereka yang berkecimpung dalam bidang ini menjadi makin banyak dan kegiatan mereka meliputi bidang perdagangan (pedagang kaki lima), jasa (reparasi, calo), industri (pangan, mebel), angkutan (becak, dokar, ojek) dan bangunan (tukang batu, tukang kayu). Bidang-bidang tersebut memang mudah untuk dimasuki, hanya saja pengakuan pihak pemerintah terlihat masih sangat kurang.

Gustav Ranis dan Frances Stewart (Kirdar, 1997: 247-248) membedakan dua tipe aktivitas sektor informal, yaitu:

1. Aktivitas sektor informal tradisional, dengan ciri-ciri yaitu permodalan yang rendah; produktivitas pekerja rendah; pendapatan per kapita rendah; ukuran usaha kecil (dengan kurang dari tiga pekerja); dengan teknologi statis; seringkali dikelola dari dalam lingkungan rumah (keluarga).

(55)

menggunakan teknologi yang lebih dinamis; cenderung memanfaatkan tenaga ahli yang sebagian berasal dari sektor formal kota dan sebagian dihasilkan melalui aktivitas pembelajaran dan pelatihan dalam sektor informal itu sendiri; produktivitas tenaga kerja lebih tinggi sehingga peningkatan pendapatan perusahaan dapat tercapai.

Mereka yang melibatkan diri di sektor informal pada dasarnya berkaitan dengan etos kewiraswastaan (enterpreneurship) yang mereka miliki. Mereka tertarik masuk ke sektor informal ini umumnya karena tiga hal (Rachbini, 1994: 92) antara lain hampir tiadanya prosedur resmi dalam pendirian usaha sektor ini, karenanya hampir tidak memerlukan biaya dan waktu yang lama, persyaratan modal relatif kecil, dan potensi keuntungannya cukup baik.

Sebagaimana dikatakan Bromley (1979: 103), kelemahan konsep sektor informal bukan hanya bersifat tidak analitis, konsep tersebut bahkan tidak mendorong adanya kebijakan pemerintah yang menentukan.

Sektor informal cukup luas dan bervariasi sehingga memerlukan kebijakan yang berbeda-beda sehingga mendorong pemerintah untuk menggabung-gabungkan peningkatan bantuan, hal-hal yang perlu dihilangkan, rehabilitasi dan tuntutan dalam keseluruhan kebijakan secara total (Gilbert & Gugler, 1996: 99).

(56)

1. Kurangnya pengetahuan deskriptif maupun analitis mengenai jenis, unit dan luas kegiatan ekonomi informal.

2. Tidak mempunyai kekuasaan birokrat untuk mencapai daerah pedesaan, pinggiran kota dan pemukiman kumuh yang kebanyakan digeluti oleh pelaku ekonomi informal.

3. Kurangnya tenaga yang mampu mengetahui dengan baik seluk beluk ekonomi informal.

4. Diterapkan peraturan dan prosedur yang kaku serta tidak luwes dalam sektor informal.

(57)

2.3.3 Pedagang Kaki Lima Dalam Sektor Informal

Kehadiran sektor informal, yang terutama menggejala di kota-kota besar, selain berdampak ekonomis juga menimbulkan berbagai persoalan yang umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketertiban, keamanan, kebersihan, keindahan dan kenyamanan kota (Rachbini, 1994).

Pedagang kaki lima (PKL) adalah merupakan salah satu bentuk aktivitas sektor informal. Istilah ini pertama kali muncul pada jaman pemerintahan Raffles yang mengacu pada ruang berukuran lima kaki yang berarti jalur bagi pejalan kaki pada pinggir/tepi jalan selebar kurang lebih lima kaki. Area tersebut kemudian dipergunakan untuk tempat berjualan para pedagang kecil, sehingga pedagang yang memanfaatkannya disebut juga sebagai pedagang kaki lima (Ardiyanto, 1998: 131).

Sementara menurut McGee dan Yeung (1977: 25) pedagang kaki lima mempunyai pengertian yang sama dengan Hawkers, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan/menjajakan barang dan jasa pada tempat-tempat umum, terutama di trotoar dan di pinggir-pinggir jalan.

(58)

Salah satu bentuk/upaya penetrasi publik ke kawasan bangunan adalah dengan cara mentolelir keberadaan pedagang kaki lima yang merupakan struktur potensial kota, guna mendukung "kehidupan" ruang terbuka antar bangunan. Hal seperti ini telah diterapkan di New York City dan Washington, DC dengan memberikan tempat aktivitas bagi para pedagang kaki lima, dimana struktur dan kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia (Wiryomartono, 1995: 187).

Sektor informal (usaha kaki lima) ternyata juga sering dijadikan pekerjaan sampingan oleh orang-orang yang telah bekerja di sektor formal, alasannya karena cara ini mudah untuk dijalankan (tanpa melalui prosedur yang berbelit) dan seringkali lebih efektif dalam menarik pembeli (Wirutomo dalam Rachbini, 1994: xiii).

Kawasan pedagang kaki lima biasanya merupakan area kota yang tumbuh secara tidak teratur, spontan dan "ilegal", namun menempati sebagian besar wilayah kota. Sedangkan sifatnya bisa dikatakan "marjinal" dalam pengertian campur tangan, pengawasan dan bantuan pemerintah; namun memainkan peranan yang penting dalam perkembangan kota umumnya, dan pada hakikatnya membentuk sifat-sifat serta prospek-prospek perkotaan (Suparlan, 1995: 86).

2.4 Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima

(59)

2.4.1 Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima

Mc. Gee dan Yeung (1977:82-83) menyatakan bahwa jenis dagangan pedagang kaki lima sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada disekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas.

Misalnya disuatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Demikian juga dikawasan pasar tradisional jenis dagangan pedagang kaki lima didominasi oleh dagangan basah.

Jenis dagangan yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama, yaitu (Gambar 2.3):

1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.

2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauknya dan juga minuman. 3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.

4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut, dan lain sebagainya.

(60)

2.4.2 Bentuk Sarana Fisik Aktivitas Pedagang Kaki Lima

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977: 82-83) di kota-kota Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana perdagangan pedagang kaki lima sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual.

Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh pedagang kaki lima menurut Waworoentoe (1973), dalam Widjajanti (2000:39-40) sebagai berikut (Gambar 2.4):

1. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari dua macam yaitu, gerobak/kereta dorong tanpa atap dan yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan dalam aktivitas pedagang kaki lima yang permanen (static) atau semi permanen (semi static), umumnya dijumpai pada pedagang makanan, minuman dan rokok.

2. Pikulan/keranjang, sarana perdagangan ini digunakan oleh pedagang keliling (mobil hawkers) atau semi permanen, yang biasa digunakan oleh pedagang barang dan minuman. Sarana ini dimaksud agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.

(61)

terbuat dari kain/plastik. Berdasarkan bentuk sarana tersebut pedagang kaki lima ini dikategorikan pedagang permanen (static), yang umumnya digunakan oleh pedagang makanan dan minuman.

4. Kios, sarana ini menggunakan papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal ditempat tersebut. Pedagang kaki lima ini dikategorikan sebagai pedagang menetap.

5. Gelaran/alas, dimana sarana yang digunakan berupa gelaran tikar untuk alas barang yang diperdagangkan. Pedagang ini dikategorikan semi permanen, biasa digunakan oleh pedagang makanan/minuman, sayuran atau barang kelontong.

(62)

2.4.3 Pola Sebaran Pedagang Kaki Lima

Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977) pola sebaran pedagang kaki lima dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pola Sebaran Mengelompok (Focus Aglomeration)

Pada tipe ini pedagang umumnya terdapat pada ujung jalan, ruang-ruang terbuka, sekeliling pasar, ruang-ruang parkir taman dan tempat umum lainnya (Gambar 2.5).

Pola ini dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang sejenis atau pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau menunjang.

Gambar 2.5 Pola Penyebaran Mengelompok Sumber: Mc. Gee dan Yeung, 1977:37 2. Pola Sebaran Memanjang (Linear Concentration)

(63)

ini, karena menguntungkan bagi pedagang dalam mencapai konsumen (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Pola Penyebaran Memanjang Sumber: Mc. Gee dan Yeung, 1977:37 2.4.4 Pola Pelayanan Pedagang Kaki Lima

Pola pelayanan menurut Mc. Gee dan Yeung (1977:76) adalah cara berlokasi aktivitas pedagang kaki lima dalam memanfaatkan ruang kegiatan sebagai tempat usaha. Berdasarkan pengertian di atas maka pola pelayanan aktivitas pedagang kaki lima ini dapat ditinjau dari aspek golongan pengguna jasa, skala pelayanan, waktu pelayanan, dan sifat pelayanan.

1. Golongan Pengguna Jasa pedagang kaki lima

Gambar

Gambar 2.1  Ruang Terbuka
Tabel 2.1  Jenis Jalur Pejalan Kaki
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Gambar 2.4 Bentuk Sarana Fisik Aktivitas Pedagang Kaki Lima
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui secara jelas bentuk kapal pompong yang ada di perairan riau pesisir dapat dilihat pada gambar 4.1, kapal tersebut merupakan salah satu bentuk kapal

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan Krisnawati dan Lihawa(2007) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi gas metana yaitu temperatur di dalam

Penelitian Wulan Asnuri 2013 yang berjudul “Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia” dengan menggunakan ECM sebagai alat analisis

Dalam implementasinya pada dunia Arab, pandangan Qardhawi relevan dengan banyak contoh peran kaum wanita musli- mah sangat berpengaruh dalam kesuksesan di dunia politik saat

Berdasarkan kebutuhan tersebut, Jean Watson memahami bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya

Dalam hal pembelian Unit Penyertaan PREMIER CAMPURAN FLEKSIBEL dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan secara berkala sesuai dengan ketentuan nomor 14.6 Prospektus ini, maka

Perusahaan atau produsen penghasil green skincare yang menunjukkan dukungan pada kondisi lingkungan mempengaruhi penilaian individu dalam preferensi melakukan kegiatan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan jumlah sari tomat dan sari temulawak terhadap sifat organoleptik jelly drink yang meliputi (warna, aroma, rasa,