• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seri Diskusi Publik Komite Sastra

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN KEGIATAN 2020 (Halaman 97-102)

Dalam beberapa tahun terakhir berbagai festival sastra di Indonesia banyak digelar. Sekadar menyebut beberapa: Ubud Writers and Readers Festival, Makassar International Writers and Readers Festival, Banggai Literary Festival, Banjarbaru Rainy Day Festival, Aruh Sastra di Kalsel, hingga yang lebih baru Festival Sastra Internasional Gunung Bintan di Tanjungpinang.

Sebagai perbandingan di India sepanjang tahun ada lebih dari 60 festival sastra. Di Australia dan Selandia Baru ada lebih dari 80 festival sastra. Di Kanada ada lebih dari 30 festival sastra yang rata-rata sudah berumur panjang. Pada diskusi publik ini Komite Sastra DKJ ingin melihat apakah memang festival sastra sudah menjadi bagian dari ekosistem sastra yang sehat, ajeg, dan berfungsi sebagai ajang demokratisasi sastra yang berhasil menjawab upaya desentralisasi

perkembangan sastra di Indonesia.

Diskusi Publik #2 “Jasa dan Dosa Platform Digital Pada Sastra”

Suka atau tidak suka, platform digital kian berjaya menjadi medium publikasi karya tulis. Menyusul Wattpad, beberapa tahun belakangan ini berbagai aplikasi baca tulis lahir dan berkembang menjadi wadah bagi para penulis untuk

menyuguhkan karyanya kepada khalayak pembaca. Dan ini berbanding lurus dengan kian menyusutnya peran media kon-vensional—setidaknya dalam hal oplah dan penjualan—seperti buku, koran, dan majalah. Boleh dibilang, saat ini platform

digital telah menjadi surga baru bagi dunia literasi.

Kata “surga” layak dinisbatkan pada platform digital lantaran polanya yang memberikan sebegitu banyak kemudahan dan kebebasan dalam menjalankan aktivitas baca tulis. Siapa pun bisa menampilkan karyanya tanpa harus melewati proses kurasi dan hal-hal lainnya yang biasa dilakukan oleh penerbit media konvensional. Dalam platform digital, penulis akan merangkap menjadi kurator, penerbit, sekaligus pemasar bagi

karyanya. Dengan jumlah pengguna internet yang sangat besar di Indonesia, maka format serupa itu menjanjikan pangsa pasar pembaca yang menggiurkan. Dan hal ini telah dibuktikan oleh sejumlah nama, baik sebagai pemasok konten tulisan maupun sebagai pihak pengelola aplikasi, yang sukses mendulang begitu banyak pembaca atau viewer.

Lalu apa kaitan fakta itu dengan dunia sastra? Sejauh mana awareness para sastrawan dan pegiat sastra akan hal ini? Apakah semesta literasi yang nyaris tanpa kurasi dan bebas kritik—dengan publik pembaca yang besar—itu, akan meng-gerogoti kesehatan ekosistem dan mengancam

keberlang-sungan sastra? Jika ya, bagaimana para pemangku kepentingan sastra harus meresponnya? Ataukah kegiatan literasi di

platform digital itu justru merupakan sebuah kabar gembira: membuka ruang kemungkinan bagi perkembangan yang lebih berwarna dan perayaan yang makin semarak bagi sastra? Jika ya, bagaimana musti menyambut dan mengelolanya? Adakah sastrawan yang telah memanfaatkan platform digital bagi kepentingan karier kepenulisannya? Jika ada, bagaimana seluk beluk mereka berkecimpung di sana, dan bagaimana pandangan-pandangannya?

Diskusi Publik #3 “Erotika Sastra Indonesia: Antara Estetika Teks dan Perayaan Seks”

Erotika adalah bentuk ekspresi. Erotisme adalah jalan estetika. Keduanya bersentuhan bahkan bersumber dari seksualitas manusia. Karena itu ia juga membentuk kebudayaan kita. Maka kehadirannya juga bagian penting dalam perkembangan sastra kita.

Adalah Umar Kayam yang mengatakan bahwa soal sex -

dengan demikian soal erotika - adalah satu soal kemanusiaan yang terbesar yang selalu akan mengganggu kehidupan manu-sia, yang karenanya akan selalu kita jumpai dalam kesusastraan kapan saja. (Budaya VI (1), Januari 1957, hal 16-24).

Jebakan memasuki atau mengekspresikan hal itu adalah profanisasi, vulgarisasi bahkan menjadi pornografi, sekadar perayaan yang banal. Padahal jalan estetika apa pun seharus-nya mampu mengarahkan manusia ke arah hidup yang lebih berharga dan membawa kesadaran ke arah yang lebih

baik. Erotika bila dipahami dengan wajar, adalah kekuatan yang memberdayakan, bahkan bisa jadi energi kesetaraan. Sastra seharusnya melihat peluang untuk memanfaatkan energi tersebut.

Pembicaraan soal erotika dan pornografi kerap tercampur aduk dan karena itu sering menjadi tak nyaman bahkan dielakkan. Pembicaraan dari aspek objektif-formil selalu terdesak oleh etik-moral. Sementara fenomenanya dalam sastra kita terus saja ada. Pertanyaan yang kerap diajukan: di mana batasnya? Apa kriterianya?

Padahal yang lebih penting daripada itu adalah kenapa erotika penting untuk hadir dalam sastra, sebagai ekspresi sisi lain manusia. Tanpa memahami itu maka erotika akan berhenti sebatas khasanah saja atau fenomena yang tak terpahami. Kita juga perlu meninjau bisakah erotika (terutama dalam sastra) membebaskan seks sebagai

ekspresi yang wajar dalam hidup, bukan eksploitasi terhadap tubuh perempuan, atau sebaliknya represi terhadap gairah perempuan. Berangkat dari pemikiran tersebut Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menggelar diskusi publik dengan tema “Erotika Sastra Indonesia: Antara Estetika Teks dan Perayaan Seks”.

Rangkaian Kegiatan

No. Waktu Tema/

Judul Diskusi Platform

1 2 3 Selasa, 22 September 2020 19.00-21.00 WIB Selasa, 2 November 2020 19.00-21.00 WIB Selasa,22 Desember 2020 19.00-21.00 WIB Diskusi Publik #1 “Festival dan Kegairahan Sastra ” Diskusi Publik #2 “Jasa dan Dosa Platform Digital Pada Sastra”

Diskusi Publik #3 “Erotika Sastra Indonesia: Antara Estetika Teks dan Perayaan Seks”

• Isyana Artharini (Kurator Jakarta International terary Festival) • Lily Yulianti Farid (Penggagas kassar International Writers Festival) • Okha Miharza (Penggagas Aruh Sastra Kalimantan Selatan) • Windy Ariestanty (Co-Founder Patjar Merah) Moderator: Andina Dwifatma (Penulis, Dosen) • Brilliant Yotenega (Pendiri nulisbuku. com & storial.co) • Dewi Anggraeni (Kritikus Sastra) • Ry Azzura (Senior Editor Gagas Media) • Joko Pinurbo (Penyair) Moderator Hasan Aspahani • Eka Kurniawan (Sastrawan, Ko- lomnis) • Mariana Amiruddin (Aktivis Perempuan) • Oka Rusmini (Sastrawan) • Zen Hae (Sastrawan, tikus) Moderator: Avianti Armand Zoom & YouTube Dewan Kesenian Jakarta Views: 677 Zoom & YouTube Dewan Kesenian Jakarta Views: 1876 Zoom & YouTube Dewan Kesenian Jakarta Views: 2501 Pembicara/ Pemantik

Kerabat Kerja

Penanggung Jawab Dewan Kesenian Jakarta Komite Sastra

Avianti Armand Hasan Aspahani Ben Sohib

Jaronnah Abdullah Yusi Avianto Pareanom Kepala Bidang Program Hikmat Darmawan Manajer Program Ana Rosdianahangka Pelaksana Program Gayuh Chitta Adyani

Humas

Fransiskus Sena Desainer Grafis Rio Sadja

Manajer Keuangan Tri Suci Meilawati Dokumentasi Eva Tobing Joel Taher Arnold Simanjuntak Operator Teknis Anies Wildani

Analisa Live YouTube

No. Diskusi Publik Komite Sastra Total Views Like & Dislike Engagement 1 2 3 “Festival dan Kegairahan Sastra”

“Jasa dan Dosa Platform Digital Pada Sastra”

“Erotika Sas-tra Indonesia: Antara Estetika Teks dan Pe-rayaan Seks” 677 Views 1876 Views 2501 Views 32 likes, 1 dislike 71 likes, 3 dislikes 126 likes, 0 dislike Terjalin 24 percakapan dalam fitur live chat. Terjalin 49 percakapan dalam fitur live chat Terjalin 48 percakapan dalam fitur live chat

LAPORAN

KOMITE

Tahun 2020 adalah masa transisi selain pembatasan Program yang sudah direncanakan juga disesuaikan dengan kemampuan Pemprov DKI Jakarta sehingga dalam pelaksanaan Program yang disetujui hanya Festival Film Internasional Madani saja. Dalam perjalanannya Komite Film memiliki Program Rutin yang menjadi ranah Apresiasi Masyarakat Film Jakarta yang dikelo-la dadikelo-lam program Kineforum, sehingga mengakibatkan secara pembiayaan tidak dapat dipenuhi, sehingga anggota Komite Film bersepakat dan bersiasat dalam pelaksanaannya beberapa program yang sudah di rencanakan dalam Rencana Kerja 2020 pada tahun 2018 disesuaikan dibawah Program Festival Film Internasional Madani.

Dalam pelaksanaannya Program Apresiasi sepanjang tahun oleh Kineforum tetap berjalan walaupun terkendala dengan Pandemi yang dimulai awal tahun 2020 sehingga beberapa penyelenggaraan dialihkan secara daring. Bersamaan ini pula keluar Keputusan Gubernur yang baru nomer 4 tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta sehing-ga ada perubahan anggota komite film periode ini yang terdiri dari Agni Ariatama, Hikmat Darmawan melanjutan dari periode sebelumnya dan anggota baru Angga Sasongko, Shuri Mariasih Gietty, Ekky Imanjaya dan pada Pleno DKJ pertama periode baru setelah melalui kesepakatan memberikan amanat ketua komite film kepada Agni Ariatama.

Melihat kondisi yang baru terkait Peraturan Gubernur Baru maka Komite film sepakat selain menjalankan program yang sudah direncanakan untuk menyiapkan strategi dalam 1 peri-ode ke depan yang hanya 3 tahun. Kembali lagi ini pergub baru yang tidak terbayangkan akan terbit kapan sehingga tidak

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN KEGIATAN 2020 (Halaman 97-102)