• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seri Diskusi Publik Komite Tari

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN KEGIATAN 2020 (Halaman 42-49)

Kerangka Kuratorial

Diskusi Publik #1

“Menari untuk Hidup, Hidup untuk Menari.”

Pandemi telah mengubah dunia ini. Seluruh interaksi sosial turut disesuaikan demi mencegah penyebarluasan virus.

Kebiasaan-kebiasaan baru kini diterapkan seperti menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Kenormalan baru, atau tatanan baru mengharuskan masyarakat menghindari kerumunan. Ruang gerak kita tengah dibatasi, 7 bulan

lamanya masyarakat menyesuaikan diri dengan mengalihkan perjumpaan sosial menggunakan teknologi digital. Aktivitas pendidikan, hiburan, hingga perdagangan kini berlangsung di ruang-ruang daring.

Lantas, bagaimana dengan tari? Tubuh yang sedang terisolasi tidak lagi dapat berkumpul bersama-sama menggerakan tubuh, ataupun berinteraksi dengan riuhnya penonton. Namun, para penggiat tari beserta komunitas-komunitas mengupayakan alih wahana sehingga tubuh dapat terus menari dan menjangkau tubuh yang lainnya. Menari di tengah wabah adalah elegi duka cita, menyaksikan tragedi kematian yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, menari juga adalah cara mengingat-kan tubuh bahwa kita adalah manusia yang bebas. Tubuh kita dimaksudkan untuk terus bergerak, menari dengan bebas. Menari melalui aplikasi-aplikasi menjadi alternatif yang dilaku-kan oleh masyarakat. Kepenatan isolasi diri, dan hilangnya rutinitas sosial seperti dahulu menyebabkan individu membu-tuhkan ekspresi tari sebagai bagian dari terapi. Menari melalui media sosial bagi masyarakat umum adalah cara untuk menjadi optimis bahwa kehidupan harus terus dihadapi. Publikasi dari New England Journal of Medicine mengatakan bahwa menari menekan risiko stres dan gangguan kejiwaan hingga 75%. Menari dalam hal ini tidak saja kegiatan yang meningkatkan endorfin, namun menari juga mendorong terjadinya ‘neuroplas-ticity’ atau kemampuan di dalam otak untuk menciptakan

hubungan-hubungan baru antar syaraf, sehingga dapat mem-bantu menyembuhkan cidera ataupun penyakit.

Tentu ada rasa yang hilang dari interaksi digital, kehadiran virtual tidak dapat disetarakan dengan perjumpaan aktual.

Ruang riil memungkinkan ritme tubuh satu dengan yang lainnya menyatu, merasuk, transformasi energi yang begitu khusyuk. Meski demikian, ruang digital adalah tempat terbaik sebagai ruang sementara dalam penantian pulihnya dunia dari Covid-19. Tari sebagai bagian dari seni pertunjukan mengalami tantangan besar. Meskipun demikian, para penggiat tari tidak surut meng-hadapi aral pandemi ini. Dalam diskusi publik “Hidup Untuk Menari, Menari Untuk Hidup”, Komite Tari DKJ berupaya untuk mengangkat resiliensi seniman dan juga masyarakat luas untuk tetap menari meski dengan hambatan pembatasan sosial. Webinar ini menghadirkan para narasumber yang akan menceritakan pengalaman maupun kepakarannya terkait dengan dunia seni tari.

Diskusi Publik #2 “Tabu! Tabu! Tabu!”

Dapatkah kita membayangkan dunia dimana tubuh atau, ekspresi melalui tubuh tersebut bebas apa adanya? Tubuh terjerembab ke dalam dunia penuh dengan ikatan, norma, aturan dan segala ikatan sosial. Tubuh mustahil dilepaskan dari kekuasaan. Norma-norma yang ada merupakan hasil dari eksekusi kekuasaan. Kekuasaan yang menentukan apa yang dianggap pantas, normal atau layak. Melalui karyanya Sejarah Seksualitas, Michel Foucault menguraikan bagaimana tubuh dipersepsikan dalam historisitas. Peradaban manusia selalu berupaya untuk mendiskursuskan tubuh dan juga perilaku seks, mengartikulasikan serta menjadikannya suatu objek yang dapat dikaji.

Sejarah menuliskan perihal seks sebagai sesuatu yang tabu, yang perlu diawasi, ditata dan direpresi. Melalui represi itulah pengetahuan tentang seks diatur, khususnya persoalan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Kekuasaan mengatur pengetahuan tentang tubuh, dan formulasi pengetahuan menyangkut tubuh tidak jauh dari obsesi untuk mengkontrol tubuh itu sendiri.

Ada kebutuhan untuk menormalisasikan tubuh, untuk alasan apa? Kontrol sosial tentunya. Pembicaraan tentang gerak-gerik tubuh dibatasi sejauh apa yang dianggap baik untuk masyarakat, juga apa yang dianggap berguna dan berfungsi untuk masyarakat.

Tubuh yang menari adalah upaya seseorang mengenali tubuh-nya sendiri. Gerakan tubuhtubuh-nya adalah pemberontakan terhadap bagaimana pengaturan dan pengawasan terus mengancam. Tarian adalah suatu gugatan politis, di tengah menguatnya kon-servatisme yang selalu menyasar pada penertiban tubuh. Dual-isme citra tubuh yang dibentuk oleh budaya yang diskriminatif, mereduksi tubuh untuk berada di dua sumbu, bahwa tubuhnya suci atau nista. Dua status ini adalah persepsi yang dilanggeng-kan oleh masyarakat untuk selalu mengkontrol tubuh. Lantas, bagaimana tarian dapat membebaskan kita?

Seni tari sebagai cerminan dari kehidupan sosial di Indonesia menunjukkan keanekaragaman sebagai suatu keniscayaan. Masyarakat Indonesia yang kental dengan keragaman budaya, adat, tradisi, dan agama sepatutnya disebut sebagai mas-yarakat multikultural. Cita-cita dari masmas-yarakat multikultural adalah perayaan terhadap keanekaragaman. Suatu rekognisi serta penghargaan terhadap kemajemukan. Perbedaan-perbe-daan ini mensyaratkan suatu pemahaman yang kritis terhadap kebebasan tubuh. Problem yang timbul adalah, dikurungnya tubuh dalam kotak-kotak yang permanen. Kotak-kotak ini, mendahului kebebasan tubuh, maupun keinginan tubuh untuk mencari jati dirinya.

Diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Tari DKJ, mengangkat pembahasan ruang bagi tubuh yang semakin menyempit. Dengan harapan melalui diskusi ini maka akan mengalir percakapan yang dinamis serta terbuka tentang tubuh dan tari.

Catatan di balik diskusi publik “Tabu! Tabu! Tabu!” Tari: Tubuh dan Kebebasannya

oleh Josh Marcy

Rasanya ketika berbicara tari sebagai sebuah ekspresi, maka sedikit banyak kita akan bersinggungan dengan ide mengenai tubuh dan kebebasannya. Hal ini juga yang mungkin menjadi pernyataan sekaligus pertanyaan tentang tari di era modern. Kalau menilik sekilas pada konteks kesenian tradisional, tari nampaknya lebih leluasa dalam menafsirkan kebebasan ini. Dalam artian bahwa tari menjadi medium yang cukup cair untuk dipertemukan dengan berbagai latar sosial, politik, budaya, dan kepercayaan setempat. Berbagai contoh tradisi masyarakat Indonesia yang mencerminkan hal ini sudah sempat kita bahas di pertemuan yang lalu. Kita sempat membahas tentang Bissu di masyarakat Bugis dan Lengger Banyumas; yang mungkin keduanya serupa sebagai pernyataan akan realita nomena yang mampu mereka

sadari keberadaannya. Alih-alih bersifat politis, pernyataan ini pun hadir secara organik.

Kembali berbicara tari sebagai ekspresi, rasanya jadi kelewat awam kalau hanya dikaitkan kepada praktik artistiknya saja. Kalau terbatas demikian, lantas bagaimana kita akan berbicara kebebasan tubuh mengekspresikan dirinya dalam realita

sehari-hari? Saya pikir, kedua hal tersebut akan selalu

bolak-balik saja. Kalau ekspresi keseharian saja sudah dikekang dengan brutal, apalagi nasib ekspresi dalam berkesenian.

Idealnya, tubuh memiliki kebebasan. Setidaknya kebebasan untuk memaknai dirinya sendiri. Namun, lewat kehidupan kita juga belajar bahwa tubuh pun selalu tunduk pada norma-norma tertentu. Yang menarik justru ketika kita bisa mengamati dan

mengalami tarik menarik antara kedua hal tersebut. Lantas bisa jadi akan dihasilkan berbagai macam tafsiran, eksperimentasi, dan ekspresi. Rasanya sulit juga membayangkan tubuh bisa memiliki kebebasan yang absolut. Mungkin saya lebih bisa me-mahami kebebasan sebagai keleluasaan untuk mondar-mandir di antara berbagai kemungkinan yang ada. Celakanya adalah, kalau norma-norma tertentu dikonstruksikan untuk sengaja mempersempit keleluasaan tersebut. Kita lantas jadi “gagal paham” dan “gagal menilai”. Seakan-akan menggunakan kacamata kuda, sudut pandang kita dipersempit untuk meyakini suatu hal sebagai yang sebenar-benarnya benar.

Norma yang saya maksud salah satunya juga tentang moralitas. Terlebih saya merasa masyarakat Indonesia saat ini suka terbu-ru-buru memberi label tubuh dengan pernyataan moral.

Jangankan berbicara tari, topik gender dan seksualitas saja sudah cukup “mengancam”. Oke, katakanlah dua hal terakhir lebih tepat dikaitkan dengan keberpolitikan tubuh—hal yang telah dan sedang menjadi perjuangan pula di masyarakat Barat. Tapi toh, budaya kita juga tidak asing dengan hal-hal tersebut. Dua contoh di awal tulisan ini bisa kita lihat sebagai wujud keterbukaan masyarakat tradisional dahulu dalam mengamini topik-topik demikian. Ya, tentu ada sudut pandang yang tidak bisa disejajarkan antara kita dengan masyarakat Barat. Tapi, justru hal ini pula yang membuat saya bertanya-tanya: meng-arah kemana kompas moral masyarakat kita saat ini? Jangan sampai perkembangan budaya kita malah mencerminkan semangat kolonial, bedanya rezim yang sekarang adalah moralitas yang tak berakar.

Entah apakah catatan ini bisa berguna, yang jelas topik bahasan diskusi kali ini memang bisa jadi provokatif. Tapi, rasanya

ini juga diperlukan untuk memberi respon yang sama-sama radikal. Memang tidak perlu bermimpi untuk bisa diterima dengan legowo, setidaknya perlahan kita bisa mulai mena-namkan benih kesadaran. Kesadaran bahwa moralitas yang tak berakar juga bisa jadi adalah ketidak-bermoral itu sendiri.

Sekilas tentang Modern Dance dan Ekspresi Tubuh komu-nitas LGBTQ Amerika

Tari di awal abad 20 ditandai dengan sebuah pergerakan Modern Dance dengan salah satu ikon yang dikenal, Martha Graham. Dalam beberapa kajian, Martha Graham — Graham Technique menjadi salah satu usaha dekonstruksi tari Barat yang saat itu masih sangat mengagungkan balet klasik. Ada “norma-norma” tertentu yang ingin dibongkar, mungkin salah satunya mengenai ke-eksklusifan tubuh balet yang begitu mengekang. Walaupun bukan yang pertama, namun Graham berhasil dikenal sebagai tokoh yang memberi penawaran baru pada dunia tari Barat. Bisa jadi ada agenda politik tertentu yang dibawa oleh Graham. Namun, yang menarik dan bisa kita amati adalah bagaimana sebuah “konsep” kemudian berubah menjadi kategori. Pada akhirnya, Graham Technique pun menjadi serupa dengan balet. Setidaknya kalau kita melihat praktik artistik yang begitu mengikat tubuh pelakunya, malah ikut membatasi keleluasaan tubuh si penari.

Pada era ‘70an, muncul gaya tari di Los Angeles, Amerika yang dinamakan Waacking. Mulanya tari ini hadir di klab-klab under-ground, sebagai upaya komunitas LGBTQ untuk bisa mengek-spresikan tubuhnya secara bebas. Tekanan sosial yang dituju-kan pada mereka saat itu, lantas menjadidituju-kan “klab-klab” serupa tumbuh subur di sana. Walaupun cenderung memperlihatkan gerak-gerak feminim pada tubuh lelaki, namun semangat

waacking sendiri merupakan kebebasan tubuh untuk berekspre-si tanpa harus dibatas-bataberekspre-si oleh dualitas gender. Pelakunya secara umum adalah komunitas gay, namun terbuka bagi siapapun yang ingin mengekspresikan tubuhnya.

Pada tataran tertentu, kita bisa melihat waacking sebagai sebuah perlawanan politik yang hadir lewat ekspresi seni. Tyrone Proctor sebagai salah satu ikon yang mempopulerkan waacking ke publik Amerika dan dunia, selalu mengatakan

bahwa tari ini selalu tentang performance dan kekuatan komu-nitas. Menariknya, adalah ketika waacking masuk ke Indonesia, ini tidak lagi berat dengan muatan politis seperti saat awal ke-munculannya. Kehadirannya sekarang umum bisa kita amati di komunitas Hip-Hop Indonesia, dimana pelaku tarinya diterima dengan baik di ruang-ruang publik: mal, panggung-panggung pertunjukan, kompetisi, dan sebagainya.

Diskusi Publik #3 “Dance: All Access”

Aksesibilitas masih menjadi salah satu isu yang perlu dibahas dalam praktik kesenian Indonesia. Perihal akses setidaknya dapat dibahas dalam dua lingkup, yaitu pemerataannya secara nasional dan akses kesenian Indonesia menuju panggung global. Berangkat dari kedua hal ini, berbicara

akses tidak lagi ideal kalau hanya dibebankan pada si seniman saja melainkan juga harus memperhatikan pemberdayaan

ekosistem kesenian secara menyeluruh. Dalam hal ini, pembuat program-program kesenian (programmer), lembaga dan institusi seni dan kebudayaan, pemerintahan, serta mereka yang dapat diposisikan sebagai stakeholder within art scene, memiliki per-an signifikper-an untuk memastikper-an aksesibilitas yper-ang inklusif bagi seluruh pelaku seni.

Setelah melangsungkan Jakarta Dance Meet Up (JDMU) 2020 lalu, diperoleh beberapa hasil yang antara lain berupa pemeta-an isu dalam seni tari Indonesia. Salah satunya mengenai

ketimpangan produksi pengetahuan antara satu daerah dengan yang lain. Namun ini bukan berarti daerah-daerah tertentu ketinggalan. Justru hal ini sebenarnya bisa dilihat sebagai keberagaman wacana yang memerlukan pembacaannya tersendiri dan perlu difasilitasi secara serius. Program JDMU yang lalu setidaknya cukup berhasil memberi wadah jejaring sekaligus produksi pengetahuan bersama, tanpa menjadikan program ini seakan-akan hanya terpusat di Jakarta saja.

Berkaca dari hal ini juga, aksesibilitas nampaknya bisa dan perlu diwujudkan secara dua arah, tidak melulu berpusat di Jakarta tetapi bersirkulasi dengan daerah-daerah lain.

Diskusi publik yang kali ini berjudul “Dance: All Access”, tidak lain bertujuan untuk menilik permasalahan aksesibilitas dalam praktik seni tari Indonesia. Terkait pula dengan kondisi global saat ini, dimana akses digital sangat memungkinkan untuk berjejaring dan bersirkulasi melampaui ruang dan waktu, hal ini seharusnya juga semakin menipiskan kesenjangan yang sebelumnya mengatas-namakan letak geografis. Melalui

diskusi kali ini, kita bisa bersama-sama mengkaji upaya-upaya yang paling relevan dan efisien guna memberi akses inklusif kepada pelaku ekosistem seni tari.

Kerabat Kerja

Penanggung Jawab Dewan Kesenian Jakarta Komite Tari Yola Yulfianti Aiko Senosoenoto Josh Marcy Siko Setyanto Saras Dewi

Kepala Bidang Program Hikmat Darmawan

Rangkaian Kegiatan

No. Waktu Judul Diskusi Pembicara Platform

1 2 3 Selasa, 29 September 2020 19.00-21.00 WIB Rabu,17 November 2020 19.00-21.00 WIB Selasa, 12 Januari 2021 19.00-21.00 WIB Diskusi Publik #1 “Menari untuk Hidup, Hidup untuk Menari.” Diskusi Publik #2 “Tabu! Tabu! Tabu!” Diskusi Publik #3 Dance: All Ac-cess

Rusdy Rukmarata Melati Suryodarmo Rieka Nur Asy Syam Marieska Febriyani Esha Tegar Moderator: Saras Dewi Keynote Speaker: Rianto Penanggap: Fajar Arcana

Rachmi Diah Larasati Moderator:

Saras Dewi Bob Wardana (Project Manager Erasmus Huis) Puput Setia Susanti (The Japan Founda-tion)

Keni Soetiaatmadja (Sasikirana Dance Camp)

Ratri Anindyajati (Produser Seni, Pro-gram Manajer IDF) Moderator: Saras Dewi Zoom & live di You-Tube DKJ Views: 513 Zoom & live di You-Tube DKJ Views: 736 Zoom & live di You-Tube DKJ Views: 359 Manajer Program Anita Dewi Pelaksana Program Burda Ulfy Humas Fransiskus Sena Desainer Grafis Rio Sadja Keuangan

Tri Suci Meilawati Unggul Wilma Dokumentasi Eva Tobing Sendie Nurseptara Operator Teknis Anies Wildani Agustina Suryanto Tanjung Notulis Christa Ansi

Analisa Live YouTube

No. Diskusi PublikKomite Tari ViewsTotal DislikeLike & Engagement

1

2

3

Menari untuk Hidup, Hidup untuk Menari

Tabu! Tabu! Tabu!

Dance: All Access

513 views 736 views 360 views 34 likes, 0 dislike 55 likes, 2 dislikes 25 likes, 0 dislike Terjalin 44 percakapan dalam fitur live chat. Terjalin 53 percakapan dalam fitur live chat. Terjalin 25 percakapan dalam fitur live chat.

LAPORAN

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN KEGIATAN 2020 (Halaman 42-49)