• Tidak ada hasil yang ditemukan

SETIAP AKHIR BULAN RABIUL AWAL, ADA TRADISI MENARIK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT TAKALAR.

Dalam dokumen Majalah Sinergi | Semen Indonesia (Halaman 58-60)

TRADISI YANG DIKENAL DENGAN NAMA MAUDU LOMPOA

(MAULID BESAR), SELALU DIRAYAKAN DENGAN GEGAP

GEMPITA YANG MELIBATKAN SELURUH MASYARAKAT

S

alah satunya, saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pada awal Januari 2016. Saat itu, tampak puluhan perahu kayu berisi telur maulid dan berhias kain serta sarung berjejer di sungai Cikoang, Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Takalar, sekitar 55 kilometer dari Kota Makassar. Perahu berhias telur itu menjadi ciri perayaan Maulid di Cikoang, Takalar. Perahu bernama Lambere Japing-Japing (haddayong pitdareng) itu ternyata berasal dari Pangkep.

digunakan hingga saat ini,” kata Karaeng Lolo saat ditemui di rumahnya, Desa Cikoang, Minggu (10/1).

Karaeng Lolo memaparkan, peraya- an Maudu Lompoa di Cikoang sudah berlangsung sejak tahun 1632. Perayaan tersebut telah menjadi agenda tahunan keturunan Sayyid sekaligus menjadi agenda pariwisata Sulawesi Selatan. Bahkan, “masyarakat yang dinilai kurang mampu pun berusaha tetap merayakan Maudu. Seperti ada berkah tersendiri setiap menjelang Maudu Lompoa,” jelas Sayyid Lolo (Karaeng Lolo). Keluarga ketu- runan yang merantau berusaha kembali untuk menggelar acara kegiatan sebagai

kecintaan terhadap Nabi Muham- mad SAW. Kegiatan ini

kerap menjadi pengobat rindu bagi warga

Cikoang yang lama merantau

dan kembali Menurut Syam suddin Karaeng Lolo,

salah seorang keturunan Sayyid Djalalud- din, nama perahu yang digunakan dalam maulid itu berasal dari pengikut-pengikut Sayyid asal Pangkep. “Dikatakan Lam- bere Japing-Japing, karena itu dibawa pengikut Sayyid dari Japing-Japing, Kabupaten Pangkep. Perahu tersebut

RANAH

bergabung bersama keluarganya. Sebelum puncak perayaan Maudu Lompoa, dibutuhkan persiapan selama 40 hari. Persiapan diawali dengan je’ne-je’ne Sappara (mandi pada bulan Syafar) oleh masyarakat setempat dipimpin sesepuh atau guru adat.

Kemudian membuat hidangan khas untuk puncak acara Maudu Lompoa. Prosesnya butuh waktu lama. Hidangan khas itu berupa nasi pamatara (setengah matang) dan lauk yang menunya didomi- nasi ayam kampung dan telur warna-warni yang penuh hiasan bunga kertas dan male. Male adalah guntingan kertas min- yak yang menyerupai tubuh manusia.

Prosesnya lama karena ayam kampung yang digunakan untuk sesaji Maudu tidak boleh ayam sembarangan. Ayam harus dikurung 40 hari di tempat bersih dan diberi makan beras bagus.

Pada saat yang sama, masyarakat juga mulai melakukan prosesi angnganang baku, yaitu membuat bakul sesaji dari daun lontar. Selanjutnya, masyarakat menjemur padi dalam lingkaran pagar, di- lanjutkan a’dengka ase, yakni menumbuk padi dengan lesung. Setelah itu, warga mengupas kelapa utuh yang ditanam sendiri (ammisa’ kalulu).

Tepat dua hari sebelum hari “H”, masyarakat yang akan mengikuti Maudu Lompoa melakukan acara potong ayam dan menghias telur. Kemudian para ibu rumah tangga dibantu anak-anaknya mulai memasak beras setengah matang, ayam goreng dan aneka kue tradisional dengan menggunakan kayu bakar.

Cara memasak pun mempunyai ketentuan, yakni harus dilakukan di dalam ra’bbang (kolong rumah panggung), tidak boleh keluar pagar. Perempuan harus memakai sarung dalam keadaan bersih dan mengambil air wudu sebelum mema- sak. “Beras pun dicuci tujuh kali sebelum dimasak dan air cuciannya ditampung dalam lubang yang sengaja dibuat dalam ra’bbang,” ungkap Daeng So’na, salah seorang warga Cikoang yang telah berdomisili di Kota Makassar, namun yang selalu pulang kampung pada saat prosesi Maudu Lompoa.

Isi bakul disesuaikan jumlah keluarga tiap rumah. Setiap satu orang harus dipo-

tongkan satu ayam dan dimasakkan satu gantang (4 liter) beras. Sedangkan jumlah telur yang dihias, tergantung kemampuan masing-masing keluarga, namun minimal berjumlah 20 butir, sehingga telur-telur yang dikumpulkan pada saat hari “H” bisa mencapai ribuan. Karena itu, biaya acara ritual ini sangat besar hingga jutaan rupiah per kepala keluarga (KK).

Sajian Maudu Lompoa yang dikumpul- kan pada rumah panggung yang disiap- kan di pinggir Sungai Cikoang ataupun ditempatkan di atas perahu pada saat acara puncak, sebenarnya sarat makna. Misalnya, bakul anyaman dari daun lontar, menggambarkan bahwa tubuh manusia teranyam oleh lebih dari 4.000 saraf. Empat liter beras selain melambangkan hakikat empat unsur dari manusia (tanah, air, api, dan angin), juga syariat Islam. Sementara ayam berarti pembelajaran (tarekat) akan waktu dan juga dikenal sebagai binatang yang ulet.

Karaeng Lolo menjelaskan, kelapa yang memiliki tujuh lapis kulit itu per- lambang hakikat mata hati. Telur berarti keyakinan (makrifat). Perahu bagaikan kendaraan menuju bahtera berkah. Kain bagai tempat bernaung saat manusia berada di padang mahsyar nanti. Khusus kain yang digunakan sebagai umbul- umbul pada perahu kayu yang berukuran besar (Lambere Japing-Japing) atau perahu berukuran kecil (Jolloro) biasanya adalah kain sarung atau kain yang bisa dijadikan baju. Untuk warna dan kuali- tasnya tergantung selera dan kemampuan masing-masing.

Pada saat puncak acara Maudu Lom- poa, ketika matahari mulai muncul di ufuk timur, masyarakat yang membawa sesajen berduyun-duyun ke tempat prosesi adat. Begitu pula warga dari desa tetangga, bahkan dari luar Sulawesi yang masih memiliki hubungan keluarga atau kekera- batan dengan penduduk asli Cikoang yang umumnya masih menggunakan gelar sayyid (syekh) sebagai pertanda turunan Syekh Djalaluddin. Saat matahari mulai menyengat terik, penduduk se- antero desa tumpah-ruah memadati dua buah baruga (pendopo panggung) yang sengaja didirikan di pusat desa. Bakul- bakul berisi aneka menu itu sebagian ditempatkan di baruga, sebagian lagi di atas perahu yang ditambatkan tak jauh dari baruga.

Tak lama kemudian, tetabuhan musik tradisional gandrang (gendang) lengkap dengan iringannya berupa pui-pui dan kecapi mulai menggema menyemarakkan pesta ritual itu. Sesepuh dan pemangku adat di desa itu kemudian memberikan sambutan dan memimpin acara zikir yang memuja keteladanan Rasulullah SAW.

Terakhir doa bersama sebagai tanda terima kasih pada Sang Khalik, atas rezeki yang dilimpahkanNya selama ini. Usai acara, julung-julung berisi sesajian menjadi bersih, tak ada satu pun sesaji atau hiasan tersisa. Masyarakat kem- bali ke rumah masing-masing dengan perasaan puas dan lega. Kalaupun ada yang tidak sempat kebagian sesaji, yang mendapat sesaji berlebih dengan suka rela memberikan separuh bagian- nya. Hal ini sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan pemerataan nikmat rezeki dari Yang Maha Kuasa. (ST/ humas-saf)

Puluhan perahu kayu berisi telur maulid dan berhias kain serta sarung berjejer di sungai Cikoang, Desa Cikoang, Kecama- tan Mangarabombang, Takalar.

S

alah satu bangunan yang menjadi saksi sejarah akan sepak terjang gerakan para pemuda di Kota Padang adalah Tugu Jong Sumatranen Bond. Hingga saat ini, tugu yang dibangun pada 1919 itu, masih berdiri kokoh di ujung Taman Melati, Padang. Pemerhati sejarah Kota Padang Kapten CPM KGP Ariin BA, mengatakan tugu Tugu Jong Sumatranen Bondini merupakan tugu peringatan pertama yang dibangun di Kota Padang. Tugu ini membuktikan bahwa pemuda-pemuda di Kota Padang juga aktif terlibat dalam berbagai gera- kan menuju Indonesia Merdeka.Ini mungkin satu- satunya tugu tertua yang merupakan lambang persatuan bangsa yang didirikan untuk memper- ingati awal berdirinya organisasi kepemudaan di nusantara ini.

Sumpah Pemuda pada 1928 yang melebur se- mua organisasi yang bersifat kedaerahan seperti Jong Sumatra, Jong Java, Jong Pasundan, Jong Celebes (Sulawesi) dll dan kemudian berhimpun ke dalam sebuah wadah yang bernama Per- himpunan Indonesia, mengimbas pula ke kota Padang.

Jong Sumatranen Bond yang semula dires- mikan pada 6 Juli 1917, ikut pula dibubarkan dan diganti pula dengan INDONESIA MUDA. Peristiwa ini terjadi pada 23 Maret 1930. Dalam rapat pembubaran Jong Sumatranen Bond yang berlangsung sejak siang hingga larut malam, Mohamad Yamin berpidato secara panjang lebar yang menarik perhatian pengunjung.

Masa itu tugu Jong Sumatranen Bond menda- pat perubahan pula.Di tugu ini kini terpampang

Tak dimungkiri bah-

Dalam dokumen Majalah Sinergi | Semen Indonesia (Halaman 58-60)

Dokumen terkait