• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

G. Faktor- Faktor Penyebab Kelelahan

13. Shift Kerja (WORKCOVER, 2008) (OHS, 2003)

Shift kerja adalah periode waktu dimana suatu kelompok pekerja dijadualkan bekerja pada tempat kerja tertentu (Maurits dan Widodo, 2008). Dalam upaya menghasilkan produksi yang berkesinambungan, suatu perusahaan terkadang mempekerjakan karyawannya dalam sistem shift selama 24 jam. Adapun yang termasuk dalam kriteria kerja shift adalah apabila terdapat pekerjaan yang dilakukan di luar jam kerja yang normal, yaitu diluar pukul 07.00 sampai 18.00 (Workcover NSW, 2008).

Shift kerja memiliki berbagai macam dampak negatif yang salah satunya adalah kelelahan. Kelelahan karena pengaruh shift kerja dapat menyebabkan kesulitan konsentrasi dalam bekerja, meningkatkan resiko kesalahan (human error), berdampak kepada kualitas kerja dan kecepatan kerja, dan akhirnya menyebabkan kecelakaan kerja (Kodrat, 2011).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kecelakaan banyak terjadi pada shift malam sehubungan dengan gangguan pada irama sirkadian (Lerman et al, 2012). Pekerja yang bekerja pada shift malam tentu lebih mudah merasa lelah dan mengantuk, karena pekerja sudah terbiasa bekerja di pagi hari dan memiliki pola kantuk dan tidur tertentu, yang tentu butuh penyesuaian jika harus berganti ke shift malam (Kodrat, 2011). Seseorang yang memutuskan untuk bekerja melawan pengaturan biologis (untuk tidur) dan dengan waktu yang panjang akan mengganggu worker’s body clock dan menimbulkan kelelahan (Workcover NSW, 2008).

Pekerja yang bekerja pada shift malam akan mengganggu pola dan waktu tidur. Waktu tidur seseorang merupakan salah satu siklus tetap yang diatur oleh mekanisme khusus yang disebut dengan circadian rhythms. Seseorang yang kekurangan waktu tidur atau memiliki gangguan circadian rhythms lebih berpotensi untuk mengalami kelelahan. Circadian rhythms adalah pengaturan berbagai macam fungsi tubuh dalam sehari yang meliputi pengaturan dalam tidur, bekerja dan semua proses otonom vegetatif yang meliputi metabolisme, temperatur tubuh, detak jantung, tekanan darah dan pelepasan hormon (Kroemer dan Grandjean, 1997). Ganguan pada circadian rhythms dapat diakibatkan oleh jet lag atau shift kerja (Barness et al, 2008).

Metabolisme dan faktor faal tubuh juga tidak sepenuhnya dapat beradaptasi dengan waktu bekerja pada malam hari dan istirahat/tidur di

siang hari (Suma’mur, 2009). Hal tersebut terbukti didalam penelitian Ramdan (2007) yang menyatakan bahwa tingkat kelelahan giliran kerja atau shift malam lebih tinggi dibandingkan dengan giliran kerja atau shift siang. Begitu juga dengan penelitian Ihsan dan Salami (2010) yang menyatakan bahwa shift kerja merupakan prediktor terbesar yang mempengaruhi perubahan kelelahan kerja.

14. Ergonomis OHS, 2003 Suma’mur, 1999 Kroemer dan Grandjean,

Ergonomis adalah kesesuaian antara peralatan dan perlengkapan kerja dengan kondisi dan kemampuan manusia untuk mencapai kesehatan tenaga kerja dan produktivitas kerja yang optimal. Occupational Safety and Health (2003) menyebutkan bahwa sarana dan prasana yang tidak ergonomis menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kelelahan. Penyebab kelelahan akibat tidak ergonomisnya kondisi saran, prasarana dan lingkungan kerja merupakan faktor dominan bagi menurunnya atau rendahnya produktivitas kerja seorang tenaga kerja (Kroemer et al, 2010).

Perancangan tugas, peralatan, dan workstation harus sesuai dengan keadaaan tenaga kerja, bukan menunggu tenaga kerja dapat beradaptasi dengan peralatan, sehingga hal ini dapat mengurangi kesalahan, kecelakaan, dan kesakitan (Lerman et al, 2012). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa apabila antara sarana, prasarana atau peralatan kerja dengan pekerja sudah cocok, maka kelelahan dapat dicegah sehingga proses kerja akan lebih efisien dan berdampak pada produktivitas yang tinggi.

15. Tekanan Panas Suma’mur 1999 WORKCOVER OHS (bridger, 2003) (Kroemer dan Grandjean, Tekanan Panas atau yang dikenal dengan iklim kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 13 Tahun 2011 adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja

sebagai akibat pekerjaannya. Suhu nyaman bagi orang indonesia atau comfort zone temperature adalah 240 C -260 C dan pada umumnya orang Indonesia akan beraklimatisasi pada suhu iklim tropis, yaitu 280 C -320 C dengan kelembaban sekitar 85-95 % atau lebih (Suma’mur, 2009).

Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002 juga telah menetapkan bahwa suhu yang terdapat di Industri sebaiknya berkisar antara 180 C - 300C. Diluar comfort zone temperature, maka produktivitas pekerja mengalami penurunan dan risiko kecelakaan akan bertambah.

Tekanan Panas sangat berpengaruh pada kinerja sumber daya manusia, serta lingkungan yang ekstrim (panas) memiliki efek yang signifikan pada kapasitas kerja (Bridger, 2003). Tekanan Panas dapat mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efektivitas dan efisiensi kerja. Bekerja dengan suhu yang tinggi dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja sehingga untuk bekerja pada lingkungan dengan suhu tinggi, perlu upaya penyesuaian waktu kerja dan penyelenggaraan perlindungan yang tepat kepada tenaga kerja yang bersangkutan (Suma’mur, 2009).

Beberapa penelitian menghubungan antara pengaruh tekanan panas dengan kelelahan pada pekeja. Salah satunya adalah penelitian Fahri dan Pasha (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan di bagian drilling Pertamina UBEP Kenali Asam Jambi. Ramdan (2007) juga menyatakan bahwa lingkungan fisik kerja yang

terlalu panas mengakibatkan tenaga kerja cepat lelah karena kehilangan cairan dan garam.

a. Pengukuran Tekanan Panas

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 tentang NAB Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, pengukuran panas dilingkungan kerja juga dapat diketahui dengan menggunakan parameter ISBB (Indeks Suhu Basah dan Bola) yang dimana ketentuan-ketentuannya memperhatikan hal-hal berikut ini:

1) Suhu Udara Kering (dry bulb temperature): suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu kering.

2) Suhu Basah Alami (natural wet bulb temperature): suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola basah alami. Merupakan suhu penguapan air yang pada suhu yang sama menyebabkan terjadinya keseimbangan uap air di udara, suhu ini biasanya lebih rendah dari suhu kering.

3) Suhu Bola (globe temperature) : suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola. Suhu ini sebagai indikator tingkat radiasi.

Pengukuran beberapa faktor lingkungan yang telah disebutkan diatas dapat dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan alat ukur Thermal Environmental Monitor atau yang biasa disebut dengan WBGT (Wet Bulb Globe Temperature). WBGT memiliki 3 termometer yang masing-masing berfungsi untuk mengkur suhu kering, suhu bola basah, suhu radian atau suhu global.

Perhitungan hasil pengukuran panas lingkungan kerja dapat dibedakan menjadi dua kelompok uaitu:

1) Indoor area, yaitu lingkungan yang tidak terpajan oleh cahaya matahari secara langsung. ISBB untuk pekerjaan tanpa panas radiasi adalah :

ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,3 Suhu Bola 2) Outdoor area, yaitu lingkungan kerja yang terpajan oleh

cahaya matahari secara langsung. ISBB untuk pekerjaan diluar ruangan dengan panas radiasi adalah :

ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,2 Suhu Bola + 0,1 Suhu Kering

Dalam penerapannya di lapangan, pengukuran tekanan panas dengan WBGT dilaksanakan bersamaan dengan perhitungan jumlah panas metabolik yang diterima pekerja (beban kerja) sesuai dengan klasifikasi beban kerja menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 dan pengaturan waktu kerja tenaga kerja setiap jam.

Tabel 2.3. Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)

Pengaturan waktu kerja setiap jam

ISBB (oC) Beban Kerja

Ringan Sedang Berat

75% - 100% 31.0 28.0 -

50% - 75% 31.0 29.0 27.5

25% - 50% 32.0 20.0 29.0

0 % - 25% 32.2 31.1 30.5

Adapun cara pengukuran takanan panas dengan WBGT sesuai SNI 16-7061 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:

1) Prinsip

Alat diletakkan pada titik pengukuran sesuai dengan waktu yang ditentukan, suhu basah alami, suhu kering dan suhu bola dibaca pada alat ukur, dan indeks suhu basah dan bola diperhitungkan dengan rumus.

2) Peralatan

Alat-alat yang dipakai harus telah dikalibrasi oleh laboratorium yang terakreditasi untuk melakukan kalibrasi, minimal 1 tahun sekali.

Alat-alat yang digunakan terdiri dari:

a) Termometer suhu basah alami yang mempunyai kisaran –50 C sampai dengan 500 C dan bergraduasi maksimal 0,50 C

b) Termometer suhu kering yang mempunyai kisaran –

5oC sampai dengan 500 C dan bergraduasi maksimal 0,50 C

c) Termometer suhu bola yang mempunyai kisaran –

5oC sampai dengan 1000 C dan bergraduasi maksimal 0,50 C

3) Prosedur kerja

Langkah-langkah prosedur kerja adalah sebagai berikut: a) Rendam kain kasa putih pada termometer suhu basah

alami dengan air suling, jarak antara dasar lambung termometer dan permukaan tempat air 1 inci. Rangkaikan alat pada statif dan paparkan selama 30 menit - 60 menit.

b) Rangkaikan termometer suhu kering pada statif dan paparkan selama 30 menit – 60 menit.

c) Pasangkan termometer suhu bola pada bola tembaga warna hitam (diameter 15 cm, kecuali alat yang sudah dirakit dalam satu unit), lambung termometer tepat pada titik pusat bola tembaga. Rangkaikan alat pada statif dan paparkan selama 20 menit – 30 menit.

d) Letakkan alat-alat tersebut di atas pada titik pengukuran dengan lambung termometer setinggi 1 meter – 1,25 meter dari lantai.

e) Waktu pengukuran dilakukan 3 kali dalam 8 jam kerja yaitu pada awal shift kerja, pertengahan shift kerja dan akhir shift kerja.

4) Penentuan titik pengukuran

Letak titik pengukuran ditentukan pada lokasi tempat tenaga kerja melakukan pekerjaan.

16. Kebisingan(Suma’mur 1999) (OSHS (bridger,2003) (WORKCOVER 2008) (Kroemer dan Grandjean, 1997 Salah satu bahaya fisik yang terdapat di lingkungan yang dapat mempengaruhi kelelahan adalah kebisingan. Menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Bahaya dari kebisingan berasal dari suara yang merupakan hasil kombinasi dari frekuensi, intensitas atau durasi yang menyebabkan penurunan pendengaran yang dapat terjadi pada popolasi tertentu (Goetsch, 2008). Kebisingan merupakan stressor yang dapat meningkatkan denyut jantung dan mengurangi efisiensi jantung, sehingga mempengaruhi kinerja dari kapasitas fisik seseorang (Bridger, 2003). Selain itu, disimpulkan bahwa

kebisingan dapat mengganggu konsentrasi dan komunikasi pekerja di tempat kerja.

Paparan kebisingan untuk jangka waktu yang panjang dapat menghasilkan perasaan subjektif ketidaknyamanan dan peningkatan kelelahan (Lerman et al, 2012). Suara yang terlalu bising dan berlangsung lama dapat menimbulkan stimulasi daerah di dekat area penerimaan pendengaran primer yang akan menyebabkan sensasi suara gemuruh dan berdenging. Timbulnya sensasi suara ini akan menyebabkan pula stimulasi nucleus ventralateralis thalamus yang akan menimbulkan inhibisi impuls dari kumparan otot dengan kata lain hal ini akan menggerakkan atau menguatkan sistem inhibisi atau penghambat yang berada pada thalamus. Jika sistem inhibisi lebih kuat maka akan meningkatkan perasaan kelelahan seseorang (W.F.Ganong,1999).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Fahri dan Pasha (2010) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan perasaan kelelahan kerja pada tenaga kerja. Penelitian Hanifa (2006) juga menyatakan bahwa dari 18 sample yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa kebisingan dapat menyebabkan kelelahan sebesar 42,8% dan sisanya dipengaruhi faktor lain.

Menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011, NAB yang ditentukan untuk kebisingan selama 8 jam bekerja adalah sebesar 85 dBA. Sedangkan

kebisingan yang melebihi NAB, waktu pemaparannya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.4.

Instensitas Kebisingan Berdasarkan Waktu Pemaparan Waktu Pemaparan Dalam Satu Hari Intensitas Kebisingan (dBA)

8 Jam 85 4 88 2 91 1 94 30 Menit 97 15 100 7.5 103 3,75 106 1.88 109 0.94 112 28.12 Detik 115 14.06 118 7.03 121 3.52 124 1.76 127 0.88 130 0.44 133 0.22 136 0.11 139

a. Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan di tempat kerja dapat dilakukan dengan Sound Level Meter. Alat ini dapat mengukur kebisingan diantara 30

130 dB dan dari frekuensi 20 – 20000 Hz (Suma’mur, 2009). Selain itu, ntuk mengukur nilai ambang pendengaran dapat menggunakan Audiometer. Sedangkan, untuk menilai tingkat pajanan pekerja lebih tepat digunakan Noise Dose Meter karena pekerja umumnya tidak menetap pada suatu tempat kerja selama ia melakukan pekerjaan.

Cara melakukan pengukuran kebisingan dapat dilihat berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2009 tentang metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja. Pengukuran kebisingan pada dasarnya meliputi pengukuran intensitas kebisingan, frekuensi dan dosis kebisingan.

Adapun cara pengukuran kebisingan dengan Sound Level Meter sesuai SNI 7231 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

1) Hidupkan alat ukur intensitas kebisingan.

2) Periksa kondisi baterei, pastikan bahwa keadaan power dalam kondisi baik.

3) Pastikan skala pembobotan.

4) Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan karakteristik sumber bunyi yang diukur (S untuk sumber bunyi relatif konstan atau F untuk sumber bunyi kejut).

5) Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia yang ada di tempat kerja.

6) Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang sumber bunyi.

7) Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan karakteristik mikropon (mikropon tegak lurus dengan sumber bunyi, 70o– 80o dari sumber bunyi).

8) Pilih tingkat tekanan bunyi (SPL) atau tingkat tekanan bunyi sinambung setara (Leq) Sesuaikan dengan tujuan pengukuran. 9) Catatlah hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar

pengukuran.