• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

5.8.2. Siklon Tropis

Siklon tropis terjadi di lautan akibat beberapa kondisi yang mendukung terjadinya yaitu: suhu muka laut hangat di atas 26.5 °C, kolom udara tempat terjadinya cukup labil dan berpotensi konveksi, lapisan udara lembab pada lapisan troposfer tengah (5 km). daerah yang gaya coriolis-nya memadai (kurang lebih 500 km atau diatas lintang 10 dari tropis) dan cukupnya terbentuk gaya vortisitas dan konvergensi di permukaan laut.

Salah satu akibat dari kelebihan energi di atmosfer ini adalah bertambahnya frekuensi dan kecepatan siklon tropis. Perubahan iklim global membawa pengaruh akan semakin kuatnya frekuensi dan

intensitas siklon tropis dan mengakibatkan panjangnya ekor dari siklon yang terjadi. Mengapa hal ini dapat terjadi? Peristiwa pemanasan iklim global merupakan akibat dari eksplorasi energi dari dalam perut bumi untuk dipakai di muka bumi dan sisa energi dibuang ke atmosfer dalam bentuk gas gas rumah kaca serta energi berlebih. Gas-gas rumah kaca tersebut juga menyerap energi radiasi matahari dan menyimpannya di atmosfer. Selama paradikma pemanfaatan energi di muka bumi masih seperti demikian dan belum ada upaya membalik proses tersebut (reversible process) seperti menyerap energi dari atmosfer dan mengendapkannya ke dalam perut bumi (contoh pemanfaatan energi angin) maka proses pemanasan global akan terus terjadi. Beberapa kasus penyerapan secara natural selama ini terasa belum memadai untuk mengurangi dampak pemanasan global tersebut. Sesuai hukum kekekalan energi, maka energi yang berlebih di atmosfer tersebut akan tetap berada di atmosfer atau berubah bentuk menjadi bentuk energi lainnya. Beberapa bentuk energi di atmosfer seperti energi laten yang terbentuk akibat perubahan fase air menjadi uap dan es, energi kinetik seperti angin, siklon dan pergerakan awan serta uap air, energi potensial seperti butir air yang jatuh sebagai hujan dan energi panas yang tersimpan pada gas-gas di atmosfer yang menambah panasnya atmosfer bumi.

Seperti digambarkan di atas, salah satu bentuk energi yang mungkin terjadi adalah energi kinetik yang berupa angin kencang dan siklon. Sehingga dengan lebih banyaknya energi yang beredar kemungkinan terjadinya siklon tropis akan lebih besar dan dengan energi yang lebih besar maka intensitas serta ekornya secara otomatis akan lebih besar pula. Konsekuensi dari lebih kuatnya intensitas siklon ini adalah akan berakibat terjadi penyerapan awan dan uap air yang lebih besar di daerah sekitar siklon sedangkan di daerah yang jauh akan terjadi

pengurangan secara drastis jumlah awan dan uap air yang beredar. Konsekuensi dari hal ini adalah berkurangnya jumlah hari hujan di daerah tropis yang mana dengan hari hujan yang sedikit diikuti oleh intensitas yang lebih besar dibanding beberapa dekade lalu. Sehingga jumlah hari hujan turun tetapi kejadian hujan maksimum harian meningkat.

5.8.3. Pemanasan Global dan Pengurangan Emisi Karbon

Potensi serap karbon oleh laut dikenal dengan potensi biogeokimia laut. Ilmu yang diterapkan dalam pemahaman ini merupakan gabungan ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Selain pemahaman ilmu biologi, geologi, dan kimia, juga diperlukan pemahaman ilmu kelautan, meteorologi, fisika dinamik, dan inderaja. Ilmu kelautan diperlukan untuk memahami proses dinamika laut seperti arus laut, ilmu meteorologi diperlukan untuk mengetahui proses dinamika atmosfer lokal yang mendorong dinamika di laut. Ilmu fisika dinamik diperlukan untuk pemahaman sifat dinamika di laut dan atmosfer di atasnya sedangkan teknologi inderaja diperlukan untuk mengetahui kandungan plankton baik phytoplankton dan zooplankton serta mikro biota lainnya dipermukaan yang merupakan agen penyerap karbon utama di muka laut. Proses penyerapan karbon dapat diterangkan berikut ini.

Gas-gas rumah kaca yang terserap di atmosfer akan diserap oleh proses fotosintesis plankton dan turun ke dasar samudra setelah berasosiasi dengan elemen berat hasil metabolisme di tubuh plankton tersebut. Proses sederhana ini terjadi di permukaan laut dan membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses fotosintesis dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di permukaan laut. Dua zat penting yang

mendukung keberadaan populasi plankton adalah zat nitrat dan fosfat. Selain itu juga dikenal peran dari silika dan zat besi. Keberadaan zat nitrat dapat diketahui dengan data satelit inderaja seperti data AVHRR (Advance Very High Resolution Radiometer). Sebagai sumber nutrisi utama, sumber nitrat dan fosfat dapat dari proses dinamika di lautan seperti proses upwelling, tambahan dari partikel yang terbang seperti debu dari gurun pasir dan letusan gunung berapi, atau dari sumbangan polusi industri manusia yang bermuara di laut. Dari data di atmosfer telah diketahui bahwa letusan gunung berapi selalu berfungsi menurunkan suhu di atmosfer secara global, meski penelitian belum mencapai kesimpulan peran dari debu gunung berapi terhadap produksi plankton serta metabolismenya di permukaan laut.

5. 9. PENELITIAN INTERAKSI LAUT ATMOSFER MEMAKAI MODEL

Meskipun dasar dari pemodelan iklim akan dijelaskan kemudian, berikut ini ada beberapa teknik pemodelan yang umum dipakai untuk mempelajari atau meneliti sifat interaksi laut atmosfer secara lokal dengan memakai pemodelan iklim atmosfer atau gabungan (kopel) laut dan atmosfer. Cara termudah untuk melakukan penelitian masalah interaksi laut atmosfer adalah dengan melakukan gangguan terhadap nilai suhu muka laut yang akan di suplai ke model atmosfer, beberapa tehnik pemodelan adalah sebagai berikut:

1. Memakai nilai suhu muka laut rata-rata atau biasa disebut klimatologis untuk melihat kondisi klimatologis tanpa adanya gangguan fenomena besar regional.

2. Memberikan gangguan suhu muka laut dengan mengganti dengan

nilai suhu muka laut pada kasus tahun lain atau kasus khusus.

3. Memberikan nilai tambahan atau konstanta atau variabel acak pada suhu muka laut pada daerah tertentu untuk melihat pengaruh dari gangguan di lokasi tertentu

4. Memberikan nilai rata-rata pada tahun-tahun dengan kasus khusus seperti pada tahun tahun El Niño dan kemudian membuat sebaran spasial dengan memakai hubungan korelasi antara indeks El Niño dengan nilai suhu muka laut pada masing-masing lokasi.

5. Melakukan simulasi dengan mematikan proses kopling antara laut dengan atmosfer dengan maksud melihat pengaruh dari kopling terhadap atmosfer atau melihat pengaruh lokal interaksi laut atmosfer.

Gambar 5.4. Gambaran hasil simpangan hujan jenis stratiform (regional)

dan convective (lokal) akibat perubahan suhu muka laut di daerah Maluku utara (Oktivia, 2008)

Untuk meningkatkan nilai signifikansi dari hasil pemodelan biasanya dibuat simulasi dengan memberikan gangguan pada masa

inisiasi (waktu awal) atau dengan memakai simulasi dengan beberapa model. Teknik seperti ini dikenal sebagai ensemble modeling.

Hasil penelitian pengaruh lokal dari interaksi laut atmosfer wilayah Indonesia tidak terlalu banyak. Hal ini karena animo penelitian ke arah ini kurang diminati.

Oktovia (2008) menemukan bahwa dengan melakukan simulasi pemutusan pengaruh interaksi laut atmosfer di lokal wilayah Maluku Utara didapat bahwa sensitivitas curah hujan terhadap laut terasa pada jenis hujan konvektif (lokal) daripada jenis hujan stratiform. Fenomena ini terlihat pada hasil rata-rata pengaruh pada hampir setiap bulan dari Januari hingga November, pada bulan Desember perubahan suhu muka laut lebih memberikan pengaruh pada hujan jenis stratiform. Selain itu terdapat sifat musiman dari pengaruh interaksi laut atmosfer lokal yang terjadi di wilayah Maluku Utara dimana sensitivitas atmosfer paling kuat terjadi pada bulan April atau pada musim Maret hingga Mei (Gambar 5.4). Pada bulan-bulan tersebut gangguan pada nilai suhu muka laut akan memberikan perubahan paling besar terhadap curah hujan dibandingkan dengan pengaruh perubahan suhu muka laut yang sama pada bulan yang lain terhadap curah hujan lokal. Sebaliknya pengaruh pada perubahan suhu muka laut akan tidak dirasakan pada curah hujan di bulan Agustus dan September dimana sensitivitas atmosfer terhadap perubahan suhu muka laut terjadi paling kecil. Implikasi dari hasil studi ini adalah perlunya untuk memperhatikan nilai observasi suhu muka laut pada bulan-bulan tertentu karena nilai kesalahan observasi pada bulan tersebut dapat memberikan hasil pemodelan yang sangat bias. Selain itu peran dari interaksi lokal dari laut ke atmosfer untuk wilayah Maluku Utara lebih memberikan dampak pada cuaca lokal atau hujan tipe lokal (konvektif) daripada cuaca regional.

Tabel 5. 1 Rekapitulasi hubungan antara beberapa variabel-variabel SST dengan curah hujan, panas laten dan radiasi gelombang pendek di permukaan di Maluku Utara yang memiliki koefisien korelasi diatas tingkat signifikan 95%. Interaksi bertanda  dan  menunjukkan proses terjadi karena laut mempengaruhi atmosfer dan sebaliknya (Oktivia, 2008).

Pada studi yang sama oleh Oktivia (2008) juga dipaparkan hubungan interaksi lokal antara beberapa parameter muka laut dan atmosfer untuk melihat keterkaitan dan proses fisis dari interaksi laut atmosfer yang terjadi. Beberapa parameter laut dan atmosfer berhubungan satu arah dari laut ke atmosfer atau sebaliknya dan beberapa diantaranya terjadi hubungan dua arah dan saling mempengaruhi. Analisis hubungan antar parameter laut dan atmosfer dilakukan dengan melakukan analisis korelasi temporal pada waktu bersamaan (lag 0) dan memakai korelasi temporal jeda waktu atau tertinggal (lag) dan mendahului (lead) sebagaimana tertera pada Tabel 5.1.

Pertanyaan:

1. Bagaimana pengaruh sifat interaksi laut atmosfer di daerah Maluku Utara terhadap kemampuan pemodelan iklim regional?

2. Proses apa saja yang terjadi saat transfer massa dan energi dari laut ke atmosfer?

3. Proses apa saja yang terjadi saat transfer massa dan energi dari Bentuk Korelasi

No Korelasi

parameter lag lead Musim Interaksi

1 Curah Hujan vs SST SON DJF 2 Panas Laten vs SST MAM JJA SON DJF 3 Radiasi MAM Gelombang Pendek vs SST SON

atmosfer ke laut?