• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT INDONESIA"

Copied!
251
0
0

Teks penuh

(1)

METEOROLOGI LAUT INDONESIA

Badan Meteorologi dan Geofisika

(2)

Edvin Aldrian

Meteorologi Laut Indonesia / Edvin Aldrian - Jakarta | Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008'

vii+ 243 hlm; 21 cm ISBN: 978-979-1241-19-9 I. Indonesia -- Iklim. I. Judul

_______________________________________________________________ 551.6

Penulis : Edvin Aldrian

Penerbit : Badan Meteorologi dan Geofisika

Jl. Angkasa I No 2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720 Telp. (+6221)4246321; Facs.(+6221)4246703

(3)

Benua maritim Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang sangat unik dan tidak memiliki kesetaraan dengan kawasan lain di dunia. Selain berada di kawasan tropis, diapit oleh dua samudera dan dua benua juga merupakan pusat dari aktivitas sirkulasi atmosfir serta sirkulasi laut global. Lebih dari dua pertiga benua maritim adalah lautan yang sangat mempengaruhi iklim dan notabene mempengaruhi pola aktivitas kehidupan manusianya. Tidak hanya aktivitas yang langsung bersinggungan dengan laut, tetapi juga kehidupan di daratan. Akibat ribuan pulau kecil yang tersebar serta pipihnya bentuk geografis hampir semua pulau besar maka iklim daratan pun bersifat iklim laut atau pesisir. Ditengahnya terdapat pola pegunungan dan aktivitas geologis yang memberikan warna tersendiri bagi iklim lokal yang sangat heterogen tetapi memiliki ciri khas yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas laut lokal maupun regional.

Dalam hal demikian hingga saat ini belum ada buku yang mengisi hubungan antara laut dan iklim benua maritim serta pengaruh balik antara iklim dan lautan. Dikotomi ilmu meteorologi dan oseanografi seringkali menjadi momok tersendiri dalam memadukan kedua ilmu tersebut. Padahal hampir semua bukti mengarah bahwa khusus untuk benua maritim, interaksi antara laut dan atmosfir adalah nyata. Kita sebaiknya mempelajari serta mengambil manfaat akan ke-khas-an yang dimilikinya.

Hasil penelitian pemodelan regional wilayah benua maritim menunjukkan peningkatan kinerja model setelah model iklim atmosfir dipadukan dengan dinamika di laut dengan model iklim laut dinamis.

(4)

Padahal teknik pemodelan regional seperti ini masih belum umum. Bukti tersebut mengarahkan pada kepentingan dari isi buku ini dalam memandang persoalan iklim benua maritim agar mengikutkan pemahaman laut lokal dan sekitarnya.

Pada kasus lain saat ini kita tidak menyangkal kuatnya pengaruh dinamika ENSO seperti El Niño dan La Niña terhadap iklim benua maritim dan menyangkut hampir semua aspek kehidupan dari perikanan, pertanian, kebakaran hutan, sumber daya air dan energi dan lain sebagainya. Diperlukan pengetahuan yang memadai untuk dapat melihat penyebab dampak yang ditimbulkan serta membuat proyeksi kedepan.

Saat ini dunia sedang menghadapi ancaman yang sangat serius akan dampak pemanasan global dimana lautan memainkan peranan penting. Pengaruh terhadap perubahan iklim lokal yang ditimbulkan tidak lain juga berasal dari peran lautan lokal dan sekitarnya. Bagaimanakah peran laut di benua maritim serta semua pemain iklim lokal serta bagaimana pola iklim di laut dan atmosfir berubah mengikutinya serta bagaimana proyeksi kemuka.

Buku ini diharapkan dapat meletakkan dasar pemahaman atas beberapa masalah besar diatas serta memberikan pengetahuan pada level akademis setingkat universitas maupun pasca sarjana. Pemahaman proses secara filosofis lebih diutamakan dibandingkan pemahaman teoritis berdasarkan rumus baku. Hal ini dikarenakan dalam ilmu kebumian, pendekatan teoritis dibuat pada wacana dunia yang sangat ideal dan iklim lebih bersifat chaos dimana ketidak beraturan berperan.

(5)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB 1 PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT

INDONESIA

BAB 2 KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI

2. 1. Radiasi Matahari

2. 2. Tekanan Udara dan Angin

BAB 3 HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFER

3. 1. Kopling Atmosfer dan Laut 3. 2. Sifat Fisis Air

3. 3. Implikasi Sifat Fisis Air Terhadap Cuaca dan Iklim

3. 4. Peran Angin Terhadap Arus Laut 3. 5. Gaya Coriolis

3. 6. Pergerakan Ekman

3. 7. Salinitas, Curah Hujan, dan Profil Temperatur Laut

3. 8. Stabilitas Isotherm Laut dan Atmosfer

3. 9. Gelombang Gravitasi di Atmosfer dan di Lautan 3. 10. Aliran Perputaran Laut Lintas Samudra (the

Great Conveyor Belt) dan Arlindo

BAB 4 IKLIM INDONESIA

4. 1. Sifat Iklim Daerah Tropis 4. 2. Pembagian Iklim Indonesia

i

iii

1 11 11 17 21 21 22 23 25 26 27 29 33 36 37 43 43 45

(6)

4. 3. Komponen Iklim Indonesia 4. 4. Monsun dan ITCZ

4. 5. ENSO

4. 6. Seruak Dingin (Cold Surge) 4. 7. Diurnal, MJO, Interannual

BAB 5 PROSES INTERAKSI LAUT UDARA LOKAL

5. 1. Bagaimana Interaksi Terjadi 5. 2. Parameterisasi Proses Interaksi

5. 3. Gelombang Angin dan Tekanan Permukaan 5. 4. Perpindahan Molekul Gas

5. 5. Proses di Lapisan Batas

5. 6. Observasi Interaksi Laut Atmosfer

5. 7. Permasalahan Interaksi Laut dan Atmosfer 5. 8. Aplikasi Interaksi Laut Atmosfer

5.8.1. Energi Budget Bumi 5.8.2. Siklon Tropis

5.8.3. Pemanasan Global dan Pengurangan Emisi Karbon

5. 9. Penelitian Interaksi Laut Atmosfer Memakai Model

BAB 6 PROSES INTERAKSI LAUT UDARA REGIONAL

6. 1. Telekoneksi Laut dan Atmosfer 6. 2. Easterly Waves  MJO di Indonesia

6. 3. Hubungan Suhu Muka Laut dan Curah Hujan 6. 4. Hadley and Walker Cell

6. 5. Enso dan Laut Indonesia

6. 6. Indian Dipole dan Iklim Indonesia

6. 7. Iklim Laut Regional dan Kebakaran Hutan

52 53 55 60 62 65 65 68 69 70 71 71 74 78 78 79 81 82 87 87 88 90 92 96 100

(7)

BAB 7 METEOROLOGI PANTAI DAN PULAU-PULAU KECIL

7. 1. Cakupan Permasalahan

7. 2. Proses Pada Lapisan Batas, Laut Pesisir, dan Interaksi Laut Atmosfer

7. 3. Efek Termal 7. 4. Efek Orografis

7. 5. Interaksi Sistem Skala Regional dengan Pantai 7. 6. Teknik Pengukuran dan Observasi

7. 7. Masalah Terumbu Karang

7. 8. Proses Konveksi Pada Garis Pantai dan Pulau-Pulau Kecil

7. 9. Upwelling dan Downwelling di Garis Pantai 7. 10. Pantai Tempat Bercampurnya Dua Dunia 7. 11. Garam dan Aerosol di Pantai

7. 12. Angin Darat dan Angin Laut 7. 13. Gelombang Pasang

7. 14. Pengelolaan Mata Air Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

BAB 8 PERAN IKLIM DAN CUACA LAUT TERHADAP

PERIKANAN

8. 1. Modus Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Perikanan

8. 2. Iklim Indonesia dan Perikanan

8. 3. Pengaruh Musim Terhadap Tangkapan Ikan di Sekitar Jawa

8. 4. Enso dan Ikan Tangkap

108 113 113 115 120 121 122 123 124 128 131 136 138 140 144 144 149 150 154 156

(8)

8. 5. Pemanasan Global dan Perikanan Tangkap

BAB 9 BENTUK BENTUK CUACA EKSTREM

9. 1. Bentuk Bentuk Cuaca Ekstrem di Indonesia 9. 2. Siklon Tropis

9. 3. Siklon Tropis di Sekitar Benua Maritim 9. 4. Tsunami

9. 5. Informasi Cuaca Laut Ekstrem Bagi Pesisir, Perikanan, Asuransi, Pelayaran, dan Pariwisata 9. 6. Observasi Satelit

BAB 10 PEMANASAN GLOBAL

10. 1. Bagaimana Proses Pemanasan Global Terjadi 10. 2. Beberapa Dampak Langsung Pemanasan Global 10. 3. Bagaimana Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap

Daerah Tropis

10. 4. Catatan Historis Proses Pemanasan Global 10. 5. Faktor yang Menghambat Pemanasan Global 10. 6. Efek Pemanasan Global Terhadap Ekosistem

Laut

10. 7. Efek Pemanasan Global Terhadap Populasi Pantai

10. 8. Pemanasan Global dengan Cuaca Ekstrem dan Enso

10. 9. Dampak Sosioekonomi dari Pemanasan Global 10. 10. Prospek Iklim Indonesia Kedepan

BAB 11 MODEL IKLIM 11. 1. Dunia Model

11. 2. Komponen Model Iklim 11. 3. Model Iklim Atmosfer

164 166 171 171 172 176 178 180 182 189 189 191 193 195 201 202 207 209 212 213 219 219 222

(9)

11. 5. Model Iklim Lainnya

11. 6. Prospek dan Masa Depan Model Iklim untuk Indonesia DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS 229 232 234 237 243

(10)

PERMASALAHAN METEOROLOGI LAUT

INDONESIA

Cuaca adalah kondisi terkini dari atmosfer pada suatu lokasi. Atmosfer selalu bergerak dalam skala waktu yang bervariasi berdasarkan fenomena seperti hembusan angin lokal hingga sirkulasi angin global yang mengelilingi bumi. Energi yang menjaga pergerakan ini didapat dari energi matahari melalui radiasi yang diterima oleh permukaan bumi. Sekitar 71 % dari permukaan bumi ditutupi oleh muka laut sehingga tidak dapat dielakkan bahwa lautan sangat mempengaruhi pergerakan dan sirkulasi atmosfer serta cuaca di daerah manapun di muka bumi. Pada bagian lain pergerakan di atmosfer dan kandungan radiasi yang diterima oleh permukaan laut merupakan sumber utama pergerakan arus laut di permukaan yang mengatur dinamika fisis di lautan. Dalam hal ini hubungan antara laut dan atmosfer bersifat dinamis, saling mempengaruhi dan bergantung pada kondisi lokal dan faktor musiman yang mempengaruhinya.

Tujuan dari buku ini adalah memberikan pemahaman atas:

 proses meteorologi dan iklim yang mempengaruhi dinamika di laut

 proses di laut yang mempengaruhi dinamika atmosfer

Kedua tujuan di atas merupakan masalah interaksi laut dan atmosfer yang merupakan bagian dari lingkup proses sistem iklim bumi yang terpusat pada siklus air dalam fase yang berbeda yaitu cair, gas dan

(11)

padat (Gambar 1.1). Permasalahan interaksi laut dan atmosfer mencakup permasalahan mikro fisis dekat permukaan laut dimana terjadi perpindahan aerosol dari air laut ke atmosfer dan perubahan fluks atmosfer dan energi menjadi dinamika laut. Dalam skala makro peristiwa interaksi laut dan atmosfer juga terlihat dari terjadinya interaksi iklim Indonesia dengan peristiwa ENSO di Samudra Pasifik,

dipole mode di Samudra Indonesia dan arus lintas Indonesia. Salah satu

contoh paling nyata dan penting bagi Indonesia adalah bagaimana peristiwa cuaca terpengaruh oleh panas tidaknya suhu muka laut di sekitar pulau-pulau besar nusantara. Dalam skala kepentingan ekonomi praktis proses interaksi laut dan atmosfer yang paling diminati adalah yang menyangkut dinamika perikanan yang terpengaruh iklim dan bagaimana kita memanfaatkan pengaruh tersebut. Dinamika laut dan atmosfer juga membahas interaksi di daerah pesisir yang berhubungan dengan dinamika sekitar pantai dan juga interaksi di laut dalam. Dinamika laut dan atmosfer dalam berhubungan dengan fenomena skala besar dimulai dengan pembentukan awan potensial, siklon hingga gejala global ENSO dan arus lintas samudra (conveyor belt).

Untuk dapat memahami hal-hal tersebut diperlukan pengertian dasar dari ilmu meteorologi dan dinamikanya serta bagaimana aplikasi dinamika tersebut pada media air. Pada dasarnya semua pemahaman dalam ilmu meteorologi atmosfer dapat diaplikasikan dalam dinamika air laut. Perbedaan utama tampak dari jenis fase air yang merupakan media bekerjanya proses fisis tersebut. Dinamika di laut berhubungan dengan media air pada fase cair, sedangkan dinamika di atmosfer berhubungan dengan air pada fase gas. Peristiwa angin barotropik dan baroklinik memiliki persamaan dengan arus laut barotropik dan baroklinik. Rumus dasar timbulnya angin dari perbedaan tekanan juga memiliki persamaan di laut dalam dengan perbedaan tinggi muka laut

(12)

dan densitas laut berdasarkan tingkat salinitasnya. Di balik persamaan tersebut antara laut dan atmosfer memiliki perbedaan mendasar seperti kapasitas memori laut yang besar sehingga perubahan di laut memiliki skala bulanan (di permukaan) hingga ribuan tahun (di dasar laut dalam). Sedangkan atmosfer memiliki kapasitas memori yang relatif kecil dalam skala perubahan jam-jaman sehingga perubahan di atmosfer sangat dinamis dalam skala hariannya. Contoh nyata adalah siklus pertumbuhan dan matinya awan yang terjadi hanya dalam skala jam-jaman.

Yang menjadi pertanyaan dasar sekarang adalah kepentingan ilmu meteorologi laut. Indonesia sebagai negara kepulauan tropis terbesar di muka bumi dengan garis pantai terpanjang. Rasio wilayah laut terhadap darat di muka bumi rata rata adalah 71.1 % dibanding 28.9 % sedangkan untuk wilayah teritorial Indonesia adalah sekitar 62 % dibanding 38 %. Dengan perbandingan sebesar itu diyakini bahwa iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh laut-laut di dalam kepulauan Indonesia dan di sekitar wilayah geopolitisnya. Pada kenyataannya iklim di wilayah Jawa dan pulau-pulau besar lainnya masih mewakili iklim maritim dan bukan iklim benua dikarenakan bentuk pulau yang pipih. Salah satu aplikasi sifat iklim akibat komposisi permukaan tersebut adalah kuatnya prediksi iklim kita pada waktu bulanan atau musiman dibandingkan dengan prediksi pada skala harian. Jika kita mengingat faktor besarnya daya memori laut seperti disebutkan di atas maka hal ini akan mudah dimengerti. Dari alenia ini dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan pengertian dasar dari sistem iklim Indonesia agar dapat memahami bagaimana proses interaksi laut atmosfer terjadi di Indonesia.

Kenyataannya lebih dari separuh umat manusia tinggal di daerah pesisir atau wilayah yang masih diklasifikasikan dekat dengan pesisir.

(13)

Hal ini berdasarkan definisi pesisir (coastal) yaitu wilayah sekitar pantai hingga daratan sejauh 100 km dari garis pantai. Dengan definisi demikian, hampir seluruh daratan Indonesia adalah termasuk wilayah pesisir dan iklim pesisirlah yang sangat mempengaruhi.

Dari pemahaman iklim Indonesia dapat kita lihat proses interaksi laut atmosfer yang spesifik terjadi di Indonesia. Proses interaksi laut atmosfer dalam ilmu kebumian merupakan hal terpenting yang sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia terutama di daerah pesisir. Ilmu meteorologi di Indonesia merupakan ilmu dasar yang kurang diminati, sehingga perkembangannya dibandingkan ilmu kebumian lainnya seperti geofisika, geologi dan kelautan sangat jauh tertinggal. Pemahaman atas proses fisis kebumian atmosfer Indonesia masih terbilang jauh tertinggal dibandingkan bidang ilmu kebumian lainnya. Kurangnya minat mempelajari meteorologi karena sering dihubungkan dengan salah satu pekerjaan meteorologi, untuk meramal cuaca atau iklim. Padahal pengkajian ilmu meteorologi cukup luas meliputi berbagai aspek.

Di negara maju yang berlintang tinggi dengan empat musim, masalah kebumian lain selalu dihubungkan dengan perubahan fisis meteorologi yang terjadi. Karena pada dasarnya hampir semua aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh keempat musim tersebut dan variasinya. Variasi iklim utama di Indonesia adalah faktor musiman yang dikenal dengan istilah monsoon. Faktor musiman ini tanpa disadari sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Indonesia. Perhatikan bagaimana pola bercocok tanam petani dan pola melautnya nelayan Indonesia. Perhatikan juga bagaimana wabah penyakit yang bersifat musiman dan banyak pekerjaan yang sifatnya berfluktuatif tergantung musim yang sedang terjadi. Salah satu indikator terpenting dari sifat

(14)

cuaca dan iklim Indonesia adalah hujan. Di negara lintang tinggi selain hujan, temperatur juga faktor utama lainnya. Sehingga untuk mengetahui proses interaksi dari dan terhadap cuaca dapat dilakukan dengan menghubungkannya dengan indikator cuaca tersebut. Salah satu hubungan tersebut dapat dicapai dengan menghubungkan variasi suhu muka laut dan curah hujan lokal, regional ataupun dengan skala global.

Pentingnya interaksi laut dan atmosfer di Indonesia dapat dilihat paling tidak di wilayah yang paling berperan ekonomis yaitu daerah di sekitar garis pantai. Untuk lebih mengenal aspek lokal di pesisir maka diperlukan pemahaman meteorologi pesisir pantai dan peran pulau-pulau dalam dinamika proses meteorologi lokal. Kepulau-pulauan Indonesia terdiri dari lebih 17.000 pulau yang tersebar di seantero Nusantara. Sebagian besar pulau-pulau tersebut adalah pulau-pulau kecil yang tidak dihuni atau tempat bermukimnya warga yang berpopulasi kecil. Selain itu juga diperlukan pemahaman fungsi meteorologis dari pulau-pulau kecil tersebut terhadap iklim regional Indonesia karena keberadaan pulau-pulau tersebut mengatur arus lintas air laut dan atmosfer disekitarnya. Sebagaimana diulas di atas bahwa daratan memiliki waktu memori yang kecil sehingga radiasi matahari berpengaruh secara lokal dalam hitungan jam sehingga variasi dan fluktuasinya lebih besar dari laut sekitarnya, maka pulau-pulau kecil tersebut berperan sebagai heat

source atau heat engine untuk proses konveksi awan lokal. Proses-proses

kecil ini terjadi di seantero Nusantara dan berperan penting bagi sifat iklim regional terutama pada musim penghujan.

Keberadaan variasi cuaca dan iklim membawa dampak yang terkadang cukup serius bagi kehidupan manusia karena terlalu ekstremnya fluktuasi tersebut. Meskipun demikian karakteristik cuaca regional juga ditentukan selain faktor orografis, juga letak lintang suatu

(15)

daerah. Beruntunglah bahwa Indonesia berada di daerah khatulistiwa dimana faktor coriolis muka bumi kecil sehingga meski dengan garis pantai yang panjang, tidak akan dilalui oleh siklon tropis tetapi masih menerima dampaknya. Beberapa gejala cuaca ekstrem lainnya yang dapat terjadi di wilayah Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap laut dan kehidupan lain seperti turisme dan perikanan juga menjadi topik penting dalam pembahasan ini. Hal lain yang perlu dibahas adalah bagaimana peran ilmu pengetahuan dalam mitigasi bencana tersebut terutama dengan teknologi sensor jarak jauh (remote sensing).

Gambar 1.1. Sistem iklim muka bumi (IPCC 2007)

Perubahan cuaca akibat variasi dinamika atmosfer ekstrem bersifat sesaat dapat terjadi pada skala harian hingga musiman. Selain itu ada lagi faktor perubahan laten lainnya yang terjadi pada iklim global yang sedang dialami bumi ini. Akibat faktor natural dan antropogenis (hasil perbuatan manusia), cuaca dan iklim berubah secara perlahan dari kestabilan normal tertentu menuju kestabilan baru yang lebih mendekati

(16)

kondisi ekstrem pada masa lampau. Artinya apabila dahulu kondisi yang sama berada pada bagian kondisi ekstrem, maka kejadian tersebut akan lebih sering terjadi sehingga tersebut akan lebih sering terjadi sehingga merubah rata rata statistik cuaca pada umumnya. Kondisi ini terjadi secara global meskipun tanda tandanya sangat sukar dideteksi karena perubahan yang terjadi berlangsung lambat dalam rentang waktu yang sangat lama.

Gambar 1.2. Energi budget dari atmosfer bumi (IPCC 2007)

Perubahan iklim yang berlangsung lambat dan dalam rentang waktu yang lama ini dikenal dengan istilah perubahan iklim global atau

global climate change. Perubahan iklim global bertumpu pada

terjadinya perubahan sistem energi budget di atmosfer (Gambar 1.2), dimana lebih banyak energi radiasi matahari yang terperangkap atau terserap akibat efek rumah kaca dan memanaskan atmosfer setempat.

(17)

Tentu saja dampak dari perubahan iklim global ini juga akan terjadi pada interaksi laut dan atmosfer di wilayah Indonesia. Namun demikian bagaimana dampak sebenarnya masih perlu dikaji lebih lanjut lagi. Hal terpenting untuk diketahui adalah bagaimana mekanisme proses itu dapat terjadi dan proyeksi kedepan akibat perubahan tersebut. Proyeksi kedepan akan dapat menentukan strategi sosio-ekonomis masa depan. Sampai saat ini pemahaman fisis dan biologis atas perubahan global terhadap iklim regional laut dan atmosfer Indonesia masih sangat rendah dan merupakan peluang kajian yang sangat menarik.

Kemajuan pesat ilmu pengetahuan di bidang teori, pengamatan dan komputasi membawa dampak semakin matangnya kemampuan umat manusia untuk memahami proses alam dengan membuat model alam tersebut. Model iklim saat ini telah dapat dimasukkan dalam sebuah komputer pribadi dan dijalankan untuk menghitung secara komprehensif kondisi alam yang terjadi. Dengan model iklim, kita dapat mengisi kekosongan titik-titik pengamatan dengan cukup memadai meskipun dengan tingkat bias asumsi teori yang lumayan besar. Hasil dari model iklim seperti ini seringkali berhasil memberikan gambaran skala luas fenomena yang terjadi meski tidak pada skala yang terlalu detail. Meskipun dengan berbagai pendekatan, tingkat keberhasilan manusia dalam komputasi iklim masih jauh dari memuaskan, namun demikian peningkatan pemahaman kita terhadap proses dinamika alam telah meningkat jauh berdasarkan hasil menjalankan model iklim tersebut. Hal ini dikarenakan model iklim menyediakan hasil komprehensif di luar imaginasi manusia sebelumnya dan tidak terbayangkan oleh teori linier dan observasi pada titik titik tertentu di muka bumi. Ambisi manusia dalam pengembangan model iklim saat ini tidak terbatas pada hanya proses fisis tetapi juga proses biologi, kimia dan geologis. Model iklim telah menjadi suatu tren dimana meteorologi

(18)

menjadi pusatnya. Model iklim telah menjadikan ilmu meteorologi suatu ilmu dan fenomena favorit dari yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bagaimanakah aplikasi dan hasil model iklim terhadap kondisi regional Indonesia dan apa permasalahan serta prospeknya?

Pertanyaan:

1. Manakah diantara pulau-pulau besar di Nusantara yang tidak berlaku iklim maritim?

2. Dengan sifat iklim yang unik untuk masing-masing wilayah di muka bumi, pengembangan ilmu meteorologi laut untuk wilayah benua maritim Indonesia juga bersifat unik. Apakah ada wilayah lain dengan kondisi meterologi laut serupa dengan wilayah Nusantara?

(19)

KOMPOSISI RADIASI DAN ENERGI BUMI

2. 1. RADIASI MATAHARI

Tidak dapat dibayangkan kehidupan di dunia tanpa matahari. Bagi mahluk hidup, selain air, maka matahari adalah sumber kehidupan utama di muka bumi. Matahari adalah sumber energi utama pergerakan di atmosfir dan di lautan. Untuk pergerakan di lautan, sebagai tambahan selain radiasi matahari maka perputaran bumi juga membantu timbulnya aliran arus air laut. Matahari mengatur pergerakan di laut dengan membuat dinamika di atmosfer dalam membentuk angin. Energi juga ditransfer dari angin ke lapisan teratas dari laut melalui gaya gesek antara lautan dan atmosfer di permukaan laut. Matahari juga mengatur pergerakan di laut dengan membuat variasi suhu dan salinitas di lautan yang pada akhirnya membedakan densitas masa jenis air laut. Perubahan pada suhu air laut disebabkan oleh aliran energi panas di batas laut atmosfer sedangkan perubahan tingkat salinitas diakibatkan oleh perpindahan air tawar melalui proses hujan dan penguapan. Sedangkan di daerah kutub ditambah lagi dengan proses mengkristalnya air laut menjadi es. Keseluruhan proses tersebut berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas radiasi matahari. Jika permukaan air laut menjadi lebih padat berat jenisnya daripada lapisan air di bawahnya, kondisi menjadi tidak stabil dan air dengan berat jenis

(20)

besar akan tenggelam. Pergerakan vertikal, sirkulasi akibat beda berat jenis akibat proses pendinginan atau perubahan tingkat salinitas dikenal dengan sirkulasi termohalin atau proses gabungan berat jenis dan perubahan energi panas. Pergerakan air laut akibat perputaran bumi akan dibahas pada bab kemudian.

Secara umum jenis energi yang diterima lautan terdiri dari sumber primer yaitu radiasi dari matahari, radiasi gelombang panjang, pertukaran fase air ke gas dan sebaliknya (perpindahan energi sensibel), penguapan dan proses adveksi. Selain sumber primer, laut juga menerima transfer energi dari sumber sekunder yaitu dari proses biokimia di lautan, aktivitas hidrotermal, proses dari friksi arus laut dan dari proses radioaktivitas.

Radiasi matahari terdiri dari gelombang pendek yang tersebar pada spektrum energi elektromagnetis. Diantara besaran spektrumnya adalah termasuk sinar gamma, sinar X-ray, sinar ultraviolet, sinar tampak, sinar infra merah, sinar microwave untuk radar dan radiosonde, sinar gelombang radio pendek, sinar gelombang radio AM dan sinar gelombang radio panjang. Semua gelombang elektromagnetis tersebut berjalan pada kecepatan yang sama yaitu kecepatan cahaya. Saat ini hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari pemanfaatan panjang gelombang energi yang disebut di atas. Tidak semua energi matahari mencakup keseluruhan spektrum energi di atas, tetapi terbatas pada panjang gelombang sinar, bukan gelombang radio. Besarnya radiasi matahari yang terpancarkan berhubungan dengan nilai panjang gelombang pangkat empat. Hasilnya adalah kurva penyebaran energi dari radiasi pada suhu sekitar 6000 °K yaitu suhu di permukaan matahari. Radiasi yang diterima bumi pada sumbu normal adalah

-2 -1

sebesar 2.00 cal cm min . Sedangkan berdasarkan distribusi posisi

(21)

-2 -1

lintangnya radiasi di khatulistiwa diterima sekitar 1.100 cal cm day

-2

dan di daerah kutub sebesar 800 - 900 cal cm day-1. Variasi dari energi yang diterima bumi sangat rendah hanya sekitar 3.34 % dan variasi tersebut dapat diprediksi dengan baik dan menggambarkan perubahan iklim dalam satuan waktu geologis. Sedangkan bentuk gelombang radiasi matahari yang diterima bumi telah mengalami banyak degradasi akibat penyerapan radiasi matahari pada panjang gelombang tertentu. Energi matahari akan terserap pada panjang gelombang dimana radiasi tersebut bertemu partikel yang dimaksud. Sebagai contoh uap air di atmosfir akan menyerap energi matahari pada panjang gelombang sekitar 3 m. sehingga bentuk kurva energi pada panjang gelombang itu akan mengalami degradasi oleh gas-gas rumah kaca seperti O , H O, 2 2 CO (Gambar 2.1). Pemanfaatan dari sifat degradasi ini adalah untuk 2 teknologi penginderaan jauh. Sebagai contoh, untuk satelit yang memantau awan dan nilai kandungan uap airnya bekerja dengan sensor yang sensitif pada panjang gelombang 3 m yang sesuai dengan besaran panjang gelombang untuk eksitasi molekul H O. Metoda yang sama 2 dipakai untuk melihat berbagai kandungan polutan di atmosfer termasuk gas ozon dari sifat degradasi di atas.

Distribusi penyebaran energi radiasi matahari di muka bumi beragam menurut posisi lintang. Nilai rata-rata radiasi yang ditangkap muka bumi menurun dari khatulistiwa ke kutub karena daerah lintang rendah menerima energi dalam jumlah besar sepanjang tahun, hal ini dikarenakan sinar matahari menuju daerah ini dengan tegak lurus, sehingga nilai yang terpendar atau terefleksi kecil. Sementara sepanjang garis lintang menuju kutub, nilai sudut inklinasi sinar matahari akan semakin besar dan nilai radiasi yang terpendar atau terefleksi akan semakin besar, akibatnya nilai radiasi matahari yang sampai ke

(22)

permukaan akan semakin kecil. Selain itu sebagaimana dilukiskan pada Gambar 2.2 distribusi menurut energi yang diterima juga beragam, 16 % darinya diserap oleh atmosfer, 24 % dipantulkan oleh awan, 7 % diradiasikan kembali ke luar angkasa dari atmosfer, sedangkan 4 % dipantulkan oleh permukaan bumi terutama laut dan es di kutub. Secara total sekitar 35 % kembali ke luar angkasa.

Gambar 2.1. Spektral energi radiasi matahari yang dipancarkan benda

hitam (black body radiation) dan yang diterima di muka bumi Dampak radiasi pada air laut juga beragam. Tidak semua radiasi matahari dapat menembus badan air di laut.Sekitar 73 % mencapai kedalaman 1 cm, 44.5 % kedalaman 1 m, 22.2 % kedalaman 10 m, 0.53 m

(23)

kedalaman 100 m dan 0.0062 % kedalaman 200 m. Akibat dari perbedaan kedalaman tembus spektrum radiasi matahari adalah terserap atau terpantulnya sinar matahari pada gelombang tertentu. Sehingga pantulan sinar matahari dari laut dangkal akan berwarna cerah karena energi yang terpantul masih hampir seluruh spektrum cahaya. Sedangkan pada kedalaman yang lebih banyak lagi spektrum sinar matahari yang terserap atau masih menembus kedalaman air laut sehingga sinar yang terpantul dan terpantau dari atas akan berwarna lebih gelap. Dengan prinsip ini maka tingkat kegelapan warna air laut yang kita lihat dapat menunjukkan tingkat kedalaman dari laut yang kita amati. Teknik memantau tingkat kedalaman laut dengan warna air laut dikenal dengan teknik ocean color pada teknologi inderaja. Energi minimum yang dibutuhkan untuk mensuplai dan menjaga perkembangan pitoplankton untuk proses fotosintesis adalah sekitar

-2 -1

0.003 cal cm min . dengan kalkulasi sesuai kedalaman di atas, hal ini dapat tercapai hingga kedalaman 220 m.

Bumi tidak hanya menerima energi gelombang pendek matahari tetapi juga menghasilkan balik energi yang diterimanya dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Sebagian kecil dari gelombang radiasi panjang akan dipancarkan kembali ke luar angkasa. Biasanya gelombang panjang ini dipancarkan di bagian paling atas atmosfer dan dikenal dengan istilah outgoing long wave radiation. Karena dipancarkan di bagian paling atas dari atmosfer atau dari lapisan awan terluar, maka parameter ini sering dipakai untuk melihat potensi cuaca setempat. Hal ini disebabkan semakin tinggi tempat awan yang memancarkannya akan semakin berpotensi memberikan curah hujan maksimum dengan indikasi suhu gelombang yang dipancarkan semakin rendah. Berbeda dengan panjang gelombang pendek, maka radiasi keluar panjang gelombang panjang tidak memiliki variasi sebagaimana

(24)

halnya radiasi gelombang datang dengan panjang gelombang pendek. Laut sendiri juga memancarkan energi dengan panjang gelombang panjang, karena suhu muka laut berkisar 283 °K, maka panjang gelombang yang dipancarkan, berdasarkan hukum Wien adalah 10 mikrometer atau panjang gelombang infra merah.

Gambar 2.2. Variasi energi yang dibawa dari daerah tropis menuju

daerah subtropis dan kutub pada beberapa samudra di dunia (Trenberth dan Solomon 1994).

Hal ini berarti dari perbandingan energi masuk (gelombang pendek) dan energi keluar (gelombang panjang) terjadi surplus energi masuk di dekat khatulistiwa dan surplus energi keluar di dekat kutub. Meskipun adanya nilai masuk positif di dekat khatulistiwa dan negatif di kutub, tidak pernah ada petunjuk bahwa daerah dekat khatulistiwa terus menerus memanas dan daerah kutub terus menerus mendingin, sehingga pastilah ada transfer energi radiasi antara daerah lintang rendah dan tinggi (Gambar 2.3). Kejadian itu dilakukan oleh angin di atmosfer dan sirkulasi air di lautan. Ada berbagai perdebatan tentang siapa dari

(25)

keduanya yang lebih penting terhadap pergerakan ke arah kutub dari energi panas di atas, tetapi dipercaya kalau lautan lebih berkontribusi di daerah tropis dan atmosfer lebih di daerah lintang tinggi. Nilai maksimum dari kehilangan energi panas akibat evaporasi terjadi di daerah subtropis akibat proses adveksi di atmosfer pada daerah kering, sedangkan kehilangan energi panas minimum di daerah tropis akibat dari kandungan uap air di udara tropis yang cukup jenuh. Selain itu penghilangan akibat energi panas sensibel kurang lebih sama antara daerah tropis dan subtropis. Sehingga arus laut berfungsi membawa panas dari daerah tropis ke daerah kutub.

Gambar 2.3. Kesetimbangan radiasi gelombang pendek dan panjang dari

khatulistiwa ke kutub. (PhysicalGeography.net after Trenberth dan Solomon 1994)

2. 2. TEKANAN UDARA DAN ANGIN

Angin menghantarkan kandungan panas terutama dengan proses adveksi masa air hangat ke daerah dingin dan sebaliknya. Sebagian lagi transfer energi panas melalui panas laten yang diambil ketika air laut

(26)

menguap ke atmosfer dan berkondensasi pada lingkungan yang lebih dingin. Angin dihasilkan oleh perbedaan tekanan dan suhu di atmosfer akibat distribusi energi radiasi matahari, tutupan awan serta dinamika disekitarnya. Pergerakan horisontal angin dinamai adveksi sedangkan yang vertikal disebut konveksi. Proses konveksi biasanya bersifat sangat lokal, sehingga untuk perhitungan neraca energi biasanya diabaikan. Proses konveksi sendiri dapat terjadi untuk skala kecil hingga besar dalam bentuk siklon atau badai tropis. Siklon atau badai tropis dipercaya sebagai media transpor jumlah energi panas dalam jumlah besar menjauh dari lautan khatulistiwa dalam bentuk energi panas laten yang terbawa ke daerah lintang tinggi.

Proses pergerakan arus laut juga sangat dipengaruhi oleh angin di atmosfer terutama pada kedalaman hingga sekitar 200 m. Pada lapisan atas yang sangat terpengaruh oleh angin, terdapat lapisan turbulensi, di bawahnya terdapat lapisan termoklin dan lebih ke bawah lagi yang disebut lapisan laut dalam. Terkadang lapisan turbulensi tidaklah dalam, tergantung pada besarnya gelombang laut di permukaan. Akibat turbulensi tersebut, terjadi perpindahan kalor dari muka laut ke batas lapisan turbulensi yang menyebabkan homogenitas suhu air pada lapisan turbulensi. Sedangkan lapisan termoklin adalah lapisan dimana terjadi penurunan suhu air yang sangat drastis dan mencapai kedalaman hingga 200 m. Lapisan laut yang lebih dalam memiliki suhu asimtotik (menuju kesetimbangan) atau menuju pada suhu kesetimbangan air antara suhu, tekanan dan volum yaitu pada suhu sekitar 4 °C. Daerah kedalaman ini tidak tembus dengan sinar matahari sehingga sangat gelap dan bersuhu dingin tetapi tidak membeku.

Di laut juga terjadi proses pergerakan vertikal atau konveksi dan peristiwa upwelling dan downwelling. Proses vertikal atau konveksi

(27)

lebih dominan terjadi pada lapisan turbulensi atau termoklin kecuali ada penyebab khusus dikarenakan proses geologis seperti keberadaan sumber panas di dasar laut. Sedangkan kedua proses terakhir yaitu

upwelling dan downwelling biasanya terjadi karena adanya dorongan

angin di permukaan. Tergantung pada posisinya, kedua proses tersebut dapat terjadi pada musim yang berbeda. Kedua peristiwa upwelling dan

downwelling akan dibahas kemudian.

Beberapa sifat lapisan laut seperti dibahas di atas memiliki korelasi atau perbandingannya di atmosfer. Lapisan atmosfer terendah yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi disebut lapisan batas atmosfer yang sebanding dengan lapisan turbulensi di laut. Lapisan atmosfer di atasnya mengalami penurunan suhu sebagaimana lapisan termoklin di laut dan juga lapisan dimana proses konveksi aktif terjadi.

Pertanyaan:

1. Terangkan proses terbentuknya arus laut dari radiasi matahari!

2. Terangkan kegunaan degradasi spektrum matahari yang diterima permukaan bumi yang berperan penting dalam mengetahui efek gas rumah kaca dan metoda inderaja!

3. Bagaimana distribusi evaporasi dan hujan dari daerah tropis hingga ke kutub, terangkan mengapa?

4. Apa hubungan radiasi matahari dan radiasi dari bumi terhadap aliran energi dari tropis ke lintang yang lebih tinggi?

(28)

HUBUNGAN ANTARA LAUT DAN ATMOSFER

3. 1. KOPLING ATMOSFER DAN LAUT

Interaksi laut dan atmosfer membentuk proses kopling (interaksi dua arah) yang terjadi di pergantian energi dan masa di permukaan laut. Proses yang terjadi adalah perpindahan energi dan masa dalam proses neraca energi dalam hal energi radiasi termasuk energi panas dan momentum dalam hal friksi permukaan. Pergantian energi dalam hal neraca masa terjadi dalam hal penguapan dan hujan, perpindahan mineral dan gas. Gas-gas yang ada di permukaan mengabsorbsi energi radiasi karena gas-gas tersebut menyerap energi matahari pada panjang gelombang khusus. Hasilnya adalah peningkatan dari suhu atmosfer dan mengakibatkan juga peningkatan suhu laut. Salah satu gas penting yaitu CO , juga banyak terdapat di atmosfer yang kemudian dapat diendapkan 2 di dalam lautan. Kepentingan pengendapan CO sangat membantu 2 mengurangi pengaruh pemanasan global. Dalam hal kopling atau interaksi laut dan atmosfir, perlu ditekankan peranan lautanl sebagai pensuplai uap air terbesar bagi atmosfer. Penguapan terjadi akibat tidak jenuhnya atmosfer oleh uap dan akibat cukup hangatnya suhu muka laut. Sebaliknya atmosfer mensuplai energi dan masa dalam bentuk curah hujan dan endapan yang juga melibatkan transfer energi.

Ketika lautan mendingin, maka laut akan merespon dengan menghasilkan gerak konveksi vertikal yang akan mensuplai panas ke

(29)

permukaan. Hal ini terjadi karena persamaan kontinuitas masa membutuhkan air dingin mengendap ke kedalaman dari permukaan tergantikan oleh masa air di bawahnya yang notabene lebih hangat. Air hangat tersebut akan menyembul ke permukaan. Proses perubahan suhu di lautan terjadi jauh lebih lambat daripada di atmosfer. Sebagai akibat maka lautan terus panas meskipun ekuinok atau titik nadir matahari telah menjauhi garis khatulistiwa.

3. 2. SIFAT FISIS AIR

Air memiliki sifat yang unik yang membutuhkan panas spesifik (specific heat) dan panas laten (latent heat) yang tinggi. Besaran panas spesifik adalah jumlah yang dibutuhkan untuk merubah suhu suatu unit masa zat sebanyak satu derajat. Panas yang dibutuhkan untuk air dalam hal ini cukup tinggi. Sedangkan panas laten adalah jumlah yang dibutuhkan untuk merubah fase seperti contohnya dari fasa cair menjadi uap. Perubahan fase air terjadi karena pemasukan panas melalui proses pencairan, penguapan atau sublimasi dan karena pelepasan panas ke lingkungan melalui proses pembekuan, kondensasi atau deposisi. Sifat fisis air seperti ini memiliki implikasi penting pada suhu muka laut, suhu air di atas muka laut, perpindahan panas antar lautan dan atmosfer serta sirkulasi atmosfer.

Dibandingkan partikel udara, masa jenis air sekitar 1.000 kalinya. Sehingga dibutuhkan lebih banyak massa per volume air untuk menyerap dan memancarkan energi. Sedangkan untuk meningkatkan suhu laut satu derajat dibutuhkan sekitar 6 kali panas dibandingkan udara dengan masa yang sama. Sehingga untuk besar volume yang sama diperlukan sekitar 6.000 kali panas untuk menaikkan suhu pada volume

(30)

yang sama pada partikel udara. Proses penguapan air dengan demikian akan memakan panas laten yang tinggi dari lingkungannya. Jumlah panas yang besar ini akan dilepaskan pada saat uap air terkondensasi di awan menjadi butiran hujan.

Penguapan air laut diikuti oleh kondensasi di atmosfer adalah mekanisme perpindahan panas utama yang terjadi antara laut dan atmosfer. Panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air akan dilepaskan ke atmosfer saat uap tersebut berkondensasi membentuk awan.

Karena sifat penyerapan dan penyimpanan panas yang tinggi dari air maka dibandingkan atmosfer, laut merupakan penyimpan memori perubahan panas yang lambat atau memakan waktu yang lebih panjang. Perubahan panas lingkungan memberikan variabilitas temporal iklim. Sehingga perubahan iklim karena proses perpindahan panas di laut akan memakan waktu yang lebih lama karena memori perubahan panas yang besar dari lautan.

Sebagian besar energi radiasi matahari yang diterima muka laut akan terserap dan selanjutnya dikonversikan menjadi panas kalori pada lapisan dekat permukaan. Angin mendorong sirkulasi laut yang mendistribusikan panas tersebut hingga mencapai kedalaman ratusan meter di bawah laut. Sebagai hasilnya laut menjadi media besar penyimpan panas.

3. 3. IMPLIKASI SIFAT FISIS AIR TERHADAP CUACA DAN IKLIM

Sifat besarnya nilai panas spesifik dari air dibandingkan tanah dan udara adalah penyebab utama kenapa lautan menghangat lebih lambat daripada daratan atau udara dan juga mendingin lebih lambat.

(31)

Dibandingkan dengan daratan terdekat, lautan tidak akan memanas lebih tinggi daripada daratan di siang hari dan juga tidak akan mendingin lebih dari daratan di malam hari.

Suhu dari masa udara lebih dipengaruhi oleh permukaan dimana udara tersebut diam atau bergerak. Udara di atas lautan menunjukkan variasi perubahan musiman dan diurnal yang lebih kecil daripada daratan. Selain itu udara di atas muka laut juga lebih lembab. Salah satu konsekuensinya, komunitas di pesisir dengan dominasi angin pantai akan memiliki iklim yang moderat, dengan musim panas yang sejuk dan musim dingin yang tidak terlalu dingin.

Badai yang terjadi di laut didorong oleh tenaga berasal dari panas laten yang dilepas ke atmosfer ketika uap air berkondensasi. Uap air tersebut berasal sebagian besar dari penguapan air laut dimana laju penguapannya dikendalikan oleh nilai suhu muka laut. Semakin tinggi suhu muka laut maka akan semakin kuat laju penguapannya. Massa udara dingin dari bawah akan mengurangi kemungkinan pergerakan vertikal yang dibutuhkan pada pertumbuhan hujan atau badai. Daerah yang suhu muka laut lebih dingin dari suhu udara di atasnya, maka hujan atau badai akan jarang terjadi di laut dan daerah pesisir yang menerima angin dari daerah tersebut. Sebaliknya udara panas dari bawah akan menambah kemungkinan pergerakan vertikal udara yang membawa kepada hujan dan badai. Daerah dimana suhu muka laut lebih hangat dari suhu udara di atasnya, hujan atau badai akan sering terjadi di laut dan daerah pesisir yang menerima angin dari daerah tersebut.

Sebagai respons terhadap perbedaan suhu terhadap jarak atau gradien suhu maka panas akan di transfer dari tempat yang hangat ke tempat yang dingin. Dalam hal ini udara hangat akan mendingin apabila berpindah dari atas muka laut yang hangat menuju ke muka laut yang

(32)

dingin. Sebaliknya udara dingin akan menghangat apabila berpindah menuju ke muka laut yang lebih hangat.

Konsentrasi uap air di atas muka laut meningkat dengan penguapan. Udara yang hangat dan lembab yang bergerak melalui muka laut yang dingin akan mendingin menuju titik jenuhnya sehingga menyulitkan penguapan lebih lanjut. Uap air berkondensasi dan kabut laut akan terbentuk. Kabut adalah awan yang menyentuh badan air atau daratan. Kabut juga terbentuk ketika massa udara yang sangat dingin melalui muka air yang hangat. Dalam hal ini penguapan ke udara dingin akan menghasilkan kejenuhan dan kabut akan terbentuk seperti uap yang berhembus ke atas.

3. 4. PERAN ANGIN TERHADAP ARUS LAUT

Sewaktu angin bertiup di muka laut, energi ditransformasikan dari angin ke permukaan laut. Beberapa dari energi tersebut menjadi gelombang gravitasi permukaan yang mengikuti pergerakan arus permukaan akibat pergerakan angin. Hal yang terakhir ini yang menyebabkan terjadinya arus laut. Proses transfer energi sebenarnya yang terjadi di permukaan laut sangat kompleks. Seberapa besar energi yang terpakai untuk proses penghasilan turbulensi dan seberapa besar yang dikonversi menjadi arus. Akan tetapi aturan umum adalah semakin kuat angin bertiup, semakin besar friksi permukaan yang mendorong arus di bawahnya. Pekerjaan angin yang mendorong arus laut disebut dengan wind stress.

Peristiwa dorongan angin terhadap arus laut lebih banyak terjadi pada skala kecil melalui proses turbulensi. Peningkatan kecepatan arus laut dan sebaliknya lebih banyak disebabkan oleh proses turbulensi permukaan. Turbulensi akan mendistribusikan dan menghilangkan

(33)

energi gerak (kinetik) dan merubahnya menjadi energi panas melalui viskositas molekular. Hal terakhir inilah yang memberikan kontribusi terhadap suhu muka laut. Selebihnya arus laut diatur oleh kondisi salinitas densitas, suhu dan topografi dasar laut.

Gesekan antara angin dan muka laut adalah faktor yang mendorong terjadinya pergerakan arus secara horizontal pada muka laut yang disebut arus permukaan. Arus ini meyerupai pola dari angin permukaan. Jika bumi tidak berotasi maka friksi antara angin dan muka laut akan mendorong arus permukaan sesuai dengan dorongan arah angin tetapi dengan faktor kecepatan tertentu. Arus pada lapisan atas ini akan menarik lapisan di bawahnya dan mendorong untuk bergerak juga. Interaksi tersebut akan terus berlanjut melalui lapisan di bawahnya bagaikan lapisan pada kue lapis dimana arus pada lapisan di bawahnya akan bergerak lebih lambat dari lapisan di atasnya karena hilang dengan gaya gesek antar lapisan.

3. 5. GAYA CORIOLIS

Bumi berotasi pada sumbunya yang menyebabkan pergerakan sudut (angular) pada setiap tempat di muka bumi sesuai kecepatan rotasi bumi. Kecepatan gerak angular tidak sama dengan kecepatan linier masing-masing tempat karena ditentukan oleh posisi di bumi yaitu oleh garis lintang posisinya. Persamaan sederhana hubungan antara kecepatan angular dan kecepatan linier adalah

dimana  adalah kecepatan linier,  adalah kecepatan angular bumi yaitu kecepatan linier di ekuator dan  adalah posisi garis lintang. Dengan gambaran ini maka kecepatan linier yang paling tinggi terjadi di garis

  cos 

(34)

khatulistiwa dan menurun menuju daerah kutub. Sehingga dalam sehari atau 24 jam, seseorang yang berada di daerah ekuator akan bergerak secara linier lebih jauh dibandingkan orang yang berada di daerah lintang tinggi. Perbedaan kecepatan linier antar daerah dengan garis lintang yang berbeda menyebabkan gaya dorong ke arah berlawanan dengan arah sumbu putar rotasi bumi yaitu menuju arah Barat. Hal ini sangat dirasakan pada benda yang bergerak pada arah Utara-Selatan atau meridional dimana gaya dorong virtual tersebut disebut sebagai gaya coriolis bumi. Pada daerah dekat khatulistiwa perbedaan kecepatan linier antara garis lintang tidaklah besar dan cenderung mendekati nilai nol, sedangkan menjauh dari ekuator gaya koriolis membesar dan mencapai puncaknya pada daerah kutub. Besaran nilai gaya coriolis memiliki hubungan sebagai berikut

dimana gaya coriolis pada garis ekuator memiliki nilai nol dan semakin kuat menjauh dari ekuator.

Karena perputaran bumi, lapisan laut dangkal yang bergerak karena pengaruh angin akan berbelok ke arah kanan dari arah angin di bumi belahan utara dan ke arah kiri dari arah angin di bumi belahan selatan. Pembelokan ini diakibatkan oleh efek koriolis.

3. 6. PERGERAKAN EKMAN

Salah satu proses pergerakan arus laut oleh angin adalah pergerakan ekman yang seringkali mendorong adanya upwelling dan

downwelling di tepi pantai. Proses ekman spiral akibat dorongan angin

permukaan atau transfer dari momentum gerak angin ke arus laut dan diamati oleh Fridjof Nansen yang melihat bahwa bongkahan es di laut

sinα Fcor

(35)

bergerak 20 - 40 derajat ke kanan dari arah angin. Dia memberikan hasil observasinya kepada Vagn Walfrid Ekman. Akibat pengaruh gaya coriolis, arus permukaan bergerak 45 derajat dari arah angin dan energi dinamis di salurkan ke lapisan laut yang lebih dalam. Energi diserap oleh gesekan pada kedalaman dimana kecepatan menurun menurut kedalaman dan akhirnya kecepatan masa air adalah 0 pada kedalaman ekman (Gambar 3.1). Gaya coriolis menyebabkan penyimpangan

Gambar 3.1. Proses spiral Ekman akibat tiupan angin permukaan.

berturut-turut ke kedalaman sementara juga menyalurkan energi ke lapisan lebih dalam lagi (spiral ekman). Gerak masa air secara umum mengarah 90 derajat dari arah angin. Asumsi utama dari pergerakan Ekman adalah luas wilayah yang sangat luas dan sangat dalam (tidak ada friksi dengan dasar laut atau pantai). Kedalaman proses ini dapat terjadi hingga 200 m di bawah muka laut. Sifat pergerakan Ekman ini dapat diilustrasikan dengan pola perubahan atas kue lapis apabila kita memberikan tekanan pada salah satu ujung pada lapisan paling atas dari

(36)

kue lapis tersebut. Akibat tekanan yang ada akan terjadi pembelokan gaya tekan (deflection) antara lapisan teratas dengan lapisan di bawahnya dan di bawahnya lagi.

Secara umum ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya efek spiral Ekman pada arus laut yaitu: angin, gaya antar lapisan dari atas, pengaruh arah terhadap aliran per lapisan, efek coriolis. Secara lokal pergerakan Ekman dapat terjadi pada garis pantai karena hembusan angin darat dan laut, tergantung pada musim saat angin bertiup. Pada kenyataannya angin monsun yang bergerak sejajar dengan garis pantai seperti pantai selatan Pulau Jawa sering memberikan efek coriolis yang menyebabkan aliran menjauh garis pantai pada muka laut dan menyebabkan proses upwelling.

3. 7. S A L I N I TA S , C U R A H H U J A N , D A N P R O F I L TEMPERATUR LAUT

Lautan merupakan badan air terbesar di dunia. Sekitar 96.5 % adalah air dan hampir 3.5 % nya adalah garam yang terlarut. Distribusi salinitas atau tingkat kegaraman dan suhu adalah aspek penting bagi pergerakan arus laut. Sebagian besar perbedaan distribusi suhu dan salinitas terdapat di permukaan laut atau sekitar kedalaman 200 m. sedangkan sisa bagian laut terisi oleh air dengan suhu dan tingkat salinitas yang seragam. Sekitar 75 % air laut memiliki tingkat salinitas antara 3.4 dan 3.5 % dan suhu antara 0 °C hingga 4 °C dengan suhu rata rata 3.8 °C (Gambar 3.2). Di khatulistiwa, rata-rata suhu air laut hanya 4.9 °C. Lapisan dimana suhu berubah dengan cepat terhadap kedalaman ditemukan antara suhu 8 - 15 °C dan disebut lapisan termoklin yang kedalamannya antara 150 - 400 m di khatulistiwa dan antara 400 hingga 1000 m di daerah subtropis.

(37)

Gambar 3.2 Persentase sebaran salinitas dan suhu air laut.

Jika suhu permukaan sangat rendah proses konveksi dari pendinginan air laut dapat mencapai daerah yang dalam. Pada umumnya di samudra-samudra besar di dunia, mulai kedalaman 1000 m, suhu dan salinitas laut sudah seragam. Penurunan suhu mengakibatkan peningkatan berat jenis sehingga stratifikasi suhu akan menghasilkan stratifikasi berat jenis yang teratur. Penurunan salinitas menghasilkan penurunan berat jenis. Sehingga stratifikasi salinitas justru akan menimbulkan stratifikasi yang tidak stabil. Pada umumnya di lautan, efek dari penurunan suhu lebih kuat dari efek penurunan salinitas sehingga laut terstratifikasi lebih stabil.

Tingkat salinitas dan suhu sangat dipengaruhi oleh aktivitas di permukaan laut dimana curah hujan dan penguapan memegang peranan paling besar. Sekitar 51 % dari energi yang diserap lautan akan diambil oleh proses penguapan. Selain itu, penguapan juga memberikan kontribusi terbesar dari neraca masa air di lautan dimana terjadi pengurangan besar besaran akibat penguapan. Proses penguapan terjadi saat udara menjadi tidak jenuh dengan uap. Semakin hangat suhu udara, semakin kuat penguapan yang terjadi. Dalam kondisi normal perpindahan panas langsung adalah dari laut ke udara dengan asumsi

(38)

panas dialirkan dari lapisan paling bawah. Pada situasi normal tersebut udara menjadi jenuh dengan kelembaban dan penguapan yang terjadi. Selanjutnya udara hangat akan terkondensasi apabila bertemu dengan lapisan udara tinggi yang dingin atau bertemu badan air yang dingin. Pada kasus pertama akan turun sebagai hujan, sedangkan pada kasus kedua akan terbentuk kabut. Pada kedua kasus tersebut, energi yang dihasilkan dari proses kondensasi akan lebih terserap di atmosfer, sehingga kontribusi kondensasi terhadap neraca energi panas di laut sangat kecil.

Gambar 3.3. Nilai rata-rata stratifikasi suhu dan salinitas terhadap

kedalaman (dalam m) di Kepulauan Indonesia pada bulan Januari hasil keluaran model laut dan dirata-rata antara

(39)

tahun 1979 - 1993 (Aldrian 2003).

Gambar 3.4. Distribusi global tahunan (Schmitt, 2008) dari (a)

penguapan dikurangi curah hujan berdasarkan data klimatologis dari Yu dan Weller (2007) dan estimasi curah hujan berdasarkan citra satelit dari proyek The Global

Precipitation Climatology Program (GPCP). (b) rerata

besaran salinitas permukaan air laut mengacu pada The

World Ocean Database of NODC.

Pada kondisi global seperti disampaikan pada bab terdahulu, energi di lautan lebih banyak dipakai di daerah sub tropis untuk pergerakan arus menjauh khatulistiwa. Energi panas yang diterima menurun dekat khatulistiwa akibat pantulan dari awan-awan yang banyak terdapat di daerah tersebut. Proses evaporasi terjadi maksimum di daerah sub tropis karena adveksi udara dingin yang salah satunya

(40)

disebabkan oleh Hadley cell (Gambar 3.4). Evaporasi di daerah tropis sangat minimum karena sudah jenuhnya udara di daerah tersebut yang salah satu dikarenakan tutupan awan yang sangat tinggi. Sedangkan curah hujan tinggi di daerah dekat khatulistiwa di sebelah utara akibat bentuk rupa bumi dan distribusi darat dan lautan serta di daerah dekat kutub pada lintang 50. Distribusi perpaduan evaporasi dikurangi hujan akan menyerupai distribusi melintang tingkat salinitas laut. Secara

3

umum jumlah evaporasi di dunia mencapat 440 x 103 km per tahun,

3 3

curah hujan mencapai 411 x 10 km per tahun dan volume aliran

3 3

permukaan di sungai danau dll. mencapai 29 x 10 km per tahun.

3. 8. STABILITAS ISOTHERM LAUT DAN ATMOSFER

Stratifikasi di laut dan atmosfer terjadi akibat perbedaan suhu dan tekanan. Di laut perbedaan tekanan dikonversikan dalam hal salinitas atau kerapatan masa jenis. Pada lapisan bawah di atmosfer, suhu di lapisan lebih bawah akan lebih hangat daripada lapisan di atasnya. Lapisan atmosfer dimana sifat perlapisan demikian itu disebut lapisan troposfer. Batas lapisan ini dengan lapisan di atasnya dimana terjadi kenaikan suhu di lapisan di atasnya disebut daerah batas tropopause. Lapisan tropopause ini bervariasi dan paling tinggi terdapat di daerah ekuator karena suhu di permukaan tanah di wilayah ini sangat tinggi. Biasanya ketinggian lapisan ini berkisar antara 14 hingga 18 km dari muka laut. Pada daerah lapisan bawah atmosfer, tropopause adalah lapisan dengan suhu udara paling rendah. Dengan sifat seperti digambarkan di atas untuk lapisan troposfer maka secara normal udara di lapisan bawah akan cenderung bergerak di atas berdasarkan prinsip udara hangat akan mengambang karena ringan dan udara dingin akan turun karena berat.

(41)

Secara alamiah maka atmosfer di muka bumi akan cenderung bersifat instabil dimana udara di bawah akan bergerak ke atas. Peristiwa pergerakan secara vertikal masa udara tersebut dikenal dengan istilah konveksi. Tanpa dibantu oleh sebab lainnya maka pergerakan vertikal masa udara jauh lebih sedikit daripada aliran udara horizontal atau peristiwa adveksi. Pada waktu musim hujan tambahan suplai uap air memberikan tambahan daya apung di atmosfer akibat tambahan masa yang lebih mendorong ke atas. Masa uap air akan bergerak terus ke atas mencari titik stabilitas hingga mencapai daerah atau level dimana terjadi kondensasi atau uap air berubah menjadi butir yang lebih besar seperti butiran awan. Pada saat tersebut, aktivitas konveksi mencapai puncaknya. Rangkaian peristiwa tersebut ditambah dengan suplai angin yang lebih memberikan suplai udara basah ke titik-titik perkumpulan awan. Besarnya energi apung di atmosfer tiap lapisan dapat dihitung dari berbagai faktor di atas seperti suhu per lapisan dan kandungan uap air per lapisan. Perhitungan energi apung biasanya dilakukan dengan pengukuran nilai tersebut per lapisan memakai alat observasi seperti radiosonde.

Pada waktu musim kemarau udara cenderung lebih stabil karena berbagai faktor di atas tidak terjadi. Angin yang kencang pada lapisan atas cenderung memecah lapisan instabilitas atmosfer sehingga seringkali ditemukan lapisan isotherm yaitu lapisan dimana suhu tidak berubah terhadap ketinggian atau lapisan inversi dimana suhu malah menaik terhadap ketinggian. Kedua jenis lapisan tersebut akan membuat udara cenderung stabil. Hal ini biasanya ditambah lagi dengan kurangnya suplai uap air dari permukaan karena suhu muka laut yang cenderung lebih dingin di musim kemarau. Dinginnya suhu muka laut diakibatkan pada musim kemarau titik kulminasi matahari tidak berada

(42)

di wilayah Indonesia melainkan jauh disebelah utara sehingga tingkat radiasi matahari yang diterima di wilayah maritim Indonesia berkurang.

Proses yang terjadi di laut tidak serupa seperti di atmosfer. Peristiwa konveksi jauh lebih jarang terjadi dan sebagian besar aliran terjadi karena aliran horizontal. Hal ini disebabkan karena stratifikasi di laut lebih stabil dibandingkan di atmosfer. Masa udara di atmosfer juga lebih bouyant (memiliki daya apung tinggi) dibandingkan masa air laut. Oleh karena itu, di laut proses adveksi memberikan dampak yang lebih kuat daripada konveksi. Hal ini dapat dilihat apabila kita membuat

hubungan antara perubahan suhu muka laut yang disebabkan oleh aliran arus air.

Gambar 3.5. Ilustrasi kolom air laut dimana terjadi perpindahan masa

dan suhu secara adveksi (Aldrian 2003).

Aliran arus laut akan membawa perubahan suhu kolom udara yang dilewatinya. Hal ini karena proses adveksi arus laut membawa suhu baru yang bercampur pada daerah yang dilaluinya. Setelah terjadi perubahan suhu laut di kolom air tersebut, maka akan segera merubah

(43)

suhu di permukaan laut. Dengan pergantian suhu muka laut akibat aliran konveksi maka akan terjadi dinamika di lautan. Aliran arus laut dari peristiwa adveksi sendiri diakibatkan oleh tekanan angin permukaan yang mendorong aliran horizontal atau adveksi tersebut (Gambar 3.5). Hasil simulasi dari model menunjukkan adanya perbedaan waktu sekitar 3 bulan antara aliran adveksi dan perubahan suhu pada kolom air yang dilewatinya. Dari perubahan suhu pada kolom air, terdapat perbedaan 0.5 - 1 bulan untuk merubah suhu permukaan laut. Hasil dari simulasi wilayah Maluku Utara tersebut menunjukkan adanya pengaruh

dari pola monsunal yang diartikan adanya perubahan fluks dalam lag waktu 3 bulan akibat fluktuasi sinusoidal (Gambar 3.6).

Gambar 3.6. Variabilitas dari arus permukaan laut di daerah Maluku

Utara, menunjukkan berbagai komponen budget dari pergerakan horizontal (adveksi), perubahan energi di kolom air dan perubahan suhu muka laut di permukaan (Q_{surf} dxdy, Aldrian 2003).

3. 9. GELOMBANG GRAVITASI DI ATMOSFER DAN DI LAUTAN

(44)

atmosfer dan terbentur pada sebuah bukit atau gunung, maka gelombang tersebut akan terpecah di balik bukit dari arah datangnya. Gelombang yang tercipta di balik bukit seringkali disebut sebagai gelombang gravitasi karena gelombang itu terbentuk akibat gaya gravitasi bumi yang mempengaruhi perjalanan gelombang tersebut. Di atmosfer, gelombang gravitasi dapat menjadi pusat pertumbuhan awan daerah bayangan hujan, sementara di laut dapat menggangu dinamika lautan dan membentuk gelombang besar pada kedalaman tertentu. Salah satu penyebab lain adanya gelombang gravitasi di laut adalah saat gelombang di laut dalam melewati celah lembah yang sempit dan dangkal. Setelah keluar dari celah ini, maka akan tercipta gelombang tersebut. Pada dasarnya gelombang ini tidak terasa di permukaan tetapi pada laut dalam akan terasa berlipat-lipat akibat dari menjalarnya gelombang secara vertikal dan tumbuh menjadi besar. Gelombang gravitasi sejenis ini sangat ditakuti terutama bagi kapal selam yang mengarungi lautan dalam.

3.10. ALIRAN PERPUTARAN LAUT LINTAS SAMUDRA (THE

GREAT CONVEYOR BELT) DAN ARLINDO

Walapun dinamika di lautan yang mendorong arus laut lebih banyak terbentuk oleh angin lokal. Tetapi akibat bentuk morfologi atau rupa muka bumi maka lautan juga memiliki arus laut yang terbentuk akibat tekanan dari morfologi dasar laut. Arus yang terbentuk lebih karena tekanan di dalam laut ini menyebabkan adanya aliran yang mengitari bumi. Arus yang ditemukan sebagai hasil utama dari proyek penelitian Wolrd Ocean Circulation Experiment (WOCE) sekitar dekade 90an dikenal dengan arus perputaran sabuk dunia atau the Great Ocean

Conveyor Belt (Gambar 3.7). Arus ini mengalir di permukaan dari

(45)

Samudra India menuju Samudra Atlantik, lalu berputar di Atlantik bagian utara sekitar pulau Greenland dan masuk ke laut dalam (the North

Atlantic over turning) ke Atlantik Selatan dan mengalir menuju Samudra

Pasifik Utara dan sebelah barat Samudra Indonesia (Indian Ocean) dimana arus ini akan menyembul di sana. Arus menyembul yang merupakan gejala upwelling terbesar ini membawa arus dingin dari laut dalam dan menjadi sumber nutrisi serta konsentrasi karbon ke permukaan setempat.

Arus laut di Samudra Pasifik yang merupakan samudra terluas akan mengalir ke arah barat akibat dari tekanan momentum akibat perputaran bumi pada rotasinya ke arah timur. Prinsip serupa terlihat pada arah angin pasat akibat tekanan gaya serupa dan gaya coriolis yang mengarahkannya ke barat. Arus muka air laut di daerah Pasifik yang mengalir ke barat ini akan berkumpul di daerah ekuator sekitar daerah kolam hangat (warm pool) atau sebelah utara Pulau Papua. Karena tempat ini merupakan tempat mengumpulnya arus permukaan yang notabene hangat akibat radiasi matahari maka panas yang terbawa arus laut ini akan mengumpul dan menciptakan daerah yang lebih hangat dari sekitarnya atau kolam hangat. Selain menciptakan kolam hangat, arus yang mengumpul tersebut juga akan menumpuk sehingga menciptakan tinggi muka laut yang lebih tinggi di bandingkan di Samudra Indonesia dan menimbulkan tekanan geostrofis. Akibatnya akan terjadi aliran arus lintas Indonesia.

Penumpukan massa air laut di daerah warm pool menyebabkan tekanan geostropis (tekanan akibat perbedaan tinggi muka laut) antara samudra Pasifik dengan samudra Indonesia. Akibatnya arus dari samudra Pasifik kemudian kembali mengalir menuju samudra Indonesia melalui kepulauan benua maritim. Arus yang mengalir melewati

(46)

kepulauan Indonesia ini disebut sebagai Arus Lintas Indonesia atau Arlindo yang polanya sangat persisten atau terus menerus (Gambar 3.8). Masa air yang dibawa oleh Arlindo ini adalah masa air hangat yang terkumpul di kolam air hangat di sebelah utara Pulau Irian. Daerah kolam hangat (warm pool) terbentuk karena pengumpulan arus muka laut yang relatif hangat. Variabilitas aliran masa laut ini kurang dipengaruhi oleh gejala lokal, tetapi untuk fenomena regional seperti aliran Kelvin wave dari Samudra India serta gejala El Niño, variabilitas dari aliran ini cukup terganggu terutama hingga lapisan termoklin. Aliran arus laut lintas Indonesia ini dari Samudra Pasifik terutama melewati Selat Makassar dan menuju Selat Lombok dan Selat Ombai dekat Pulau Timor. Selain itu juga mengalir lewat Selat Lifamatola antara Maluku Utara dan Sulawesi

Tengah dan juga mengalir melewati Selat Ombai setelah melalui Laut Banda.

Gambar 3.7. Arus perputaran sabuk dunia (the Great ocean conveyor

(47)

belt) yang mengitari bumi dalam ± 2000 tahun. Arus

permukaan masuk ke dalam di Atlantik utara, sementara arus dalam menyembul di barat samudra Indonesia (Indian Ocean) dan utara samudra Pasifik.

Gambar 3.8. Arus utama dari arus lintas Indonesia dengan nilai satuan

3

aliran persatuan waktu yaitu Sv (juta m /detik) berdasarkan nilai rerata tahunan (Gordon, 2005).

(48)

Indonesia ini sangat mengendalikan sistim iklim di daerah Indonesia bagian timur terutama akan dampak dari fenomena regional di daerah Pasifik yaitu ENSO. Hal ini dapat mudah dimengerti karena sinyal perubahan laut yang terjadi di daerah Pasifik akan dengan mudah terbawa oleh arus lintas Indonesia. Akibatnya akan terlihat pengaruh langsung terhadap iklim di benua maritim. Pengendali lain yang mempengaruhi daerah ini hanya sifat monsunal dari arus laut. Sifat monsunal juga mempengaruhi dari sistem dampak dari ENSO terhadap benua maritim Indonesia. Dengan kuatnya pengaruh ENSO terhadap iklim Indonesia, deteksi dini dari ENSO diharapkan datang dari informasi yang dibawa oleh arus lintas ini. Selain itu lautan membawa sinyal yang jauh lebih stabil di bandingkan oleh sinyal yang dibawa oleh atmosfer yang cuma bertahan relatif lebih singkat. Diperlukan studi yang lebih seksama lagi dimana dapat dilakukan pemantauan perubahan arus laut baik suhu, tinggi muka laut atau salinitas untuk dapat mendeteksi sedini mungkin kedatangan gejala El Niño yang menimbulkan dampak negatif terutama bagi pertanian dan kebakaran hutan.

Pertanyaan:

1. Bagaimana distribusi evaporasi dan hujan dari daerah tropis hingga ke kutub, terangkan mengapa?

2. Bagaimana struktur di daerah perbatasan laut dan atmosfer untuk salinitas dan temperatur, serta hubungan dengan atmosfer.

3. Terangkan terbentuknya pergerakan Ekman?

4. Bagaimana tingkat salinitas di lautan dipengaruhi oleh aktivitas di

(49)

atmosfer?

5. Apa peran inversi di atmosfer dan peran isotherm di lautan.

6. Bagaimana tingkat salinitas di lautan dipengaruhi oleh aktivitas di atmosfer?

7. Bagaimana pengaruh gaya coriolis terhadap pergerakan siklon di bumi belahan utara dan selatan? Apa akibatnya bila bumi itu berbentuk silinder dan bukan bulat bundar?

8. Akibat sifat geostropis laut maka terjadi arlindo dari Samudra Pasifik menuju Samudra Indonesia, apakah mungkin terjadi sebaliknya dimana arus lintas mengalir dari Samudra Indonesia menuju Samudra Pasifik, mengapa?

(50)

IKLIM INDONESIA

4. 1. SIFAT IKLIM DAERAH TROPIS

Seperti telah diuraikan pada Bab terdahulu, iklim daerah tropis ditandai dengan tingginya curah hujan dan evaporasi dimana untuk wilayah Indonesia curah hujan lebih tinggi daripada evaporasi. Akibat dari kedua proses tersebut, daerah tropis memiliki tutupan awan yang tinggi yang mengakibatkan rendahnya jumlah radiasi di permukaan. Sebenarnya jumlah radiasi dalam bentuk energi gelombang pendek terbanyak diterima di daerah tropis. Akan tetapi tutupan awan menghalangi radiasi masuk. Selain itu awan berfungsi sebagai cermin dimana nilai albedo yang sangat kecil sehingga jumlah radiasi yang dipantulkan oleh awan sangat tinggi dan hanya lebih kecil daripada tutupan es di daerah kutub. Karena pesatnya proses curah hujan dan evaporasi, maka daerah tropis merupakan daerah yang paling lembab di muka bumi, terutama daerah tropis yang berada diatas pulau. Hal ini karena pulau-pulau berfungsi sebagai pusat aktivitas konveksi atau pusat pertumbuhan awan terutama di daerah pesisir. Untuk lautan, kuatnya proses hujan dan evaporasi mengakibatkan daerah tropis memiliki nilai salinitas yang rendah terutama pada waktu musim hujan dimana terdapat tambahan kontribusi besar dari aliran sungai dari daratan.

Perbedaan nilai salinitas antara puncak musim hujan dan puncak musim kering tidak terlalu drastis jika dibandingkan oleh perbedaan

(51)

suhu muka laut. Meskipun demikian perbedaan suhu muka laut di daerah tropis tidak sedemikian besar dibandingkan dengan daerah non tropis. Perbedaan terbesar dari rentang normal untuk suhu muka laut lebih disebabkan oleh faktor luar seperti cold surge di Laut Cina Selatan pada bulan Januari hingga Maret, ENSO atau Indian Dipole. Meskipun perbedaan suhu muka laut maksimum dan minimum tidak terlalu besar, tetapi pengaruh terhadap jumlah curah hujan sangat besar. Peningkatan suhu muka laut sedikit dapat mengakibatkan besarnya suplai uap air yang mendorong tingginya curah hujan. Dapat dikatakan, daerah tropis berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan maksimum dan minimum. Karena faktor luar sangat tidak dominan, seperti siklon tropis, maka pengaruh perubahan suhu muka laut terhadap curah hujan lebih dominan. Sebagai hasilnya kemampuan perubahan atau peramalan cuaca dan iklim di daerah tropis jauh lebih baik untuk skala bulanan hingga semi tahunan dibandingkan untuk skala harian hingga bulanan.

Selain tingginya nilai curah hujan dan evaporasi, daerah tropis ditandai dengan lemahnya angin permukaan dan tingginya tekanan udara permukaan. Perubahan tekanan udara juga relatif kecil dibandingkan skala perubahan waktu sehingga sulit terjadi pembentukan angin kencang. Hal yang terakhir ini juga didukung oleh lemahnya gaya coriolis bumi di daerah tropis yang menyebabkan tidak mungkinnya di daerah tropis terbentuk atau menjadi lintasan siklon tropis. Daerah yang bebas siklon tropis biasanya terletak diantara 10 LU dan 10 LS. Meski tidak menjadi tempat tumbuh dan lintasannya, daerah tropis mendapat pengaruh dari siklon tropis yang lewat pada ekornya. Biasanya hal ini menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi di daerah ekor siklon. Sedangkan daerah yang jauh dapat mengalami kekurangan awan karena tertarik kedaerah siklon.

Gambar

Gambar 1.2.  Energi budget dari atmosfer bumi (IPCC 2007)
Gambar 2.1. Spektral  energi  radiasi  matahari  yang  dipancarkan  benda  hitam (black body radiation) dan yang diterima di muka bumi
Gambar 2.2.   Variasi  energi  yang  dibawa  dari  daerah  tropis  menuju  daerah subtropis dan kutub pada beberapa samudra di dunia  (Trenberth dan Solomon 1994).
Gambar 3.1.  Proses spiral Ekman akibat tiupan angin permukaan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

5 Tahun 1974 mengatur tentang otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun pada kenyataannya pemerintah melakukan kecenderungan melakukan sentralisasi kekuasaan,

El Nino adalah fase negatif dari ENSO yang dicirikan dengan anomali suhu muka laut yang lebih hangat di wilayah Samudera Pasifik Ekuatorial bagian timur dibandingkan dengan di

PEMILIHAN MODEL SEMIVARIOGRAM TERBAIK PADA DATA SPATIAL DENGAN APLIKASI METODE PROGRAM LINIER (Studi Kasus : Data Kejadian Gempa di Wilayah Pesisir Bengkulu). Fachri Faisal