• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus Tipe 2

D. Sindroma Metabolik

Sindroma metabolik menurut NCEP-ATP III (2002), adalah sekelompok kelainan metabolik lipid maupun non-lipid, yang merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida meningkat), menurunnya kadar kolesterol HDL, hipertensi dan peningkatan kadar glukosa plasma. Sindroma metabolik yang juga disebut sindrom resistensi insulin atau sindrom X merupakan suatu kumpulan faktor-faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap peningkatan morbiditas penyakit kardiovaskuler pada obesitas dan diabetes melitus tipe 2 (Kronenberg, 2008).

Mekanisme yang menyebabkan terjadinya sindroma metabolik hingga saat ini bersumber pada resistensi insulin dan obesitas sentral (Alberti, Zimmet,

andShaw, 2005). Pada obesitas sentral terjadi akumulasi lemak di daerah viseral yang secara metabolik lebih aktif daripada lemak di daerah perifer. Penumpukan sel lemak akan meningkatkan asam lemak bebas dari hasil lipolisis, yang akan menurunkan sensitivitas terhadap insulin. Peningkatan asam lemak bebas di liver akan meningkatkan gluconeogenesis, meningkatkan produksi glukosa dan menurunkan ekstraksi insulin, sehingga terjadi hiperinsulinemia. Kemudian otot akan menurunkan pemakaian glukosa dan di sel pankreas akan menurunkan sekresi insulin. Sel lemak juga mengeluarkan adipositokin (adipokin) seperti IL-6, TNF-alfa, resistin dan leptin yang berhubungan dengan penurunan resistensi

terhadap insulin (Kershaw and Flier, 2004). TNF-alfa menyebabkan resistensi dengan cara menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan menurunkan ekspresi glukosa transporter-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot. Sedangkan adiponektin yang dapat menurunkan resistensi terhadap insulin, kadarnya menurun pada sindroma metabolik (Weyer, et al., 2001). Resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini akan menyebabkan perubahan metabolisme, sehingga menimbulkan hipertensi, dislipidemia, peningkatan respon inflamasi dan koagulasi, melalui mekanisme yang komplek, diantaranya mekanisme endotel dan

stress oksidatif(Manrique, Lastra,andWhaley, 2005).

Tabel III. Definisi Sindroma Metabolik (IDF, 2006)

According to the new IDF definition, for a person to be defined as having the metabolic syndrome they must have:

Central obesity (defined as a waist circumference* with ethnicity specific values) plus any two of the following four factors:

Raised triglycerides ≥ 150 mg/dL (1,7 mmol/L)

or specific treatment for this lipid abnormality Reduced HDL cholesterol < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) in males

< 50 mg/dL (1,29 mmol/L) in females

Raised blood pressure Systolic BP≥ 130 or diastolic BP ≥ 85 mmHg

or treatment of previously diagnosed hypertension Raised fasting plasma

glucose

(FPG)≥ 100 mg/dL (5,6 mml/L),

or previously diagnosed type 2 diabetes if above 5,6 mmol/L or 100 mg/dL, OGTT is strongly recommended but is not necessary to define presence of the syndrome * If BMI is > 30 kg/m2, central obesity can be assumed and waist circumference dose not need to be measured.

The Third National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES, 2007) melaporkan prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteria IDF (2006), diantara 8.814 orang Amerika dewasa berusia 20 tahun sindroma metabolik mencapai rata-rata 23,7%. Prevalensi sindroma metabolik meningkat dengan bertambahnya usia, dari 44% pada populasi berumur dua puluh menjadi sekitar 70% pada populasi berusia enam puluh tahunan.

E. Dislipidemia

Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Dislipidemia merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskuler yang mempengaruhi hampir 50% pasien dengan diabetes melitus tipe 2. Dislipidemia sering ditemui pada resistensi insulin atau diabetes melitus tipe 2, meskipun dengan gula darah terkontrol. Dislipidemia merupakan faktor risiko utama untuk komplikasi makrovaskuler pada diabetes mellitus tipe 2 (Saydah,et al.,2004).

Dislipidemia diduga berhubungan dengan hiperinsulinemia. Pada resistensi insulin terjadi peningkatan lipolisis, sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam plasma yang selanjutnya akan meningkatkan uptake asam lemak bebas kedalam liver. Disamping itu terjadi peningkatan sintesis trigliserida

de novo di liver karena hiperinsulinemia merangsang ekspresi sterol regulation element binding proteins (SREBPs), protein ini berfungsi sebagai faktor transkripsi yang mengaktifkan gen yang terlibat dalam lipogenesis di liver.

Cholesteryl Ester Transfer Protein (CETP) dan hepatic lipase juga meningkat. CETP akan menukar kandungan trigliserida pada VLDL dengan kolesterol ester pada LDL sehingga terjadi peningkatan trigliserida di LDL yang kemudian akan dihidrolisis oleh hepatic lipase membentuk small dense LDL. CETP juga akan menukar kandungan trigliserida pada VLDL dengan kolesterol ester pada HDL sehingga terjadi peningkatan trigliserida di HDL yang kemudian akan dihidrolisis oleh hepatic lipasemembentuk small HDL. HDL akan berikatan dengan ApoA1 yang berfungsi menghantarkan HDL yang membawa kolesterol ke hati. Namun,

karena terbentuknya small HDL terjadi penurunan afinitas ApoA1 sehingga kemampuan HDL berkurang dalam menghantarkan kolesterol dari perifer ke hati. Skema dislipidemia pada obesitas dapat dilihat pada Gambar 2. Pola dislipidemia seperti ini sering disebut dislipidemia diabetic yang berhubungan erat dengan penyakit kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner dan keadaan ini ekivalen dengan kadar LDL kolesterol antara 150-220 mg/dL (PERKENI, 2005).

Gambar 2. Skema Dislipidemia pada Obesitas (Klop, et al., 2013).

Pasien diabetes yang tidak mempunyai riwayat penyakit pembuluh darah mempunyai risiko yang sama untuk mengalami serangan jantung atau risiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler dengan individu non diabetes yang mempunyai riwayat penyakit pembuluh darah. Menurut Study to Help Improve Early Evaluation and Management of Risk Factors Leading to Diabetes

(SHIELD) (2007), melaporkan bahwa dari 22.001 pasien penduduk di Amerika menunjukkan terjadinya dislipidemia dengan kemungkinan yang lebih tinggi pada diabetes melitus tipe 2 (p<0,0001, r=0,395).

1. Klasifikasi fenotipik

Klasifikasi fenotipik pada dislipidemia berdasarkan klasifikasi WHO (2000), merupakan modifikasi klasifikasi Fredrickson yang didasarkan pada pengukuran kolesterol total dan trigliserida serta penilaian secara elektroforesis dari subkelas lipoprotein. Sistem penggolongan disini berdasarkan fenotipe, ditandai dengan angka romawi I-V. Kerugiannya adalah bahwa fenotipe yang ditemukan dapat berubah karena diet atau terapi farmakologi. Klasifikasi disini tidak berdasarkan jenis penyakit seseorang yang mempunyai kelainan genetik yang sama atau efek metabolisme yang sama, serta juga tidak menggambarkan kelainan dari kolesterol HDL.

Tabel IV. Klasifikasi Dislipidemia (WHO, 2000)

Fredricson Klasifikasi generik Klasifikasi terapeutik Peningkatan Lipoprotein I Dislipidemia eksogen Hipertrigliseridemia

eksogen

Kilomikron IIa Hiperkolesterolemia Hiperkolesterolemia LDL IIb Dislipidemia kombinasi Hiperkolesterolemia

Endogen + Dislipidemia kombinasi

LDL + VLDL

III Dislipidemia remmant Hipertrigliseridemia Partikel-partikel remnat (Beta VLDL)

IV Dislipidemia endogen Endogen VLDL

V Dislipidemia campuran Hipertrigliseridemia endogen

VLDL + Kilomikron

2. Klasifikasi patogenik

Dapat dibedakan menjadi: a. Dislipidemia Primer

Dislipidemia primer adalah semua gangguan metabolisme lipoprotein yang terjadi secara genetik, meliputi gangguan biosintesis, struktur

apolipoprotein, kelainan enzim yang berperan dalam metabolisme lipoprotein maupun kelainan pada pengenalan, pengambilan, dan katabolisme lipoprotein.

Tabel V. Klasifikasi Metabolik/Genetik Dislipidemia (PERKENI, 2011)

Kelainan Fenotipe Risiko PJK

Hiperkolesterilemia poligenik IIa +

Hiperlipidemia kombinasi familial I, IIa, IIb, IV ++ Hiperkolesterolemia familial IIa, IIIb ++++

Dislipidemia remnant III +++

Sindrom kilomikron IV, V

-Dislipidemia HDL -

-Kolesterolemia beta IIa ++

b. Dislipidemia Sekunder

Dislipidemia sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan yang mendasari. Hal ini dapat bersifat spesifik untuk setiap bentuk dislipidemia seperti diperlihatkan pada Tabel VI.

Tabel VI. Etiologi Dislipidemia Sekunder (PERKENI, 2011)

Hiperkolesterolemia Hipertrigliseridemia Dislipidemia campuran

Hipotiroid DM, Alkohol Hipotiroid

Sindroma nefrotik Obesitas Sindroma nefrotik Penyakit hati obstruktif Gagal ginjal kronik Gagal ginjal kronik

Dalam pengamatannya, The Multiple Risk Factor Intervention Trial

(MRFIT) mendapatkan bahwa mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler diantara pasien diabetes mellitus mencapai 4 kali lebih tinggi daripada individu non

diabetes melitus dengan kadar kolesterol serum yang sama. Pasien diabetes melitus dengan kadar kolesterol serum terendah mempunyai angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok individu non diabetes melitus yang mempunyai kadar kolesterol tertinggi. Meningkatnya sifat aterogenisitas ini disebabkan adanya pengaruh proses glikosilasi, oksidasi, dan tingginya kandungan trigliserida didalam lipoprotein. Glikosilasi LDL akan meningkatkan

waktu paruhnya, sehingga bentuknya menjadi lebih kecil dan padat serta lebih bersifat aterogenik. Bentuk ini lebih mudah mengalami oksidasi serta lebih mudah diambil oleh makrofag untuk membentuk sel-sel busa (foam cells). Glikosilasi HDL memperpendek waktu paruhnya dan membentuk lebih banyak varian HDL-3 yang kurang bersifat protektif dibandingkan varian HDL-2. Kemampuan HDL untuk mengangkut kolesterol dari jaringan perifer kembali ke hati mengalami penurunan bila HDL banyak mengandung trigliserida. Kadar HDL yang direkomendasikan adalah > 40 mg/dL untuk pria dan >50 mg/dL untuk wanita dan kadar LDL kolesterol dibawah 100 mg/dL (American Diabetes Association, 2000).

HDL adalah partikel lipoprotein yang padat dan kecil, disintesis di hati maupun usus. Terdapat tiga macam HDL yaitu HDL-1 (jumlah sedikit), HDL-2, dan HDL-3. Komposisi HDL-2 adalah protein 33%, lipid 67% (trigliserida 16%, fosfolipid 43%, kolesterol ester 31%, dan kolesterol total 10%), sedangkan HDL-3 terdiri atas protein 57%, lipid 4HDL-3% (trigliserida 1HDL-3%, fosfolipid 46%, kolesterol ester 29%, kolesterol bebas 6%, dan asam lemak bebas 6%) (Kusmiyati, 2004). Ukuran HDL-2 lebih besar dan kaya lipid bila dibandingkan dengan HDL-3 yang lebih kecil dan padat. HDL-3 terdiri dari lapisan ganda fosfolipid, mengandung apolipoprotein dan kolesterol bebas. Kolesterol bebas yang berasal dari membran sel ditransfer ke HDL-3, dan diubah menjadi ester kolesterol oleh enzim LCAT

(Lecithin Cholesterol Acyl Transferase). Ester kolesterol ini akan bergerak masuk ke dalam inti HDL-3. Reaksi terus berlangsung, inti nonpolar mendesak lapisan ganda sehingga terpisah sampai bentuknya berubah menjadi sferis. Pembentukan

ester kolesterol tersebut akan meningkatkan kapasitas HDL-3 untuk menerima lebih banyak kolesterol bebas sehingga terbentuk HDL-2 yang berukuran lebih besar dan kaya lipid (PriceandWilson, 2005).

F. Antropometri

Antropometri berasal dari bahasa Yunani yaitu anthropos yang berarti manusia dan metron yang berarti mengukur. Jadi, antropometri adalah ukuran-ukuran tentang manusia. Setiap manusia memiliki ukuran-ukuran yang berbeda-beda (Marizar, 2005). Antropometri merupakan teknik tunggal yang paling praktis, dapat diaplikasikan secara universal, murah, dan non-invasif untuk mengetahui ukuran, proporsi, dan komposisi tubuh (WHO, 2008). Menurut NHANES (2007), pengukuran antropometri meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan pada saat berdiri, tinggi badan pada saat berbaring, skinfold thickness, lingkar kepala, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang-panggul, lebar bahu dan lebar pergelangan tangan. Indikator antropometri tersebut cukup akurat untuk menggambarkan komposisi lemak tubuh yang berkaitan dengan profil lipid (NHANES, 2007).

Distribusi dan akumulasi lemak tubuh dapat diketahui menggunakan pengukuran antropometri, yaitu dengan pengukuran indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang (LP), dan rasio lingkar pinggang-panggul (RLPP) (NHLBI,

2000; Dalton, et al., 2003). Menurut International Diabetes Federation (2006), seseorang yang memiliki sindroma metabolik dapat dipastikan memiliki obesitas sentral. Akumulasi sel lemak pada area sentral (obesitas sentral) dapat

digambarkan dengan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul (Dalton,et al., 2003; Huxley, Mendis, Zheleznyakov, Reddy,andChan, 2010). 1. Lingkar Pinggang

Lingkar pinggang merupakan sebuah garis keliling yang menunjukkan estimasi lingkar tubuh pada bagian abdomen (Klein, 2007). Pengukuran lingkar pinggang dilakukan pada titik tengah antara tulang rusuk terbawah dan tepi atas tulang panggul. Pada saat pengukuran, subjek harus berdiri dengan kaki rapat, lengan pada kedua sisi tubuh, dianjurkan memakai pakaian yang tipis dan dalam kondisi akhir ekspirasi normal. Pita pengukur tidak boleh dilingkarkan terlalu kencang hingga menekan kulit subjek dan pengukuran dilakukan paralel dengan lantai (WHO, 2008).

Indeks lingkar pinggang dapat menggambarkan perkiraan masa lemak dalam perut dan total lemak tubuh. Peningkatan lingkar pinggang berkaitan dengan sindroma metabolik. Sindroma metabolik antara lain adalah diabetes mellitus tipe 2,impaired glucose tolerance, atau toleransi glukosa normal dengan resistensi insulin, secara bersamaan dua atau lebih dengan peningkatan tekanan darah, obesitas abdominal dan atau BMI >30 kg/m2, kolesterol HDL rendah, trigliserida tinggi, dan mikroalbuminuria (National Obesity Forum, 2006).

Pada penelitian Klein (2007), menyatakan bahwa lingkar pinggang merupakan metode yang menunjukkan korelasi yang paling baik dengan risiko penyakit dan mencerminkan adanya perubahan pada jaringan adiposa abdominal. Hal tersebut didukung pula oleh penelitian Kato,et al., (2008) menyatakan bahwa lingkar pinggang merupakan parameter yang praktis dan nyaman untuk

mendeteksi akumulasi faktor risiko yaitu seseorang mengalami dua atau lebih keadaan: hipertensi, dislipidemia dan hiperglikemia.

Penelitian Lemieux, et al. (2000), menggunakan lingkar pinggang dan kadar trigliserida untuk mendeteksi sindroma metabolik dan menemukan lingkar pinggang ≥90 cm dikombinasikan dengan kadar trigliserida plasma puasa >150 mg/dL dapat mendeteksi penderita sindroma metabolik sebanyak 80% dari 185 pria subjek penelitian. International Diabetes Federation (IDF) (2006), menetapkan kriteria lingkar pinggang pada pria dan wanita yang dinyatakan mengalami obesitas sentral dapat dilihat pada Tabel VII.

Tabel VII. Nilai Lingkar Pinggang berdasarkan Etnis (IDF, 2006)

Country/Ethnic group Waist circumference

South Asians: Based on a Chinese, Malay and Asian-Indian population

Male ≥ 90 cm

Female ≥ 80cm

2. Rasio Lingkar Pinggang-Panggul

Rasio lingkar pinggang-panggul (RLPP) adalah salah satu indeks antropometri yang menunjukkan status kegemukan, terutama obesitas sentral (WHO, 2008). Menurut World Health Organization (2008), akan terjadi peningkatan komplikasi sindroma metabolik bila rasio lingkar pinggang-panggul pria ≥0,90 dan pada wanita ≥0,85. Pada pengukuran rasio lingkar pinggang-panggul digunakan formula dari rasio lingkar pinggang dan pinggang-panggul yaitu lingkar pinggang (cm) dibagi dengan lingkar panggul (cm) sehingga skala pengukurannya adalah rasio. Pengukuran lingkar pinggang dilakukan pada titik tengah antara tulang rusuk terbawah dan tepi atas tulang panggul, sedangkan pengukuran

lingkar panggul dilakukan pada lingkar terlebar dari panggul, dimana lingkar panggul adalah diameter terbesar dari tubuh dibawah pinggang (Jenkis, 2011).

Gambar 3. Rasio Lingkar Pinggang-Panggul (Rodrigues, Baldo, and Mill, 2011)

Peningkatan rasio lingkar pinggang-panggul dapat mencerminkan kelebihan lemak abdominal relatif (meningkatnya lingkar pinggang) dan sedikitnya otot gluteal (menurunnya lingkar panggul). Variasi dari lingkar pinggang mencerminkan variasi dalam lemak viseral dan subkutan, sedangkan variasi lingkar panggul berkaitan dengan variasi struktur tulang (lebar pelvis), otot gluteal dan lemak gluteal subkutan (Seidell, Perusse, Depres, dan Bouchard, 2011).

Penelitian Lear, et al. (2007) menunjukkan bahwa populasi Asia memiliki jaringan adiposa viseral yang lebih banyak dibandingkan dengan populasi Eropa, sehingga batas nilai lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul perlu disesuaikan untuk tiap populasi. Penelitian Ho, et al., (2001), menyatakan bahwa IMT dan lingkar pinggang merupakan prediktor penyakit kardiovaskuler yang efektif untuk pria, sedangkan lingkar pinggang dan RLPP efektif untuk wanita. Pada penelitian Odenigbo, Odennigbo, Oguejiofor, and

Adogu, (2011), menyatakan bahwa rasio lingkar pinggang-panggul lebih kuat dalam memprediksi obesitas pada wanita dibandingkan pada pria.

Penelitian Gupta, et al. (2007), menunjukkan bahwa pada responden dengan kategori rasio lingkar pinggang-panggul ≥1,00 memiliki presentase prevalensi sindroma metabolik paling tinggi yaitu sebesar 73%. Hasil penelitian tersebut menyatakan terdapat korelasi positif bermakna antara rasio lingkar pinggang-panggul dan sindroma metabolik (r=0,900; p=0,004).