• Tidak ada hasil yang ditemukan

II- 1 2.1. Landasan Teori

2.1.1 Sistem Jaminan Halal dan UU Jaminan Produk Halal

Menurut LPPOM MUI (2019), Sistem Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI. Terdapat 12 kriteria yang harus dipenuhi dalam Sistem Jaminan Halal yaitu:

1. Kebijakan halal

Manajemen puncak harus menetapkan kebijakan halal tertulis yang menunjukkan komitmen perusahaan untuk menghasilkan produk halal secara konsisten. Kebijakan halal harus disosialisasikan ke seluruh pekerja dan juga supplier.

2. Tim manajemen halal

Sekelompok orang yang ditunjuk manajemen puncak sebagai penanggungjawab atas sistem jaminan halal di perusahaan.

3. Pelatihan dan edukasi

Koordinator halal di perusahaan harus mengikuti dan lulus pelatihan yang diselenggarakan oleh LPPOM-MUI. Pelatihan eksternal harus diikuti 2 tahun sekali. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan

untuk semua personil yang terlibat dalam aktivitas kritis. Pelatihan internal dilakukan minimal 1 tahun sekali.

4. Bahan

Bahan tidak boleh berasal dan mengandung bahan dari:

a. Babi dan turunannya

b. Minuman beralkohol (khamar) c. Turunan khamar

d. Darah e. Bangkai

f. Bagian dari tubuh manusia

Bahan olahan harus memiliki dokumen pendukung yang cukup, berupa sertifikat halal, COA (Certificate Of Analysis), ataupun MSDS (Material Safety Data Sheet)

5. Produk

Produk yang didaftarkan untuk sertifikasi halal dapat berupa produk akhir maupun produk antara. Nama dan bentuk produk tidak mengarah pada sesuatu yang haram, bau dan rasa tidak mengarah pada produk haram.

6. Fasilitas Produksi

Seluruh fasilitas di lini produksi dan peralatan pembantu yang digunakan untuk menghasilkan produk harus didaftarkan, tidak boleh dipakai bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi halal dan produk yang tidak halal. Fasilitas produksi harus terjaga kebersihannya dan bahan pembersih harus halal.

7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis

Merupakan seperangkat tata cara kerja yang dibakukan untuk mengendalikan aktivitas kritis. Aktivitas kritis mencakup seleksi bahan baru, pembelian bahan, formulasi produk, pemeriksaan bahan datang, produksi, pencucian fasilitas dan peralatan tambahan, penyimpanan dan penanganan bahan/produk serta transportasi. Perusahaan harus membuat dokumen atau catatan penerapan prosedur tertulis aktivitas kritis.

8. Kriteria Kemampuan Telusur (Tracebility)

Perusahaan harus mempunyai prosedur untuk menjamin ketelusuran produk yang disertifikasi, maksudnya selalu dapat dibuktikan bahwa produk yang disetujui menggunakan bahan yang halal dan diproduksi di fasilitas yang memenuhi kriteria.

9. Prosedur Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria

Harus ada prosedur antisipasi apa yang dilakukan bila produk tidak memenuhi kriteria halal (tidak boleh diklaim sebagai produk halal, tidak boleh dijual, tidak boleh di rework). Produk tidak halal harus dimusnahkan dan berita acara pemusnahannya harus dibuat dan didokumentasikan.

10. Audit internal

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan audit internal, dilakukan oleh manejemen halal internal. Audit internal dilakukan sekali dalam 6 bulan, dan wajib dilaporkan ke LPPOM MUI.

11. Kaji Ulang Manajemen

Assessment yang dilakukan manajemen tentang efektivitas pelaksanaan sistem jaminan halal, dilakukan minimal satu kali dalam setahun, dan bukti-bukti kegiatan harus tersimpan rapi.

12. Food Safety (Keamanan Pangan)

Bahan pangan yang digunakan, produk makanan yang dihasilkan, dan kemasan yang digunakan aman untuk kesehatan konsumen.

Menurut Muhammad Aziz (2017), sebelum lahirnya UU No. 33 tahun 2014, lembaga yang melakukan sertifikasi dan penyelenggaraan sertifikasi halal adalah LPPOM MUI. Lembaga ini berdiri pada tanggal 6 Januari 1989.

Berdirinya lembaga ini dilatari keresahan umat Islam sejak dirilisnya hasil temuan peneliti Universitas Brawijaya di Buletin Canopy. Penelitian tersebut dilakukan terhadap produk makanan, seperti susu, mie, snack dan lain sebagainya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa produk tersebut mengandung gelatin, shortening, lecithin, dan lemak yang kemungkinan berasal dari babi.Dampak dari isu lemak babi ini cukup mengguncang perekonomian nasional, terutama di sektor industri pangan dan menuai protes dan kritik dari kalangan Muslim yang menunutut adanya jaminan terhadap produk yang mereka konsumsi.

Pola kerja penyelenggaraan dan sertifikasi halal LPPOM MUI didasarkan atas pengujian sistematik di tempat produksi dan di laboratorium untuk membuktikan bahwa barang yang diproduksi terbebas dari benda najis dan unsur yang diharamkan, sehingga kehalalannya secara konsisten dapat terjamin.

Sertifikasi halal dapat diartikan sebagai proses klarifikasi produk yang

kehalalannya masih belum jelas dengan cara meneliti tahapan produksi, dari proses penyiapan bahan baku, proses produksi, penyimpanan produk, dan sistem pengendalian bahan agar konsisten halal. Pola pembuktian terbalik merupakan konsep sertifikasi halal pada produk olahan yang didasarkan asumsi bahwa produk olahan ada kemungkinan terkontaminasi dengan benda haram, sehingga harus diklarifikasi melalui sertifikasi halal.

Produk yang telah disertifikasi, dijamin dan dinyatakan halal akan mendapatkan ketetapan halal dari MUI. Ketetapan halal merupakan fatwa tertulis dari MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syariat Islam. Izin pencantuman label “Halal” pada kemasan produk dari BPOM dapat dikeluarkan dengan syarat produk tersebut sudah mendapat ketetapan halal dari MUI.

Labelisasi halal menjadi wewenang pemerintah, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan. LPPOM semula memiliki legitimasi sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan sertifikasi halal didasarkan atas SK MUI Pusat No. kep 164/MUI/IV/2003. Surat Keputusan MUI Pusat ini mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI No.:924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal”. Sejak bulan Oktober 2019 LPPOM MUI berperan sebagai lembaga pemeriksa halal.

Menurut May Lim Charity (2017), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU-JPH) memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang selama ini tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Di sisi lain UUJPH dapat disebut sebagai payung hukum (umbrella act) bagi pengaturan produk halal. Jaminan Produk Halal (JPH) dalam

undang-undang ini mencakup berbagai aspek tidak hanya obat, makanan, dan kosmetik akan tetapi lebih luas dari itu menjangkau produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengaturannya pun menjangkau kehalalan produk dari hulu sampai hilir.

Proses Produksi Halal yang selanjutnya disingkat PPH didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Hal ini bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produknya. Jaminan produk halal secara teknis kemudian dijabarkan melalui proses sertifikasi. Sebelumnya sertifikasi halal bersifat voluntary, sedangkan melalui UUJPH menjadi mandatori.

Karena itu, semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Hal inilah yang menjadi pembeda utama dengan produk perundang-undangan sebelumnya. Penanggungjawab sistem jaminan halal dilakukan oleh pemerintah yang diselenggarakan Menteri Agama dengan membentuk Badan Penyelenggara JPH (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama.

Dokumen terkait