• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub saling berkaitan dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah sebagai berikut:

BAB PERTAMA: PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis menjelaskan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB KEDUA: TINJAUAN UMUM TENTANG PENGATURAN

PERWALIAN ANAK DALAM HUKUM DI INDONESIA Bab ini terdiri dari subbab, seperti tinjauan umum tentang anak yang terdiri dari pengertian, batasan usia anak, hak-hak dan macam-macam anak. Kemudian tinjauan umum tentang perwalian yaitu pengertian, dasar hukum, asas-asas, macam-macam dan syarat perwalian, tugas dan kewajiban wali serta berakhirnya perwalian. Dan tinjauan umum tentang Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

BAB KETIGA: PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK

ASUH YANG KEDUA ORANG TUANYA MASIH HIDUP

Bab ini terdiri dari beberapa subbab, seperti pengertian Panti Asuhan, sejarah dan latar belakang di dirikannya Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution, visi, misi serta tujuan Panti Asuhan, prosedur perwalian anak oleh Panti Asuhan ade Irma Suryani Nasution, dan perwalian terhadap anak yang kedua orang tuanya masih hidup.

BAB KEEMPAT: HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN PERWALIAN DI PANTI ASUHAN ADE IRMA SURYANI NASUTION

Bab ini membahas tentang hak dan kewajiban anak yang mendapat perwalian oleh panti asuhan Ade Irma Suryani Nasution. Bab ini terdiri dari 4 (empat) subbab yaitu hak dan kewajiban anak dalam Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution, Hak dan Kewajiban Panti Asuhan terhadap anak asuh, Permasalahan yang timbul di dalam Panti Asuhan, dan Aspek atau Segi berlangsungnya perwalian di Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution.

BAB KELIMA: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap perwalian anak di Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution, dan saran-saran mengenai perwalian anak di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGATURAN PERWALIAN ANAK DALAM HUKUM DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Tentang Anak 1. Pengertian Tentang Anak

Berbicara masalah perwalian maka tidak telepas dari pembahasan anak dan batas usia seorang anak, ini penting karena untuk mengetahui bilamana seseorang anak diletakkan dibawah perwalian dan dapat mempertangung jawabkan suatu suatu perbuatanya.

Dalam bahasa arab “anak disebut walad, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangannya kearah abadi Allah yang saleh”.35

1) “Anak diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan dengan orang dewasa;

Dengan memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti sebagai berikut:

2) Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari dunianya serta dimensi dan prospeknya.”36

ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.

35 Iman Jauhari, 2003, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, hlm. 81

36Ibid, hlm. 83

Untuk meletakkan anak kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut.Unsur- unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Unsur internal pada diri anak yaitu anak sebagai subjek hukum atau sebagai manusia, anak juga digolongkan sebagai Human Right yang terkait dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Persamaan hak dan kewajiban anak, anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. maka hukum meletakan anak dalam posisi sebagai perantara hukum untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum.

b. Unsur eksternal pada diri anak ini didasarkan pada ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum Equality Before The Law dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan. Ini berdasarkan Hak-hak privilege yang diberikan Negara atau pemerintah yang timbul dari Undang Undang Dasar dan peraturan perundang- undangan.

Pendapat mengenai anak sampai saat ini masih mengalami perbedaan, baik dalam hal pengertian maupun dalam hal batasan umurnya. Beberapa pengertian tentang anak diatur sebagai berikut:

a) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara pasti tentang definisi anak, tetapi berdasarkan Pasal 330 dijelaskan bahwa belum dewasa adalah belum berusia 21 tahun dan tidak terlebih dahulu kawin.37

b) Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak).38

c) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

d) Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).39

e) Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut

37 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, 1996, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

38 Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

39 Lihat Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

adalah demi kepentingannya (Pasal 1 angka 5 Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).40

f) Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).41

2. Batasan Usia Anak

Menyangkut masalah pengertian anak ini dan batas umurnya masih mempunyai ketidak seragaman pendapat, batas usia anak dapat dikelompokan yaitu “pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau dapat menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan anak tersebut.”42

Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi Hak-hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 yang menyebutkan anak merupakan orang berusia dibawah 18 tahun, kecuali yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.43

Sedangkan membicarakan batas umur dari anak menurut peraturan perundang-undangan juga memiliki perbedaan dari pembatasan usia anak ini didasari dari maksud dan tujuan dari masing-masing peraturan

perundang-40 Lihat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

41 Lihat Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

42 Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, hlm 14-15

43 Lihat Konvensi Hak-Hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990

undangan tersebut, untuk meletakkan batas usia seoarang anak ini meyebabkan pluralitas dalam menentukan batas usia seorang anak dimana diantaranya:

a. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

“Pasal 330 ayat (1) menyebutkan batas antara belum dewasa dengan usia telah dewasa yaitu 21 tahun, Kecuali anak tesebut telah kawin sebelum usianya 21 tahun atau karena pendewasaan. Pendewasaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 419 KUH Perdata. “Dengan melakukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan dewasa atau bolehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu”. Yang mana perlu atas anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengan surat-surat pernyataan dewasa yang diberikan oleh Presiden setelah mendengarkan nasehat dari Makamah Agung sebagaimana tersebut didalam Pasal 420 KUH Perdata.

Dari ketentuan yang tersebut pada Pasal 330 diatas dapat diketahui bahwa batasan umur anak merupakan mereka yang belum berumur 21 tahun, hal ini merupakan pembatasan yang jelas dan tegas disebutkan tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.

b. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara langsung tentang anak namun secara tersirat dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan “untuk melakukan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun haruslah mendapat izin dari orang tuanya”. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa

“perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyebutkan “bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melakukan pernikahan berada dibawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.”

Tentang kedewasaan ini, merupakan salah satu dari sekian faktor yang harus diperhatikan apabila hendak melakukan suatu perbuatan hukum. Masalah tidak akan timbul jika ternyata seorang anak yang belum dewasa masih berada dibawah pemeliharaan orang tuanya. Namun apabila sianak yang belum dewasa sudah tidak berada dibawah kekuasaan orang tuannya lagi maka segala perbuatan hukum sianak harus diwakilkan oleh seseorang sebagai pengganti orang tua si anak, atas hal tersebut maka diperlukan ketentuan-ketentuan hukum mengaturnya, terutama menempatkan seorang wali dalam hal pemeliharaan seorang anak.

3. Hak-Hak Anak

Landasan hukum yang digunakan dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak anak bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang disahkan tahun 1990 kemudian diserap ke dalam Undang-Undang no 23 tahun 2002. Berdasarkan sesuatu yang melekat pada diri anak tersebut yaitu hak yang harus dilindungi dan dijaga agar berkembang secara wajar.

Terdapat empat prinsip utama yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, prinsip-prinsip ini adalah yang kemudian diserap ke dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang disebutkan secara ringkas pada pasal 2.

Secara lebih rinci Prinsip-prinsip tersebut adalah:44 1. Prinsip non diskriminasi.

Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.

Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, yakni :

“Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah”. (Ayat 1). “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga”. (Ayat 2).

2. Prinsip yang terbaik bagi anak (Best interest of the child)

Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau

44 Supriyadi W. Eddyono, 2005, Pengantar Konvensi Hak Anak, ELSAM, Jakarta, hlm 2.

badan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).

3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (The rights to life, survival and development).

Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (Respect for the views of the child).

Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yaitu: Negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 diatur mengenai hak dan kewajiban anak yang tercantum dalam Pasal 4 s/d pasal 19. Secara lebih perinci hak-hak anak dalam UU Nomor 23 tahun 2002 adalah sebagai berikut:45

45 Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6). Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi merupakan wujud dari jaminan dan penghormatan negara terhadap hak anak untuk berkembang, yang mengacu kepada Pasal 14 KHA.

4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa jika orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak maka anak tersebut berhak untuk diasuh oleh orang lain sebagai anak asuh atau anak angkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 7 ayat 2 dan 3).

5. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8). Hak memperoleh pelayanan kesehatan ini merupakan hak terpenting dalam kelompok hak atas tumbuh kembang anak. Setidaknya, hak atas pelayanan kesehatan bagi anak dirujuk ke dalam Pasal 24 dan 25 KHA. Mengenai bagaimana pelaksanaan hak-hak kesehatan ini, selanjutnya dirumuskan dalam ketentuan tentang penyelenggaraan hak anak dalam bidang kesehatan yang diatur dalam Pasal 44 s/d Pasal 47 UU No.23/2002. Pemerintah wajib

menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan (pasal 44).

6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). Hak anak atas pendidikan meliputi hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan diri anak sesuai dengan bakat, minat, dan kecerdasannya.

7. Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 ayat 2).

8. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).

9. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

10. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).

11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan yang menyimpang (Pasal 13), perlakuan- perlakuan yang menyimpang itu adalah:

a. Diskriminasi.

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.

c. Penelantaran.

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.

e. Ketidakadilan.

f. Perlakuan salah lainnya.

12. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

13. Hak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam situasi darurat atau kerusuhan (pasal 15), hal itu adalah:

a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.

e. Pelibatan dalam peperangan.

14. Hak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum dan perlindungan dari penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan

apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16).

15. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya b. dipisahkan dari orang dewasa.

c. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

d. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 ayat 1).

16. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat 2).

17. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Dengan adanya berbagai peristiwa pada belakangan ini maka pemerintah melakukan beberapa perubahan pada undang-undang nomor 23 tahun 2002 dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 35 tahun 2014 yang merubah dan menambahi beberapa poin di dalam pasal-pasal undang- undang nomor 23 tahun 2002, perubahan-perubahan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban anak tersebut adalah:46

46 Tim, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

1. Pada pasal 6 dirubah sehingga berbunyi “Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan Orang Tua atau Wali”.

2. Pada pasal 9 ayat 1 ditambah dengan ayat 1 (a) yang berbunyi “Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.

3. Pada pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 terdapat perubahan kalimat “anak yang menyandang cacat” diganti dengan “anak peyandang disabilitas”.

4. Pada pasal 14 ditambah dengan ayat 2 yang berbunyi

Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:

a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;

b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan d. Memperoleh Hak Anak lainnya.

5. Pada pasal 15 terkait dengan hak anak mendapat perlindungan ditambah dengan poin f yaitu “kejahatan seksual”.

4. Macam-Macam Anak

Menurut hukum perdata, kedudukan anak yang dikenal ada 2 macam yaitu;47

1. Anak sah adalah anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan dan di buktikan oleh akte nikah.

2. Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan.

Selain yang disebutkan di atas, lalu dikembangkan kedudukan anak menurut hukum perdata, yaitu:

1. Anak sah, adalah anak yang dilahirkan didalam perkawinan dan dibuktikan oleh akte nikah.

2. Anak yang disahkan, adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan, pada saat kedua orang tua melakukan perkawinan anak tersebut diakui atau disahkan yang kemudian dicatat di akte nikah.

3. Anak yang disahkan dengan penetapan, adalah anak luar kawin, lalu orang tuanya mengajukan permohonan ke departemen kehakiman untuk manetapkan anaknya dengan pertimbangan Mahkama Agung, maka kemudian dikeluarkanlah penetapan anak tersebut.

4. Anak yang diakui, adalah anak luar kawin yang diakui oleh kedua orang tuanya saja atau ibunya saja atau ayahnya saja yang mempunyai akibat hukum : orang tua yang mengakui itu harus memenuhi kebutuhan anak tersebut dan anak tersebut berhak mewaris.

47 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, 1996, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

5. Anak zina, adalah anak luar kawin yang salah satu orang tuanya atau kedua orang tuanya terikat dalam perkawinan kawin (selingkuh )

6. Anak sumbang, adalah anak luar kawin yang orang tuanya dilarang untuk menikah oleh undang – undang.

Sebenarnya golongan macam – macam anak dalam hukum perdata hanya ada 2 golongan yaitu: Anak sah, dan Anak luar kawin yang termasuk di dalamnya yaitu, anak yang disahkan, anak yang disahkan dengan penetapan, anak yang diakui, anak zina, dan anak sumbang.

Usaha – usaha yang dilakukan untuk melindungi anak luar kawin yaitu:

1. Pengakuan namun akibat hukumnya, kedudukan anak luar kawin tidak sama dengan anak sah.

2. Adopsi akibat hukumnya, kedudukan anak luar kawin sama dengan anak sah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memberikan pengaturan yang mendetail mengenai kedudukan Anak. Pengaturan mengenai kedudukan anak dalam UU Perkawinan hanya terdiri dari 3 Pasal, yaitu Pasal 42-44. UU Perkawinan membagi kedudukan anak ke dalam dua kelompok, yaitu:48

1 Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

48 Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2 Anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Pasal 43 ayat (1) menentukan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 44 UU Perkawinan memberikan hak kepada suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat membuktikan

Pasal 44 UU Perkawinan memberikan hak kepada suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat membuktikan