• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

Perwalian berasal dari kata “wali” mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan memiliki anak yang belum dewasa atau belum akil balig dalam melakukan perbuatan hukum, demikian menurut Prof. Subekti.23

Dalam kamus hukum, perkataan “wali” dapat diartikan pula sebagai orang yang mewakili. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Perwalian ini diatur dalam pasal 50 ayat (1): Anak yang belu mencapai 18 (delapan belas) tahun atau

23Soedharyo Soimin, Op. cit., hlm. 55

belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali; ayat (2): Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.24

Menurut Pipin Syarifin (dalam Hukum Perdata), peranan wali terhadap anak yang belum dewasa sangat besar, baik terhadap harta bendanya maupun kelangsungan hidup pribadi anak tersebut. Menurut bahasa, istilah perwalian berasal dari kata dasar “wali”, yang mendapat awalan per. Kata wali dalam Bahasa Indonesia berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim dan hartanya selama anak itu belum dewasa.

Adapun kata perwalian berarti segala sesuatu mengenai urusan wali;

pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya.25

Perwalian menurut hukum perdata ialah “Pengawasan terhadap anak yang di bawah umur yang tidak di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaannya anak tersebut sebagaimana diatur oleh undang-undang.”26

Wirjono Pradjodikoro mengemukakan bahwa, “Pemeliharaan anak dinamakan voodij (perwalian), sedangkan selama perwalian berlangsung pemeliharaan anak yang berada di tangan kedua orangtua, dinamakan kekuasaan orang tua.”27

Perwalian bagi orang-orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21

24Ibid.

25Mustofa Hasan, Loc. cit.

26Ibid., hlm. 278

27Ibid.

(dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin.

Perwalian menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.28

Dalam literatur fiqih islam perwalian itu disebut dengan “Al- Walayah”

(Orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al- wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan.29 Sedangkan menurut Ali Afandi, bahwa

“perwalian atau voogdij adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.”30

Menurut R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia dewasa atau belum pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaannya”.31

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu, tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat F. Metode Penelitian

28Lihat Kompilasi Hukum Islam

29Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001, hlm. 134.

30Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1997, hlm. 151.

31R. Sarjono, Masalah Perceraian, Cet 1, Academika, Jakarta, 1979, hlm. 36.

disadarihubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lainnya.32

1. Sifat Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif dimana penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karateristik-karateristik atau faktor-faktor tertentu.33

2. Metode Pendekatan Soerjono Soekanto,34

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam

berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam penelitian hukum normatif, yang terdiri dari: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian

terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. Dan penelitian hukum empiris terdiri dari:

penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektivitas hukum.

32Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011, hlm.

45

33Ibid, hlm. 35

34Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 3.

masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan. Pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan anak, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, majalah, situs internet, dan sebagainya.

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri dari:

a) Data primer

Data Primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama atau melalui penelitian lapangan. Data primer dari penelitian ini merupakan keterangan dari pengelola Panti Asuhan yang berkaitan dengan pelaksanaan perwalian anak.

b) Data sekunder

Data sekunder merupakan data atau fakta yang diperoleh dari buku- buku, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori, bahan-bahan kepustakaan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan rumusan masalah pada penelitian ini. Bahan-Bahan hukum yang mengikat terdiri dari: Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang meliputi: Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Pelindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Studi Lapangan

Untuk penelitian ini penulis akan menggunakan teknik wawancara kepada para pengurus Panti Asuhan yang dilakukan pada tanggal 03 November 2016 di lingkungan Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution

b) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari dokumen, buku-buku literatur, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

5. Analisa Data

Analisia data dalam penulisan ini digunakan analisa kualitatif. Seluruh data sekunder dan data primer yang diperoleh dari pustaka dan penelitian lapangan diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Langkah selanjutnya, dari data sekunder dan data primer yang telah disusun dan ditetapkan sebagai

sumber dalam penyusunan skripsi ini kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.

Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yuridis normatif yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedangkan metode deksriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan.

Sebagai akhir, penarikan kesimpulan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret dihadapi.

G. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Perwalian Anak (Studi Pada Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution di Medan)” ini merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru karya tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis sendiri.

Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang di publikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.

Karya tulis ini memiliki kemiripan dengan beberapa karya tulis yang telah dibuat oleh mahasiswa Fakultas Hukum yaitu :

1. Nama : Yudhi Marza NIM : 107011113

Judul : Tanggung Jawab Wali Terhadap Anak yang Berada Di Bawah Perwaliannya (Suatu Penelitian Di Kota Banda Aceh)

2. Nama : Windy Febrina NIM : 100200048

Judul : Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Perwalian Anak-Anak Terlantar Ditinjau Dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial (Studi Di Dinas Sosial Kota Medan)

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub saling berkaitan dengan lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah sebagai berikut:

BAB PERTAMA: PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis menjelaskan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB KEDUA: TINJAUAN UMUM TENTANG PENGATURAN

PERWALIAN ANAK DALAM HUKUM DI INDONESIA Bab ini terdiri dari subbab, seperti tinjauan umum tentang anak yang terdiri dari pengertian, batasan usia anak, hak-hak dan macam-macam anak. Kemudian tinjauan umum tentang perwalian yaitu pengertian, dasar hukum, asas-asas, macam-macam dan syarat perwalian, tugas dan kewajiban wali serta berakhirnya perwalian. Dan tinjauan umum tentang Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

BAB KETIGA: PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK

ASUH YANG KEDUA ORANG TUANYA MASIH HIDUP

Bab ini terdiri dari beberapa subbab, seperti pengertian Panti Asuhan, sejarah dan latar belakang di dirikannya Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution, visi, misi serta tujuan Panti Asuhan, prosedur perwalian anak oleh Panti Asuhan ade Irma Suryani Nasution, dan perwalian terhadap anak yang kedua orang tuanya masih hidup.

BAB KEEMPAT: HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN PERWALIAN DI PANTI ASUHAN ADE IRMA SURYANI NASUTION

Bab ini membahas tentang hak dan kewajiban anak yang mendapat perwalian oleh panti asuhan Ade Irma Suryani Nasution. Bab ini terdiri dari 4 (empat) subbab yaitu hak dan kewajiban anak dalam Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution, Hak dan Kewajiban Panti Asuhan terhadap anak asuh, Permasalahan yang timbul di dalam Panti Asuhan, dan Aspek atau Segi berlangsungnya perwalian di Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution.

BAB KELIMA: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap perwalian anak di Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution, dan saran-saran mengenai perwalian anak di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGATURAN PERWALIAN ANAK DALAM HUKUM DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Tentang Anak 1. Pengertian Tentang Anak

Berbicara masalah perwalian maka tidak telepas dari pembahasan anak dan batas usia seorang anak, ini penting karena untuk mengetahui bilamana seseorang anak diletakkan dibawah perwalian dan dapat mempertangung jawabkan suatu suatu perbuatanya.

Dalam bahasa arab “anak disebut walad, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangannya kearah abadi Allah yang saleh”.35

1) “Anak diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan dengan orang dewasa;

Dengan memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti sebagai berikut:

2) Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari dunianya serta dimensi dan prospeknya.”36

ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.

35 Iman Jauhari, 2003, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, hlm. 81

36Ibid, hlm. 83

Untuk meletakkan anak kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut.Unsur- unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Unsur internal pada diri anak yaitu anak sebagai subjek hukum atau sebagai manusia, anak juga digolongkan sebagai Human Right yang terkait dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Persamaan hak dan kewajiban anak, anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. maka hukum meletakan anak dalam posisi sebagai perantara hukum untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum.

b. Unsur eksternal pada diri anak ini didasarkan pada ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum Equality Before The Law dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan. Ini berdasarkan Hak-hak privilege yang diberikan Negara atau pemerintah yang timbul dari Undang Undang Dasar dan peraturan perundang- undangan.

Pendapat mengenai anak sampai saat ini masih mengalami perbedaan, baik dalam hal pengertian maupun dalam hal batasan umurnya. Beberapa pengertian tentang anak diatur sebagai berikut:

a) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara pasti tentang definisi anak, tetapi berdasarkan Pasal 330 dijelaskan bahwa belum dewasa adalah belum berusia 21 tahun dan tidak terlebih dahulu kawin.37

b) Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak).38

c) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

d) Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).39

e) Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut

37 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, 1996, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

38 Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

39 Lihat Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

adalah demi kepentingannya (Pasal 1 angka 5 Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).40

f) Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).41

2. Batasan Usia Anak

Menyangkut masalah pengertian anak ini dan batas umurnya masih mempunyai ketidak seragaman pendapat, batas usia anak dapat dikelompokan yaitu “pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau dapat menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan anak tersebut.”42

Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi Hak-hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 yang menyebutkan anak merupakan orang berusia dibawah 18 tahun, kecuali yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.43

Sedangkan membicarakan batas umur dari anak menurut peraturan perundang-undangan juga memiliki perbedaan dari pembatasan usia anak ini didasari dari maksud dan tujuan dari masing-masing peraturan

perundang-40 Lihat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

41 Lihat Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

42 Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, hlm 14-15

43 Lihat Konvensi Hak-Hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990

undangan tersebut, untuk meletakkan batas usia seoarang anak ini meyebabkan pluralitas dalam menentukan batas usia seorang anak dimana diantaranya:

a. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

“Pasal 330 ayat (1) menyebutkan batas antara belum dewasa dengan usia telah dewasa yaitu 21 tahun, Kecuali anak tesebut telah kawin sebelum usianya 21 tahun atau karena pendewasaan. Pendewasaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 419 KUH Perdata. “Dengan melakukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan dewasa atau bolehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu”. Yang mana perlu atas anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengan surat-surat pernyataan dewasa yang diberikan oleh Presiden setelah mendengarkan nasehat dari Makamah Agung sebagaimana tersebut didalam Pasal 420 KUH Perdata.

Dari ketentuan yang tersebut pada Pasal 330 diatas dapat diketahui bahwa batasan umur anak merupakan mereka yang belum berumur 21 tahun, hal ini merupakan pembatasan yang jelas dan tegas disebutkan tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.

b. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara langsung tentang anak namun secara tersirat dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan “untuk melakukan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun haruslah mendapat izin dari orang tuanya”. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa

“perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyebutkan “bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melakukan pernikahan berada dibawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.”

Tentang kedewasaan ini, merupakan salah satu dari sekian faktor yang harus diperhatikan apabila hendak melakukan suatu perbuatan hukum. Masalah tidak akan timbul jika ternyata seorang anak yang belum dewasa masih berada dibawah pemeliharaan orang tuanya. Namun apabila sianak yang belum dewasa sudah tidak berada dibawah kekuasaan orang tuannya lagi maka segala perbuatan hukum sianak harus diwakilkan oleh seseorang sebagai pengganti orang tua si anak, atas hal tersebut maka diperlukan ketentuan-ketentuan hukum mengaturnya, terutama menempatkan seorang wali dalam hal pemeliharaan seorang anak.

3. Hak-Hak Anak

Landasan hukum yang digunakan dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak anak bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang disahkan tahun 1990 kemudian diserap ke dalam Undang-Undang no 23 tahun 2002. Berdasarkan sesuatu yang melekat pada diri anak tersebut yaitu hak yang harus dilindungi dan dijaga agar berkembang secara wajar.

Terdapat empat prinsip utama yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, prinsip-prinsip ini adalah yang kemudian diserap ke dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang disebutkan secara ringkas pada pasal 2.

Secara lebih rinci Prinsip-prinsip tersebut adalah:44 1. Prinsip non diskriminasi.

Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.

Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, yakni :

“Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah”. (Ayat 1). “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga”. (Ayat 2).

2. Prinsip yang terbaik bagi anak (Best interest of the child)

Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau

44 Supriyadi W. Eddyono, 2005, Pengantar Konvensi Hak Anak, ELSAM, Jakarta, hlm 2.

badan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).

3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (The rights to life, survival and development).

Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (Respect for the views of the child).

Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yaitu: Negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 diatur mengenai hak dan kewajiban anak yang tercantum dalam Pasal 4 s/d pasal 19. Secara lebih perinci hak-hak anak dalam UU Nomor 23 tahun 2002 adalah sebagai berikut:45

45 Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara

1. Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara