• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Gambaran Lokasi

Secara administratif Kelurahan Binong merupakan salah satu Kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Batununggal Kota Bandung. Dengan posisi tersebut, Kelurahan Binong memiliki tingkat aksesibilitas terhadap sistem sumber yang cukup baik dan lancar. Akses masyarakat terhadap pusat-pusat pemerintahan maupun pusat-pusat perdagangan dapat dijangkau dalam waktu antara 15-30 menit. Kondisi ini memberikan kemudahan bagi masyarakat baik untuk memperoleh berbagai bentuk informasi.

Selain itu, kemudahan-kemudahan lain yang mendukung posisi Kelurahan Binong adalah terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana umum. Salah satu prasarana umum terpenting yang dapat menunjang aktivitas masyarakat di kelurahan Binong adalah prasarana Jalan. Posisi Kelurahan Binong dikeliling oleh beberapa jalan protokol (utama) di Kota Bandung seperti ; JI. Kiaracondong di sebelah Timur, JI. Gatot Subroto di sebelah Utara, dan JI Soekamo Hatta di bagian Selatan. Berbagai aktivitas ekonomi yang berkembang di sepanjang jalan protokol tersebut memberikan berbagai alternatif pilihan bentuk aktivitas ekonomi yang dapat dikembangkan.

Secara geografis wilayah Kelurahan Binong terletak pada ketinggian 760 dpi dengan curah hujan 2400mm3 pertahun dan suhu harian rata-rat 28° C. Sedangkan secara topografi, wilayah kelurahan Binong merupakan dataran dengan luas wilayah 72,02 Ha.

Sebagian besar wilayah Kelurahan Binong merupakan wilayah pemukiman penduduk. Namun demikian terdapat beberapa bagian wilayahnya bukan merupakan pemukiman penduduk. Misalnya untuk kegiatan industri, pertanian maupun perikanan. Untuk lebih jelasnya mengenai alokasi pemanfaatan lahan terlihat pada tabel berikut :

Tabel. 2

Luas Wilayah Kelurahan Binong Menurut Penggunaannya

N0. Penggunaan Luas (Ha2)

1. Pemukiman Penduduk 58,9 ,

2. Perkantoran 3.1

3. Sekolah 1,6

4. Pertokoan 1,5

5. Fasilitas Umum 6.9

6. Pertanian (sawah pengairan) 1

7. Perikanan darat (tambak) 4

Sumber : Data Kelurahan Binong, Januari 2004

4.2. Kependudukan

4.2.1. Komposisi Penduduk

Berdasarkan data Demografi Kelurahan, sampai dengan bulan Oktober 2004, penduduk kelurahan Binong tercatat sebanyak 14.008 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 74,66 % (10.459 jiwa) diantaranya termasuk dalam kelompok penduduk produktif yaitu penduduk dengan kisaran usia antara 15 tahun s/d 65 tahun. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa tingkat tanggungan penduduk produktif terhadap penduduk non produktif termasuk dalam kategori cukup rendah, yaitu 34. Namun bila ditinjau berdasarkan pada kelompok penduduk usia kerja yang bekerja, maka rasio beban tanggungan menjadi cukup besar, yaitu 79.

Data tersebut juga menjelaskan bahwa dari 10.459 jiwa penduduk usia kerja, hanya 4.504 jiwa yang memiliki pekerjaan, sisanya termasuk dalam angkatan kerja yang menganggur. Dengan angka Reit Pengangguran yang mencapai 56,9 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di kelurahan Binong tergolong cukup tinggi, yaitu mencapai 56,9 %. Artinya dalam 100 penduduk usia kerja, terdapat 57 orang yang belum bekerja atau belum termanfaatkan secara penuh (untilized inadequately).

Lebih jelasnya, perhitungan tentang keadaan tersebut dapat dilihat pada tabel 3 :

27

Tabel. 3

Komposisi Penduduk Kelurahan Binong Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin N0 Komposisi Umur Jenis Kelamin Jumlah SR (%) L P 1. 0 - 12 bln 161 130 291 123,85 2. 13 bln - 4 th 445 492 937 90,45 3. 5 - 6 th 475 529 1.004 89,79 4. 7 - 12 th 786 813 1.599 96,68 5. 13-15 th 930 942 1.872 98,75 6. 16 - 18 th 1.227 1.250 2.477 98,16 7. 19 - 25 th 690 713 1.403 96,77 8. 26 - 35 th 655 572 1.227 114,51 9. 36 - 45 th 642 753 1.395 85,26 10. 46- 50 th 342 293 635 117,72 11. 51 - 60 th 234 251 485 93,23 12. 61 - 75 th 140 200 340 70,00 13 76 th ke atas 122 158 280 77,22 Jumlah 6849 7159 14.008 95,34

Sumber : Data Kelurahan Binong, Januari 2004

Dari tabel tersebut terlihat bahwa Komposisi jumlah penduduk laki-laki sebanyak 6.849 jiwa (48,89%) dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 7.159 jiwa (51,11%) dengan perbandingan sex ratio sebesar 95,34. Hal ini menunjukan bahwa selisih minus (kurang) jumlah penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan hanya sebesar 4,66. Artinya dalam setiap 100 penduduk, jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit 4 jiwa dari jumlah penduduk perempuan. Kondisi ini semakin jelas apabila dilihat dari piramida penduduk berikut ini :

Gambar. 2

Piramida Penduduk Kelurahan Binong 161 130 445 492 475 529 786 813 930 942 1.227 1.250 690 713 655 572 642 753 342 293 234 251 140 200 122 158 0 - 12 bln 13 bln - 4 th 5 - 6 th 7 - 12 th 13-15 th 16 - 18 th 19 - 25 th 26 - 35 th 46- 50 th 51 - 60 th 61 - 75 th 76 th ke atas Perempuan Laki-Laki

Bila ditinjau dari sisi jumlah angkatan kerja, dari gambar 1 terlihat bahwa secara umum perbandingan jumlah penduduk usia kerja berdasarkan jenis kelamin relatif berimbang. Perbedaan hanya nampak pada penduduk usia kerja yang berada pada kisaran usia antara 46-50 tahun. Pada kelompok usia ini terlihat bahwa kelompok penduduk berjenis kelamin perempuan relatif lebih besar dari laki-laki.

4.2.2. Kualitas Penduduk

Secara umum, kualitas penduduk didefinisikan sebagai kondisi penduduk dalam aspek fisik dan non fisik serta ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang merupakan dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang berbudaya, berkepribadian dan layak. ( No. 10 Th 1992). Melihat ruang lingkup analisa yang diperlukan untuk memahami kondisi kualitas penduduk berdasarkan definisi ini, definisi ini lebih tepat digunakan pada tataran teoritis. Sementara untuk pada tataran praktis, definisi ini sangat sulit diterapkan karena kompleksnya aspek yang perlu dikaji, terutama aspek biologis, psikologis dan ideologis.

Pada tataran praktis, dewasa ini aspek kependudukan yang umum digunakan untuk mengukur kualitas penduduk suatu wilayah adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah tingkat pendidikan formal. Sementara pendidikan non formal yang bersifat teknis atau ideologis tidak terlalu di perhatikan. Pertimbangan ini dapat dimengerti karena untuk analisa kualitas penduduk berdasarkan pendidikan non formal ini memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap berbagai dimensi sosiologis dalam masyarakat. Hal ini akan sulit diterapkan pada konteks masyarakat yang tidak memiliki akar budaya yang kuat.

Tinjauan kualitas penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dimaksudkan untuk membedakan antara penduduk yang masih menjalani proses pendidikan dengan yang sedang menjalankan proses pendidikan. Dari data yang ada diketahui bahwa dari jumlah penduduk sebanyak 10.459 jiwa penduduk dalam usia kerja,

29

terdapat 7005 jiwa yang pemah mengenyam pendidikan formal sebagaimana yang disajikan pada tabel 4 :

Tabel. 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

N0. Pendidikan Jumlah (Jiwa)

1. Tidak tamat SD (sekolah) 1.309

2. Sekolah Dasar (SD) 2.000

3. Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) 1.182

4. Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) 2.100

5. Diploma (D1-D3) 400

6. Strata 1 (sarjana) 14

Sumber : Data Kelurahan Binong, Januari2004

Mengacu pada standar pendidikan minimal yang umumnya dipersyaratkan dunia kerja dewasa ini, yaitu pendidikan setingkat SLTA atau lebih, maka berdasarkan data yang tersaji pada kualitas penduduk di Kelurahan Binong dapat dikategorikan kurang memadai. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa dari total penduduk yang pernah mengenyam pendidikan formal, hanya 35,89% atau sekitar 2.514 orang penduduk yang mencapai tingkat pendidikan setingkat SLTA atau lebih. Selebihnya, sebanyak 1.182 (16,87%) orang berpendidikan SLTP, 2.000 (28,55%) orang berpendidikan setingkat SD dan 1.309 (18,69%) orang berpendidikan SD tetapi tidak sampai menamatkannya. Dengan kondisi tersebut, peluang dan kesempatan penduduk Kelurahan Binong untuk memasuki dunia kerja menjadi semakin sempit. Untuk itu diperlukan upaya-upoaya yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sehingga mampu bersaing dalam bursa kerja.

Acuan standar pendidikan minimal tersebut, selain memperkecil kesempatan kerja juga mempengaruhi jenis dan sektor pekerjaan. Sebagaimana terjadi pada penduduk Kelurahan Binong, akibat rendahnya kualitas penduduk, pada umumnya mereka terpaksa bekerja pada sektor informal. Pekerjaan pada sektor informal umumnya lebih menuntut pekerja yang memiliki

tingkat mobilitas dibandingkan tingkat ketrampilan yang tinggi. Hal ini dikarenakan ikatan kerja pada sektor informal cenderung tidak stabil, sehingga untuk mampu bertahan dalam waktu yang relatif lama, seseorang harus memiliki kualifikasi tersebut.

4.3. Jenis Pekerjaan Penduduk

Sistem ekonomi yang berkembang di Kelurahan Binong sangat dipengaruhi oleh letak wilayahnya yang berada di salah satu kawasan perdagangan di Kota Bandung. Sebagai kawasan perdagangan, beragam aktivitas ekonomi berkembang diwilayah tersebut mulai dari aktivitas ekonomi formal sampai dengan aktivitas ekonomi informal. Aktivitas-aktivitas tersebut berkembang atas inisiatif mereka sendiri sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki, baik skill maupun permodalan. Sementara peran pemerintah, dalam hal ini kelurahan terhadap perkembangan aktivitas ekonomi yang dikembangkan oleh masyarakat tersebut terbatas pada proses pengurusan perizinan.

Secara besaran mata pencaharian pokok penduduk di Kelurahan Binong dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) sektor kelompok usaha, yaitu pemerintahan, perdagangan, transportasi dan jasa keterampilan. Lebih jelas mengenai komposisi mata pencaharian ini dpat dilihat pada tabel berikut :

Tabel. 5

Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kelurahan Binong Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Penduduk Tahun2004

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah

Jiwa % 1 Pemerintahan 1.514 33,60

2 Perdagangan 742 18.48

3 Jasa Transportasi dan Keterampilan 2.240 49,72

Jumlah 4.505 100

Sumber : Data Kelurahan Binong, Januari 2004

Dari komposisi tersebut terlihat bahwa sektor pemerintahan merupakan sektor yang paling besar menyerap penduduk yang berada pada usia kerja, yaitu mencapai 1.462 orang. Penyebaran sektor ini terbagi atas golongan pekerjaan sebagai guru sebanyak 86 orang, PNS/ABRI termasuk pensiunan sebanyak 1.367 orang, bidan dan mantri kesehatan sebanyak 9 orang. Sektor perdagangan dan jasa informal

31

sebanyak 937 orang, Termasuk dalam sektor ini adalah penduduk yang bekerja atau memiliki mata pencaharian sebagai ; pedagang warung, kios, toko atau pedagang harian dipasar serta karyawan disektor industri dan BUMN/BUMD. Selebihnya sebanyak 2.106 adalah penduduk yang memiliki mata pencaharian pokok pada sektor transportasi dan jasa keterampilan seperti tukang becak, tukang ojek, supir angkutan kota, penjahit, buruh bangunan dan jasa persewaan.

Pada sektor industri, di wilayah Kelurahan Binong terdapat 85 KK anggota masyarakat yang mengembangkan usaha industri rajutan, dua diantaranya termasuk kategori dengan skala yang cukup besar. Walaupun usaha ini terletak di wilayah Kelurahan Binong, kontribusinya terhadap kondisi perekonomian masyarakat Kelurahan Binong masih terasa kurang optimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan baik secara ekonomi maupun sosial. Selain karena pada umumnya para pengusaha tersebut bukan warga asli Kelurahan Binong, juga karena usaha ini tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja dari kelurahan tersebut. Sebagian besar tenaga kerjanya berasal dari luar wilayah Kelurahan Binong.

Sistem tata niaga masyarakat Kelurahan Binong umumnya sangat bergantung pada lingkungan sekitar dan aktivitas pasar. Artinya baik hasil-hasil produksi maupun kebutuhan barang hasil industri yang diperdagangkan ke pasar dan dan pusat perdagangan yang berada di Kota Bandung. Selain pasar tradisional (pasar Binong Jati), kelurahan Binong tidak memiliki institusi sosial lain yang dapat menjadi wadah pengembangan sistem tata niaga mandiri bagi warganya melalui aktivitas kelompok-kelompok usaha ekonomi dan koperasi. Demikian halnya dengan sistem input keperluan aktivitas ekonomi masyarakat diperoleh dari lingkungan dan aktivitas pasar di luar komunitas.

Untuk melihat keterkaitan ekonomi lokal dengan kegiatan ekonomi yang lebih luas, pada Kelurahan Binong relatif sulit. Hal ini dikarenakan sistem ekonomi yang tumbuh lebih berdasarkan pada kesempatan dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu usaha yang dilakukan masih bersifat ekonomi sub-sistem dan belum menjadi ekonomi basis. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa sebagian besar dari usaha masyarakat yang berkembang, merupakan usaha keluarga yang

dilakukan secara turun temurun dengan keahlian keluarga, dengan bahan input diambil dari luar wilayah kelurahan, kecuali tenaga kerja.

4.4. Struktur Komunitas

Berbicara mengenai struktur komunitas maka hal yang pertama, harus dipahami adalah gejala pelapisan sosial masyarakat. Hal ini merupakan fenomena yang penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat lokal membangun suatu komunitas satu dengan lainnya. Fenomena tersebut timbul karena adanya penghargaan atas norma-norma dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat. Sejauh mana peran anggota masyarakat dalam implementasi nilai-nilai tersebut akan memunculkan pelapisan sosial dalam masyarakat. Namun demikian ada juga sekelompok masyarakat yang pelapisan sosialnya tidak didasari hal itu.

Struktur sosial dalam kehidupan masyarakat di Kelurahan Binong relatif terbuka. Artinya sistem pelapisan sosial umumnya dibentuk atas dasar perannya terhadap norma dan nilai yang berlaku. Seseorang ditempatkan pada lapisan tertentu tidak semata-mata dilihat dari kepemilikan harta, tetapi lebih dilihat dari peran-peran yang dijalankannya dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Bapak Rahmat Duha (tokoh masyarakat dan pejabat lurah) sebagai berikut : "

sistem pelapisan masyarakat relatif terbuka dan masyarakat hanya melihat ketokohan seseorang dari peran yang ditampilkan dan keterlibatannya dalam berbagai aktivitas masyarakat, bukan pada harta atau kekayaan dan jabatan yang mereka miliki, seperti sebutan tokoh masyarakat., ustazd, pegawai dan masyarakat biasa". Sistem pelapisan sosial masyarakat Kelurahan Binong dapat diamati melalui proses simbolik yang diberikan masyarakat.

Atas dasar itu, secara umum masyarakat di Kelurahan Binong di kelompokkan kedalam 3 lapisan masyarakat. Lapisan pertama adalah kelompok tokoh masyarakat dan tokoh agama. Ketokohan mereka dapat dikatakan sebagai ketokohan yang bersifat tradisional. Dikatakan demikian karena adalah suatu kebiasaan bangsa Indonesia diwilayah manapun untuk menokohkan tokoh masyarakat dan tokoh agama karena kepedulian mereka pada kesejahteraan masyarakat dan pengetahuan

33

mereka yang dianggap lebih tinggi. Demikian pula halnya yang terjadi di masyarakat Kelurahan Binong.

Lapisan kedua ditempati oleh tokoh formal. Tokoh formal tersebut adalah pejabat lurah, penokohan pejabat lurah sebagai tokoh masyarakat di Kelurahan Binong ini bukan didasari oleh jabatannya, melainkan kepeduliannya pada kemajuan wilayah. Dari wawancara dengan beberapa warga dan pengakuan pejabat lurah itu sendiri, bahwa pejabat lurah di Kelurahan Binong ini bukanlah penduduk asli setempat, bahkan tempat tinggalnyapun bukan di wilayah Kelurahan Binong, melainkan di Kelurahan Arcamanik yang letaknya sekitar 8 Km dari Kelurahan Binong. Namun karena inisiatif-inisiatif yang dikembangkan dan diupayakannya benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat, seperti pembuatan sumur resapan dan perbaikan saluran air yang dikerjakan berdasarkan swadaya dan swadana masyarakat, menyebabkan ia ditokohkan oleh warga setempat. Kotokohannya bukan karena jabatan yang didudukinya melainkan karena perannya dalam masyarakat setempat, jabatan sebagai lurah tidak hanya dimanfaatkan sebagai fasilitas bagi pendekatan kepada masyarakat shingga mampu berbaur didalamnya.

Lapisan ketiga adalah kelompok masyarakat biasa, meskipun seseorang memiliki harta dan keilmuan apabila masyarakat tidak melekatkan simbolitas, maka tidak akan masuk dalam ketiga lapisan tersebut. Umumnya mereka yang memiliki harta dan suka membantu warga, dimasukkan kedalam kelompok dermawan. Demikian pula dengan yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada label dibawah ini :

Gambar. 3

Model Tingkatan Sistem Pelapisan Masyarakat di Kelurahan Binong

Sumber : Hasil Obeservasi di Kelurahan Binong, April 2005

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, penetapan seseorang masuk dalam sistem tingkatan pelapisan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan kharismatik dan ketertibatan seseorang dalam masalah sosial kemasyarakatan serta adanya pengakuan dari masyarakat. Demikian halnya dengan sistem kepemimpinan informal. Kepemimpinan informal biasanya dilekatkan masyarakat pada kelompok pertama dengan pertimbangan yang lebih melihat unsur karismatik dan aspek kepekaan mereka terhadap kondisi yeng berhubungan dengan kemasyarakatan. Sedangkan kepemimpinan formal dilekatkan oleh masyarakat pada kelompok kedua, dengan melihat unsur dukungan, kesediaan bekerja dan dukungan dari masyarakat. Karena kepemimpinan formal dan informal memiliki mekanisme tersendiri, jarang terjadi adanya rangkap kepemimpinan, bahkan seseorang yang ingin menjadi pemimpin formal hendaknya memiliki dukungan dari unsur pemimpin informal.

Keberfungsian kepemimpinan formal dan informal dapat dilihat dari aktivitasnya dalam penanganan permasalahan sosial masyarakat dan pemerintahan. Pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan, unsur pemimpin formal dan informal bekerjasama membangun kepemimpinannya melalui kegiatan musyawarah untuk menetapkan suatu keputusan yang akan diambil. Sedangkan untuk kasus-kasus sosial kemasyarakatan, pemimpin informal lebih utama dalam menyelesaikannya, apabila tidak terselesaikan akan dibawa pada tingkat kelurahan. Jejaring sosial yang ada dalam membangun kepemimpinan formal dan informal adalah melalui Dewan Kelurahan.

I

II

III

Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama

Pejabat Formal

35

4.5. Kelembagaan Dan Organisasi Sosial

Kelembagaan sosial atau kelembagaan kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma atau segala tindakan yang berkisar pada satu kebutuhan pokok manusia. Himpunan norma tersebut ada dalam segala tindakan serta mengatur manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian halnya dengan masyarakat kelurahan Binong. Sistem norma yang dibangun masih merupakan kebiasaan yang turun temurun. Artinya pola perilaku yang menjadi standar adalah pola perilaku yang menurut kebanyakan orang tidak menyimpang atau salah atau bertentangan dengan norma yang ada.

Sistem mekanisme kontrol sosial terhadap masyarakat secara adat khusus tidak ada. Sistem kontrol sosial lebih dilandasi oleh faktor religi yang dianut masing-masing anggota masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Bapak Defriatna sebagai berikut " Sistem pengawasan sosial secara umum diserahkan pada mekanisme yang berkembang berdasarkan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sistem nilai ini cenderung lebih didasarkan pada ketentuan agama, khususnya agama Islam, sedangkan terkait dengan perilaku menyimpang yang berindikasi sebagai tindakan kriminal, sistem kontrolnya lebih dipercayakan pada sistem hukum formal di Indonesia. Artinya diselesaikan secara hukum".

Berkenaan dengan kelompok sosial umumnya lebih bersifat fungsional yang dibangun atas dasar kebutuhan masyarakat dan sebagai lembaga pengganti dari ketidakberfungsian keluarga dan pemerintah. Oleh karena itu fungsi kelompok sosial lebih banyak bergerak dalam upaya peningkatan ekonomi dan kesejahteraan keluarga serta pelaksanaan pernerintahan dan pembangunan.

Kelompok sosial yang ada pada umumnya merupakan kelompok sosial informal yang dikembangkan berdasarkan kepentingan atau kebutuhan masyarakat. Namun ada juga sebagian kelompok sosial yang merupakan kelompok kemasyarakatan yang keanggotaannya tidak dibatasi secara kultural. Kelompok sosial ini dapat dikatakan sudah terorganisir dengan baik sehingga telah memiliki identitas kolektif yang jelas, memiliki struktur relatif kompleks dan biasanya masih dilekatkan pada tata nilai dan aturan main yang jelas. Umumnya mereka berada pada wiiayah permasalahan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan kelompok

sosial umumnya dibangun atas dasar ketertarikan dan sentimen kelompok yang tumbuh dalam upaya menagatasi permasalahan yang relatif sama antar sesama. Sistem komunikasi yang dibangun pada kelompok-kelompok tersebut masih berbentuk komunikasi informal, ringan (pada kasus yang ada) dan temporer.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi dan posisi kelompok-kelompok sosial yang ada di Kelurahan binong, secara umum dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 6 Model Organisasi

Dan Kelembagaan Sosial di Kelurahan Binong Tahun 2004 No. Jenis Kelembagaan Sosial Kategori Sifat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Dewan Kelurahan RT/RW UP2K PKK

Kelompok Dasa Wisma Sinoman Rukun Kematian

Remaja Masjid Kelompok Arisan

Koperasi Simpan Pinjam Koperasi Non KUD

Organisasi Sosial (Yayasan) Beas Perelek Sosial Ekonomi Sosial Sosial Sosial Sosial Sosial Ekonomi Ekonomi Sosial Sosial Formal Informal Formal Formal Informal Informal Informal Formal Formal Formal Informal

V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN