• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan pengrajin rajutan melalui penguatan kelompok swadaya masyarakat (KSM) bagi pengembangan aktivitas ekonomi masyarakat: kasus pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberdayaan pengrajin rajutan melalui penguatan kelompok swadaya masyarakat (KSM) bagi pengembangan aktivitas ekonomi masyarakat: kasus pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung"

Copied!
260
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN PENGRAJIN RAJUTAN

MELALUI PENGUATAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)

BAGI PENGEMBANGAN AKTIVITAS EKONOMI MASYARAKAT

(Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung)

ZAID LAKONI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul

Pemberdayaan Pengrajin Rajutan Melalui Penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Bagi Pengembangan Aktivitas Ekonomi Masyarakat (Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Mei 2009

(3)

ABSTRACT

ZAID LAKONI , 2009. The Empowerment of Mesh Workers Though the Empowerment of the Group Of Self Supporting People (Kelompok Swadaya Mandiri) for the Development of the People’s Economic Activities (The Case of People Empowerment) in the Village of Binong, Subdistrict of Batununggal City of Bandung). Guided by DR. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA as the chairman and Mu’man Nuryana, MSc, Ph.D. as the member of the advisor members.

Self Supporting Group (KSM) is the form of development of social organization based on the society that was established to bridge between the management of Poor Society Empowerment Program (P2KP) and the member of the society of Productive Economic Business people in micro scale (Usaha Kecil Mikro). The existency of this KSM is expected to be able to decrease the poverty level of the people on the region of the empowerment of P2KP Program. In this research it is learn how is the impact of the KSM empowering in the Village of Binong Subdistrict Batununggal City of Bandung Province of West Java upon the empowerment of the mesh workers community for the development of the people economics. The impact of the KSM empowerment is learn through qualitative approach (understanding, perspective, and opinion) that yields descriptive data, that is such as the picture of of the program implementation in the field sistematically, and factually. The data was obtained through the result of studying and interviewing that was evaluated through Focus Group Discsusion forum.

The optimalization role and function of KSM was influenced by consistencies of the management and and the member of the KSM it self in running its role and function in the mesh workers community. The weakness of understanding and the low of sense of responsibility of the management upon the common interrest caused the KSM not able to optimalize its role and function that may not purpose the effort of increasing the people economic capacity as general.

(4)

ZAID LAKONI , 2009. Pemberdayaan Pengrajin Rajutan Melalui Penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) bagi Pengembangan Aktivitas Ekonomi Masyarakat (Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung). Dibimbing oleh DR. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA sebagai ketua dan Mu’Man Nuryana, MSc, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami penanganan kemiskinan berbasis kelembagaan lokal yang berbeda dengan penanganan kemiskinanan yang dilakukan sebelumnya. Penelitian ini difokuskan pada aspek input, proses, dan hasil capaian program. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dari para informan di lapangan yang menghasilkan data deskriptif, yakni gambaran implementasi program di lapangan secara sistematis dan faktual. Penentuan informan dilakukan atas dasar penilaian bahwa para informan mengetahui secara baik pemasalahan yang sedang diteliti. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah pengurus lembaga lokal, ketua dan anggota KSM, pemuka masyarakat, dan perangkat Kelurahan setempat.

Hasil penelitian menunjukkan, meskipun lembaga lokal (masyarakat) telah menunjukkan kinerjannya (pada awal implementasi program), dimana telah mampu melakukan pembangunan sejumlah prasarana desa melalui dana hibah program ditambah swadaya masyarakat setempat, menyalurkan dana kepada KSM, dan telah mampu menggulirkan beberapa kali, tetapi jika dicermati (setelah program menginjak tahun kedua), dapat dinyatakan belum/tidak terjadi proses pemberdayaan (khususnya) bagi warga miskin, karena: (a) tidak terjadi transfer daya kepada warga miskin, sebab program lebih dimanfaatkan oleh kelompok yang mampu; (b) proses belajar sosial tidak berlangsung, sebab program lebih bernuansa economic; dan (c) lembaga lokal masyarakat lebih berperan sebagai penyalur kredit dari pada lembaga pemberdayaan. Terkait dengan itu, saran ditekankan pada kualitas pelaku program (khususnya di lapangan), yaitu: (a) perlu mempunyai pemahaman secara baik terhadap konsep P2KP; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasi program secara benar yang lebih diarahkan pada penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkan masalah secara mandiri; (c) perlunya pendampingan secara berkelanjutan terhadap lembaga lokal masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sehingga lembaga lokal masyarakat tersebut dipandang mampu melakukan penanganan masalah (khususnya) kemiskinan warganya secara mandiri.

(5)

Perbedaan karakteristik, kemampuan manajemen dan koneksitas terhadap sistem sumber yang lemah menyebabkan para pengrajin tidak mampu mengoptimalkan bantuan yang diberikan melalui KSM bagi peningkatan kapasitas ekonominya. Kondisi ini tidak semata disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh para pengrajin, tetapi juga akibat kakunya mekanisme penyarluran bantuan yang dikelola oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Mekanisme permohonan dan pengembalian bantuan yang disertai analisa kesempatan dan peluang yang dimiliki masyarakat pelaku usaha ekonomi produktif menyebabkan pemanfaatan bantuan menjadi tidak efektif.

(6)

© Hak Cipta milik IPB tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan

kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PEMBERDAYAAN PENGRAJIN RAJUTAN

MELALUI PENGUATAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)

BAGI PENGEMBANGAN AKTIVITAS EKONOMI MASYARAKAT

(Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung)

ZAID LAKONI

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tugas Akhir : Pemberdayaan Pengrajin Rajutan Melalui Penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Bagi Pengembangan Aktivitas Ekonomi Masyarakat

(Kasus pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung)

Nama : Zaid Lakoni

NRP : A 154040015

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Nurmala. K Panjaitan, MS., DEA Ketua

Mu’man Nuryana, MSc.,Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan

Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) ini sebagaimana mestinya.

Kajian ini terwujud berkat dukungan berbagai pihak yang selayaknya pada kesempatan ini penulis sampaikan banyak terima kasih kepada yang terhomat : 1. Bapak Mu’Man Nuryana, PhD dan Ibu Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA,

selaku komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati membimbing penulis dan tidak henti-hentinya memberikan dorongan untuk menyelesaikan tugas ini.

2. Bapak M. Cholis, SH., M.Si selaku Mantan Inspektur Jenderal Departemen Sosial RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)

3. Bapak Drs. Maman Supriatman, selaku Inspektur Jenderal Departemen Sosial RI yang telah memberikan waktu dan kesempatan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)

4. Para staf Pengajar Sekolah Pascasarjana Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Fakultras Pertanian IPB.

5. Bapak Drs. Ahmad Duha dan Bapak Maman Nurjaman, selaku Lurah Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota bandung yang telah mengizinkan penulis melaksanakan penelitian di wilayah Kelurahan Binong.

6. Rekan-rekan mahasiswa Program MPM kelas Bandung Angkatan Ke-II, atas dukungan dan motivasinya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam kajian ini masih banyak terdapat kekurangan, karenanya penulis mengharapkan sumbang pemikiran konstruktif untuk perbaikan karya ini. Semoga Kajian Pengembangan Masyarakat ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan komunitas pengrajin rajutan serta pihak-pihak yang peduli pada pengembangan masyarakat.

Bogor, Mei 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Muara Aman Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada tanggal 06 Januari 1970, anak ke 2 dari 5 bersaudara dari pasangan Zainal Arifin Idris dan Zainuba. Penulis menyelesaikan pendidikan pada SD Negeri 12 tahun 1983 di Kotamadya Bengkulu. Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat pertama di lulus SMP Negeri 2 di Kotamadya Bengkulu. Tahun 1990 penulis lulus SMA Negeri Conggeang di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1991, penulis diterima di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung dan menamatkannya pada tahun 1997.

Pada tahun1999 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen Sosial RI dan ditempatkan di Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya, per-bulan Maret tahun 2000, penulis ditempatkan/ dipindahkan pada salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Sosial RI yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya pada Panti Sosial Tresna Werdha ”Gau Mabaji” di Kabupaten Gowa. Pada tanggal 6 April tahun 2000 penulis menikah dengan Seranti Gaya, S.Pt. \dari pernikahan tersebut penulis dikarunia sepasang putera dan puteri, yaitu Deujannah Pascalia Fitriani yang lahir pada tanggal 02 Januari tahun 2001 dan Dewa Auditama Lakoni yang lahir pada tanggal 09 November 2006.

(12)

xi

Halaman

Prakata ... Riwayat Hidup ... Daftar isi ... Daftar Tabel ... Daftar Gambar ...

ix x xi xiv xv

II. PENDAHULUAN

1.1.

1.2.

1.3.

Latar Belakang ...

Rumusan Masalah ...

Tujuan Dan Kegunaan ... 1

4

5

II. TINJAUAN TEORITIK

2.1. Tinjauan Konseptual

2.1.1. Kelompok ...

2.1.2. Pemberdayaan ...

2.1.3. Pengembangan Masyarakat ...

2.1.4. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ...

7

10

12

14

2.2. Kerangka Pemikiran ... 17

III. METODOLOGI

3.1.

3.2.

Pendekatan dan Metode Kajian ...

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

20

3.3. Pengumpulan dan Analisa Data

3.3.1. Metode Pengumpulan Data ...

3.3.2. Sumber Data ...

3.3.3. Pengolahan dan Analisis Data ... 21

21

22

3.4. Metode Penyusunan Rencana Program ... 23

IV. PETA SOSIAL KELURAHAN BINONG

(13)

xii

4.2. Kependudukan

4.2.1. Kependudukan ...

4.2.2. Kualitas Penduduk ... 26

28

4.3.

4.4.

5.5.

Jenis Pekerjaan Penduduk ...

Struktur Komunitas ...

Kelembagaan dan Organisasi Sosial ... 30

32

35

V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN BINONG

5.1. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

5.1.1. Deskripsi Kegiatan ...

5.1.2. Penerapan Program Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Binong Kota Bandung ...

5.1.3. Pengembangan Ekonomi Lokal ...

5.1.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ... 37

41

43

44

5.2. Program Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Melalui Posyandu

5.2.1. Deskripsi Kegiatan ...

5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal ...

5.2.3. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ... 46

48

49

5.3. Masalah Kajian ... 50

VI. ANALISIS KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)

6.1. Pembentukan Kelompok Berbasis Komunitas

6.1.1. Kepemimpinan ...

6.1.2. Dana Komunitas ...

6.1.3. Sumber Daya material ...

6.1.4. Pengetahuan Komunitas ...

6.1.5. Proses Pengambilan Keputusan ...

6.1.6. Tekhnologi Komunitas ...

6.1.7. Organisasi Komunitas ... 54

55

55

56

56

57

(14)

xiii

6.2.2. Karakteristik KSM “Damar Suci” ... 6.2.3. Dinamika Internal KSM “Damar Suci” ...

59

61

6.3. Identifikasi Potensi dan Permasalahan Kelompok Swadaya Masyarakat

6.3.1. Identifikasi Potensi Kelompok Swadaya Masyarakat

6.3.2.

Identifikasi Permasalahan Kelompok Swadaya Masyarakat

65

66

VII. PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM PENGUATAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT BERBASIS KOMUNITAS

7.1. Latar Belakang ... 74

7.2. Analisis Stakeholders ... 75

7.2.1 Badan Keswadayaan Masyarakat ...

7.2.2 Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (POJK) ...

7.2.3 Pemerintah (Kelurahan) ... ...

7.2.4 Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) ...

7.2.5 Relawan Pendamping ...

7.4.1. LSM, Perguruan Tinggi, Pengusaha, Perbankan, Dinas terkait ...

7.4.2. Kelompok Swadaya masyarakat (KSM) ... 76

76

77

77

77

78

79

7.3. Penggalian Alternatif Pemecahan Masalah ... 78

7.4. Program Aksi ... 81

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

8.1. Kesimpulan ... 87

8.2. Rekomendasi Kebijakan ... 89

DAFTAR PUSTAKA

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rekapitulasi Pengumpulan Data Rencana Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota

Bandung ... 22

2. Luas Wilayah Kelurahan Binong Menurut Penggunaannya ... 26

3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ... 27

4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 29

5. Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kelurahan Binong Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Tahun 2004 ... 30

6. Model Organisasi dan kelembagaan Sosial di Kelurahan Binong ... 36

7. Aspek Organisasi KSM “ Damar Suci” ... 59

8.

Aspek Administrasi KSM “ Damar Suci” ...

...

60

9.

Aspek Permodalan KSM “ Damar Suci” ...

...

60

10.

Aspek Usaha produktif KSM “ Damar Suci” ...

...

61

11.

Peta Masalah ...

73
(16)

xv

Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 19

2. Piramida Penduduk Kelurahan Binong ... 27

3. Model Tingkatan Sistem Pelapisan Masyarakat di Kelurahan Binong ... 34

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 telah meningkatkan

angka kemiskinan di Indonesia, dari 25,9 juta (17,7%) pada tahun 1993

menjadi 129,6 juta atau 66,3% dari jumlah penduduk pada tahun 1999

(BPS, 1999). Peningkatan ini tidak hanya terjadi di pedesaan, tetapi juga

terjadi di daerah perkotaan di Indonesia. Selain sebagai dampak krisis

ekonomi, hal ini juga akibat meningkatnya arus urbanisasi yang disertai

dengan membanjirnya migrasi penduduk miskin dari daerah pedesaan, baik

untuk mencari pekerjaan maupun hanya sekedar mengadu nasib. Kondisi

ini menggambarkan kompleksitas masalah kemiskinan yang terjadi dalam

kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan.

Masalah kemiskinan di perkotaan mempunyai korelasi yang cukup

signifikan dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang dihadapi oleh

masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan gizi, perumahan dan

lingkungan serta ketersediaan kesempatan bekerja dan berusaha.

Permasalahan tersebut juga mempengaruhi ketidakpastian hidup bagi

komunitas miskin yang didefinisikan oleh Moser (1996) sebagai

ketidakamanan dan ketidakpastian dalam kesejahteraan individu, rumah

tangga dan masyarakat yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan

mereka.

Terkait dengan ketersediaan kesempatan bekerja dan berusaha,

berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun pihak

swasta guna memberikan peluang dan akses bagi masyarakat dalam

mengembangkan aktivitas usaha yang telah mereka rintis. Sejalan dengan

perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada rakyat (people

centered devolopment), upaya-upaya yang dikembangkan tersebut

diarahkan pada pengembangan program pembangunan yang berakar pada

potensi dan sumber daya lokal. Salah satunya diwujudkan melalui

pengembangan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

(P2KP).

Program P2KP merupakan program bantuan stimulan yang berbentuk

(18)

dan kapabilitas masyarakat miskin perkotaan sedemikian rupa mereka

mampu memenuhi kebutuhan hidup baik secara ekonomi maupun sosial.

Untuk kepentingan tersebut, program ini dibagi ke dalam dua kelompok

pengembangan yaitu kelompok fisik dan kelompok ekonomi. Kelompok fisik

ditujukan untuk menyediakan sarana dan prasarana fisik sebagai fasilitas

penunjang kegiatan ekonomi dan memperkuat struktur sosial masyarakat.

Sementara kelompok ekonomi lebih diarahkan pada upaya meningkatkan

kapasitas masyarakat dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas ekonomi

yang berkembang dimasyarakat. Mekanisme penyaluran dana bantuan

P2KP dilakukan melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang

dibentuk oleh masyarakat. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat

(KSM) dalam P2KP dilakukan melalui pendekatan partisipatif, artinya

inisiatif dan alasan penentuan dan pemilihan anggota yang akan menjadi

anggota kelompok ditentukan oleh masyarakat. KSM fisik dibentuk

berdasarkan wilayah administratif di kelurahan seperti tingkat RT dan RW,

sedangkan KSM ekonomi dibentuk berdasarkan kelompok usaha ekonomis

produktif (UEP) masyarakat yang sejenis.

Disadari bahwa keberhasilan suatu program pengembangan

masyarakat, sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan publik yang

disusun untuk mendukung program, prosedur atau mekanisme

pelaksanaan dan kesiapan masyarakat menghadapi perubahan yang

timbul sebagai implikasi pelaksanaan program itu sendiri. Tidak sinkronnya

aspek-aspek tersebut dapat berakibat pada kegagalan program secara

keseluruhan. Demikian juga dengan P2KP, sepanjang sejarah pelaksanaan

selama kurang lebih 6 tahun (P2KP dillaksanakan mulai tahun 2000),

belum ada data resmi yang menggambarkan perkembangan Usaha

Ekonomis Produktif (UEP) yang telah mendapat sentuhan P2KP selama

kurun waktu pelaksanaanya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di

Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung, kegagalan

program P2KP menurut hemat pengkaji terutama disebabkan oleh

ketidaksiapan masyarakat dan mekanisme penyaluran bantuan usaha yang

belum transparan.

Hasil rekapitulasi penyaluran dana bantuan P2KP di Kelurahan

Binong memperlihatkan bahwa sebagian besar, yaitu sekitar 54,57 % atau

(19)

3

dialokasikan, diserap oleh sektor usaha ekonomis produktif masyarakat

yang bergerak dibidang usaha rajutan. Data yang diperoleh dari pengelola

program P2KP di Kelurahan Binong menunjukkan bahwa dari 344 KK yang

dijadikan sasaran program, 185 KK diantaranya adalah pengrajin rajutan.

Hal ini memperlihatkan bahwa penyaluran bantuan usaha lebih

diprioritaskan pada kegiatan UEP yang memiliki kapasitas daya saing

(competitive Advantage) sehingga lebih berpeluang untuk dikembangkan

pada level bisnis yang lebih tinggi. Prioritas ini mengindikasikan bahwa

selain aspek pertumbuhan, program P2KP juga mempertimbangkan aspek

keberlanjutan (sustainability), baik usaha itu sendiri maupun perputaran

dana program P2KP, sementara aspek sosial budaya yang terintegrasi

didalamnya belum dijadikan pertimbangan bagi pemberian bantuan.

Ditinjau dari sisi kuantitas keterlibatan masyarakat, P2KP di

Kelurahan Binong dapat dikategorikan cukup berhasil. Hal ini nampak dari

meningkatnya jumlah anggota masyarakat yang ikut berpartisipasi atau

memanfaatkan bantuan program. Pada tahap awal, program hanya mampu

membangun kelembagaan dalam bentuk KSM-KSM sebanyak 10 KSM,

saat ini baik kelembagaan maupun individu yang ikut berpartisipasi telah

melibatkan 93 KSM atau 344 KK. Namun demikian, keberhasilan ini tidak

diiringi oleh peningkatan kualitas usaha yang dikembangkan. Walaupun

terlihat ada beberapa indikasi peningkatan kualitas dalam manejemen

usaha seperti semakin luasnya jaringan pemasaran, hal ini belum dapat

mewakili gambaran keberhasilan program secara keseluruhan. Pandangan

ini terutama karena peningkatan tersebut hanya terjadi pada beberapa

pengrajin, utamanya pengrajin yang memang dari awal telah memiliki skala

usaha yang cukup besar, sementara pengrajin dengan skala usaha yang

relatif lebih kecil belum memperlihatkan peningkatan signifikan.

Hasil kajian yang penulis lakukan dalam praktek lapangan II

memperlihatkan bahwa kondisi ini terjadi karena distribusi dana bantuan

yang diterima oleh KSM tidak merata diantara anggota-anggotanya. Dalam

distribusi dana bantuan yang diterima, ada kecenderungan pihak yang

diserahkan wewenang mengelola dana yang diterima kelompok yang lebih

memprioritaskan dana tersebut untuk kepentingannya usahanya sendiri.

Umumnya dalam setiap KSM, pihak yang dipilih oleh anggotanya untuk

(20)

usaha yang cukup besar. Pemilihan ini dilakukan, selain untuk menjamin

pasokan bahan baku dan pemasaran, juga keamanan dana bantuan yang

diterima lebih terjaga. Namun dalam prakteknya, justeru oknum-oknum ini

sengaja memanfaatkan posisi tersebut untuk mengatasi kendala yang

mereka hadapi dalam mengakses modal dari lembaga-lembaga keuangan

resmi.

Kondisi diatas berakibat pada terhambatnya pertumbuhan aktivitas

usaha pengrajin dengan skala usaha yang relatif kecil. Alokasi dana

bantuan yang mereka terima tidak mampu meningkatkan kapasitas

produksinya, bahkan tidak sedikit yang terpakai untuk keperluan rumah

tangga. Selain itu, sikap monopoli tersebut akhirnya terakumulasi pada

menurunnya kualitas nilai-nilai kepercayaan (trust) diantara anggota KSM,

sehingga pada perkembangan selanjutnya, masyarakat lebih cenderung

untuk bertindak secara individual dalam memanfaatkan dana P2KP.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam suatu komunitas yang mermiliki aktivitas produktif yang

homogen selalu dihadapkan pada kecenderungan untuk terjadinya

benturan diantara sesama mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan

komunitas dengan aktivitas yang lebih variatif. Benturan dapat timbul akibat

upaya mengembangkan usaha maupun dalam mengakses permodalan

yang merupakan salah satu syarat penting dalam aktivitas ekonomi

produktif. Tanpa adanya koordinasi yang baik, bukan tidak mungkin kondisi

tersebut akan memunculkan tindakan-tindakan penyimpangan baik secara

ekonomi maupun sosial seperti monopoli, oligopoli dan pemaksaan satu

pihak terhadap pihak lainnya. Dampaknya, semua pihak yang ada dalam

komunitas tersebut tidak akan dapat melakukan aktivitasnya dengan

leluasa.

Menghadapi kenyataan tersebut, maka salah satu tindakan yang

mungkin dikembangkan adalah dengan membuat suatu wadah yang dapat

menampung aspirasi dan kepentingan anggota komunitas tersebut agar

memiliki peluang dan kesempatan yang sama, baik dalam

mengembangkan aktivitas produksinya maupun dalam mengakses

permodalan. Pembentukan wadah ini dapat dilakukan dengan

mengembangkan konsep-konsep organisasi secara formal maupun dengan

(21)

5

wujud kelembagaan. Wadah dimaksud dapat berbentuk sebuah

kelembagaan dalam pengertian organisasi ataupun kelembagaan, institusi

secara terpisah atau kombinasi keduanya.

Terkait dengan peluang dan kesempatan mengakses permodalan,

berdasarkan gambaran permasalahan yang ditemukan dalam komunitas

pengrajin rajutan di Kelurahan Binong, ternyata pembentukan wadah inipun

tidak serta merta dapat mengeliminir benturan-benturan yang ada. Bahkan

pembentukan wadah dimaksud justeru melahirkan potensi konflik baru

diantara anggota komunitas. Pada kenyataan yang terjadi dalam komunitas

pengrajin rajutan di Kelurahan Binong ini mendorong penulis untuk

mencoba mengkaji permasalahan tersebut dengan menggali aspek-aspek

penyebabnya.

Agar kajian yang dilakukan lebih terarah, maka penulis mempersempit

fokus kajian pada permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana menciptakan konsep keadilan dan kesetaraan dalam

pemanfaatan bantuan dari program pengembangan masyarakat

b. Bagaimana peran KSM dalam memformulasikan peran dan fungsi

anggotanya dalam meningkatkan kapasitas daya saing.

c. Bagaimana bentuk aktivitas yang dikembangkan dalam upaya

penguatan peran dan fungsi KSM dalam menunjang proses produksi.

1.3. Tujuan dan Kegunaan

1.3.1. Tujuan

a. Mengidentifikasikan aspek-aspek sosial masyarakat yang

dilibatkan atau dikembangkan dalam proses pembentukan KSM.

b. Mendapatkan gambaran tentang formulasi KSM yang tepat dan

sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan kepentingan

masyarakat.

c. Menggali aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutan KSM

dan faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap proses

penguatan KSM.

d. Menemukan rumusan dan model pendekatan yang efektif bagi

upaya penguatan KSM

1.3.2. Kegunaan

Secara umum kajian ini diharapkan dapat memberikan

(22)

pengembangan masyarakat partisipatif yang dapat dikembangkan

oleh pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan

pembangunan di daerah. Selain itu, kajian ini juga dapat

memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pengetahuan,

dan para praktisi yang berkecimpung langsung dalam

pemberdayaan masyarakat. Lebih khusus diharapkan bermanfaat

bagi:

a. Pemerintah dan pihak terkait

1. Memberikan masukan praktis dan manfaat strategis berupa

masukan model-model dan konsep pengembangan

masyarakat partisipatif yang dapat dikembangkan oleh

pemerintah dalam penyusunan kebijakan pembangunan.

2. Memberikan kritik dan saran tentang pergeseran praktek

pengembangan partisipatif pada berbagai kondisi

masyarakat bagi pihak-pihak yang terlibat langsung sebagai

agen pembaharu dalam pemberdayaan masyarakat di masa

yang akan datang.

b. Perguruan Tinggi

1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat menambah

khasanah keilmuan tentang bentuk-bentuk praktis konsep

pendekatan kelompok dalam pemberdayaan masyarakat.

2. Memberikan informasi awal bagi penelitian selanjutnya,

dalam usaha mendapatkan model pemberdayaan kelompok

(23)

II.

TINJAUAN TEORITIK

2.1. Tinjauan Konseptual

2.1.1. Kelompok

Dari banyak konsep “Kelompok” yang dikembangkan para oleh ahli, satu aspek mendasar yang disepakati adalah bahwa

kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki

tujuan yang sama. Lebih luas lagi, Longres (1994) mengemukakan

bahwa; “ Group are more than aggregates of people; they are system, “ two or more persons who are interacting one and another in such a manner that each person influences and is influenced by

each other person.” Pendapat ini menjelaskan bahwa selain

karakteristik kelompok, yaitu interaksi, struktur, tujuan (common

purpose, goals) dan dinamika (dynamics), dalam kajian tentang

kelompok, Longres juga menekankan pentingnya pemahaman

tentang kelompok sebagai suatu sistem sosial yang memliliki

mekanisme yang mengatur pola hubungan diantara anggotanya

yang menggambarkan posisi kelompok dalam kehidupan

masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks ini, ia menambahkan

bahwa kelompok memiliki atribut sebagai berikut :

a. Interdependence. Kelompok adalah kumpulan individu dimana

masing-masing itu unik dan antar semua individu saling

tergantung.

b. Structure. Kelompok memiliki organisasi internal yang terdiri dari

norma-norma atau kesepakatan dalam melakukan suatu

pekerjaan dan bagian dari pekerja yang ditandai oleh peranan

dari status. Struktur ini membuat kelompok lebih dari sekedar

kumpulan sejumlah individu.

c. Identity. Kelompok memiliki entitas kesadaran diri. Anggota

kelompok memandang diri mereka yang berada dalam

kelompok sebagai “kami (us)” dan memandang orang lain yang

berada diluar kelompok (outsiders) sebagai “mereka (they)”.

Outsiders biasanya memilih atau memiliki kecenderungan untuk

(24)

d. Boundaries. Suatu batas kelompok ditandai secara fisik oleh

ruang yang ditempati, secara psikologis oleh kepribadian

anggotanya dan secara sosial oleh rasa keakuan, tradisi dan

norma-norma khususnya.

e. Organization. As a hole on. Kelompok merupakan keseluruhan

yang memiliki bagian-bagian. Suatu kelompok pada waktu yang

bersamaan pada setiap diri anggota kelompok merasakan

dirinya sebagai bagian dari keseluruhan, dimana keseluruhan

tersebut merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih luas

lagi. Kelompok tetap eksis karena di dalamnya ada lingkungan

sosial yang memberi pengaruh yang dapat dijadikan sebagai

sumber kekuatan sekaligus sumber-sumber ketegangan.

f. Openess. Kelompok sama halnya seperti individu, merupakan

sistem yang terbuka yang tidak dapat eksis tanpa

ketergantungan dengan lingkungan sosial dimana mereka harus

berinteraksi.

g. Dynamism. Karena adanya kesalingtergantungan atau

keterbukaan antar sejumlah anggota kelompok dengan

lingkungan, kelompok menjadi dinamis; tidak statis. Konflik dan

perubahan akan selalu muncul.

Merujuk pada konsep diatas, dapat disimpulkan bahwa

interaksi merupakan unsur fundamental yang sangat penting dari

semua proses kelompok. Interaksi ini mengacu pada pola pengaruh

timbal balik yang ada dalam kelompok. Kelompok juga

mengembangkan suatu struktur tertentu atau pola stabil dari tingkah

laku yang ditunjukan oleh anggota kelompok dimana mereka

berinteraksi secara berulang dengan cara/ karakter yang dimiliki

oleh setiapa anggota kelompok. Kelompok memiliki beberapa tujuan

atau fungsi, yaitu antara lain untuk menyelesaikan suatu tugas,

membantu anggotanya untuk tumbuh dan berkembang, atau

menyediakan aktivitas pengisian waktu luang.

Kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam kelompok pada

umumnya menunjukan bahwa kelompok memiliki realitas

kehidupannya sendiri yang eksis diantara fakta-fakta keberadaan

(25)

9

dengan pandangan tersebut, Sukanto (1990) menyatakan bahwa

syarat-syarat kelompok adalah :

a. Ada kesadaran dari setiap anggota sebagai bagian dari

kelompok.

b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan

yang lain.

c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan

antar mereka bertambah erat (nasib, kepentingan, tujuan,

ideologis dsb)

d. Kelompok tersebut berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola

perilaku.

Pada umumnya latar belakang pembentukan kelompok dalam

masyarakat dilandasi oleh dua alasan, pertama terbentuk secara

alamiah dan kedua karena dibentuk oleh pihak luar untuk berbagai

tujuan. Kelompok alamiah tumbuh dan berkembang karena

kesamaan kebutuhan (keamanan dan sosial), keadaan fisik dan

daya tarik anggota, dan alasan ekonomi. Sedangkan kelompok

bentukan pihak luar ditumbuhkembangkan antara lain untuk tujuan

terapi pemberdayaan, rekreasi atau berorientasi pada tugas.

Kelompok-kelompok bentukan cenderung memiliki fungsi-fungsi

yang jelas dan memiliki tugas untuk mengembangkan nilai-nilai,

norma dan tujuan kelompok.

Sumberdaya kelompok mencakup karakteristik anggota dan

sumber-sumber yang dimiliki kelompok. Karakteristik anggota

mencakup karakteristik rumah tangga, pendapatan, modal, sikap,

kemampuan dan keterampilan. Sumberdaya kelompok juga meliputi

informasi pembagian tugas kelompok, pengetahuan dan keahlian,

waktu, modal atau alat-alat produksi yang dimiliki kelompok.

Sementara faktor lingkungan mencakup faktor sosial budaya dan

ekonomi. Agar perkembangan suatu program dapat berakar dan

hidup di masyarakat, maka perlu memperhatikan lingkungan sosial

budaya masyarakat dan aspek-aspek kehidupan ekonomi seperti

(26)

2.1.2. Pemberdayaan

Secara etimologi, pemberdayaan atau pemberkuasaan

(empowerment), berasal dari kata „power‟ (kekuasaan atau

keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan senantiasa

bersentuhan dengan konsep kekuasaan. Namun pemahaman yang

mendalam terhadap konsep pemberdayaan tidak terlepas dari

konsep yang mendasarinya yaitu ketidakberdayaan. Pemahaman

kondisi tersebut merupakan bagian dari proses pemberdayaan itu

sendiri. Keadaan ini oleh Leamer (1986) dalam Suharto (1997)

digambarkan sebagai suatu kondisi dimana orang merasa tidak

berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran, emosional,

intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian

kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada.

Pemberdayaan merupakan strategi pembangunan yang

berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Pemberdayaan merupakan proses peningkatan kemampuan

individu, kelompok dan masyarakat agar mampu mengambil

keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait

dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan

sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan

kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya

yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya

(Payne, 1997). Sementara itu Ife (1995) memberikan batasan

pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang

atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk

meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya

dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan

komunitas mereka. Terkait dengan itu, Sutrisno (2000)

menjelaskan, dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi

wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik

yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping

mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan,

perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya

dengan pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok

(27)

11

pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh

pemerintah.

Dalam konteks pengembangan masyarakat, pemberdayaan

tidak hanya ditujukan pada pengembangan potensi ekonomi

rakyat, tetapi juga ditujukan untuk mengembangkan harkat dan

martabat manusia, rasa percaya diri, serta terpeliharanya

nilai-nilai budaya setempat. Untuk mencapai kondisi berdaya baik

secara ekonomi maupun sosial tersebut, Kartasasmita (1997),

mengajukan dua strategi pengembangan yang dapat diterapkan

dalam pemberdayaan. Pertama, memberikan peluang agar sektor

dan masyarakat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan

untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Kedua,

memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan rakyat yang masih

tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan

modern. Strategi ini diterapkan dengan mengembangkan

upaya-upaya berikut :

a. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang dengan mendorong, memotivasi dan

membangkitkan kesadaran akan potensi yang memiliki agar

berupaya untuk mengembangkannya.

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki (misalnya:

membuka akses pada berbagai peluang dan penyediaan

berbagai masukan: modal, teknologi dan pasar).

c. Mengembangkan perlindungan bagi golongan lemah sebagai

bukti keberpihakkan pada mereka, mencegah persaingan yang

tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat

dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan.

Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk

memperkuat potensi kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai

tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil

yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat

yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan

dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang

(28)

diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian,

berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam

melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali

digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai

sebuah proses. Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan

beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai

empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):

a. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk berpergian.

b. Kemampuan membeli komoditas „kecil‟: kemampuan individu

untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari.

c. Kemampuan membeli komoditas „besar‟: kemampuan individu

untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier.

d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga;

mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama

suami/istri.

e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya

mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang

(suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah,

perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai

anak; atau melarang bekerja di luar rumah.

f. Kesadaran hukum dan politik.

g. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga

2.1.3. Pengembangan Masyarakat

Ardle (1989) mengemukakan; “ Community Devolopment is The devolopment and utilization of a set of ongoing struktur which allaw the community to meet its own needs,” ( Pengembangan masyarakat adalah pengembangan dan pemanfaatan secara efektif

seperangkat struktur yang sedang berlangsung yang

memungkinkan komunitas dapat memenuhi kebutuhannya sendiri).

Pengertian ini menggambarkan bahwa pengembangan masyarakat

melibatkan seperangkat struktur yang diharapkan dapat

menumbuhkan kemandirian kelompok komunitas dalam memenuhi

kebutuhannya. Oleh karena itu dalam proses pengembangan

(29)

13

kehidupan masyarakat tersebut, sehingga keputusan apapun

mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh

masyarakat sendiri, dengan mempertimbangkan sumber daya yang

telah ada di masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat.

Dalam perspektif pekerjaan sosial, pengembangan

masyarakat bertujuan untuk menciptakan kemajuan sosial dan

ekonomi golongan masyarakat miskin melalui partisipasi aktif dan

inisiatif mereka sendiri. Masyarakat tidak dipandang sebagai sistem

klien yang bermasalah, melainkan sebagai masyarakat yang unik,

memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya

dikembangkan. Peran pekerja sosial disini adalah membantu

masyarakat agar dapat mengidentifikasi masalah dan kebutuhannya

serta mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani

masalah yang mereka hadapi secara efektif. Jadi fokusnya adalah

menolong masyarakat untuk dapat menolong dirinya sendiri (to help

people to help themselves).

Menurut Korten (1984), pengembangan masyarakat adalah

suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan,

dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan

sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat. Jadi dalam

pengembangan masyarakat terkandung esensi partisipasi. Partipasi

merupakan bentuk perilaku sadar. Ini berarti bahwa tanpa

kesadaran dan kesukarelaan akan terjadi partisipasi yang semu.

Pada program dengan pendekatan ekonomi produktif (termasuk

P2KP) bentuk partisipasi masyarakat adalah partisipasi interaktif

dan fungsional.

Kajian terhadap keberhasilan/kegagalan partisipasi

masyarakat menyimpulkan bahwa ada dua hal yang mendukung

terjadinya partisipasi, yaitu ada unsur yang mendukung untuk

berperilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant)

dan terdapat iklim atau lingkungan (environment factors) yang

memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu (Oppenheim, 1973

dalam Sumardjo & Saharuddin, 2004). Masyarakat tidak akan

berpartisipasi kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka

(30)

rencana akhir (adanya manfaat dalam penilaian mereka).

Masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

yang tidak menarik minat mereka atau aktivitas yang dapat mereka

rasakan.

Simpulan diatas menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat

akan muncul bila ada tiga prasyarat (Sumardjo dan Saharuddin,

2004), yaitu adanya : 1). Kesempatan; suasana atau kondisi

lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang

untuk berpartisipasi; 2). Kemauan; sesuatu yang mendorong/

menumbuhkan minat dan manfaat yang dapat dirasakan aatas

partisipasinya tersebut; 3). Kemampuan; kesadaran atau keyakinan

pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk

berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan

material lainnya.

2.1.4. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya

memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal

lainnya, termasuk pemerintah daerah dan kelompok yang peduli

setempat, sehingga dapat dibangun "gerakan bersama" dalam

menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan di

wilayah bersangkutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka

dituntut adanya pembagian peran yang jelas antar pelaku P2KP,

baik yang langsung tergabung dalam organisasi program maupun

pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah daerah, para pemerhati

yang peduli, kelompok-kelompok masyarakat dan lain-lain, dari

tingkat pusat sampai tingkat komunitas.

Program P2KP mempunyai visi masyarakat mampu

menanggulangi kemiskinan secara mandiri, efektif dan

berkelanjutan. Sedangkan misinya adalah memberdayakan

masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam upaya

menanggulangi kemiskinan yang dihadapinya. Prinsip yang dianut

dalam pelaksanaan P2KP adalah: demokrasi, partispasi,

(31)

15

dibangun, dikembangkan dan dijunjung tinggi dalam pelaksanaan

P2KP adalah: keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan dapat dipercaya.

Dengan demikian sebenarnya Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program

pemberdayaan masyarakat yang bermaksud agar masyarakat

mampu menolong dirinya sendiri. Secara umum tujuan P2KP adalah

membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan manfaat

kepada masyarakat miskin di kelurahan sasaran melalui:

a. Bantuan kredit modal kerja bagi upaya peningkatan pendapatan

secara berkelanjutan.

b. Bantuan hibah untuk pembangunan maupun perbaikan

prasarana dan sarana dasar lingkungan

c. Bantuan penciptaan kesempatan kerja, termasuk pelatihan,

untuk mencapai kemampuan pengembangan usaha-usahanya.

Sehingga Kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat dalam

P2KP adalah kegiatan-kegiatan yang mengarah pada keterpaduan

Konsep Tridaya yaitu :

a. Kegiatan Pemberdayaan Sosial, berupa kegiatan pemberdayaan

masyarakat yang mengarah pada peningkatan keterampilan

teknis dan manajerial dalam upaya menunjang penciptaan

peluang usaha baru, pengembangan usaha, penciptaan

lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

b. Kegiatan Pemberdayaan Ekonomi, berupa kegiatan industri

rumah tangga atau kegiatan usaha skala kecil lainnya yang

dilakukan oleh perseorangan/ keluarga miskin yang

menghimpun diri dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

c. Kegiatan Pemberdayaan Lingkungan, berwujud pemeliharaan,

perbaikan maupun pembangunan baru prasarana dan sarana

dasar lingkungan permukiman yang dibutuhkan masyarakat

kelurahan, seperti jalan dan lingkungan, ruang terbuka hijau

atau taman, dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat

atau komponen lain yang disepakati masyarakat. (P2KP 1999: 2)

Pola pendekatan pemberdayaan dalam P2KP dilaksanakan

melalui penguatan kelembagaan masyarakat sebagai fondasi bagi

(32)

perantara. Pada prakteknya, program P2KP dilakukan dengan cara

menyediakan bantuan keuangan (dana pinjaman bergulir dan

hibah), serta bantuan teknis (tenaga pendamping yang dikenal

dengan fasilitator kelurahan) dengan membangun rasa saling

mempercayai antar berbagai pihak yang terlibat. Dana program

tersebut dapat digunakan untuk kredit bagi ekonomi berkelanjutan

dan hibah untuk pembangunan atau perbaikan sarana dan

prasarana dasar lingkungan, tergantung pada prioritas kebutuhan

kelompok masyarakat setempat (P2KP 1999: 2).

Dalam pelaksanaanya, setiap anggota masyarakat yang ingin

terlibat dalam program tersebut diwajibkan untuk membentuk atau

ikut dalam satu kelompok tertentu (Kelompok Swadaya

Masyarakat). Kelompok Swadaya Masyarakat merupakan target

penerima bantuan yang sesungguhnya dengan persyaratan sebagai

berikut :

1. Beranggotakan minimal tiga orang (dari rumah tangga yang berbeda).

2. Anggota berasal dari keluarga berpenghasilan rendah berdasarkan kesepakatan bersama antara lurah, tokoh masyarakat, pengurus RT/RW, dan warga masyarakat lainnya. 3. Jumlah anggota yang tidak berasal dari keluarga miskin (namun

diajak bergabung karena memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan) dibatasi tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota KSM (Juknis P2KP 1999: 3).

Selanjutnya masyarakat akan dibantu seorang tenaga

pendamping yang bertugas antara lain membantu dan

mengarahkan dalam penyusunan usulan kegiatan yang akan

dilaksanakan KSM. Lebih jauh, tenaga pendamping yang disebut

dengan fasilitator kelurahan ini berguna untuk menyampaikan

informasi tentang program P2KP, selain membantu menyiapkan

usulan dan memantau pelaksanaan program. Fasilitator kelurahan

ini biasanya mempunyai latar belakang kerja sosial dan telah

mendapatkan pelatihan fasilitasi. Pada awal program, akan tersedia

satu fasilitator per kelurahan atau maksimal 14 orang untuk

(33)

17

lebih dari 12 KSM. Berdasarkan pertimbangan batas rentang

kendalinya.

Selain itu, di tingkat kelurahan terdpat institusi lokal yang

mendapat kepercayaan untuk menerima dan menyalurkan bantuan

pemerintah pusat yang dikenal dengan BKM atau Badan

Keswadayaan Masyarakat. Lebih jauh BKM sebagai institusi lokal

dapat berfungsi sebagai institusi yang mewakili kepentingan warga,

serta berfungsi dalam menjaga kesinambungan program P2KP.

BKM merupakan badan musyawarah dan pengambilan keputusan

tertinggi warga masyarakat setempat, yang berhak menilai

rencana/usulan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam jenis

kegiatan P2KP (Juknis P2KP 1999: 7).

2.2. Kerangka Pemikiran

Pada umumnya latar belakang pembentukan kelompok dimasyarakat

dilandasi oleh dua alasan, pertama terbentuk secara alamiah dan kedua

karena dibentuk oleh pihak luar untuk berbagai tujuan. Kelompok alamiah

tumbuh dan berkembang karena kesamaan kebutuhan (keamanan dan

sosial), keadaan fisik dan daya tarik anggota, dan alasan ekonomi.

Sedangkan kelompok bentukan pihak luar ditumbuh kembangkan antara

lain untuk tujuan terapi pemberdayaan, pembinaan, rekreasi atau

berorientasi pada tugas. Kelompok-kelompok bentukan cenderung memiliki

fungsi-fungsi yang lebih jelas dan memiliki tugas untuk mengembangkan

nilai-nilai, norma dan tujuan kelompok.

Kegiatan secara kelompok pada kondisi tertentu memiliki berbagai

kelebihan dari usaha yang dilakukan secara individual. Melalui kelompok

maka suatu aktifitas akan dapat berjalan lebih efisien, masing-masing

anggota dapat saling memperhatikan dan memberi dukungan,

norma-norma yang telah terbentuk menjadi sarna sosialisasi sosial sehingga dapat

meningkatkan keberfungsian individu maupun kelompok.

Ditinjau dari segi waktu dan proses pembentukannya, KSM pengrajin

rajutan yang berada di Kelurahan Binong termasuk dalam katagori

kelompok bentukan, yaitu oleh pengelola P2KP. Dari perspektif pengelola

program, KSM ini diharapkan dapat menjalankan peran dan fungsinya

dalam ; 1) mengorganisasi kepentingan-kepentingan para pengrajin rajutan

(34)

memperpendek atau menyederhanakan proses pengajuan bantuan; 2)

mengembangkan sikap-sikap dan perilaku usaha para pengrajin yang

signifikant bagi pengembangan usaha; 3) meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan pengrajin baik secara teknis maupun praktis.

Sebagai elemen sosial yang dibangun dari individu-invdividu, kekuatan

suatu kelompok sangat bergantung pada karakter-karakter yang terdapat

dalam diri individu anggota-anggotanya seperti ; usia, jenis kelamin dll.

Disamping itu, dalam memasuki suatu kelompok, selain karakter internal yang

dibentuk secara alamiah, individu anggota juga membawa karakter yang

terbentuk melalui proses sosialisasi yang dijalaninya dalam kehidupan

bermasyarkat, seperti; persepsi, sikap, pendidikan, pengalaman, tingkat

ketergantungan keluarga, keragaan usaha dll. Selanjutnya melalui interaksi

yang terjadi dalam kelompok, melewati dimensi waktu dan ruang,

karakter-karakter tersebut berproses membentuk karakter-karakteristik kelompok. Dalam

interaksi tersebut setiap anggota saling menerima dan memberi kesan dan

persepsi sehingga menciptakan norma-norma bagi pengaturan peran dan

fungsi bagi keberfungsian kelompok, dalam mengembangkan tujuan bersama,

mengembangkan kohesivitas dan konformitas kelompok sehingga membuat

mereka berfikir bahwa kelompok adalah “kami”.

Keberadaan suatu kelompok tidak terlepas dari dari dinamka sosial

yang terjadi dalam proses pembentukannya. Sebagai kelompok bentukan

pihak luar, proses pembentukan KSM pengrajin rajutan tidak terlepas dari

kebijakan pihak yang berkepentingan terhadap pembentukannya, dalam hal

ini P2KP. Dalam pembentukan suatu kelopok, pada umumnya kebijakan

yang terkait dengan kepentingan pihak luar tersebut besar pengaruhnya

terhadap kemandirian kelompok itu sendiri. Artinya

kepentingan-kepentingan tersebut justru dapat menyebabkan proses internalisasi

kepentingan anggota justru menjadi terabaikan.

Dengan adanya dinamika yang terjadi dalam suatu kelompok, maka

dalam upaya untuk menciptakan suatu kelompok yang mampu

memaksimalkan peran dan fungsi idealnya, pertimbangan terhadap

kondisi-kondisi yang mempengaruhi kelompok, baik eksternal maupun internal

harus djadikan prioritas. Dengan mempertimbangkan kondisi itu diharapkan

upaya penguatan yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan

(35)

19

Mengingat banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi

suatu kelompok seperti diuraikan diatas, maka dalam konterks kajian ini,

penulis berupaya untuk mengembangkan konsep-konsep tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi kelompok tersebut sebagai landasan

penyusunan program pengembangan masyarakat yang akan dilakukan.

Secara sederhana alur pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai

[image:35.595.81.512.186.797.2]

berikut : Gambar. 1 Kerangka Pemikiran Keterangan : : : : : Terdapat/ Dihasilkan Saling mempengaruhi Dilakukan

Dilakukan dg cara/ melalui - Sejarah

- Permodalan - Kapasitas produksi - Konformitas - Jejaring

- Akses dan Kontrol - Sistem Pemasaran

Identifikasi Permasalahan dan

Kebutuhan KSM Keragaan KSM

- Dominasi pengurus terhadap pemasaran - Distribusi bantuan tidak

Merata - Tidak mampu

memberikan kontribusi bagi masyarakat - Proses Pembentukan

Kelompok - Kepemimpinan - Karakteristik anggota - Manajemen Organisasi - Pengambilan Keputusan

Dinamika KSM (Performance) KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)

(36)

3.1. Pendekatan dan Metode Kajian

Kajian yang akan dilakukan merupakan suatu upaya untuk mengkaji

fenomena sosial yang sedang terjadi pada komunitas pengrajin rajutan.

Peristiwa sosial yang menjadi obyek pengamatan adalah interaksi yang

terjadi antara anggota KSM dalam menggerakan dan mengembangkan

aktivitas KSM. Agar hasil yang diperoleh dapat memberikan gambaran

yang komprehensif, maka kajian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif.

Selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam

tentang kondisi permasalahan yang terjadi pada Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM) dalam komunitas pengrajin rajutan di Kelurahan Binong,

kajian dilakukan pada aras mikro dengan strategi studi kasus tipe

instrumental, yaitu suatu yang memperlakukan kasus yang dikaji sebagai

instrumen untuk memahami masalah tertentu. Dalam konteks kajian ini

KSM pengrajin rajutan merupakan kasus yang menjadi intrumen untuk

memahami faktor-faktor yang menyebabkan tidak optimalnya peran dan

fungsi KSM dalam mengembangkan aktivitas ekonomi anggotanya.

Tipe kajian yang akan dilakukan termasuk pada tipe kajian desktiptif,

dimana hasil kajian diharapkan dapat mendukung upaya perumusan

program pemecahan masalah. Sementara agar fokus kajian tidak

menyimpang dari pokok permasalahan, dalam kajian ini digunakan

pendekatan pendekatan Obyektif (Sitorus & Agusta, 2004), yaitu upaya

memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai pola perilaku,

tindakan dan interaksi komunitas dalam menjalankan aktivitasnya.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Kajian pengembangan masyarakat ini merupakan kelanjutan dari

hasil-hasil kegiatan praktek lapngan I dan II yang telah dilaksanakan

sebelumnya. Untuk pendalaman hasil-hasil tersebut, pelaksanaan kajian ini

dilakukan selama selama dua (2) bulan, yaitu dari tanggal 14 Agustus

sampai dengan 4 Oktober 2005 dengan fokus merancang program

pengembangan masyarakat secara partisipatif pada komunitas pengrajin

rajutan yang berada di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota

(37)

21

3.3. Pengumpulan dan Analisa Data

3.3.1. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan strategi dan aras kajian yang akan dilakukan,

maka data yang dikumpulkan adalah data-data kuantitatif yang

diambil dari beberapa pihak terkait yang dianggap kapabel untuk

menggambarkan kondisi komunitas. Pengumpulan data dilakukan

dengan menggunakan metode; observasi, studi dokumentasi,

wawancara dan questioners. Observasi dimaksudkan untuk

mendapatkan gambaran tentang kehidupan sehari-hari para

pengrajin rajutan, terutama yang terkait dengan upaya-upaya yang

dilakukan dalam rangka pengelolaan dan pengembangan usahanya.

Sementara itu studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari

data-data yang terkait dengan komunitas pengrajin misalnya melalui

sistem pembukuan yang terkait dengan aktivitas produksinya.

Selanjutnya untuk menggali inti permasalahan yang lebih

mendalam dan spesifik, akan dilakukan melalui teknik wawancara.

Wawancara ini selain dilakukan kepada para pengrajin selaku

subyek penelitian, juga dilakukan wawancara dengan pihak-pihak

lain yang terkait dengan aktivitas pengrajin, termasuk didalamnya

stakeholder-stakeholder seperti pemasok bahan baku, pembeli dan

pengecer.

3.3.2. Sumber Data

Agar data-data yang diperoleh memiliki tingkat validitas yang

tinggi, maka selain dari hasil observasi yang dilakukan, penulis juga

mengupayakan data-data dan informasi dari sumber-sumber lain

yang mempunyai keterkaitan dengan aktivitas pengrajin rajutan,

antara lain :

a. Pemerintah (Kelurahan)

b. Pengelola Program (BKM)

c. Konsultan Manajeman Wilayah

d. Pengrajin (pemilik usaha)

e. Pengrajin (pekerja), dan ;

f. Stakeholder-stakeholder yang terkait seperti; penyedia bahan

(38)

3.3.3. Pengolahan dan Analisis Data

Guna memperoleh suatu simpulan yang memiliki kapabilitas

memadai untuk dapat digunakan sebagai dasar bagi penyusunan

program pemecahan masalah, data yang dikumpulkan selanjutnya

diolah. Setelah melalui tahapan peringkasan, pengkodean dan

pemilahan sesuai dengan kebutuhan kajian, data-data tersebut

selanjutnya dianalisis melalui tahapan sebagai berikut :

a. Analisa data umum, yang bertujuan untuk mempertajam

masalah hingga perumusan sub-sub masalah.

b. Analisa data tafsiran, yang bertujuan lebih mempertajam

sub-sub masalah yang telah dirumuskan.

c. Analisa untuk mengecek kembali, yang bertujuan untuk

mengecek kembali kebenaran dan kemungkinan

mengembangkan kembali tafsiran-tafsiran dengan masuknya

data baru.

d. Analisa untuk menemukan makna data, yang bertujuan

memahami tafsiran dalam konteknya dengan masalah secara

keseluruhan.

Lebih jelas mengenai teknik yang digunakan dan data-data yang

[image:38.595.122.511.525.707.2]

dikumpulkan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1 Rekapitulasi

Pengumpulan Data Rencana Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal

Kota Bandung

Tujuan Kajian

Jenis Data Sumber Data

Teknik Pengumpulan Data

Observasi Wawancara Studi

Dokumentasi FGD

3.1.1 Profil KSM

Responden, stakeholder, tokoh masyarakat

3.1.2

Keragaan Kelompok & Aktivitas Produktif Anggota Responden, pengelola program, dan tokoh masyarakat 3.1.3

(39)

23

3.4. Metode Penyusunan Rencana Program

Penguatan yang dimaksud dalam konteks kajian ini adalah upaya

melakukan reposisi dan reorientasi peran dan fungsi Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM) yang dibentuk terkait dengan keberadaan program

pengembangan masyarakat yang dilaksanakan, yaitu P2KP. Dari gambaran

masalah umum yang diperoleh, terlihat bahwa sebagian besar

permasalahan yang terjadi dalam KSM pengrajin rajutan di Kelurahan

Binong bersumber dari anggota KSM itu sendiri. Dengan demikian, apapun

bentuk upaya penyelesaiannya, hal penting yang harus dipertimbangkan

adalah mengembalikan permasalahan tersebut kepada mereka.

Merujuk pada penguatan sebagai saran tindak yang

direkomendasikan, sesuai dengan teori diatas, metode Focus Group

Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah dan wawancara

mendalam dengan Methode Participatory Assesment (MPA) dapat menjadi

alternatif awal penyelesaian masalah yang terjadi. Kedua metode ini dapat

menjadi wadah bagi anggota komunitas untuk mengevaluasi kegagalan

konsep kelompok yang dikembangkan dalam komunitas mereka.

Disadari bahwa memasuki suatu masyarakat yang didalamnya

terdapat potensi konflik bukanlah suatu perkara yang mudah. Dengan

tingkat kepercayaan diantara sesama mereka yang rendah, akan lebih sulit

bagi orang luar (orang asing/peneliti) untuk melebur kedalam kehidupan

mereka. Untuk itu, guna merealisasikan penyusunan rencana program ini,

penulis akan melakukan beberapa tahap tindakan sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi tokoh-tokoh atau anggota masyarakat yang mengerti

dan memahami keberadaan dan permasalahan dengan ;

1) Melakukan pendekatan melalui jalur formal dan informal untuk

mendapatkan izin sosial dari masyarakat.

2) Melakukan komunikasi dengan warga yang tidak terkait langsung

dengan permasalahan namun memiliki hubungan sosial dengan

komunitas yang bermasalah.

3) Menentukan tokoh-tokoh yang dapat menjembatani komunikasi

dengan komunitas subyek. dan informan lainnya.

b. Membuka kontak dengan komunitas melalui perantara warga yang tidak

(40)

c. Menjelaskan maksud dan tujuan serta menggali informasi sehubungan

dengan latar belakang munculnya permasalahan dengan menerapkan

metode partisipatif.

d. Mengadakan kesepakatan dengan komunitas subyek untuk membahas

lebih lanjut tindak lanjut permasalahan. Kegiatan ini melibatkan

beberapa tokoh masyarakat yang berpengaruh dan beberapa pengrajin

yang memiliki kepentingan berbeda untuk :

1) Menentukan format atau bentuk kegiatan (Focus Group Discussion )

2) Menentukan waktu dan tempat kegiatan

3) Menentukan orang-orang yang akan diundang dan narasumber.

4) Identifikasi kebutuhan pelaksanaan kegiatan

e. Menyelenggarakan kegiatan yang telah dirumuskan bersama. Dalam

pelaksanaan kegiatan, dengan menerapkan teknik-teknik dalam metode

pengembangan masyarakat secara partisipatif, masyarakat (khususnya

responden) diarahkan dan didorong untuk ;

1) Memiliki inisiatif untuk mengemukakan pendapat tentang

permasalahan yang dirasakannya akibat kondisi yang terjadi dalam

Kelembagaan.

2) Mengemukakan solusi pemecahan masalah

3) Membentuk suatu Tim Khusus (terpadu) yang bertugas membahas

hasil kegiatan.

f. Konseptualisasi rencana program oleh Tim Khusus (terpadu).

g. Review rencana program

h. Pelaporan

(41)

IV. PETA SOSIAL KELURAHAN BINONG

4.1. Gambaran Lokasi

Secara administratif Kelurahan Binong merupakan salah satu

Kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Batununggal Kota Bandung.

Dengan posisi tersebut, Kelurahan Binong memiliki tingkat aksesibilitas

terhadap sistem sumber yang cukup baik dan lancar. Akses masyarakat

terhadap pusat-pusat pemerintahan maupun pusat-pusat perdagangan

dapat dijangkau dalam waktu antara 15-30 menit. Kondisi ini memberikan

kemudahan bagi masyarakat baik untuk memperoleh berbagai bentuk

informasi.

Selain itu, kemudahan-kemudahan lain yang mendukung posisi

Kelurahan Binong adalah terkait dengan ketersediaan sarana dan

prasarana umum. Salah satu prasarana umum terpenting yang dapat

menunjang aktivitas masyarakat di kelurahan Binong adalah prasarana

Jalan. Posisi Kelurahan Binong dikeliling oleh beberapa jalan protokol

(utama) di Kota Bandung seperti ; JI. Kiaracondong di sebelah Timur, JI.

Gatot Subroto di sebelah Utara, dan JI Soekamo Hatta di bagian Selatan.

Berbagai aktivitas ekonomi yang berkembang di sepanjang jalan protokol

tersebut memberikan berbagai alternatif pilihan bentuk aktivitas ekonomi

yang dapat dikembangkan.

Secara geografis wilayah Kelurahan Binong terletak pada ketinggian

760 dpi dengan curah hujan 2400mm3 pertahun dan suhu harian rata-rat

28° C. Sedangkan secara topografi, wilayah kelurahan Binong merupakan

dataran dengan luas wilayah 72,02 Ha.

Sebagian besar wilayah Kelurahan Binong merupakan wilayah

pemukiman penduduk. Namun demikian terdapat beberapa bagian

wilayahnya bukan merupakan pemukiman penduduk. Misalnya untuk

kegiatan industri, pertanian maupun perikanan. Untuk lebih jelasnya

(42)
[image:42.595.183.508.121.276.2]

Tabel. 2

Luas Wilayah Kelurahan Binong Menurut Penggunaannya

N0. Penggunaan Luas (Ha2)

1. Pemukiman Penduduk 58,9 ,

2. Perkantoran 3.1

3. Sekolah 1,6

4. Pertokoan 1,5

5. Fasilitas Umum 6.9

6. Pertanian (sawah pengairan) 1

7. Perikanan darat (tambak) 4

Sumber : Data Kelurahan Binong, Januari 2004

4.2. Kependudukan

4.2.1. Komposisi Penduduk

Berdasarkan data Demografi Kelurahan, sampai dengan

bulan Oktober 2004, penduduk kelurahan Binong tercatat sebanyak

14.008 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 74,66 % (10.459 jiwa)

diantaranya termasuk dalam kelompok penduduk produktif yaitu

penduduk dengan kisaran usia antara 15 tahun s/d 65 tahun. Hal ini

sekaligus menjelaskan bahwa tingkat tanggungan penduduk

produktif terhadap penduduk non produktif termasuk dalam kategori

cukup rendah, yaitu 34. Namun bila ditinjau berdasarkan pada

kelompok penduduk usia kerja yang bekerja, maka rasio beban

tanggungan menjadi cukup besar, yaitu 79.

Data tersebut juga menjelaskan bahwa dari 10.459 jiwa

penduduk usia kerja, hanya 4.504 jiwa yang memiliki pekerjaan,

sisanya termasuk dalam angkatan kerja yang menganggur. Dengan

angka Reit Pengangguran yang mencapai 56,9 menunjukkan

bahwa tingkat pengangguran di kelurahan Binong tergolong cukup

tinggi, yaitu mencapai 56,9 %. Artinya dalam 100 penduduk usia

kerja, terdapat 57 orang yang belum bekerja atau belum

termanfaatkan secara penuh (untilized inadequately).

Lebih jelasnya, perhitungan tentang keadaan tersebut dapat

(43)
[image:43.595.178.514.100.321.2]

27

Tabel. 3

Komposisi Penduduk Kelurahan Binong Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

N0 Komposisi Umur

Jenis Kelamin

Jumlah SR (%)

L P

1. 0 - 12 bln 161 130 291 123,85

2. 13 bln - 4 th 445 492 937 90,45

3. 5 - 6 th 475 529 1.004 89,79

4. 7 - 12 th 786 813 1.599 96,68

5. 13-15 th 930 942 1.872 98,75

6. 16 - 18 th 1.227 1.250 2.477 98,16

7. 19 - 25 th 690 713 1.403 96,77

8. 26 - 35 th 655 572 1.227 114,51

9. 36 - 45 th 642 753 1.395 85,26

10. 4

Gambar

Gambar. 1  Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Rekapitulasi
Tabel. 2
Tabel. 3 Komposisi Penduduk Kelurahan Binong
+7

Referensi

Dokumen terkait