PEMBERDAYAAN PENGRAJIN RAJUTAN
MELALUI PENGUATAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)
BAGI PENGEMBANGAN AKTIVITAS EKONOMI MASYARAKAT
(Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung)
ZAID LAKONI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul
Pemberdayaan Pengrajin Rajutan Melalui Penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Bagi Pengembangan Aktivitas Ekonomi Masyarakat (Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Mei 2009
ABSTRACT
ZAID LAKONI , 2009. The Empowerment of Mesh Workers Though the Empowerment of the Group Of Self Supporting People (Kelompok Swadaya Mandiri) for the Development of the People’s Economic Activities (The Case of People Empowerment) in the Village of Binong, Subdistrict of Batununggal City of Bandung). Guided by DR. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA as the chairman and Mu’man Nuryana, MSc, Ph.D. as the member of the advisor members.
Self Supporting Group (KSM) is the form of development of social organization based on the society that was established to bridge between the management of Poor Society Empowerment Program (P2KP) and the member of the society of Productive Economic Business people in micro scale (Usaha Kecil Mikro). The existency of this KSM is expected to be able to decrease the poverty level of the people on the region of the empowerment of P2KP Program. In this research it is learn how is the impact of the KSM empowering in the Village of Binong Subdistrict Batununggal City of Bandung Province of West Java upon the empowerment of the mesh workers community for the development of the people economics. The impact of the KSM empowerment is learn through qualitative approach (understanding, perspective, and opinion) that yields descriptive data, that is such as the picture of of the program implementation in the field sistematically, and factually. The data was obtained through the result of studying and interviewing that was evaluated through Focus Group Discsusion forum.
The optimalization role and function of KSM was influenced by consistencies of the management and and the member of the KSM it self in running its role and function in the mesh workers community. The weakness of understanding and the low of sense of responsibility of the management upon the common interrest caused the KSM not able to optimalize its role and function that may not purpose the effort of increasing the people economic capacity as general.
ZAID LAKONI , 2009. Pemberdayaan Pengrajin Rajutan Melalui Penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) bagi Pengembangan Aktivitas Ekonomi Masyarakat (Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung). Dibimbing oleh DR. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA sebagai ketua dan Mu’Man Nuryana, MSc, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami penanganan kemiskinan berbasis kelembagaan lokal yang berbeda dengan penanganan kemiskinanan yang dilakukan sebelumnya. Penelitian ini difokuskan pada aspek input, proses, dan hasil capaian program. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dari para informan di lapangan yang menghasilkan data deskriptif, yakni gambaran implementasi program di lapangan secara sistematis dan faktual. Penentuan informan dilakukan atas dasar penilaian bahwa para informan mengetahui secara baik pemasalahan yang sedang diteliti. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah pengurus lembaga lokal, ketua dan anggota KSM, pemuka masyarakat, dan perangkat Kelurahan setempat.
Hasil penelitian menunjukkan, meskipun lembaga lokal (masyarakat) telah menunjukkan kinerjannya (pada awal implementasi program), dimana telah mampu melakukan pembangunan sejumlah prasarana desa melalui dana hibah program ditambah swadaya masyarakat setempat, menyalurkan dana kepada KSM, dan telah mampu menggulirkan beberapa kali, tetapi jika dicermati (setelah program menginjak tahun kedua), dapat dinyatakan belum/tidak terjadi proses pemberdayaan (khususnya) bagi warga miskin, karena: (a) tidak terjadi transfer daya kepada warga miskin, sebab program lebih dimanfaatkan oleh kelompok yang mampu; (b) proses belajar sosial tidak berlangsung, sebab program lebih bernuansa economic; dan (c) lembaga lokal masyarakat lebih berperan sebagai penyalur kredit dari pada lembaga pemberdayaan. Terkait dengan itu, saran ditekankan pada kualitas pelaku program (khususnya di lapangan), yaitu: (a) perlu mempunyai pemahaman secara baik terhadap konsep P2KP; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasi program secara benar yang lebih diarahkan pada penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkan masalah secara mandiri; (c) perlunya pendampingan secara berkelanjutan terhadap lembaga lokal masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sehingga lembaga lokal masyarakat tersebut dipandang mampu melakukan penanganan masalah (khususnya) kemiskinan warganya secara mandiri.
Perbedaan karakteristik, kemampuan manajemen dan koneksitas terhadap sistem sumber yang lemah menyebabkan para pengrajin tidak mampu mengoptimalkan bantuan yang diberikan melalui KSM bagi peningkatan kapasitas ekonominya. Kondisi ini tidak semata disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh para pengrajin, tetapi juga akibat kakunya mekanisme penyarluran bantuan yang dikelola oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Mekanisme permohonan dan pengembalian bantuan yang disertai analisa kesempatan dan peluang yang dimiliki masyarakat pelaku usaha ekonomi produktif menyebabkan pemanfaatan bantuan menjadi tidak efektif.
© Hak Cipta milik IPB tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
PEMBERDAYAAN PENGRAJIN RAJUTAN
MELALUI PENGUATAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)
BAGI PENGEMBANGAN AKTIVITAS EKONOMI MASYARAKAT
(Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung)
ZAID LAKONI
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pada
Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tugas Akhir : Pemberdayaan Pengrajin Rajutan Melalui Penguatan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Bagi Pengembangan Aktivitas Ekonomi Masyarakat
(Kasus pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung)
Nama : Zaid Lakoni
NRP : A 154040015
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Nurmala. K Panjaitan, MS., DEA Ketua
Mu’man Nuryana, MSc.,Ph.D. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan
Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) ini sebagaimana mestinya.
Kajian ini terwujud berkat dukungan berbagai pihak yang selayaknya pada kesempatan ini penulis sampaikan banyak terima kasih kepada yang terhomat : 1. Bapak Mu’Man Nuryana, PhD dan Ibu Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA,
selaku komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati membimbing penulis dan tidak henti-hentinya memberikan dorongan untuk menyelesaikan tugas ini.
2. Bapak M. Cholis, SH., M.Si selaku Mantan Inspektur Jenderal Departemen Sosial RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)
3. Bapak Drs. Maman Supriatman, selaku Inspektur Jenderal Departemen Sosial RI yang telah memberikan waktu dan kesempatan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB)
4. Para staf Pengajar Sekolah Pascasarjana Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Fakultras Pertanian IPB.
5. Bapak Drs. Ahmad Duha dan Bapak Maman Nurjaman, selaku Lurah Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota bandung yang telah mengizinkan penulis melaksanakan penelitian di wilayah Kelurahan Binong.
6. Rekan-rekan mahasiswa Program MPM kelas Bandung Angkatan Ke-II, atas dukungan dan motivasinya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam kajian ini masih banyak terdapat kekurangan, karenanya penulis mengharapkan sumbang pemikiran konstruktif untuk perbaikan karya ini. Semoga Kajian Pengembangan Masyarakat ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan komunitas pengrajin rajutan serta pihak-pihak yang peduli pada pengembangan masyarakat.
Bogor, Mei 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Muara Aman Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada tanggal 06 Januari 1970, anak ke 2 dari 5 bersaudara dari pasangan Zainal Arifin Idris dan Zainuba. Penulis menyelesaikan pendidikan pada SD Negeri 12 tahun 1983 di Kotamadya Bengkulu. Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat pertama di lulus SMP Negeri 2 di Kotamadya Bengkulu. Tahun 1990 penulis lulus SMA Negeri Conggeang di Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1991, penulis diterima di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung dan menamatkannya pada tahun 1997.
Pada tahun1999 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen Sosial RI dan ditempatkan di Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya, per-bulan Maret tahun 2000, penulis ditempatkan/ dipindahkan pada salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Sosial RI yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya pada Panti Sosial Tresna Werdha ”Gau Mabaji” di Kabupaten Gowa. Pada tanggal 6 April tahun 2000 penulis menikah dengan Seranti Gaya, S.Pt. \dari pernikahan tersebut penulis dikarunia sepasang putera dan puteri, yaitu Deujannah Pascalia Fitriani yang lahir pada tanggal 02 Januari tahun 2001 dan Dewa Auditama Lakoni yang lahir pada tanggal 09 November 2006.
xi
Halaman
Prakata ... Riwayat Hidup ... Daftar isi ... Daftar Tabel ... Daftar Gambar ...
ix x xi xiv xv
II. PENDAHULUAN
1.1.
1.2.
1.3.
Latar Belakang ...
Rumusan Masalah ...
Tujuan Dan Kegunaan ... 1
4
5
II. TINJAUAN TEORITIK
2.1. Tinjauan Konseptual
2.1.1. Kelompok ...
2.1.2. Pemberdayaan ...
2.1.3. Pengembangan Masyarakat ...
2.1.4. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ...
7
10
12
14
2.2. Kerangka Pemikiran ... 17
III. METODOLOGI
3.1.
3.2.
Pendekatan dan Metode Kajian ...
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20
20
3.3. Pengumpulan dan Analisa Data
3.3.1. Metode Pengumpulan Data ...
3.3.2. Sumber Data ...
3.3.3. Pengolahan dan Analisis Data ... 21
21
22
3.4. Metode Penyusunan Rencana Program ... 23
IV. PETA SOSIAL KELURAHAN BINONG
xii
4.2. Kependudukan
4.2.1. Kependudukan ...
4.2.2. Kualitas Penduduk ... 26
28
4.3.
4.4.
5.5.
Jenis Pekerjaan Penduduk ...
Struktur Komunitas ...
Kelembagaan dan Organisasi Sosial ... 30
32
35
V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN BINONG
5.1. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
5.1.1. Deskripsi Kegiatan ...
5.1.2. Penerapan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Binong Kota Bandung ...
5.1.3. Pengembangan Ekonomi Lokal ...
5.1.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ... 37
41
43
44
5.2. Program Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Melalui Posyandu
5.2.1. Deskripsi Kegiatan ...
5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal ...
5.2.3. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ... 46
48
49
5.3. Masalah Kajian ... 50
VI. ANALISIS KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)
6.1. Pembentukan Kelompok Berbasis Komunitas
6.1.1. Kepemimpinan ...
6.1.2. Dana Komunitas ...
6.1.3. Sumber Daya material ...
6.1.4. Pengetahuan Komunitas ...
6.1.5. Proses Pengambilan Keputusan ...
6.1.6. Tekhnologi Komunitas ...
6.1.7. Organisasi Komunitas ... 54
55
55
56
56
57
xiii
6.2.2. Karakteristik KSM “Damar Suci” ... 6.2.3. Dinamika Internal KSM “Damar Suci” ...
59
61
6.3. Identifikasi Potensi dan Permasalahan Kelompok Swadaya Masyarakat
6.3.1. Identifikasi Potensi Kelompok Swadaya Masyarakat
6.3.2.
Identifikasi Permasalahan Kelompok Swadaya Masyarakat65
66
VII. PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM PENGUATAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT BERBASIS KOMUNITAS
7.1. Latar Belakang ... 74
7.2. Analisis Stakeholders ... 75
7.2.1 Badan Keswadayaan Masyarakat ...
7.2.2 Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (POJK) ...
7.2.3 Pemerintah (Kelurahan) ... ...
7.2.4 Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) ...
7.2.5 Relawan Pendamping ...
7.4.1. LSM, Perguruan Tinggi, Pengusaha, Perbankan, Dinas terkait ...
7.4.2. Kelompok Swadaya masyarakat (KSM) ... 76
76
77
77
77
78
79
7.3. Penggalian Alternatif Pemecahan Masalah ... 78
7.4. Program Aksi ... 81
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan ... 87
8.2. Rekomendasi Kebijakan ... 89
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rekapitulasi Pengumpulan Data Rencana Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota
Bandung ... 22
2. Luas Wilayah Kelurahan Binong Menurut Penggunaannya ... 26
3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ... 27
4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 29
5. Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kelurahan Binong Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Tahun 2004 ... 30
6. Model Organisasi dan kelembagaan Sosial di Kelurahan Binong ... 36
7. Aspek Organisasi KSM “ Damar Suci” ... 59
8.
Aspek Administrasi KSM “ Damar Suci” ...
...
609.
Aspek Permodalan KSM “ Damar Suci” ...
...
6010.
Aspek Usaha produktif KSM “ Damar Suci” ...
...
6111.
Peta Masalah ...
73xv
Halaman
1. Kerangka Pemikiran ... 19
2. Piramida Penduduk Kelurahan Binong ... 27
3. Model Tingkatan Sistem Pelapisan Masyarakat di Kelurahan Binong ... 34
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 telah meningkatkan
angka kemiskinan di Indonesia, dari 25,9 juta (17,7%) pada tahun 1993
menjadi 129,6 juta atau 66,3% dari jumlah penduduk pada tahun 1999
(BPS, 1999). Peningkatan ini tidak hanya terjadi di pedesaan, tetapi juga
terjadi di daerah perkotaan di Indonesia. Selain sebagai dampak krisis
ekonomi, hal ini juga akibat meningkatnya arus urbanisasi yang disertai
dengan membanjirnya migrasi penduduk miskin dari daerah pedesaan, baik
untuk mencari pekerjaan maupun hanya sekedar mengadu nasib. Kondisi
ini menggambarkan kompleksitas masalah kemiskinan yang terjadi dalam
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan.
Masalah kemiskinan di perkotaan mempunyai korelasi yang cukup
signifikan dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang dihadapi oleh
masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan gizi, perumahan dan
lingkungan serta ketersediaan kesempatan bekerja dan berusaha.
Permasalahan tersebut juga mempengaruhi ketidakpastian hidup bagi
komunitas miskin yang didefinisikan oleh Moser (1996) sebagai
ketidakamanan dan ketidakpastian dalam kesejahteraan individu, rumah
tangga dan masyarakat yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan
mereka.
Terkait dengan ketersediaan kesempatan bekerja dan berusaha,
berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah, LSM maupun pihak
swasta guna memberikan peluang dan akses bagi masyarakat dalam
mengembangkan aktivitas usaha yang telah mereka rintis. Sejalan dengan
perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada rakyat (people
centered devolopment), upaya-upaya yang dikembangkan tersebut
diarahkan pada pengembangan program pembangunan yang berakar pada
potensi dan sumber daya lokal. Salah satunya diwujudkan melalui
pengembangan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP).
Program P2KP merupakan program bantuan stimulan yang berbentuk
dan kapabilitas masyarakat miskin perkotaan sedemikian rupa mereka
mampu memenuhi kebutuhan hidup baik secara ekonomi maupun sosial.
Untuk kepentingan tersebut, program ini dibagi ke dalam dua kelompok
pengembangan yaitu kelompok fisik dan kelompok ekonomi. Kelompok fisik
ditujukan untuk menyediakan sarana dan prasarana fisik sebagai fasilitas
penunjang kegiatan ekonomi dan memperkuat struktur sosial masyarakat.
Sementara kelompok ekonomi lebih diarahkan pada upaya meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas ekonomi
yang berkembang dimasyarakat. Mekanisme penyaluran dana bantuan
P2KP dilakukan melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang
dibentuk oleh masyarakat. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) dalam P2KP dilakukan melalui pendekatan partisipatif, artinya
inisiatif dan alasan penentuan dan pemilihan anggota yang akan menjadi
anggota kelompok ditentukan oleh masyarakat. KSM fisik dibentuk
berdasarkan wilayah administratif di kelurahan seperti tingkat RT dan RW,
sedangkan KSM ekonomi dibentuk berdasarkan kelompok usaha ekonomis
produktif (UEP) masyarakat yang sejenis.
Disadari bahwa keberhasilan suatu program pengembangan
masyarakat, sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan publik yang
disusun untuk mendukung program, prosedur atau mekanisme
pelaksanaan dan kesiapan masyarakat menghadapi perubahan yang
timbul sebagai implikasi pelaksanaan program itu sendiri. Tidak sinkronnya
aspek-aspek tersebut dapat berakibat pada kegagalan program secara
keseluruhan. Demikian juga dengan P2KP, sepanjang sejarah pelaksanaan
selama kurang lebih 6 tahun (P2KP dillaksanakan mulai tahun 2000),
belum ada data resmi yang menggambarkan perkembangan Usaha
Ekonomis Produktif (UEP) yang telah mendapat sentuhan P2KP selama
kurun waktu pelaksanaanya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di
Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota Bandung, kegagalan
program P2KP menurut hemat pengkaji terutama disebabkan oleh
ketidaksiapan masyarakat dan mekanisme penyaluran bantuan usaha yang
belum transparan.
Hasil rekapitulasi penyaluran dana bantuan P2KP di Kelurahan
Binong memperlihatkan bahwa sebagian besar, yaitu sekitar 54,57 % atau
3
dialokasikan, diserap oleh sektor usaha ekonomis produktif masyarakat
yang bergerak dibidang usaha rajutan. Data yang diperoleh dari pengelola
program P2KP di Kelurahan Binong menunjukkan bahwa dari 344 KK yang
dijadikan sasaran program, 185 KK diantaranya adalah pengrajin rajutan.
Hal ini memperlihatkan bahwa penyaluran bantuan usaha lebih
diprioritaskan pada kegiatan UEP yang memiliki kapasitas daya saing
(competitive Advantage) sehingga lebih berpeluang untuk dikembangkan
pada level bisnis yang lebih tinggi. Prioritas ini mengindikasikan bahwa
selain aspek pertumbuhan, program P2KP juga mempertimbangkan aspek
keberlanjutan (sustainability), baik usaha itu sendiri maupun perputaran
dana program P2KP, sementara aspek sosial budaya yang terintegrasi
didalamnya belum dijadikan pertimbangan bagi pemberian bantuan.
Ditinjau dari sisi kuantitas keterlibatan masyarakat, P2KP di
Kelurahan Binong dapat dikategorikan cukup berhasil. Hal ini nampak dari
meningkatnya jumlah anggota masyarakat yang ikut berpartisipasi atau
memanfaatkan bantuan program. Pada tahap awal, program hanya mampu
membangun kelembagaan dalam bentuk KSM-KSM sebanyak 10 KSM,
saat ini baik kelembagaan maupun individu yang ikut berpartisipasi telah
melibatkan 93 KSM atau 344 KK. Namun demikian, keberhasilan ini tidak
diiringi oleh peningkatan kualitas usaha yang dikembangkan. Walaupun
terlihat ada beberapa indikasi peningkatan kualitas dalam manejemen
usaha seperti semakin luasnya jaringan pemasaran, hal ini belum dapat
mewakili gambaran keberhasilan program secara keseluruhan. Pandangan
ini terutama karena peningkatan tersebut hanya terjadi pada beberapa
pengrajin, utamanya pengrajin yang memang dari awal telah memiliki skala
usaha yang cukup besar, sementara pengrajin dengan skala usaha yang
relatif lebih kecil belum memperlihatkan peningkatan signifikan.
Hasil kajian yang penulis lakukan dalam praktek lapangan II
memperlihatkan bahwa kondisi ini terjadi karena distribusi dana bantuan
yang diterima oleh KSM tidak merata diantara anggota-anggotanya. Dalam
distribusi dana bantuan yang diterima, ada kecenderungan pihak yang
diserahkan wewenang mengelola dana yang diterima kelompok yang lebih
memprioritaskan dana tersebut untuk kepentingannya usahanya sendiri.
Umumnya dalam setiap KSM, pihak yang dipilih oleh anggotanya untuk
usaha yang cukup besar. Pemilihan ini dilakukan, selain untuk menjamin
pasokan bahan baku dan pemasaran, juga keamanan dana bantuan yang
diterima lebih terjaga. Namun dalam prakteknya, justeru oknum-oknum ini
sengaja memanfaatkan posisi tersebut untuk mengatasi kendala yang
mereka hadapi dalam mengakses modal dari lembaga-lembaga keuangan
resmi.
Kondisi diatas berakibat pada terhambatnya pertumbuhan aktivitas
usaha pengrajin dengan skala usaha yang relatif kecil. Alokasi dana
bantuan yang mereka terima tidak mampu meningkatkan kapasitas
produksinya, bahkan tidak sedikit yang terpakai untuk keperluan rumah
tangga. Selain itu, sikap monopoli tersebut akhirnya terakumulasi pada
menurunnya kualitas nilai-nilai kepercayaan (trust) diantara anggota KSM,
sehingga pada perkembangan selanjutnya, masyarakat lebih cenderung
untuk bertindak secara individual dalam memanfaatkan dana P2KP.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam suatu komunitas yang mermiliki aktivitas produktif yang
homogen selalu dihadapkan pada kecenderungan untuk terjadinya
benturan diantara sesama mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan
komunitas dengan aktivitas yang lebih variatif. Benturan dapat timbul akibat
upaya mengembangkan usaha maupun dalam mengakses permodalan
yang merupakan salah satu syarat penting dalam aktivitas ekonomi
produktif. Tanpa adanya koordinasi yang baik, bukan tidak mungkin kondisi
tersebut akan memunculkan tindakan-tindakan penyimpangan baik secara
ekonomi maupun sosial seperti monopoli, oligopoli dan pemaksaan satu
pihak terhadap pihak lainnya. Dampaknya, semua pihak yang ada dalam
komunitas tersebut tidak akan dapat melakukan aktivitasnya dengan
leluasa.
Menghadapi kenyataan tersebut, maka salah satu tindakan yang
mungkin dikembangkan adalah dengan membuat suatu wadah yang dapat
menampung aspirasi dan kepentingan anggota komunitas tersebut agar
memiliki peluang dan kesempatan yang sama, baik dalam
mengembangkan aktivitas produksinya maupun dalam mengakses
permodalan. Pembentukan wadah ini dapat dilakukan dengan
mengembangkan konsep-konsep organisasi secara formal maupun dengan
5
wujud kelembagaan. Wadah dimaksud dapat berbentuk sebuah
kelembagaan dalam pengertian organisasi ataupun kelembagaan, institusi
secara terpisah atau kombinasi keduanya.
Terkait dengan peluang dan kesempatan mengakses permodalan,
berdasarkan gambaran permasalahan yang ditemukan dalam komunitas
pengrajin rajutan di Kelurahan Binong, ternyata pembentukan wadah inipun
tidak serta merta dapat mengeliminir benturan-benturan yang ada. Bahkan
pembentukan wadah dimaksud justeru melahirkan potensi konflik baru
diantara anggota komunitas. Pada kenyataan yang terjadi dalam komunitas
pengrajin rajutan di Kelurahan Binong ini mendorong penulis untuk
mencoba mengkaji permasalahan tersebut dengan menggali aspek-aspek
penyebabnya.
Agar kajian yang dilakukan lebih terarah, maka penulis mempersempit
fokus kajian pada permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana menciptakan konsep keadilan dan kesetaraan dalam
pemanfaatan bantuan dari program pengembangan masyarakat
b. Bagaimana peran KSM dalam memformulasikan peran dan fungsi
anggotanya dalam meningkatkan kapasitas daya saing.
c. Bagaimana bentuk aktivitas yang dikembangkan dalam upaya
penguatan peran dan fungsi KSM dalam menunjang proses produksi.
1.3. Tujuan dan Kegunaan
1.3.1. Tujuan
a. Mengidentifikasikan aspek-aspek sosial masyarakat yang
dilibatkan atau dikembangkan dalam proses pembentukan KSM.
b. Mendapatkan gambaran tentang formulasi KSM yang tepat dan
sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
c. Menggali aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutan KSM
dan faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap proses
penguatan KSM.
d. Menemukan rumusan dan model pendekatan yang efektif bagi
upaya penguatan KSM
1.3.2. Kegunaan
Secara umum kajian ini diharapkan dapat memberikan
pengembangan masyarakat partisipatif yang dapat dikembangkan
oleh pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan
pembangunan di daerah. Selain itu, kajian ini juga dapat
memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pengetahuan,
dan para praktisi yang berkecimpung langsung dalam
pemberdayaan masyarakat. Lebih khusus diharapkan bermanfaat
bagi:
a. Pemerintah dan pihak terkait
1. Memberikan masukan praktis dan manfaat strategis berupa
masukan model-model dan konsep pengembangan
masyarakat partisipatif yang dapat dikembangkan oleh
pemerintah dalam penyusunan kebijakan pembangunan.
2. Memberikan kritik dan saran tentang pergeseran praktek
pengembangan partisipatif pada berbagai kondisi
masyarakat bagi pihak-pihak yang terlibat langsung sebagai
agen pembaharu dalam pemberdayaan masyarakat di masa
yang akan datang.
b. Perguruan Tinggi
1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat menambah
khasanah keilmuan tentang bentuk-bentuk praktis konsep
pendekatan kelompok dalam pemberdayaan masyarakat.
2. Memberikan informasi awal bagi penelitian selanjutnya,
dalam usaha mendapatkan model pemberdayaan kelompok
II.
TINJAUAN TEORITIK
2.1. Tinjauan Konseptual
2.1.1. Kelompok
Dari banyak konsep “Kelompok” yang dikembangkan para oleh ahli, satu aspek mendasar yang disepakati adalah bahwa
kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki
tujuan yang sama. Lebih luas lagi, Longres (1994) mengemukakan
bahwa; “ Group are more than aggregates of people; they are system, “ two or more persons who are interacting one and another in such a manner that each person influences and is influenced by
each other person.” Pendapat ini menjelaskan bahwa selain
karakteristik kelompok, yaitu interaksi, struktur, tujuan (common
purpose, goals) dan dinamika (dynamics), dalam kajian tentang
kelompok, Longres juga menekankan pentingnya pemahaman
tentang kelompok sebagai suatu sistem sosial yang memliliki
mekanisme yang mengatur pola hubungan diantara anggotanya
yang menggambarkan posisi kelompok dalam kehidupan
masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks ini, ia menambahkan
bahwa kelompok memiliki atribut sebagai berikut :
a. Interdependence. Kelompok adalah kumpulan individu dimana
masing-masing itu unik dan antar semua individu saling
tergantung.
b. Structure. Kelompok memiliki organisasi internal yang terdiri dari
norma-norma atau kesepakatan dalam melakukan suatu
pekerjaan dan bagian dari pekerja yang ditandai oleh peranan
dari status. Struktur ini membuat kelompok lebih dari sekedar
kumpulan sejumlah individu.
c. Identity. Kelompok memiliki entitas kesadaran diri. Anggota
kelompok memandang diri mereka yang berada dalam
kelompok sebagai “kami (us)” dan memandang orang lain yang
berada diluar kelompok (outsiders) sebagai “mereka (they)”.
Outsiders biasanya memilih atau memiliki kecenderungan untuk
d. Boundaries. Suatu batas kelompok ditandai secara fisik oleh
ruang yang ditempati, secara psikologis oleh kepribadian
anggotanya dan secara sosial oleh rasa keakuan, tradisi dan
norma-norma khususnya.
e. Organization. As a hole on. Kelompok merupakan keseluruhan
yang memiliki bagian-bagian. Suatu kelompok pada waktu yang
bersamaan pada setiap diri anggota kelompok merasakan
dirinya sebagai bagian dari keseluruhan, dimana keseluruhan
tersebut merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih luas
lagi. Kelompok tetap eksis karena di dalamnya ada lingkungan
sosial yang memberi pengaruh yang dapat dijadikan sebagai
sumber kekuatan sekaligus sumber-sumber ketegangan.
f. Openess. Kelompok sama halnya seperti individu, merupakan
sistem yang terbuka yang tidak dapat eksis tanpa
ketergantungan dengan lingkungan sosial dimana mereka harus
berinteraksi.
g. Dynamism. Karena adanya kesalingtergantungan atau
keterbukaan antar sejumlah anggota kelompok dengan
lingkungan, kelompok menjadi dinamis; tidak statis. Konflik dan
perubahan akan selalu muncul.
Merujuk pada konsep diatas, dapat disimpulkan bahwa
interaksi merupakan unsur fundamental yang sangat penting dari
semua proses kelompok. Interaksi ini mengacu pada pola pengaruh
timbal balik yang ada dalam kelompok. Kelompok juga
mengembangkan suatu struktur tertentu atau pola stabil dari tingkah
laku yang ditunjukan oleh anggota kelompok dimana mereka
berinteraksi secara berulang dengan cara/ karakter yang dimiliki
oleh setiapa anggota kelompok. Kelompok memiliki beberapa tujuan
atau fungsi, yaitu antara lain untuk menyelesaikan suatu tugas,
membantu anggotanya untuk tumbuh dan berkembang, atau
menyediakan aktivitas pengisian waktu luang.
Kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam kelompok pada
umumnya menunjukan bahwa kelompok memiliki realitas
kehidupannya sendiri yang eksis diantara fakta-fakta keberadaan
9
dengan pandangan tersebut, Sukanto (1990) menyatakan bahwa
syarat-syarat kelompok adalah :
a. Ada kesadaran dari setiap anggota sebagai bagian dari
kelompok.
b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan
yang lain.
c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan
antar mereka bertambah erat (nasib, kepentingan, tujuan,
ideologis dsb)
d. Kelompok tersebut berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola
perilaku.
Pada umumnya latar belakang pembentukan kelompok dalam
masyarakat dilandasi oleh dua alasan, pertama terbentuk secara
alamiah dan kedua karena dibentuk oleh pihak luar untuk berbagai
tujuan. Kelompok alamiah tumbuh dan berkembang karena
kesamaan kebutuhan (keamanan dan sosial), keadaan fisik dan
daya tarik anggota, dan alasan ekonomi. Sedangkan kelompok
bentukan pihak luar ditumbuhkembangkan antara lain untuk tujuan
terapi pemberdayaan, rekreasi atau berorientasi pada tugas.
Kelompok-kelompok bentukan cenderung memiliki fungsi-fungsi
yang jelas dan memiliki tugas untuk mengembangkan nilai-nilai,
norma dan tujuan kelompok.
Sumberdaya kelompok mencakup karakteristik anggota dan
sumber-sumber yang dimiliki kelompok. Karakteristik anggota
mencakup karakteristik rumah tangga, pendapatan, modal, sikap,
kemampuan dan keterampilan. Sumberdaya kelompok juga meliputi
informasi pembagian tugas kelompok, pengetahuan dan keahlian,
waktu, modal atau alat-alat produksi yang dimiliki kelompok.
Sementara faktor lingkungan mencakup faktor sosial budaya dan
ekonomi. Agar perkembangan suatu program dapat berakar dan
hidup di masyarakat, maka perlu memperhatikan lingkungan sosial
budaya masyarakat dan aspek-aspek kehidupan ekonomi seperti
2.1.2. Pemberdayaan
Secara etimologi, pemberdayaan atau pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata „power‟ (kekuasaan atau
keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan senantiasa
bersentuhan dengan konsep kekuasaan. Namun pemahaman yang
mendalam terhadap konsep pemberdayaan tidak terlepas dari
konsep yang mendasarinya yaitu ketidakberdayaan. Pemahaman
kondisi tersebut merupakan bagian dari proses pemberdayaan itu
sendiri. Keadaan ini oleh Leamer (1986) dalam Suharto (1997)
digambarkan sebagai suatu kondisi dimana orang merasa tidak
berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran, emosional,
intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian
kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada.
Pemberdayaan merupakan strategi pembangunan yang
berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Pemberdayaan merupakan proses peningkatan kemampuan
individu, kelompok dan masyarakat agar mampu mengambil
keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait
dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan
sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya
yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya
(Payne, 1997). Sementara itu Ife (1995) memberikan batasan
pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang
atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk
meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya
dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan
komunitas mereka. Terkait dengan itu, Sutrisno (2000)
menjelaskan, dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi
wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik
yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping
mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan,
perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya
dengan pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok
11
pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh
pemerintah.
Dalam konteks pengembangan masyarakat, pemberdayaan
tidak hanya ditujukan pada pengembangan potensi ekonomi
rakyat, tetapi juga ditujukan untuk mengembangkan harkat dan
martabat manusia, rasa percaya diri, serta terpeliharanya
nilai-nilai budaya setempat. Untuk mencapai kondisi berdaya baik
secara ekonomi maupun sosial tersebut, Kartasasmita (1997),
mengajukan dua strategi pengembangan yang dapat diterapkan
dalam pemberdayaan. Pertama, memberikan peluang agar sektor
dan masyarakat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan
untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Kedua,
memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan rakyat yang masih
tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan
modern. Strategi ini diterapkan dengan mengembangkan
upaya-upaya berikut :
a. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang memiliki agar
berupaya untuk mengembangkannya.
b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki (misalnya:
membuka akses pada berbagai peluang dan penyediaan
berbagai masukan: modal, teknologi dan pasar).
c. Mengembangkan perlindungan bagi golongan lemah sebagai
bukti keberpihakkan pada mereka, mencegah persaingan yang
tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat
dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan.
Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk
memperkuat potensi kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai
tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil
yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat
yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan
dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang
diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali
digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai
sebuah proses. Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan
beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai
empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):
a. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk berpergian.
b. Kemampuan membeli komoditas „kecil‟: kemampuan individu
untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari.
c. Kemampuan membeli komoditas „besar‟: kemampuan individu
untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier.
d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga;
mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama
suami/istri.
e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya
mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang
(suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah,
perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai
anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
f. Kesadaran hukum dan politik.
g. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga
2.1.3. Pengembangan Masyarakat
Ardle (1989) mengemukakan; “ Community Devolopment is The devolopment and utilization of a set of ongoing struktur which allaw the community to meet its own needs,” ( Pengembangan masyarakat adalah pengembangan dan pemanfaatan secara efektif
seperangkat struktur yang sedang berlangsung yang
memungkinkan komunitas dapat memenuhi kebutuhannya sendiri).
Pengertian ini menggambarkan bahwa pengembangan masyarakat
melibatkan seperangkat struktur yang diharapkan dapat
menumbuhkan kemandirian kelompok komunitas dalam memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu dalam proses pengembangan
13
kehidupan masyarakat tersebut, sehingga keputusan apapun
mengenai fokus pengembangan dibuat secara sadar dan dipilih oleh
masyarakat sendiri, dengan mempertimbangkan sumber daya yang
telah ada di masyarakat dan menjadi kebutuhan masyarakat.
Dalam perspektif pekerjaan sosial, pengembangan
masyarakat bertujuan untuk menciptakan kemajuan sosial dan
ekonomi golongan masyarakat miskin melalui partisipasi aktif dan
inisiatif mereka sendiri. Masyarakat tidak dipandang sebagai sistem
klien yang bermasalah, melainkan sebagai masyarakat yang unik,
memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya
dikembangkan. Peran pekerja sosial disini adalah membantu
masyarakat agar dapat mengidentifikasi masalah dan kebutuhannya
serta mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani
masalah yang mereka hadapi secara efektif. Jadi fokusnya adalah
menolong masyarakat untuk dapat menolong dirinya sendiri (to help
people to help themselves).
Menurut Korten (1984), pengembangan masyarakat adalah
suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan,
dengan syarat menyentuh aspek-aspek keadilan, keseimbangan
sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat. Jadi dalam
pengembangan masyarakat terkandung esensi partisipasi. Partipasi
merupakan bentuk perilaku sadar. Ini berarti bahwa tanpa
kesadaran dan kesukarelaan akan terjadi partisipasi yang semu.
Pada program dengan pendekatan ekonomi produktif (termasuk
P2KP) bentuk partisipasi masyarakat adalah partisipasi interaktif
dan fungsional.
Kajian terhadap keberhasilan/kegagalan partisipasi
masyarakat menyimpulkan bahwa ada dua hal yang mendukung
terjadinya partisipasi, yaitu ada unsur yang mendukung untuk
berperilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant)
dan terdapat iklim atau lingkungan (environment factors) yang
memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu (Oppenheim, 1973
dalam Sumardjo & Saharuddin, 2004). Masyarakat tidak akan
berpartisipasi kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka
rencana akhir (adanya manfaat dalam penilaian mereka).
Masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
yang tidak menarik minat mereka atau aktivitas yang dapat mereka
rasakan.
Simpulan diatas menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat
akan muncul bila ada tiga prasyarat (Sumardjo dan Saharuddin,
2004), yaitu adanya : 1). Kesempatan; suasana atau kondisi
lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang
untuk berpartisipasi; 2). Kemauan; sesuatu yang mendorong/
menumbuhkan minat dan manfaat yang dapat dirasakan aatas
partisipasinya tersebut; 3). Kemampuan; kesadaran atau keyakinan
pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk
berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan
material lainnya.
2.1.4. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya
memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal
lainnya, termasuk pemerintah daerah dan kelompok yang peduli
setempat, sehingga dapat dibangun "gerakan bersama" dalam
menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan di
wilayah bersangkutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka
dituntut adanya pembagian peran yang jelas antar pelaku P2KP,
baik yang langsung tergabung dalam organisasi program maupun
pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah daerah, para pemerhati
yang peduli, kelompok-kelompok masyarakat dan lain-lain, dari
tingkat pusat sampai tingkat komunitas.
Program P2KP mempunyai visi masyarakat mampu
menanggulangi kemiskinan secara mandiri, efektif dan
berkelanjutan. Sedangkan misinya adalah memberdayakan
masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam upaya
menanggulangi kemiskinan yang dihadapinya. Prinsip yang dianut
dalam pelaksanaan P2KP adalah: demokrasi, partispasi,
15
dibangun, dikembangkan dan dijunjung tinggi dalam pelaksanaan
P2KP adalah: keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan dapat dipercaya.
Dengan demikian sebenarnya Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program
pemberdayaan masyarakat yang bermaksud agar masyarakat
mampu menolong dirinya sendiri. Secara umum tujuan P2KP adalah
membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan manfaat
kepada masyarakat miskin di kelurahan sasaran melalui:
a. Bantuan kredit modal kerja bagi upaya peningkatan pendapatan
secara berkelanjutan.
b. Bantuan hibah untuk pembangunan maupun perbaikan
prasarana dan sarana dasar lingkungan
c. Bantuan penciptaan kesempatan kerja, termasuk pelatihan,
untuk mencapai kemampuan pengembangan usaha-usahanya.
Sehingga Kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat dalam
P2KP adalah kegiatan-kegiatan yang mengarah pada keterpaduan
Konsep Tridaya yaitu :
a. Kegiatan Pemberdayaan Sosial, berupa kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang mengarah pada peningkatan keterampilan
teknis dan manajerial dalam upaya menunjang penciptaan
peluang usaha baru, pengembangan usaha, penciptaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
b. Kegiatan Pemberdayaan Ekonomi, berupa kegiatan industri
rumah tangga atau kegiatan usaha skala kecil lainnya yang
dilakukan oleh perseorangan/ keluarga miskin yang
menghimpun diri dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
c. Kegiatan Pemberdayaan Lingkungan, berwujud pemeliharaan,
perbaikan maupun pembangunan baru prasarana dan sarana
dasar lingkungan permukiman yang dibutuhkan masyarakat
kelurahan, seperti jalan dan lingkungan, ruang terbuka hijau
atau taman, dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat
atau komponen lain yang disepakati masyarakat. (P2KP 1999: 2)
Pola pendekatan pemberdayaan dalam P2KP dilaksanakan
melalui penguatan kelembagaan masyarakat sebagai fondasi bagi
perantara. Pada prakteknya, program P2KP dilakukan dengan cara
menyediakan bantuan keuangan (dana pinjaman bergulir dan
hibah), serta bantuan teknis (tenaga pendamping yang dikenal
dengan fasilitator kelurahan) dengan membangun rasa saling
mempercayai antar berbagai pihak yang terlibat. Dana program
tersebut dapat digunakan untuk kredit bagi ekonomi berkelanjutan
dan hibah untuk pembangunan atau perbaikan sarana dan
prasarana dasar lingkungan, tergantung pada prioritas kebutuhan
kelompok masyarakat setempat (P2KP 1999: 2).
Dalam pelaksanaanya, setiap anggota masyarakat yang ingin
terlibat dalam program tersebut diwajibkan untuk membentuk atau
ikut dalam satu kelompok tertentu (Kelompok Swadaya
Masyarakat). Kelompok Swadaya Masyarakat merupakan target
penerima bantuan yang sesungguhnya dengan persyaratan sebagai
berikut :
1. Beranggotakan minimal tiga orang (dari rumah tangga yang berbeda).
2. Anggota berasal dari keluarga berpenghasilan rendah berdasarkan kesepakatan bersama antara lurah, tokoh masyarakat, pengurus RT/RW, dan warga masyarakat lainnya. 3. Jumlah anggota yang tidak berasal dari keluarga miskin (namun
diajak bergabung karena memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan) dibatasi tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota KSM (Juknis P2KP 1999: 3).
Selanjutnya masyarakat akan dibantu seorang tenaga
pendamping yang bertugas antara lain membantu dan
mengarahkan dalam penyusunan usulan kegiatan yang akan
dilaksanakan KSM. Lebih jauh, tenaga pendamping yang disebut
dengan fasilitator kelurahan ini berguna untuk menyampaikan
informasi tentang program P2KP, selain membantu menyiapkan
usulan dan memantau pelaksanaan program. Fasilitator kelurahan
ini biasanya mempunyai latar belakang kerja sosial dan telah
mendapatkan pelatihan fasilitasi. Pada awal program, akan tersedia
satu fasilitator per kelurahan atau maksimal 14 orang untuk
17
lebih dari 12 KSM. Berdasarkan pertimbangan batas rentang
kendalinya.
Selain itu, di tingkat kelurahan terdpat institusi lokal yang
mendapat kepercayaan untuk menerima dan menyalurkan bantuan
pemerintah pusat yang dikenal dengan BKM atau Badan
Keswadayaan Masyarakat. Lebih jauh BKM sebagai institusi lokal
dapat berfungsi sebagai institusi yang mewakili kepentingan warga,
serta berfungsi dalam menjaga kesinambungan program P2KP.
BKM merupakan badan musyawarah dan pengambilan keputusan
tertinggi warga masyarakat setempat, yang berhak menilai
rencana/usulan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam jenis
kegiatan P2KP (Juknis P2KP 1999: 7).
2.2. Kerangka Pemikiran
Pada umumnya latar belakang pembentukan kelompok dimasyarakat
dilandasi oleh dua alasan, pertama terbentuk secara alamiah dan kedua
karena dibentuk oleh pihak luar untuk berbagai tujuan. Kelompok alamiah
tumbuh dan berkembang karena kesamaan kebutuhan (keamanan dan
sosial), keadaan fisik dan daya tarik anggota, dan alasan ekonomi.
Sedangkan kelompok bentukan pihak luar ditumbuh kembangkan antara
lain untuk tujuan terapi pemberdayaan, pembinaan, rekreasi atau
berorientasi pada tugas. Kelompok-kelompok bentukan cenderung memiliki
fungsi-fungsi yang lebih jelas dan memiliki tugas untuk mengembangkan
nilai-nilai, norma dan tujuan kelompok.
Kegiatan secara kelompok pada kondisi tertentu memiliki berbagai
kelebihan dari usaha yang dilakukan secara individual. Melalui kelompok
maka suatu aktifitas akan dapat berjalan lebih efisien, masing-masing
anggota dapat saling memperhatikan dan memberi dukungan,
norma-norma yang telah terbentuk menjadi sarna sosialisasi sosial sehingga dapat
meningkatkan keberfungsian individu maupun kelompok.
Ditinjau dari segi waktu dan proses pembentukannya, KSM pengrajin
rajutan yang berada di Kelurahan Binong termasuk dalam katagori
kelompok bentukan, yaitu oleh pengelola P2KP. Dari perspektif pengelola
program, KSM ini diharapkan dapat menjalankan peran dan fungsinya
dalam ; 1) mengorganisasi kepentingan-kepentingan para pengrajin rajutan
memperpendek atau menyederhanakan proses pengajuan bantuan; 2)
mengembangkan sikap-sikap dan perilaku usaha para pengrajin yang
signifikant bagi pengembangan usaha; 3) meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan pengrajin baik secara teknis maupun praktis.
Sebagai elemen sosial yang dibangun dari individu-invdividu, kekuatan
suatu kelompok sangat bergantung pada karakter-karakter yang terdapat
dalam diri individu anggota-anggotanya seperti ; usia, jenis kelamin dll.
Disamping itu, dalam memasuki suatu kelompok, selain karakter internal yang
dibentuk secara alamiah, individu anggota juga membawa karakter yang
terbentuk melalui proses sosialisasi yang dijalaninya dalam kehidupan
bermasyarkat, seperti; persepsi, sikap, pendidikan, pengalaman, tingkat
ketergantungan keluarga, keragaan usaha dll. Selanjutnya melalui interaksi
yang terjadi dalam kelompok, melewati dimensi waktu dan ruang,
karakter-karakter tersebut berproses membentuk karakter-karakteristik kelompok. Dalam
interaksi tersebut setiap anggota saling menerima dan memberi kesan dan
persepsi sehingga menciptakan norma-norma bagi pengaturan peran dan
fungsi bagi keberfungsian kelompok, dalam mengembangkan tujuan bersama,
mengembangkan kohesivitas dan konformitas kelompok sehingga membuat
mereka berfikir bahwa kelompok adalah “kami”.
Keberadaan suatu kelompok tidak terlepas dari dari dinamka sosial
yang terjadi dalam proses pembentukannya. Sebagai kelompok bentukan
pihak luar, proses pembentukan KSM pengrajin rajutan tidak terlepas dari
kebijakan pihak yang berkepentingan terhadap pembentukannya, dalam hal
ini P2KP. Dalam pembentukan suatu kelopok, pada umumnya kebijakan
yang terkait dengan kepentingan pihak luar tersebut besar pengaruhnya
terhadap kemandirian kelompok itu sendiri. Artinya
kepentingan-kepentingan tersebut justru dapat menyebabkan proses internalisasi
kepentingan anggota justru menjadi terabaikan.
Dengan adanya dinamika yang terjadi dalam suatu kelompok, maka
dalam upaya untuk menciptakan suatu kelompok yang mampu
memaksimalkan peran dan fungsi idealnya, pertimbangan terhadap
kondisi-kondisi yang mempengaruhi kelompok, baik eksternal maupun internal
harus djadikan prioritas. Dengan mempertimbangkan kondisi itu diharapkan
upaya penguatan yang dilakukan mampu mengakomodir kepentingan
19
Mengingat banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi
suatu kelompok seperti diuraikan diatas, maka dalam konterks kajian ini,
penulis berupaya untuk mengembangkan konsep-konsep tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kelompok tersebut sebagai landasan
penyusunan program pengembangan masyarakat yang akan dilakukan.
Secara sederhana alur pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai
[image:35.595.81.512.186.797.2]berikut : Gambar. 1 Kerangka Pemikiran Keterangan : : : : : Terdapat/ Dihasilkan Saling mempengaruhi Dilakukan
Dilakukan dg cara/ melalui - Sejarah
- Permodalan - Kapasitas produksi - Konformitas - Jejaring
- Akses dan Kontrol - Sistem Pemasaran
Identifikasi Permasalahan dan
Kebutuhan KSM Keragaan KSM
- Dominasi pengurus terhadap pemasaran - Distribusi bantuan tidak
Merata - Tidak mampu
memberikan kontribusi bagi masyarakat - Proses Pembentukan
Kelompok - Kepemimpinan - Karakteristik anggota - Manajemen Organisasi - Pengambilan Keputusan
Dinamika KSM (Performance) KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (KSM)
3.1. Pendekatan dan Metode Kajian
Kajian yang akan dilakukan merupakan suatu upaya untuk mengkaji
fenomena sosial yang sedang terjadi pada komunitas pengrajin rajutan.
Peristiwa sosial yang menjadi obyek pengamatan adalah interaksi yang
terjadi antara anggota KSM dalam menggerakan dan mengembangkan
aktivitas KSM. Agar hasil yang diperoleh dapat memberikan gambaran
yang komprehensif, maka kajian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif.
Selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
tentang kondisi permasalahan yang terjadi pada Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) dalam komunitas pengrajin rajutan di Kelurahan Binong,
kajian dilakukan pada aras mikro dengan strategi studi kasus tipe
instrumental, yaitu suatu yang memperlakukan kasus yang dikaji sebagai
instrumen untuk memahami masalah tertentu. Dalam konteks kajian ini
KSM pengrajin rajutan merupakan kasus yang menjadi intrumen untuk
memahami faktor-faktor yang menyebabkan tidak optimalnya peran dan
fungsi KSM dalam mengembangkan aktivitas ekonomi anggotanya.
Tipe kajian yang akan dilakukan termasuk pada tipe kajian desktiptif,
dimana hasil kajian diharapkan dapat mendukung upaya perumusan
program pemecahan masalah. Sementara agar fokus kajian tidak
menyimpang dari pokok permasalahan, dalam kajian ini digunakan
pendekatan pendekatan Obyektif (Sitorus & Agusta, 2004), yaitu upaya
memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai pola perilaku,
tindakan dan interaksi komunitas dalam menjalankan aktivitasnya.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kajian pengembangan masyarakat ini merupakan kelanjutan dari
hasil-hasil kegiatan praktek lapngan I dan II yang telah dilaksanakan
sebelumnya. Untuk pendalaman hasil-hasil tersebut, pelaksanaan kajian ini
dilakukan selama selama dua (2) bulan, yaitu dari tanggal 14 Agustus
sampai dengan 4 Oktober 2005 dengan fokus merancang program
pengembangan masyarakat secara partisipatif pada komunitas pengrajin
rajutan yang berada di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal Kota
21
3.3. Pengumpulan dan Analisa Data
3.3.1. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan strategi dan aras kajian yang akan dilakukan,
maka data yang dikumpulkan adalah data-data kuantitatif yang
diambil dari beberapa pihak terkait yang dianggap kapabel untuk
menggambarkan kondisi komunitas. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan metode; observasi, studi dokumentasi,
wawancara dan questioners. Observasi dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran tentang kehidupan sehari-hari para
pengrajin rajutan, terutama yang terkait dengan upaya-upaya yang
dilakukan dalam rangka pengelolaan dan pengembangan usahanya.
Sementara itu studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari
data-data yang terkait dengan komunitas pengrajin misalnya melalui
sistem pembukuan yang terkait dengan aktivitas produksinya.
Selanjutnya untuk menggali inti permasalahan yang lebih
mendalam dan spesifik, akan dilakukan melalui teknik wawancara.
Wawancara ini selain dilakukan kepada para pengrajin selaku
subyek penelitian, juga dilakukan wawancara dengan pihak-pihak
lain yang terkait dengan aktivitas pengrajin, termasuk didalamnya
stakeholder-stakeholder seperti pemasok bahan baku, pembeli dan
pengecer.
3.3.2. Sumber Data
Agar data-data yang diperoleh memiliki tingkat validitas yang
tinggi, maka selain dari hasil observasi yang dilakukan, penulis juga
mengupayakan data-data dan informasi dari sumber-sumber lain
yang mempunyai keterkaitan dengan aktivitas pengrajin rajutan,
antara lain :
a. Pemerintah (Kelurahan)
b. Pengelola Program (BKM)
c. Konsultan Manajeman Wilayah
d. Pengrajin (pemilik usaha)
e. Pengrajin (pekerja), dan ;
f. Stakeholder-stakeholder yang terkait seperti; penyedia bahan
3.3.3. Pengolahan dan Analisis Data
Guna memperoleh suatu simpulan yang memiliki kapabilitas
memadai untuk dapat digunakan sebagai dasar bagi penyusunan
program pemecahan masalah, data yang dikumpulkan selanjutnya
diolah. Setelah melalui tahapan peringkasan, pengkodean dan
pemilahan sesuai dengan kebutuhan kajian, data-data tersebut
selanjutnya dianalisis melalui tahapan sebagai berikut :
a. Analisa data umum, yang bertujuan untuk mempertajam
masalah hingga perumusan sub-sub masalah.
b. Analisa data tafsiran, yang bertujuan lebih mempertajam
sub-sub masalah yang telah dirumuskan.
c. Analisa untuk mengecek kembali, yang bertujuan untuk
mengecek kembali kebenaran dan kemungkinan
mengembangkan kembali tafsiran-tafsiran dengan masuknya
data baru.
d. Analisa untuk menemukan makna data, yang bertujuan
memahami tafsiran dalam konteknya dengan masalah secara
keseluruhan.
Lebih jelas mengenai teknik yang digunakan dan data-data yang
[image:38.595.122.511.525.707.2]dikumpulkan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 Rekapitulasi
Pengumpulan Data Rencana Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Binong Kecamatan Batununggal
Kota Bandung
Tujuan Kajian
Jenis Data Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
Observasi Wawancara Studi
Dokumentasi FGD
3.1.1 Profil KSM
Responden, stakeholder, tokoh masyarakat
3.1.2
Keragaan Kelompok & Aktivitas Produktif Anggota Responden, pengelola program, dan tokoh masyarakat 3.1.3
23
3.4. Metode Penyusunan Rencana Program
Penguatan yang dimaksud dalam konteks kajian ini adalah upaya
melakukan reposisi dan reorientasi peran dan fungsi Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) yang dibentuk terkait dengan keberadaan program
pengembangan masyarakat yang dilaksanakan, yaitu P2KP. Dari gambaran
masalah umum yang diperoleh, terlihat bahwa sebagian besar
permasalahan yang terjadi dalam KSM pengrajin rajutan di Kelurahan
Binong bersumber dari anggota KSM itu sendiri. Dengan demikian, apapun
bentuk upaya penyelesaiannya, hal penting yang harus dipertimbangkan
adalah mengembalikan permasalahan tersebut kepada mereka.
Merujuk pada penguatan sebagai saran tindak yang
direkomendasikan, sesuai dengan teori diatas, metode Focus Group
Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah dan wawancara
mendalam dengan Methode Participatory Assesment (MPA) dapat menjadi
alternatif awal penyelesaian masalah yang terjadi. Kedua metode ini dapat
menjadi wadah bagi anggota komunitas untuk mengevaluasi kegagalan
konsep kelompok yang dikembangkan dalam komunitas mereka.
Disadari bahwa memasuki suatu masyarakat yang didalamnya
terdapat potensi konflik bukanlah suatu perkara yang mudah. Dengan
tingkat kepercayaan diantara sesama mereka yang rendah, akan lebih sulit
bagi orang luar (orang asing/peneliti) untuk melebur kedalam kehidupan
mereka. Untuk itu, guna merealisasikan penyusunan rencana program ini,
penulis akan melakukan beberapa tahap tindakan sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi tokoh-tokoh atau anggota masyarakat yang mengerti
dan memahami keberadaan dan permasalahan dengan ;
1) Melakukan pendekatan melalui jalur formal dan informal untuk
mendapatkan izin sosial dari masyarakat.
2) Melakukan komunikasi dengan warga yang tidak terkait langsung
dengan permasalahan namun memiliki hubungan sosial dengan
komunitas yang bermasalah.
3) Menentukan tokoh-tokoh yang dapat menjembatani komunikasi
dengan komunitas subyek. dan informan lainnya.
b. Membuka kontak dengan komunitas melalui perantara warga yang tidak
c. Menjelaskan maksud dan tujuan serta menggali informasi sehubungan
dengan latar belakang munculnya permasalahan dengan menerapkan
metode partisipatif.
d. Mengadakan kesepakatan dengan komunitas subyek untuk membahas
lebih lanjut tindak lanjut permasalahan. Kegiatan ini melibatkan
beberapa tokoh masyarakat yang berpengaruh dan beberapa pengrajin
yang memiliki kepentingan berbeda untuk :
1) Menentukan format atau bentuk kegiatan (Focus Group Discussion )
2) Menentukan waktu dan tempat kegiatan
3) Menentukan orang-orang yang akan diundang dan narasumber.
4) Identifikasi kebutuhan pelaksanaan kegiatan
e. Menyelenggarakan kegiatan yang telah dirumuskan bersama. Dalam
pelaksanaan kegiatan, dengan menerapkan teknik-teknik dalam metode
pengembangan masyarakat secara partisipatif, masyarakat (khususnya
responden) diarahkan dan didorong untuk ;
1) Memiliki inisiatif untuk mengemukakan pendapat tentang
permasalahan yang dirasakannya akibat kondisi yang terjadi dalam
Kelembagaan.
2) Mengemukakan solusi pemecahan masalah
3) Membentuk suatu Tim Khusus (terpadu) yang bertugas membahas
hasil kegiatan.
f. Konseptualisasi rencana program oleh Tim Khusus (terpadu).
g. Review rencana program
h. Pelaporan
IV. PETA SOSIAL KELURAHAN BINONG
4.1. Gambaran Lokasi
Secara administratif Kelurahan Binong merupakan salah satu
Kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Batununggal Kota Bandung.
Dengan posisi tersebut, Kelurahan Binong memiliki tingkat aksesibilitas
terhadap sistem sumber yang cukup baik dan lancar. Akses masyarakat
terhadap pusat-pusat pemerintahan maupun pusat-pusat perdagangan
dapat dijangkau dalam waktu antara 15-30 menit. Kondisi ini memberikan
kemudahan bagi masyarakat baik untuk memperoleh berbagai bentuk
informasi.
Selain itu, kemudahan-kemudahan lain yang mendukung posisi
Kelurahan Binong adalah terkait dengan ketersediaan sarana dan
prasarana umum. Salah satu prasarana umum terpenting yang dapat
menunjang aktivitas masyarakat di kelurahan Binong adalah prasarana
Jalan. Posisi Kelurahan Binong dikeliling oleh beberapa jalan protokol
(utama) di Kota Bandung seperti ; JI. Kiaracondong di sebelah Timur, JI.
Gatot Subroto di sebelah Utara, dan JI Soekamo Hatta di bagian Selatan.
Berbagai aktivitas ekonomi yang berkembang di sepanjang jalan protokol
tersebut memberikan berbagai alternatif pilihan bentuk aktivitas ekonomi
yang dapat dikembangkan.
Secara geografis wilayah Kelurahan Binong terletak pada ketinggian
760 dpi dengan curah hujan 2400mm3 pertahun dan suhu harian rata-rat
28° C. Sedangkan secara topografi, wilayah kelurahan Binong merupakan
dataran dengan luas wilayah 72,02 Ha.
Sebagian besar wilayah Kelurahan Binong merupakan wilayah
pemukiman penduduk. Namun demikian terdapat beberapa bagian
wilayahnya bukan merupakan pemukiman penduduk. Misalnya untuk
kegiatan industri, pertanian maupun perikanan. Untuk lebih jelasnya
Tabel. 2
Luas Wilayah Kelurahan Binong Menurut Penggunaannya
N0. Penggunaan Luas (Ha2)
1. Pemukiman Penduduk 58,9 ,
2. Perkantoran 3.1
3. Sekolah 1,6
4. Pertokoan 1,5
5. Fasilitas Umum 6.9
6. Pertanian (sawah pengairan) 1
7. Perikanan darat (tambak) 4
Sumber : Data Kelurahan Binong, Januari 2004
4.2. Kependudukan
4.2.1. Komposisi Penduduk
Berdasarkan data Demografi Kelurahan, sampai dengan
bulan Oktober 2004, penduduk kelurahan Binong tercatat sebanyak
14.008 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 74,66 % (10.459 jiwa)
diantaranya termasuk dalam kelompok penduduk produktif yaitu
penduduk dengan kisaran usia antara 15 tahun s/d 65 tahun. Hal ini
sekaligus menjelaskan bahwa tingkat tanggungan penduduk
produktif terhadap penduduk non produktif termasuk dalam kategori
cukup rendah, yaitu 34. Namun bila ditinjau berdasarkan pada
kelompok penduduk usia kerja yang bekerja, maka rasio beban
tanggungan menjadi cukup besar, yaitu 79.
Data tersebut juga menjelaskan bahwa dari 10.459 jiwa
penduduk usia kerja, hanya 4.504 jiwa yang memiliki pekerjaan,
sisanya termasuk dalam angkatan kerja yang menganggur. Dengan
angka Reit Pengangguran yang mencapai 56,9 menunjukkan
bahwa tingkat pengangguran di kelurahan Binong tergolong cukup
tinggi, yaitu mencapai 56,9 %. Artinya dalam 100 penduduk usia
kerja, terdapat 57 orang yang belum bekerja atau belum
termanfaatkan secara penuh (untilized inadequately).
Lebih jelasnya, perhitungan tentang keadaan tersebut dapat
27
Tabel. 3
Komposisi Penduduk Kelurahan Binong Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
N0 Komposisi Umur
Jenis Kelamin
Jumlah SR (%)
L P
1. 0 - 12 bln 161 130 291 123,85
2. 13 bln - 4 th 445 492 937 90,45
3. 5 - 6 th 475 529 1.004 89,79
4. 7 - 12 th 786 813 1.599 96,68
5. 13-15 th 930 942 1.872 98,75
6. 16 - 18 th 1.227 1.250 2.477 98,16
7. 19 - 25 th 690 713 1.403 96,77
8. 26 - 35 th 655 572 1.227 114,51
9. 36 - 45 th 642 753 1.395 85,26
10. 4