Sitti Aminah
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya 132-Jakarta Pusat
email: sittiaminah.kemendagri@gmail.com
ABSTRAK
Implementasi kebijakan otonomi daerah belum optimal berdampak terhadap kinerja pemerintahan daerah. Kajian bertujuan merumuskan strategi untuk mengoptimalkan kinerja implementasi kebijakan otonomi daerah. Desain penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Pengumpulan data melalui pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan pakar dan pejabat pemerintah daerah yang dilaksanakan pada Juni 2019. Data diolah dan dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa untuk penguatan sistem otonomi daerah perlu langkah-langkah perbaikan sebagai berikut: (1) Mengoptimalkan dukungan faktor lingkungan; (2) Meningkatkan harmonisasi hubungan antar organisasi (3) Meningkatkan kapasitas lembaga pelaksana; dan (4) mengefektifkan pemanfaatan sumber daya.
Kata kunci : Otonomi daerah, strategi penguatan, sistem
ABSTRACT
The implementation of regional autonomy policies has not optimally impacted the performance of regional government. The study aims to formulate a strategy to optimize the performance of the implementation of the regional autonomy policy. The research design uses a qualitative approach supported by quantitative data. Data collection through the implementation of Focus Group Discussion (FGD) by presenting local government experts and local government official that held in June 2019. Data was processed and analyzed using descriptive analysis techniques.The results of the study show that the strengthening of the regional autonomy system needs improvement as follows: (1) Optimizing support for environmental factors; (2) Increasing harmonization of relations between organizations (3) Increasing the capacity of implementing institutions; and (4) effective in use of resources.
189 PENDAHULUAN
Perjalanan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan kebijakan otonomi daerah di Indonesia, dimulai
sejak proklamasi kemerdekaan
hinggazaman Orde Lama telah
diberlakukan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, berturut-turut yaitu: (1) UU Nomor 1 Tahun 1945; (2) UU Nomor 22 Tahun 1948; (3) UU
Nomor 1 Tahun 1957 (sistem
pemerintahan tunggal/Kepala Daerah sebagai alat daerah dan pusat); (4) UU Nomor 18 Tahun 1965 (kebijakan otonomi daerah dengan prinsip otonomi yang seluas-lasnya); (5) UU Nomor 5 Tahun 1974 tetang pemerintahan daerah dengan prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Kemudian memasuki era reformasi, hadir UU Nomor 22 Tahun 1999 dalam paradigma baru pemerintahan dengan meletakan otonomi luas dan utuh pada daerah kabupaten/kota. Implementasi
UU Nomor 22 Tahun 1999
menimbulkan konflik kepentingan di kaum elit politisi, birokrat pemerintahan
bahkan cendekiawan yang
memunculkan disharmoni dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Puncaknya dikeluarkan TAP MPR
Nomor IV/MPR-RI/2000 untuk
merevisi UU Nomor 22 tahun 2000 yang berfokus pada penyesuaian secara konsistensi terhadap Pasal 18 UUD 1945, dengan menetapkan otonomi
bertingkat yakni negara kesatuan terdiri dari daerah provinsi dan daerah provinsi
dibagi menjadi daerah-daerah
Kabupaten/Kota. Dalam perjalanan selanjutnya terbit UU Nomor 32 tahun 2004 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 (Supriatna, 2016).
Penyelengaraan pemerintahan daerah dengan penerapan otonomi daerah
bertujuan untuk mempercepat
terwujudnya kesejaheraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik,
pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat dan peningkatan daya saing daerah. Namun faktanya, implementasi otonomi daerah belum berhasil memenuhi tujuan tersebut, meskipun silih berganti kebijakan otonomi daerah telah diimplementasikan di Indonesia.
Beberapa fenomena belum efektif kinerja implementasi otonomi daerah. Pertama, belum optimalnya capaian kesejahteraan masyarakat di daerah. Hasil pengukuran indeks kesejahteraan rakyat (IKRAR) oleh Kementerian
Koordinator PMK berdasarkan
pengukuran variabel sosial, ekonomi dan demokrasi menunjukkan hanya ada 3 (tiga) provinsi yang berada diatasgaris batas bawah sejahtera I (skor diatas 60,01) yakni Provinsi DKI Jakarta, Bali dan DIY
190
Gambar 1 Capain Indeks Kesejahteraan Rakyat Tahun 2015 (Sumber : Kementerian PMK, 2015)
Kedua, penyelenggaraan otonomi daerah juga belum memenuhi ekspektasi masyarakat
akan kualitas pelayanan publik yang
memuaskan masyarakat. Data
Ombudsman RI menyebutkan dari 6859 (enam ribu delapan ratus lima
puluh sembilan) laporan atau
pengaduan masyarakat Tahun 2015,
sebanyak 41,59 persen atau 2853 (dua ribu delapan ratus lima puluh tiga) mengeluhkan rendahnya kualitas pelayanan publik di pemerintah daerah, seperti disajikan pada Gambar 1.
Gambar 2. Grafik Laporan Pengaduan Masyarakat Per Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Tahun 2015(Sumber: Ombudsman RI, 2018).
Ketiga, maraknya perilaku korupsi dalam jabatan-jabatan di unsur eksekutif, legislatif, yudikatif (termasuk sektor swasta)di daerah. Data KPK RI
per Bulan Mei Tahun 2017
menunjukkan penanganan pelaku
korupsi dalam jabatan-jabatan pada struktur kelembagaan dalam periode 2004 - 2016 mencapai 650 kasus, seperti disajikan pada Tabel 1.
191
Tabel 1 Penanganan Pelaku Korupsi oleh KPK RI berdasarkan Jabatan di kelembagaan Legislatif, Eksekutif dan yudikatif serta sektor swasta
No Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Jumlah 1. Anggota DPR dan DPRD - - - 2 7 8 27 5 16 8 9 19 23 5 129 2. Kepala Lembaga/ Kementerian - 1 1 - 1 1 2 - 1 4 9 3 2 0 25 3. Duta Besar - - - 2 1 - 1 - - - - 0 0 0 4 4. Komisioner - 3 2 1 1 - - - - - - 0 0 0 7 5. Gubernur 1 - 2 1 1 2 1 - - 2 3 3 1 0 17 6. Walikota/Bupati dan Wakil - - 3 6 6 5 4 3 3 3 12 4 9 2 60
7. Eselon I,II, dan III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 2 7 10 15 148 8. Hakim - - - - - - 1 2 2 3 2 3 1 1 15 9. Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 16 18 28 8 164 10. Lain-lain - 6 1 2 4 4 9 3 3 8 8 5 25 3 81 JUMLAH 4 23 29 27 55 45 65 38 49 59 61 62 99 34 650 (Sumber: acch.KPK.go.id)
Tabel 1 diatas menunjukkan maraknya perilaku korupsi pejabat dalam struktur kelembagaan negara menempati tempat teratas yakni pada jenjang jabatan eselon I, II dan III (148 kasus yang ditangani KPK). Perilaku korupsi
anggota DPR dan DPRD yang
mencapai 129 kasus dan korupsi Bupati dan Walikota serta Gubernur masing masing 60 kasus dan 17 kasusyang mengindikasikan korupsi di lembaga
pemerintahan sangat
memprihatinkan.Masalah korupsi yang marak di pemerintahan daerah turut berkontribusi pada tingginya indeks korupsi di Indonesia. Terjadi peningkatan trend indeks korupsi (1999-2016) secara signifikan rata-rata sebesar 2,0 kalah jauh dengan penurunan korupsi di negara-negara seperti Thailand (0,8), Malaysia (-0,2), Filipina (-0,1) dan China (0,6).
Keempat, kurang harmonisnya
hubungan pusat dan daerah juga masih
menyimpan ancaman sekaligus
harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh dan Papua. Sejumlah isu disintegrasi bermunculan akibat dari persoalan hubungan kewenangan antar pusat dan daerah yang belum tuntas. Munculnya perbedaan pemaknaan terhadap konten kebijakan seringkali menimbulkan ketegangan hubungan pusat-daerah.
Berbagai persoalan belum optimalnya kinerja pemerintah daerah dalam layanan publik, maraknya kasus korupsi, lemahnya kapasitas pemerintah daerah dan konflik kewenangan turut mempengaruhi produktivitasdan daya saing perekonomian daerah. Daya saing di Indonesia di Tahun 2018 hanya menempati posisi 85 dari 143 negara tertinggal dari Malaysia posisi 35, Thailand 44, juga Vietnam dan Pilipina posisi 45.Data World Bank (2018)
192
menunjukan kemudahan berbisnis (Ease
of Doing Busines) di Tahun 2017 hanya
menempati ranking 91 dari 190 negara, dengan score 61,52, meningkat di Tahun 2018 menjadi 72 dengan score 66,47 dari 190 negara. Sebagai contoh, jumlah prosedur di Indonesia sebanyak 10 jenis, di Malaysia hanya 3 jenis. Di Indonesia waktu pengurusan 48 hari, di Malaysia hanya 6 hari. Kualitas regulasi bisnis lebih banyak, rumit dan
tidak memperbaiki kualitas layanan. Faktor yang menghambat daya saing bisnis adalah masalah korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, infrastruktur yang tidak memadai, akses terhadap pembiayaan, dan inflasi.
Korupsi dipresepsi merupakan
permasalah paling utama di Indonesia dan menempati urutan teratas, seperti disajikan pada Gambar3 dibawah ini :
Gambar 3 Faktor-Faktor Penghambat Daya Saing
Terakhir, fenomena kesenjangan pembangunan antar daerah juga menunjukkan belum optimalnya upaya mewujudkan pemerataan pembangunan dalam penyeleggaraan otonomi daerah. Ketimpangan ekonomi antar daerah data dilihat dari penyumbang terbesar
perekonomian Indonesia masih
didominasi oleh pulau Jawa yang mencapai 58,5 persen terhadap PDB sementara Sumatera menyumbang 22 persen, Kalimantan 7,9 persen, Sulawesi 6,0 persen, Bali dan Nusa
Tenggara 3,1 persen, serta Maluku dan Papua hanya 2,5 persen (BPS, 2018).
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah “Bagaimana strategi yang tepat untuk penguatan sistem otonomi daerah?”
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk merumuskan strategi dan upaya yang tepat untuk penguatansistem otonomi daerah.
193 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep implementasi kebijakan dan desentralisasi menjadi acuan kajian ini. Definisi kebijakan paling popular oleh Dye (2012:2) yang mengatakan bahwa kebijakan publik “whatever government choose to do or not to do” (apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan). Konsep kebijakan di
atas mengandung makna bahwa
meskipun pemerintah diam pun atas suatu isu atau permasalahan juga merupakan suatu kebijakan publik. Definisi ini tidak memberikan kerangka analisis yang jelas dan pemahaman
yang visioner, karena tanpa
memberikan kategorisasi atas kegiatan pemerintah. Merujuk pada Lasswell dan Kaplan (2010:12) menyatakan bahwa kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek yang terarah. Kebijakan adalah serangkaian tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan dan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Implementasi dapat dipahami sebagai sebuah proses untuk mencapai sebuah tujuan. Tujuan yang ingin dicapai berupa tindakan dari keputusan yang diambil untuk kesejahteraan bersama. Implementasi juga merupakan suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu
dampak (outcome) dari sebuah
keputusan kebijakan yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah. Program
kebijakan yang telah diimplementasikan akan menghasilkan dampak yang bersifat positif maupun negatif. Masalah yang timbul dari pelaksanaan program perlu penyelesaian mengacu pada peraturan perundang-undangan. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
(1983:269) menjelaskan makna
implementasi adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Menurutnya: “Implementation is the
carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and in a variety of ways, structure the implementation process”.
Smith (1985:227) mengartikan
desentralisasi sebagai pengurangan pemusatan administrasi pada suatu pusat tertentu dan pemberian kekuasaan kepada pemerintah daerah. Pengertian ini sekaligus menyatakan gagasan desentralisasi sebagai suatu gejala politik yang melibatkan administrasi dan pemerintahan. Dalam konteks kebijakan, UU Nomor 23 tahun 2014 mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom berdasarkan Asas
Otonomi.Sehingga proses
desentralisasi mencakup aktifitas urusan-urusan pemerintahan yang
semula termasuk wewenang dan
tanggungjawab pemerintah pusat
sebagian diserahkan kepada
194
menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih dan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah.
Konsekuensi logis dari desentralisasi pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah berdasarkan azas
desentralisasi, maka daerah
melaksanakan otonomi daerah.
Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat
kepada Pemerintahan Daerah
berdasarkan azas desentralisasi dengan mendayagunakan potensi dan
sumber-sumberdaya yang optimal guna
meningkatkan pelayanan,
pemberdayaan untuk kesejahteraan masyarakat (Supryatna, 2016). Makna konsep otonomi adalah keleluasaan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan, yang didalamnya mengandung arti:
pertama, pemberian tugas dan
kewenangan untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang diserahkan kepada daerah; Kedua, pemberian kewenangan dan wewenang untuk memikirkan dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut. Kesemuanya bersifat delegatif dan atributif dalam satuan masyarakat hukum untuk kepentingan nasional dan kepentingan negara dalam koridor NKRI.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan otonomi daerah dengan aspek-aspek sebagai berikut: (1) Kondisi lingkungan (environmental conditions), yang terdiri dari: struktur politik; proses pembuatan kebijakan; struktur kekuasaan lokal; faktor sosio-kultural; organisasi penerima manfaat dan kecukupan infrastruktur fisik. (2) Hubungan antar organisasi (inter organizational relationship), yang terdiri atas: tujuan program yang jelas dan konsisten, Efektivitas Perencanaan, penganggaran dan prosedur implementasi, kualitasi komunikasi inter-organisasional dan efektivitas dari jaringan organisasi.(3) Ketersediaan Sumber daya (available
resources), yang terdiri atas:
pengawasan atas pembiayaan,
kecukupan anggaran, ketersediaan
sumberdaya keuangan, dukungan
pimpinan politik nasional, dukungan pimpinan politik local, dukungan birokrasi dan (4) Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana (characteristic
of implementing agencies), yang terdiri
atas:Keterampilan teknis dan
keterampilan manajerial dari staf, Kemampuan koordinasi, integrasi dan pengawasan keputusan, Sumberdaya dan dukungan dari dinas atau badan, Efektivitas komunikasi internal, Hubungan dengan DPRD, Kualitas kepemimpinan dinas atau badan terkait dan Komitmen staf atas program dinas atau badan.Kajian merujuk pada konsep Rondinelli dan Cheema (1983) sebagai
195
sistempenguatan penyelenggaraan otonomi daerah.
Gambar 4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi implementasi desentralisasi (Sumber: Cheema dan Rondinelli, 1983)