Victimologi pada hakikatnya
merupakan pelengkap atau
penyempurnaan dari teori-teori etimologi kriminal yang ada. Berbeda dengan kriminologi, ilmu ini berusaha
menjelaskan mengenai masalah
152
munculnya korban kejahatan dari sudut pandang yang berbeda, yaitu bukan dari aspek pelaku dan penderitaan korban, melainkan juga bagaimana korban kadangkala menjadi pemicu dan mengakibatkan terjadinya kejahatan (Atmasasmita, 2010).
Obyek studi atau ruang lingkup victimologi adalah sebagai berikut (Gosita, 2002) :
1) Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik;
2) Teori-teori etiologi viktmisasi criminal;
3) Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu
viktimisasi kriminal atau
kriminalistik, seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya;
4) Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal;
5) Respon terhadap suatu viktimisasi kriminal, argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian); dan
6) Faktor-faktor
viktimogen/kriminogen.
Suatu viktimisasi dapat dirumuskan sebagai suatu penimbulan penderitaan (mental, fisik, sosial, ekonomi, moral) pada pihak tertentu dan dari kepentingan tertentu. Paradigma viktimisasi meliputi :
a. Viktimisasi politik, dapat memasukkan aspek penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak-hak asasi
manusia, campur tangan angkatan bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau dalam skala internasional; b. Viktimisasi ekonomi, terutama yang
terjadi karena ada kolusi antara pemerintah dan konglomerat, produksi barang-barang tidak bermutu atau merusak kesehatan, termasuk aspek lingkungan hidup; c. Viktimisasi media, dalam hal ini
dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek dibidang kedokteran, dan lain-lain; d. Viktimisasi yuridis, dimensi ini
cukup luas, baik yang menyangkut aspek peradilan dan lembaga permasyarakatan maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi
undang-undang, termasuk
menerapkan kekuasaan dan
stigmatisasi walaupun sudah diselesaikan aspek peradilannya.
Korban
Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa : “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan menurut Gosita (2002), yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita”.
153
Korban merupakan pihak yang
mengalami penderitaan dan kerugian dalam terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan, korban tentunya memiliki hak-hak yang termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban berhak untuk :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanannya;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapat identitas baru;
j. Mendapatkan tempat kediaman baru;
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. Mendapat nasihat; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Sementara itu, hak dan kewajiban korban adalah sebagai berikut (Gosita, 2002) :
a. Hak korban, antara lain :
1) Mendapat kompensasi atas penderitaan, sesuai dengan kemampuan pelaku;
2) Korban berhak menolak
kompensasi karena tidak
memerlukannya;
3) Korban berhak mendapatkan kompensasinya untuk ahli warisnya, bila korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;
4) Mendapat pembinaan dan
rehabilitasi;
5) Mendapatkan kembali hak miliknya;
6) Menolak menjadi saksi, bila hal ini membahayakan dirinya; 7) Memperoleh perlindungan dari
ancaman pihak pelaku bila melapor dan/atau menjadi saksi; 8) Mendapat bantuan penasihat
hukum;
9) Mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen).
b. Kewajiban korban, antara lain : 1) Korban tidak main hakim
sendiri;
2) Berpartisipasi dengan
masyarakat mencegah timbulnya korban lebih banyak lagi;
3) Mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri, maupun orang lain;
4) Ikutserta membina pembuat korban;
5) Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi;
154
6) Tidak menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku;
7) Memberi kesempatan kepada pelaku untuk memberi restitusi kepada pihak korban sesuai dengan kemampuannya; dan 8) Menjadi saksi bila tidak
membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamanannya.
Peranan Korban dalam Terjadinya Kejahatan
Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Pihak korban yang mempunyai status sebagai partisipan aktif maupun pasif dalam suatu kejahatan, memainkan
berbagai macam peranan yang
mempengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu secara langsung maupun tidak langsung.
Peranan korban kejahatan ini antara lain
berhubungan dengan apa yang
dilakukan pihak korban, bilamana dilakukan sesuatu, serta dimana hal tersebut dilakukan. Peranan korban ini mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban serta pihaknya, pihak lain, dan lingkungannya. Pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, sendiri maupun bersama-sama, bertanggungjawab atau tidak, secara aktif maupun pasif, dengan motivasi positif maupun negatif, dimana semuanya tergantung pada situasi dan
kondisi pada saat kejahatan
berlangsung.
Peranan korban dalam menimbulkan kejahatan, antara lain (Mulyadi, 2007) :
a. Tindakan kejahatan memang
dikehendaki oleh si korban untuk terjadi;
b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar;
c. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama antara si pelaku dan si korban;
d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tida ada provokasi si korban.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Sistem Peradilan melalui produk
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, khususnya Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menjadi dasar dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Kepentingan korban tindak pidana telah diwakili oleh alat Negara yaitu kepolisian dan kejaksaan sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Hubungan antara korban tindak pidana dengan pihak kepolisian dan kejaksaan adalah bersifat simbolik, sementara hubungan antara terdakwa dengan penasihat hukumnya secara prinsip adalah murni dalam hubungan hukum antara pengguna jasa dan pemberi jasa yang diatur dalam hukum perdata. Polisi dan jaksa bertindak untuk melaksanakan tugas Negara sebagai wakil korban tindak
155
pidana dan atau masyarakat, sedangkan penasihat hukum bertindak atas kuasa langsung dari terdakwa yang bertindak mewakili terdakwa sendiri.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang menggunakan
pendekatan normatif yuridis.
Pendekatan normatif yuridis adalah penelitian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori-teori hukum pidana serta pelaksanaannya. Data yang digunakan data sekunder didapat melalui studi pustaka dan dokumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Viktimologi pada Korban Tindak Pidana
Pengembangan dan manfaat viktimologi adalah selaras dengan kehidupan masyarakat, dimana viktimologi dirumuskan sebagai studi yang mempelajari masalah korban, penimbul korban, serta sebab-akibat penimbulan korban, yang merupakan masalah manusia sebagai kenyataan sosial. Yang
dimaksud dengan korban dan
menimbulkan korban disini dapat berupa individu, suatu kelompok, korporasi swasta dan pemerintah.
Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), masalah kepentingan korban tindak pidana merupakan bagian dari persoalan hak asasi manusia pada
umumnya. Prinsip universal
sebagaimana termuat dalam The Universal Declaration of Human Right
(10 Desember 1948) dan The
International Convenant on Civil and
Political Rights (16 Desember 1948)
mengakui bahwa semua orang adalah sama terhadap Undang-Undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.
Perkembangan di dalam hukum
nasional, awalnya tidak begitu responsif terhadap kepentingan korban. Tetapi dengan berbagai kongres internasional yang membahas masalah victim, maka perhatian terhadap korban tindak pidana mulai terangkat. Seperti diketahui, setidaknya ada 3 (tiga) pertemuan internasional mengenai tema yang sama, yaitu : Kongres di Geneva membahas “New Form and Dimension
of Crime; Kongres di Caracas tahun
1980 menindaklanjuti tentang Crime
and the Abuse of Power, Offenses and Offender Beyond the Reach of Law; lalu
kemudian Kongres di Milan Tahun 1985 yang membahas Victim of Crime,
Which it Connect the New Dimentions of Criminality and Crime Prevention in
the Context of Development,
Convention and Non Conventional Crime, Illegal Abuse of Economic and Publik Power.
Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban dikaitkan dengan sistem
restitusi, yang dalam pengertian
viktimologi adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang diakibatkan oleh tindak pidana. Berbeda dengan kompensasi
156
merupakan permintaan atas dasar pemohonan, dan jika dikabulkan harus dibayar oleh masyarakat atau Negara, sedangkan restitusi dituntut oleh korban agar diputus oleh pengadilan, jika diterima tuntutannya maka harus dibayar oleh pelaku tindak pidana tersebut. Karena hakikat perbedaan demikian masih belum direalisasikan dalam kenyataan, maka seringkali tidak ada bedanya antara kedua pembayaran tersebut, karena yang terpenting perhatian terhadap korban terlebih dahulu, baru kemudian menyusul begaimana bentuk pembayaran atas kerugian korban.
Dalam perkembangan tentang korban ini, telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kepentingan korban dikuasakan pada suatu lembaga yang dibentuk oleh
Undang-Undang yakni Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kepentingan korban melalui LPSK tersebut tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut, yaitu :
1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan beruba : a. Hak atas kompensasi dalam
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
b. Hak atas restitusi atau ganti
kerugian yang menjadi
tanggungjawab pelaku pidana. 2) Keputusan mengenai kompensasi
dan restitusi yang diberikan oleh pengadilan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi
diatur dengan peraturan
pemerintah.
Aspek Viktimologi dalam hukum nasional dapat dilihat terutama dalam KUHAP, selain itu dengan dibentuknya
Pengadilan HAM yang telah
dilaksanakan secara efektif sejak tahun 2002, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Selanjutnya implementasi Undang-Undang tentang HAM tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban
Pelanggaran HAM yang Berat.
Sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 butir 3 yang berbunyi :
“ Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya’.
Dalam hal tersebut diatas, disebutkan hanya korban pelanggaran HAM berat saja, maka perlu dikaji lebih lanjut terkait korban tindak pidana biasa agar dapat masuk dalam ketentuan tersebut, sehingga korban tindak pidana biasa dapat masuk pula dalam proses peradilan HAM.
157 Eksistensi Hukum Korban Tindan Pidana Dalam Peradilan Pidana
Pengertian korban dalam aspek hukum
sangatlah luas, namun dalam
pembahasan makalah ini adalah korban dalam pengertian sebab-akibat adanya tindak pidana (Victim Against Crime). Dimana dalam praktiknya, korban dapat dilihat dari sudut pandang :
1) Korban dilihat dari pembentukan hukum;
a. Korban dari Over Legislation dan Sweeping Legislation; b. Korban dari kekosongan atau
kesesalan hukum.
2) Korban dilihat dari perilaku
kriminal atau anti sosial;
a. Korban dari Crime Against the
Person;
b. Korban dari Against the Property;
c. Korban dari Drug Abuse; d. Korban dari Sex Offences/rape; e. Korban dari White Collar
Crime/Organized Crime;
f. Korban dari New Crime Forms.
3) Korban dilihat dari dalam lingkup HAM dan Kesejahteraan Sosial. a. Korban Pelanggaran HAM
berat, terdiri dari :
- Pelanggaran yang bersifat criminal dan ada pula yang bersifat fealusence;
- Korban pelanggaran berat terbagi dalam Genocide,
Torture, enforced
Displacement, Crime
Against Women and
Children, Extrajudicial
Killing, Schorsing Rubbel.
b. Korban dari pelanggaran HAM tidak langsung, seperti keluarga, kelompok korban yang menderita tekanan jiwa atau kemiskinan.
c. Korban pelanggaran
kesejahteraan.
Lingkup bahasan mengenai korban pada penulisan ini adalah korban perilaku kriminal/anti sosial, yang dapat diproses berdasarkan KUHAP sebagai landasan operasional penyelenggaraan peradilan pidana. Ketentuan-ketentuan dalam
hubungannnya dengan aspek
viktimologi di dalam KUHAP secara relatif dapat dikatakan banyak, dimana pengaturan KUHAP yang terkait dengan viktimologi diantaranya terlihat dalam Pasal 1 ayat (10) dan ayat (22), Pasal 81, Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 95 ayat (1) hingga ayat (5), Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 274, Pasal 275, dimana fokusnya lebih banyak berkaitan dengan ganti rugi.
Berdasarkan KUHAP, maka hak-hak korban dapat dirumuskan ada 4 (empat) aspek, yaitu :
1) Hak untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan
penuntut umum, yakni hak
mengajukan keberatan atas
tindakan penghentian penyidikan dan /atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini diatur dalam pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
158
2) Hak korban dalam kedudukannnya sebagai saksi, sebagaimana dalam Pasal 168 KUHAP;
3) Hak bagi keluarga korban dalam hal korban meninggal dunia, untuk mengizinkan atau tidak atas tindakan polisi melalukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hal demikian diatur dalam pasal 134–136 KUHAP;
4) Hak menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat dari tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan. Tercantum dalam Pasal 98–101 KUHAP.
Posisi hukum korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, karena terbentur pada masalah mendasar yaitu korban hanya sebagai saksi (pelapor atau korban). Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, berbeda dengan terdakwa, polisi dan jaksa. Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding atau kasasi apabila putusan pengadilan yang dipandang tidak adil atau merugikan dirinya.
Kepentingan korban tindak pidana masih harus diperjuangkan dari sudut mekanisme peradilan pidana, karena regulasi yang ada belum berpihak secara utuh pada korban tindak pidana sehingga asas keseimbangan dan
pengayoman dari pemerintah
diharapkan dalam memprioritaskan
perlindungan HAM tidak hanya bagi pelaku tetapi juga bagi korban tindak pidana.
PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa :
1. Perhatian hukum terhadap korban tindak pidana dalam KUHAP belum optimal, walaupun perhatian pengaturan hukum atas dasar penghormatan HAM dari pelaku tindak pidana cukup banyak. 2. Pengertian mengenai kepentingan
korban dalam kajian viktimologi, tidak hanya dipandang dari perspektif hukum pidana atau kriminologi saja, melainkan berkaitan pula dengan aspek keperdataan.
3. Posisi hukum korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, karena terbentur dalam masalah mendasar yaitu korban hanya sebagai saksi (pelapor atau korban), dimana korban tindak pidana tidak termasuk bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana terdakwa, polisi dan jaksa.
Rekomendasi
1. Diharapkan agar semua pihak terkait, baik kepolisian,
lembaga-lembaga bantuan hukum,
pemerintah hingga masyarakat dapat secara terpadu meingkatkan
159
terjadinya tindak kejahatan dilingkungan sekitarnya.
2. Pemerintah daerah dapat
melakukan kerjasama dengan pihak kepolisian dan/atau lembaga bantuan hukum dalam upaya melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mencegah/mengatasi terjadinya tindak kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 2010. Teori dan Kapita Selekta Victimologi, Edisi Kedua Cetakan Ketiga. Bandung : PT Refika Aditama.
Gosita, Arif. 1986. Viktimologi dan KUHP. Jakarta : Akamedika Presindo.
…………... 2002. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.
Mulyadi, Lilik. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktomologi. Jakarta : Djambatan.
Soeparman. Kepentingan Korban
Tindak Pidana Dilihat Dari
Sudut Viktimologi. Majalah
Hukum Tahun ke XXII No. 260, Juli 2007. Varia Peradilan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
160
KARAKTERISTIK BUMDes TUAH SEPAKAT DAN BUMDes HARAPAN JAYA, SERTA DAMPAK EKONOMINYA BAGI MASYARAKAT
CHARACTERISTIC OF BUMDes“TUAH SEPAKAT” AND
BUMDes“HARAPAN JAYA” AND THEIR ECONOMY IMPACTS TO THE COMMUNITY
Harwindah
Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Bengkulu Jalan Pembangunan Nomor 15, Kota Bengkulu
Email : harwindah@
ABSTRAK
Mengadopsi nawa cita Presiden Joko Widodo yang ketiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran sdengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, maka dicanangkanlah dana desa dengan jumlah yang fantastis yaitu satu desa satu milyar. Dana Desa diperuntukkan membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat. Salah satu pemanfaatan dana tersebut adalah untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dari hasil usaha BUMDes, pemerintah mengharapkan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat, untuk mengetahui apakah berdirinya BUMDes di masing-masing desa memberikan pengaruh atau dampak terhadap perekonomian masyarakat. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui jenis unit usaha diadopsi oleh BUMDes Tuah Sepakat dan BUMDes Harapan Jaya serta untuk mengetahui dampak BUMDes tersebut terhadap perekonomian masyarakat. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kaulitatif. Metode berpikir yang dipakai pada penelitian ini adalah perumusan masalah, observasi lapangan, analisis data dan penarikan kesimpulan yang dikaitkan dengan fakta-fakta di lapangan. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Unit usaha yang dilaksanakan oleh BUMDes Tuah Sepakat adalah unit keuangan (simpan pinjam) dan perdagangan (pertokoan) sedangkan BUMDes Harapan Jaya memiliki 6 unit usaha yaitu, Perkebunan; Transportasi; Simpan Pinjam; Perusahaan Air Bersih; BRI Link; dan Pengolahan arang cangkang sawit; BUMDes Tuah Sepakat dan Harapan Jaya berdampak secara ekonomi terhadap kehidupan masyarakat seperti meningkatkan Pendapatan Asli Desa, membuka lapangan kerja, menaikkan pendapatan masyarakat melalui simpan pinjam dan menjadi pengurus BUMDes.
Kata Kunci : BUMDes, dana desa, unit usaha, PADes ABSTRACT
One of priority programs from Jokowi called NawaCita mentions about developing Indonesia’s rural areas. Therefore, there is program called Dana Desa (village funds), 1 billion rupiah for each village. This fund aims to finance governance, development,
161
community building, and community empowerment. One of implementation is establishing Village-owned Enterprise (BUMDes). Thus, this study aims to figure out type of business unit adopted by BUMDes “TuahSepakat” dan “Harapan Jaya” and its impact to community income. It is a descriptive study using qualitative approach. Frame of work of this study consists of identifying problems, field observation, data analysis, and conclusion based on facts on site. Result shows that BUMDes “TuahSepakat” runs savings and loan (finance unit) and stores (trade unit). Meanwhile, BUMDes “Harapan Jaya” has 6 business units, i.e.: plantation, transportation, savings and loan, clean water, BRI Link, and palm-shell charcoal. It is known that both BUMDes economically affect to the community income, for example increasing villageown-source revenue, creating employment, increasing income through savings and loan, and being staff at BUMDes.
Keywords : BUMDes, village funds, business unit, PADes (village own-source revenue.
PENDAHULUAN
Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke IV bahwa pembangunan nasional ditujukan untuk kesejahteraan umum untuk mencapai kemandirian
ekonomi. Pembangunan nasional
Indonesia adalah paradigma
Pembangunan yang terbangun atas pengalaman Pancasila yaitu
pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya (Wikipedia). Tujuan
pembangunan nasional adalah
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Benny, 2016).
Bengkulu merupakan provinsi termiskin di antara 10 Provinsi di Pulau Sumatra, yaitu sebesar 16,45% pada bulan maret 2017. Namun pada bulan maret 2018 terjadi penurunan angka kemiskinan
sebesar 1.02% menjadi 15,43%
sehingga menjadikan Bengkulu
beranjak naik diperingkat kesembilan setelah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) (BPS Provinsi Bengkulu, 2018). Penurunan angka kemiskinan ini menunjukkan bahwa telah terjadi penambahan pendapatan perkapita dan penurunan konsumsi makanan dan non-makanan. Berarti telah terjadi pengurangan penduduk yang berada pada garis kemiskinan. Banyak faktor penyebab penurunan angka penduduk miskin, salah satunya adalah terciptanya lapangan kerja baru.
Prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan desa yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan
kemiskinan, melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar; b. pembangunan sarana dan prasarana
Desa;
c. pengembangan potensi ekonomi lokal; dan
d. pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
162
Salah satu pemanfaatan dana tersebut adalah untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Pendirian BUMDes
diharapkan dapat mengentaskan
kemiskinan dan menaikkan
kesejahteraan masyarakat melalui meluasnya kesempatan kerja dan meningkatnya pendapatan penduduk sehingga masyarakat Indonesia menjadi sejahtera dan mandiri.
BUMDes juga diharapkan bisa
mengerem arus urbanisasi dan migrasi. Swakelola yakni mengutamakan tenaga kerja dan material lokal desa yang berasal dari desa setempat sehingga mampu menyerap tenaga kerja lokal
dan meningkatkan pendapatan
masyarakat desa. Hasil usaha BUMDes
dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan usaha dan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa
dan pemberian bantuan untuk
masyarakat miskin melalui hibah,