• Tidak ada hasil yang ditemukan

Structural Equation Modelling (SEM) Menggunakan Partial Least Square (PLS)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lembaga Petani

2.5 Structural Equation Modelling (SEM)

2.5.3 Structural Equation Modelling (SEM) Menggunakan Partial Least Square (PLS)

Model Partial Least Square (PLS) ini merupakan teknik alternatif yang digunakan pada analisis SEM dimana data yang dipergunakan tidak terdistribusi normal multivariat. Pada SEM dengan PLS nilai variabel laten di estimasi sesuai kombinasi linear dari variabel-variabel manifes yang terkait dengan variabel laten serta diperlakukan untuk mengganti variabel manifes (Alodya, 2017:30). PLS merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua skala data, tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel tidak harus besar. PLS selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan dalam membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi (Nyoman, 2008:119).

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam Sarwono (2015:12) Structural Equation Modelling (SEM)-Particial Least Square (PLS) adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada asumsi normalitas. PLS sebagai alternatif dari SEM tidak

mengharuskan data terdistribusi normal mulivariat, sehingga dalam penerapannya asumsi normalitas tidak diperlukan.

2. Ukuran sampel yang digunakan dalam SEM dengan PLS kecil dengan persyaratan minimal adalah sepuluh kali dari besarnya indikator formatif terbanyak yang digunakan untuk mengukur satu variabel laten atau sepuluh kali jumlah jalur struktural terbanyak yang ditujukan ke variabel laten tertentu dalam model structural.

58 dengan pendekatan non-probabilitas, seperti ‘accidental sampling’, ‘purposive sampling’ dan sejenisnya dapat digunakan dalam SEM dengan PLS.

4. Selain model hubungan indikator refleksif, SEM dengan PLS memperbolehkan indikator formatif digunakan dalam mengukur variabel laten.

5. Pendekatan Partial Least Square (PLS) mengizinkan adanya variabel laten dikotomi.

6. Memberi kelonggaran terhadap keharusan adanya skala pengukuran interval. 7. Distribusi residual dalam SEM dengan pendekatan PLS ini tidak diharuskan

seperti pada SEM yang berbasis kovarian dimana dalam SEM tersebut distribusi residual harus sekecil mungkin seperti pada regresi linier.

8. Pendekatan model ini dapat digunakan sebagai prosedur yang digunakan untuk mengembangkan teori pada tahap awal.

9. Pendekatan regresi dalam SEM dengan PLS lebih cocok dibandingkan dalam SEM yang berbasis kovarian.

10. Dalam SEM dengan PLS hanya diperbolehkan model rekursif (sebab – akibat) saja dan tidak mengizinkan model non – rekursif (timbal balik) sebagaimana dalam SEM yang berbasis kovarian.

11. SEM dengan PLS memungkinkan model sangat kompleks dengan banyak variabel laten dan indikator.

Dalam SEM menggunakan PLS ini terdapat tiga komponen yaitu model struktural, model pengukuran dan skema pembobotan. Bagian ketiga ini merupakan ciri khusus SEM dengan PLS dan tidak ada pada SEM yang berbasis kovarian. Dimana dalam basis kovarian mengharuskan sampel yang besar yang

59 dapat mencakup ratusan bahkan ribuan observasi, maka SEM dengan PLS ini cukup dengan menggunakan ukuran sampel yang kecil. Ukuran sampel kecil dengan persyaratan minimal adalah sepuluh kali dari besarnya indikator formatif terbanyak yang ditujukan ke variabel laten tertentu dalam model struktural. Penelitian Cin dan Newsted (1999) membuktikan hanya dengan dengan menggunakan dua puluh data mereka dapat menggunakan PLS SEM dengan benar (Sarwono, 2015:8).

Tahapan dalam SEM PLS dalam Nyoman (2008:122) adalah sebagai berikut:

1. Langkah pertama adalah dengan merancang model struktural atau inner model. Dimana rancangan model struktural ini didasarkan pada rumusan masalah atau hipotesis penelitian.

2. Selanjutnya dilanjutkan dengan merancang model pengukuran atau outer model. Model pengukuran dalam PLS sangat penting karena terkait dengan apakah indikator bersifat refleksif atau formatif. Indikator reflektif memiliki kausalitas dari konstruk ke indikator. Sehingga menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah makna dan arti konstruk. Antar indikator dalam indikator reflektif diharapkan saling berkorelasi. Dalam indikator reflektif juga akan dihitung kesalahan pengukuran pada tingkat indikator. Untuk indikator formatif, kualitas indikator memiliki arah dari indikator ke konstruk. Apabila menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna dari konstruk. Antar indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji konsistensi internal atau Alpha Cronchach). Kesalahan pengukuran diletakkan pada tingkat konstruk.

60 3. Mengonstruksikan diagram jalur yang bertujuan agar inner model dan outer model lebih mudah dipahami. Diagram jalur didasarkan dari rancangan inner model dan outer model yang sudah dirancang.

4. Setelah itu dilakukan pengukuran model outer. Dimana Outer model adalah model pengukuran yang bertujuan menilai validitas dan reliabilitas suatu model. Pengukuran berdasarkan proses iterasi algoritma yang dilakukan, menggunakan parameter pengukuran yaitu validitas konvergen (Convergent Validity), validitas diskriminan (Discriminant Validity), reliabilitas dengan parameter pengukuran Composite Reability dan Cronbach’s Alpha, R2.

a. Validitas Konvergen (Convergent Validity)

Pengujian validitas konvergen (Convergent Validity) dengan indikator reflektif dinilai berdasarkan loading factor (korelasi antara skor item atau skor komponen dengan skor konstruk). Rule of thumbs yang pada umumnya digunakan dalam pengujian awal dari matriks faktor adalah 0.3 dapat dipertimbangkan telah memenuhi level minimal, untuk loading 0.4 dianggap lebih baik, serta untuk loading lebih besar dari 0.5 dianggap signifikan secara praktis. Dengan demikian, semakin tinggi nilai loading factor, maka semakin penting peranan loading dalam menginterpretasi matriks faktor. Namun rule of thumbs yang digunakan untuk validitas konvergen adalah outer loading lebih besar dari 0.7 (Abdillah, 2015:195).

b. Validitas Diskriminan (Discriminant Validity)

Uji validitas diskriminan diukur berdasarkan nilai cross loading pengukuran dengan konstruknya. Cara lainnya yaitu dengan membandingkan akar AVE

61 untuk masing-masing konstruknya dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model. Uji validitas diskriminan dinyatakan memenuhi syarat jika akar AVE untuk masing-masing konstruk lebih besar daripada korelasi antara kontruk dengan konstruk lainnya dalam model (Abdillah, 2015:196). Berikut tabulasi parameter uji validitas dalam PLS disajikan dalam Tabel 3 (Abdillah, 2015:196).

Tabel 3.Tabulasi Parameter Uji Validitas dalam PLS

Uji Validitas Parameter Rule Of Thumbs Konvergen Faktor Loading >0,7

Average Variance Extracted (AVE)

>0,5

Communality >0,5

Diskriminan Akar AVE dan korelasi variabel laten

Akar AVE> korelasi variabel laten

Cross loading >0,7 dalam satu variabel Sumber : Abdillah (2015:195)

Selain uji validitas PLS juga melakukan uji reliabilitas untuk mengukur konsistensi internal alat ukur. Reliabilitas menunjukkan akurasi, konsistensi, dan ketepatan suatu alat ukur dalam melakukan pengukuran. Uji reliabilitas dalam PLS dapat menggunakan dua metode yaitu Cronbach’s alpha dan Composite reliability. Composite Reliability mengukur nilai reliabilitas yang sebenarnya dari suatu variabel, sedangkan Cronbach’s Alpha mengukur nilai terendah reliabilitas suatu variabel. Syarat pengukuran menggunakan metode nilai Composite Reliability harus lebih besar dari 0,7 (Abdillah, 2015:19). Pengukuran suatu konstruk agar reliabel selain menggunakan parameter Composite Reliability, dapat juga menggunakan Cronbach’s Alpha. Pengukuran dapat dinyatakan reliabel apabila nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari 0,7.

62 Rule of thumbs nilai Alpha atau Composite Reliability sebaiknya lebih besar dari 0,7 meskipun 0,6 masih dapat diterima (Abdillah, 2015).

5. Setelah dilakukan pengukuran model outer, dilakukan pengukuran model inner. Inner model atau model struktural dalam metode PLS dievaluasi dengan menggunakan parameter R2 . Nilai R2 digunakan untuk mengukur tingkat variasi perubahan variabel independen terhadap variabel dependen, semakin tinggi nilai R2 berarti semakin baik model prediksi dari model penelitian yang diajukan. Nilai R2 0,75 (kuat), 0,50 (moderat), dan 0,25 (lemah).

6. Terakhir maka dilakukan pengujian hipotesis yang dilakukan dengan metode resampling Bootstrap. Penerapan metode resampling, memungkinkan berlakunya data terdistribusi bebas (distribution free), tidak memerlukan asumsi distribusi normal, serta tidak memerlukan sampel yang besar (direkomendasikan sampel minimum 30). Pengujian dilakukan dengan t-test, bilamana diperoleh p-value ≤ 0,05 (alpha 5 %), maka disimpulkan signifikan, dan sebaliknya. Bilamana hasil pengujian hipotesis pada outer model signifikan, hal ini menunjukkan bahwa indikator dipandang dapat digunakan sebagai instrumen pengukur variabel laten. Sedangkan bilamana hasil pengujian pada inner model adalah signifikan, maka dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna variabel laten terhadap variabel laten lainnya.

Dokumen terkait