II TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Struktur Biaya dan Skala Usaha Ternak Kambing Perah
Menurut Rahim (2000), pengeluaran usahatani sama artinya dengan biaya usahatani. Biaya ini merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani, nelayan, peternak) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam hal ini, disebut usahatani untuk petani, melaut untuk nelayan dan beternak untuk peternak. Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam proses produksi ialah biaya variabel, terutama biaya pakan dan biaya tenaga kerja.
Menurut Sutama et al. (2007) dalam usaha ternak kambing perah, lebih dari 60
14 persen biaya produksi adalah untuk pakan. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan peternak dipengaruhi oleh masa kering dan masa laktasi kambing perah.
Skala usaha dapat diterjemahkan sebagai ukuran usaha berdasarkan satuan jumlah ternak produktif. Skala usaha yang optimum bagi seorang pengusaha peternak, yang ditentukan oleh salah satu atau keseluruhan faktor produksi yang dikuasai seperti tenaga kerja keluarga, ketersediaan lahan. Sedangkan faktor umum penentuan skala usaha yang optimum ditentukan oleh efisiensi biaya dan harga (Yusdja et al., 2005).
Besarnya sumbangan pendapatan dari usaha ternak kambing akan sangat ditentukan oleh jumlah dan produktivitas induk. Namun demikian peranan pejantan serta tatalaksana perkawinannya tetap tidak dapat dikesampingkan, karena produktivitas induk juga tergantung pada produktivitas pejantan, khususnya faktor reproduksi dan genetik (Paatb et al., 1992).
Saragih (2000) mengklasifikasikan tipologi usaha berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak menjadi 4 kelompok sebagai berikut :
1) Peternakan sebagai usaha sambilan, petani yang mengusahakan berbagai macam komoditi pertanian terutama pangan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten), dengan tingkat pendapatan dari usahaternak kurang dari 30 persen.
2) Peternakan sebagai cabang usaha, peternak yang mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usahatani dengan tingkat pendapatan yang berasal dari budidaya peternakan 30-70 persen (semi komersial atau usaha terpadu).
3) Peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single commodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70 persen sampai 100 persen.
4) Peternakan sebagai usaha industri, peternak sebagai usaha industri mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan 100 persen dari usaha peternakan (komoditi pilihan).
Menurut Siregar dan Ilham (2003), skala usaha peternak sangat menentukan efisiensi usaha. Oleh karena itu perlu meningkatkan skala usaha
15 hingga pada skala usaha yang optimal. Selain disebabkan keterbatasan modal, kendala peningkatan skala usaha adalah terbatasnya pemilikan lahan untuk kandang dan kebun rumput. Sudono (1993) menyatakan bahwa untuk melihat keefisienan teknis usaha ternak sapi atau kambing perah dapat dilihat dari beberapa hal yaitu : (1) jumlah ternak betina dewasa minimum yang harus dipelihara suatu peternakan rakyat atau perusahaan, (2) minimum persentasi ternak laktasi, (3) minimum produksi susu rata-rata per ekor atau per satuan ternak per hari, (4) rasio antara penerimaan dengan biaya makanan atau biaya produksi.
Penelitian yang membahas hubungan struktur biaya dengan skala usaha telah dilakukan oleh Bantani (2004), pada penelitiannya mengenai usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor. Responden yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah 37 responden dengan proporsi 21 orang merupakan kriteria Pemotong I dan 16 orang merupakan kriteria Pemotong II.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa biaya total per kg pada Pemotong I semakin kecil pada setiap peningkatan skala usaha. Sedangkan pada Pemotong II peningkatan skala usaha tidak mempengaruhi pada biaya total per kg usaha. Hal ini terjadi karena biaya pembelian ayam hidup yang merupakan komponen biaya terbesar usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes pada Pemotong II lebih besar dibanding Pemotong I, sedangkan harga jual produk sama. Persentase biaya variabel berdasarkan skala usaha semakin besar seiring dengan peningkatan skala usahanya, sedangkan persentase biaya tetap semakin menurun.
Capah (2008), melakukan penelitian mengenai pendapatan usahaternak sapi perah di KUD Mandiri Cipanas, Kabupaten Bogor. Peternak responden dibagi menjadi tiga skala yaitu skala I (kecil), skala II (sedang) dan skala III (besar). Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur biaya tetap pada ketiga skala adalah sama, dengan biaya terbesar adalah biaya penyusutan ternak. Struktur biaya variabel terbesar pada skala I adalah biaya tenaga kerja, sedangkan struktur biaya variabel terbesar pada skala II dan III adalah biaya pakan. Semakin besar skala usaha ternak sapi perah maka biaya produksi rata-rata per liter susu akan menjadi semakin kecil dan semakin besar skala usaha ternak, maka semakin tinggi pula tingkat penerimaannya.
16 Berdasarkan hasil penelitian Pakarti (2000), mengenai usaha ternak ayam broiler di Kabupaten Kuningan. Pada penelitian tersebut dituliskan bahwa skala usaha ternak di tempat penelitian ditentukan berdasarkan jumlah ayam yang dinyatakan dalam ekor. Skala usaha tersebut terdiri dari skala usaha <1.000 ekor, 1001-2.000 ekor, 2001-3.000 ekor dan skala > 3.000 ekor. Struktur biaya yang terjadi dibedakan berdasarkan skala usahanya. Semakin besar skala usaha maka persentase biaya variabel semakin besar juga, namun terjadi penurunan persentase biaya variabel pada skala > 3.000 ekor. Persentase biaya variabel, masing-masing adalah 97,61 persen, 98,25 persen, 98,83 persen dan 98,14 persen. Semakin besar skala usaha maka persentase biaya tetap semakin menurun, namun terjadi peningkatan persentase biaya tetap pada skala > 3.000 ekor. Persentase biaya tetap, masing-masing adalah 2,39 persen, 1,75 persen, 1,17 persen dan 1,86 persen.
Penelitian yang dilakukan oleh Paat et al (1992) mengenai efek skala usaha pembibitan kambing PE terhadap efisiensi dan adopsi teknologi. Pada penelitian ini ditetapkan empat tingkat skala usaha yang didasarkan pada jumlah pemilikan induk yaitu skala I (1-2 ekor), skala II (3-4 ekor), skala III (5-6 ekor) dan skala IV (7-9 ekor). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi biaya produksi terbesar adalah biaya non tunai berupa tenaga kerja keluarga mencarikan pakan dan perawatan. Bila tenaga kerja keluarga dan hijauan pakan tidak diperhitungkan maka keuntungan sudah diperoleh pada skala 1-2 dan terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya skaa usaha. Apabila biaya tersebut tidak dimasukkan sebagai biaya produksi, maka tidak ada skala usaha yang mengalami kerugian, bahkan tingkat keuntungan akan semakin meningkat dengan meningkatnya skala usaha. Mengenai adopsi teknologi, kecuali untuk sistem perkandangan dan kebersihannya, maka faktor manajemen lainnya belum banyak diadopsi, tidak terkecuali pada skala pemilikan terbesar (7-9 ekor).
Anggraini (2003) berdasarkan penelitiannya mengenai pendapatan usaha peternakan sapi potong rakyat di Kabupaten Bima NTB. Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan peternak pada masing-masing skala yang telah ditetapkan di Kabupaten Bima. Terdapat 4 skala usaha yaitu skala I (≤ 10 ST), skala II (11-20 ST), skala III (21-50 ST) dan
17 skala IV (> 50 ST). Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa biaya produksi yang dikeluarkan meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap antara lain peralatan, penyusutan kandang, penyusutan peralatan dan perbaikan kandang, sedangkan biaya variabel antara lain pakan, obat-obatan, tenaga kerja, vaksinasi dan pajak ternak. Hasil memperlihatkan bahwa biaya pakan merupakan komponen biaya produksi yang terbesar. Biaya pakan yang dikeluarkan semakin besar dengan semakin meningkatnya skala usaha.
Berdasarkan hasil penelitian Sunawan (2000), mengenai peternakan ayam ras pedaging peserta PIR di PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Sidoarjo, Jawa Timur, yang membagi skala usaha ke dalam tiga kelompok yaitu skala usaha kecil, sedang dan besar. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar pula persentase biaya variabelnya. Persentase biaya variabel pada skala usaha kecil, sedang dan besar, masing-masing adalah 98,26 persen, 98,89 persen dan 99,41 persen. Pada biaya tetap, semakin besar skala usaha maka persentase biaya tetap semakin kecil. Persentase biaya tetap pada skala usaha kecil, sedang dan besar, masing-masing adalah 1,74 persen, 1,11 persen dan 0,59 persen. Namun, skala usaha pada penelitian tersebut dibagi berdasarkan rataan bobot panen total, dinyatakan dalam kilogram (kg). Bobot untuk skala kecil adalah 3, 573 kg, bobot untuk skala sedang 9,525 kg dan bobot untuk skala besar adalah 19,427 kg.
Menurut Yusriani (1984), dalam penelitiannya mengenai analisis skala usaha pada peternakan sapi perah di Jakarta Selatan, menyatakan bahwa masing-masing kelompok ternak menunjukan usaha yang menguntungkan. Hal ini dilihat dari nilai IOR (Input Output Ratio) rata-rata sebesar 1,6 0,52. Nilai IOR tertinggi adalah rata-rata 1,77 dengan simpangan baku 0,66 yaitu pada kelompok pemilikan
> 12 ST (satuan ternak). Penelitian tersebut dilakukan terhadap tiga skala menurut kelompok pemilikan ternak dalam satuan ST (Satuan Ternak). Skala tersebut masing-masing adalah < 8 ST, 8-12 ST dan > 12 ST.
Penelitian yang dilakukan oleh Sukraeni (1985) mengenai usaha sapi perah rakyat pada beberapa tingkat skala usaha di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Pada penelitian ini ditetapkan tiga tingkat skala usaha yang didasarkan pada jumlah pemilikan sapi induk dari peternakan sapi perah rakyat. Hasil
18 penelitiannya menyimpulkan bahwa secara umum keefisienan teknis yang meliputi produksi susu harian, kadar lemak susu, pemberian makanan dan keefisienan reproduksi antara ketiga tingkat skala usaha tidak berbeda. Hal ini menunjukan adanya kesamaan dalam tata laksana dan pemberian makanan pada usaha sapi perah rakyat. Dari segi biaya produksi per unit produksi dapat disimpulkan bahwa skala usaha yang semakin rendah memperlihatkan biaya produksi per unit produksi yang semakin besar.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, terdapat keterkaitan antara skala usaha dengan struktur biaya. Keterkaitan tersebut terjadi karena struktur biaya sangat dipengaruhi oleh skala usaha. Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan skala usaha akan berakibat pada struktur biaya yang lebih rendah untuk tiap unit satuan hasil produksi. Skala usaha yang besar, secara teoritis akan dapat menghasilkan economies of scale yang tinggi.
Namun, kenyataannya di lapangan sering kali skala besar menjadi tidak ekonomis yang disebabkan oleh karakteristik komoditas pertanian yang khas. Terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusriani (1984) yang menunjukan bahwa rata-rata biaya makanan per satuan ternak per hari untuk masing-masing kelompok pemilikan ≤ 8 ST, 8-12 ST dan > 12 ST adalah Rp 1.056,88, Rp 950,10 dan Rp 1.083,55. Penambahan skala juga tidak selalu membuat usaha tersebut semakin efisien, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusminah (2003), mengatakan bahwa total biaya rata-rata tertinggi terdapat pada skala usaha besar.
Kondisi ini terjadi karena manajemen dalam pemberian pakan lebih buruk.
Pemberian pakan konsentrat yang terlalu banyak akan menimbulkan kerugian ekonomis dan biaya tambahan untuk biaya tenaga kerja.
Dari beberapa penelitian sebelumnya, memperlihatkan kemungkinan adanya variasi dalam struktur biaya pada setiap skala usaha yang berbeda-beda.
Jenis ternak juga mempengaruhi efisiensi dari skala usaha yang dijalankan. Maka dari itu, penting untuk diketahui struktur biaya usaha ternak kambing perah menurut skala usaha.
19