• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR)"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK

KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR)

SKRIPSI

DEWINTHA STANI H34066033

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

RINGKASAN

DEWINTHA STANI. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).

Susu kambing merupakan hasil produk utama dari ternak kambing perah, yang bisa menjadi sumber pendapatan baru dan cukup menjanjikan. Namun, tidak semua jenis kambing perah mampu menghasilkan susu secara rutin dan dalam jumlah banyak. Jenis kambing yang banyak digunakan adalah Peranakan Etawa (PE). Sodiq dan Abidin (2008) mengatakan bahwa rataan produksi susu kambing PE di Indonesia sekitar 2 – 3 liter/ekor/hari. Dengan pengelolaan yang baik, induk kambing PE mampu berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun, sehingga kambing jenis ini memiliki potensi untuk dikembangkan

Adanya peluang bisnis dari meningkatnya permintaan susu kambing dan harga susu kambing yang cukup tinggi menyebabkan banyak orang tertarik untuk membudidayakan kambing perah. Dalam merencanakan usaha ternak kambing perah penentuan skala usaha hendaknya diperhatikan dengan matang. Usaha ternak kambing perah dapat diusahakan dalam skala yang berbeda-beda. Ada yang berskala kecil, skala menengah serta ada yang berskala besar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan usaha ternak kambing perah secara umum, menganalisis struktur biaya dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah, serta menganalisis skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien. Konsep dan alat analisis yang digunakan adalah analisis terhadap struktur biaya usaha ternak kambing perah berdasarkan skala usaha. Responden yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah tiga peternak yang dianggap mewakili kondisi pada masing-masing skala usaha.

Hasil analisis biaya tetap, jika biaya penyusutan dimasukkan ke dalam biaya tetap, maka terlihat adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha akan meningkatkan biaya tetap per satuan ternak dan biaya tetap per liter susu. Sementara itu, jika biaya variabel non tunai diperhitungkan ke dalam biaya variabel menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha akan menurunkan biaya variabel per satuan ternak dan biaya tetap per liter susu.

Berdasarkan hasil analisis struktur biaya yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan biaya produksi usaha ternak kambing perah per liter susu untuk masing-masing skala. Skala I sebesar Rp 26.521 per liter, skala II sebesar Rp 25.750 per liter, dan skala III sebesar Rp 17.472 Terlihat adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun

Berdasarkan analisis biaya tunai dan non tuni, biaya yang dikeluarkan pada skala I sebagian besar merupakan biaya non tunai dengan persentase 93,50 persen dari biaya produksi. Rendahnya persentase biaya tunai dikarenakan usaha ternak yang dilakukan masih terbatas sebagai usaha sampingan (subsisten), sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sepenuhnya untuk kegiatan usaha ternak tetapi lebih dicurahkan untuk kegiatan pokok sebagai petani. Berbeda halnya dengan skala II dan skala III, usaha ternak kambing perah sudah merupakan usaha pokok yang telah bersifat komersial dimana salah satu tujuan usaha ialah untuk

(3)

memperoleh keuntungan. Kedua skala tersebut menunjukkan biaya tunai yang tidak berbeda jauh dikarenakan corak usahataninya sama yaitu telah berskala komersial dan teknologinya sama. Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa persentase biaya tunai tertinggi terdapat pada skala II. Tingginya biaya tunai pada skala II dikarenakan usaha ternak yang dijalankan masih baru, sehingga biaya yang dibayarkan relatif lebih tinggi di awal usaha. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa komposisi biaya tunai dan non tunai dipengaruhi oleh karakteristik usaha ternak yang ada khususnya corak dan teknologi dan perkembangan usaha.

Jika memperhitungkan biaya rumput dan tenaga kerja tersebut, maka diperoleh nilai BE minus, yang disebabkan karena tingginya biaya variabel per liter susu, sedangkan harga jual lebih murah karena kualitas susu yang rendah.

Tingginya biaya variabel karena termasuk biaya yang diperhitungkan (biaya non tunai) seperti rumput dan tenaga kerja dimana kedua komponen biaya tersebut mempunyai persentase yang sangat tinggi pada biaya variabel. Artinya dalam skala bisnis, skala I merupakan skala yang tidak menguntungkan (unprofitable) karena jumlah ternak yang sedikit dan teknologi yang sederhana menyebabkan biaya produksi menjadi besar. Tetapi jika tidak dihitung biaya non tunainya, maka akan diperolah nilai BEP yang positif bahkan volume produksi aktualnya telah melebihi BEP produksi.

Volume produksi susu kambing aktual skala II di atas BEP volume produksi. Nilai yang harus dicapai agar impas adalah saat produksi sebesar 38,7 liter/bulan, saat ini volume produksi pada skala II adalah 211 liter/bulan. Hal serupa juga terjadi pada skala III, dimana produksi aktual saat ini sebesar 747 liter/bulan, jauh dari nilai impas produksi yakni 29,3 liter/bulan. Hal ini berarti kedua peternakan tersebut sudah untung karena produksi susu sudah di atas nilai titik impas, sehingga dapat terhindar dari kerugian. Berdasarkan analisis titik impas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar skala usaha, maka peternak semakin bisa menutupi biaya totalnya sehingga terhindar dari kerugian. Terlihat dari volume produksi aktual yang semakin jauh dari nilai BEP produksi.

(4)

ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK

KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR)

DEWINTHA STANI H34066033

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(5)

Judul Skripsi : Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor)

Nama : Dewintha Stani

NRP : H34066033

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 415 082

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 415 082

Tanggal Lulus :

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan di Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2009

Dewintha Stani H34066033

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 1985. Penulis merupakan putri kesembilan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Alm. H. Hasan Marzuki dan Hj. Ety Suhaeti

Penulis mulai memasuki jenjang pendidikan dasar pada tahun 1991 di SDN 07 Pagi Cengkareng Timur Jakarta Barat kemudian berpindah ke SDN 02 Parung Panjang dan diselesaikan pada tahun 1997. Pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama diselesaikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Parung Panjang pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Curug Tangerang dan diselesaikan pada tahun 2003.

Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Diploma III Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian melalui jalur USMI dan lulus pada tahun 2006. Selepas menempuh program Diploma III, penulis melanjutkan studi pada jenjang Strata Satu (S1) Program Sarjana Agribisnis Penyelenggraan Khusus, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Badan Kemahasiswaan Diploma Perbenihan (BKMDP), Forum Komunikasi Rohis Departemen (FKRD) dan terakhir menjabat sebagai Bendahara di Keluarga Muslim Ekstensi Institut Pertanian Bogor (KAMUS-IPB). Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan baik di dalam maupun di luar kampus.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbal’alamin

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah (Kasus : Tiga Skala Pengusahaan Di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Bogor sebagai salah satu sentra produksi susu kambing di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan usaha ternak kambing perah secara umum, menganalisis struktur biaya dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah, serta menganalisis skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menyempurnakan tulisan ini. Semoga karya ini bermanfaat dikemudian hari.

Bogor, Juni 2009 Dewintha Stani

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skipsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungn dari berbagai pihak, baik secara langsung maunpun tidak langsung. Maka dari itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan, pemikiran dan ilmu yang sangat berarti bagi penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai.

2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS atas kesediannya menjadi dosen penguji utama.

Terima kasih atas koreksi dan masukan yang telah diberikan.

3. Etriya, SP, MM atas kesediannya menjadi dosen penguji Komisi Pendidikan.

Terima kasih atas koreksi dan masukan yang telah diberikan.

4. Dr. Ir. Dwi Rachmina selaku dosen evaluator pada kolokium rencana penelitian yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh keluarga yang setiap saat selalu mendoakan penulis agar Allah SWT selalu memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dalam mengemban amanah ini.

6. Fifi Robiah atas kesediaannya menjadi pembahas dalam seminar hasil skripsi yang telah memberikan masukan yang berarti dalam penyempurnaan penyusunan skripsi ini.

7. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Direktorat Jenderal Peternakan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Penelitian Ciawi atas segala bantuan dan informasi yang telah diberikan selama penelitian berlangsung.

8. Bapak Rojak, Bapak Wisnanto, Bapak Dwi Susanto. Terima kasih atas bantuan, kerjasama dan keramahannya selama penulis berada di lokasi penelitian.

9. Ibu Juniar, Ade Holis, Mastuty, Yusni, Meylani, Emil, Rosid, Wahyu, Solihin, Hotna atas kesediaan waktu untuk berdiskusi dan masukan berarti dalam penyempurnaan penyusunan skripsi ini.

(10)

10. Teman-teman seperjuangan di Keluarga Muslim Ekstensi Institut Pertanian Bogor dan para Pembina atas segala motivasi, nasihat dan insprirasinya pada penulis.

11. Teman-teman di Ekstensi Agribisnis dan Manajemen, kebersamaan yang kita lalui akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Semoga Anda semua dapat mencapai cita-cita yang diinginkan.

12. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu terselesaikannya penulisan laporan ini.

Semoga Allah SWT mencatat dan membalas semua amal baik ini dengan balasan yang lebih baik.

Bogor, Juni 2009

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… ii

DAFTAR GAMBAR ……… iv

DAFTAR LAMPIRAN ……… v

I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 3

1.3. Tujuan Penelitian ………. 5

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ………... 5

1.5. Kegunaan Penelitian ……… 5

II TINJAUAN PUSTAKA ………. 6

2.1. Klasifikasi dan Jenis Kambing Perah ………. 6

2.2. Karakteristik dan Khasiat Susu Kambing ……….. 7

2.3. Usaha Ternak Kambing Perah ………. 9

2.3. Struktur Biaya dan Skala Usaha Ternak Kambing Perah... 13

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 19

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ……….. 19

3.1.1. Struktur Biaya ... 19

3.1.2. Skala Usaha ………. 21

3.1.3. Titik Impas (Break Even Point) ……….. 23

3.1.4. Efisiensi ……….. 25

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ……….. 25

IV METODE PENELITIAN ………. 28

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 28

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 28

4.3. Metode Penentuan Responden ... 28

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 29

4.4.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah.. 29

4.4.2. Analisis Curahan Waktu Tenaga Kerja ……….. 30

4.4.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point) ………. 31

4.5. Definisi Operasional ... 31

V DESKRIPSI UMUM USAHA PETERNAKAN KAMBING PERAH ... 33

5.1. Peternakan Kambing Perah Bapak Rojak ... 33

5.1.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha ... 33

5.1.2. Usaha Ternak Kambing Perah ... 34

5.1.3. Lokasi dan Keadaan Wilayah ... 38

5.2. Peternakan Unggul ... 38

(12)

5.2.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha ... 38

5.2.2. Usaha Ternak Kambing Perah ... 39

5.2.3. Lokasi dan Keadaan Wilayah ... 44

5.2.4. Deskripsi dan Pemasaran Produk ... 45

5.3. Peternakan Prima Fit ... 45

5.3.1. Sejarah dan Perkembangan Usaha ... 45

5.3.2. Usaha Ternak Kambing Perah ... 47

5.2.3. Lokasi dan Keadaan Wilayah ... 50

5.2.4. Deskripsi dan Pemasaran Produk ... 51

VI ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH ... 53

6.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Ternak ... 53

6.1.1. Komponen Biaya Tetap dan Biaya Variabel ... 53

6.1.2. Komponen Biaya Tunai dan Biaya Non Tunai ... 64

6.2. Analisis Penerimaan ... 65

6.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point) ... 69

VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 71

7.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 77

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing Perah ………. 30

2. Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah pada Skala I ... 34

3. Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala I (HKP/tahun) ... 35

4. Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah pada Skala II ... 39

5. Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala II ... 40

6. Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah pada Skala III ... 46

7. Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala III ... 50

8. Komponen Biaya Tetap Usaha Ternak Kambing Perah di Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan ... 55

9. Komponen Biaya Variabel Usaha Ternak Kambing Perah di Tiga Skala Pengusahaan Per Bulan ... 61

11. Struktur Biaya Usaha Ternak Kambing di Tiga Skala Pengusahaan ... 63

12. Perbandingan Komposisi Biaya Tunai dan Biaya Non Tunai .. 64

13. Produksi dan Produktivitas Susu Kambing di Tiga Skala Pengusahaan ... 67

11. Penerimaan Usaha Ternak Kambing Perah di Tiga Skala Pengusahaan ... 68

12. Nilai Titik Impas (BEP) di Tiga Skala Pengusahaan ... 69

iii

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kurva Amplop Skala Usaha ……….. 22 2. Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan ……… 23 3. Diagram Alur Pemikiran Operasional ……… 27 4. Bentuk Kurva Skala Usaha di Kabupaten Bogor ………….. 63

iv

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Populasi Kambing menurut Provinsi di Indonesia, 2003-2007. 77 2. Populasi Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor

Tahun 2006-2007 ……….. 79

3. Kandungan Gizi Susu Kambing, Sapi dan ASI ……….. 80 4. Perkembangan Populasi Kambing PE menurut Kecamatan di

Kabupaten Bogor Tahun 2006-2007 ………... 81 5. Biaya Penyusutan Peralatan pada Usaha Ternak di Tiga Skala

Pengusahaan ………. 82

6. Biaya Perlengkapan di Tiga Skala Pengusahan ……….. 83

v

(16)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Susu kambing memiliki keunggulan spesifik yang tidak dimiliki produk susu dari ternak lain seperti sapi perah. Walaupun masing-masing produk susu mempunyai zat nutrisi lengkap dan berguna bagi kesehatan, namun keunggulan susu kambing tidak tertandingi. Selain untuk menjaga kesehatan, susu kambing pun berkhasiat untuk pengobatan dan kecantikan.

Susu kambing merupakan hasil produk utama dari kambing perah, yang bisa menjadi sumber pendapatan baru dan cukup menjanjikan. Susu kambing dapat dihasilkan oleh jenis kambing tertentu, karena tidak semua jenis kambing mampu menghasilkan susu secara rutin dan dalam jumlah banyak. Jenis kambing yang banyak digunakan adalah Peranakan Etawa (PE). Sodiq dan Abidin (2008) mengatakan bahwa rataan produksi susu kambing PE di Indonesia sekitar 2 – 3 liter/ekor/hari. Panjang masa laktasi sangat beragam yaitu 90-256 hari dengan rataan 156 hari. Dengan pengelolaan yang baik, induk kambing PE mampu berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun, sehingga kambing jenis ini merupakan komoditas yang memiliki prospek pengembangan yang baik karena memiliki tingkat produksi yang cukup tinggi.

Perkembangan populasi, kambing baik kambing pedaging dan kambing perah di Indonesia pada tahun 2003 sampai dengan 2007 dapat dilihat pada Lampiran 1. Populasi kambing telah mencapai 14.873.516 ekor pada tahun 2007, dengan pertumbuhan populasi 7,86 persen per tahun. Peningkatan yang paling besar terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 1.084.000 ekor meningkat dari tahun sebelumnya atau sebesar 7,28 persen. Terlihat bahwa propinsi Jawa Tengah merupakan daerah dengan populasi kambing terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 3.193.842 ekor pada tahun 2007 (data sementara). Sedangkan Jawa Barat berada pada urutan ketiga.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mempunyai sektor berbasis pada peternakan. Kambing PE merupakan komoditi dari subsektor peternakan yang sedang dikembangkan dan diprioritaskan sebagai

(17)

2 komoditas unggulan. Kambing PE di Kabupaten Bogor mulai berkembang dan banyak dikenal sekitar awal tahun 2000 yang dipelopori oleh Arsa Tanius.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor pada tahun 2006-2007 (Lampiran 2), angka populasi ternak kambing PE yang terdapat di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan sebesar 51,01 persen.

Ini mengindikasikan adanya peningkatan jumlah produksi susu kambing.

Pengembangan usaha ternak kambing perah di Kabupaten Bogor memiliki potensi yang cukup tinggi, karena didukung iklim yang sesuai dan aksesibilitas ke berbagai daerah konsumen.

Sampai saat ini pasokan susu kambing baik di Indonesia maupun negara lain lebih sedikit dibandingkan permintaannya. Beberapa distributor di Indonesia menyatakan bahwa masih banyak permintaan susu kambing untuk diekspor belum dapat terpenuhi. Direktur operasional PT. Sentra Agri Etawa dalam Majalah Komoditas tahun 2001 mengatakan bahwa perusahaan di Jepang, Jerman dan Malaysia meminta pasokan susu kambing dari Indonesia, namun karena sedikitnya peternak kambing perah di Indonesia maka permintaan tersebut belum dapat dipenuhi. Selain negara-negara tersebut, negara-negara di Timur Tengah juga merupakan negara yang potensial dijadikan tujuan ekspor mengingat masyarakat di sana sudah lama mengenal susu kambing untuk kesehatan dan kecantikan (Ratnawati, 2002).

Sementara itu, di dalam negeri permintaan terhadap susu kambing juga semakin meningkat, walaupun saat ini belum ada data resmi mengenai jumlahnya.

Namun terbukti, susu kambing yang siap untuk diminum telah banyak dijual di apotek-apotek1. Ketua Asosiasi Peternak Kambing PE mengatakan, kebutuhan susu kambing diperkirakan mencapai 6.000 liter/hari. Namun dari kebutuhan itu saat ini baru seperempatnya yang bisa terpenuhi2. Peningkatan permintaan susu kambing dikarenakan adanya gaya hidup saat ini yang beranjak ke arah gaya hidup sehat dan alami, sehingga pengobatan alternatif pun mulai gencar

1 Hasil wawancara dengan pegawai Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta [10 November 2008].

2 Adijaya, Dian. 2008. Tangguk Rezeki dari Susu Kambing. Majalah Trubus. Edisi November 2008 XXXIX.

(18)

3 dilakukan. Produk susu kambing pun saat ini dikonsumsi sebagai minuman suplemen untuk membantu meredakan penyakit tertentu. Permintaan susu kambing semakin meningkat pada awal Tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya dukungan Dinas Peternakan dan banyaknya liputan oleh media cetak maupun media elektronik mengenai manfaat susu kambing.

Susu kambing memiliki harga lebih tinggi dibandingkan dengan harga susu sapi. Hingga Oktober 2008, harga susu kambing di tingkat konsumen di luar Jakarta sudah mencapai Rp 20.000 – Rp 40.000 per liter, bahkan susu kambing produksi Peternakan Prima Fit di Kabupaten Bogor menjual Rp 100.000/liter. Saat ini, di beberapa lokasi peternakan kambing perah sudah mulai dikembangkan sistem agrowisata, sehingga peternakan kambing perah menjadi salah satu tujuan wisata. Di tempat-tempat seperti ini, harga susu kambing bisa dijual dengan harga tiga kali lipat daripada harga di pasaran (Sodiq dan Abidin, 2008). Harga jual susu kambing masih cukup tinggi karena susu kambing dinilai merupakan produk istimewa dan pasokannya masih terbatas. Kondisi tersebut membuat susu kambing memiliki posisi tawar yang tinggi dalam menentukan harga jual.

Adanya peluang bisnis dari meningkatnya permintaan susu kambing dan harga susu kambing yang cukup tinggi menyebabkan banyak orang tertarik untuk membudidayakan kambing perah. Di masyarakat, usaha ternak kambing perah diusahakan dalam skala yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam merencanakan dan mengembangkan usaha ternak kambing perah, maka keputusan mengenai skala usaha menjadi sangat penting.

Bertitik tolak dari hal tersebut maka kajian mengenai skala usaha ternak kambing perah, dalam hal ini dikhususkan pada kambing PE, menjadi hal yang sangat menarik. Kabupaten Bogor sebagai salah satu sentra produksi susu kambing dapat dijadikan tempat untuk mengetahui bagaimana keragaan usaha ternak kambing perah dan pada skala berapa peternak sebaiknya mengusahakan usaha ternak kambing perah.

1.2. Perumusan Masalah

Pengusahaan ternak kambing perah di masyarakat dilakukan dalam berbagai skala usaha, yang didasarkan pada jumlah pemilikan ternak. Ada skala pengusahan relatif kecil (2-5 ekor) dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk

(19)

4 keperluan rumah tangga, dengan tingkat penerapan teknologi peternakan yang sederhana. Umumnya usaha ternak kambing skala kecil ini dilakukan oleh petani peternak di pedesaan dengan pola pemeliharaan dilepas, contohnya di Kabupaten Pandeglang. Ada juga skala menengah, yang tujuan usahanya telah bersifat komersial, peternak mengusahakan ternaknya sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan. Selain itu, ada juga kambing perah yang diusahakan sebagai peternakan besar atau skala industri dengan jumlah pemilikan ternaknya cukup besar. Pola pemeliharaannya dikandangkan (intensif) dan menerapkan teknologi yang modern. Salah satu peternakan kambing perah berskala besar di Kabupaten Bogor terdapat di Peternakan Kambing Perah Prima Fit yakni dengan mengelola sekitar 200 ekor.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan adanya variasi skala usaha ternak kambing perah dengan pola pemeliharaan dan penerapan teknologi yang juga bervariasi. Dalam merencanakan dan mengembangkan usaha ternak kambing perah, perlu diketahui informasi mengenai skala usaha efisien, yang sebaiknya dipilih oleh peternak sebagai pengelola usaha ternak kambing perah. Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang berbeda-beda pada masing- masing skala usaha. Secara teoritis, dengan meningkatnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang semakin rendah. Maka dari itu dalam menentukan skala usaha harus mempertimbangkan struktur biaya yang akan terjadi apabila suatu skala usaha dilakukan.

Struktur biaya memegang peranan penting dalam kegiatan produksi suatu komoditi yang bersifat komersial. Penentuan jumlah produksi susu yang hendak diproduksi dan dijual dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi. Informasi mengenai jumlah produksi susu minimal yang harus diproduksi/dijual penting untuk dipelajari. Hal itu dapat diketahui dengan melakukan analisis titik impas (break even point).

Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimana keragaan usaha ternak kambing perah secara umum di lokasi penelitian?

2) Bagaimana struktur dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah pada tiap skala usaha?

(20)

5 3) Manakah skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah :

1) Mengetahui keragaan usaha ternak kambing perah secara umum di lokasi penelitian

2) Menganalisis struktur dan besaran biaya produksi usaha ternak kambing perah pada tiap skala usaha

3) Menganalisis skala usaha ternak kambing perah yang paling efisien

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengetahui skala usaha yang paling efisien berdasarkan struktur biaya. Skala usaha yang digunakan menurut jumlah pemilikan kambing perah. Responden peternak dibatasi hanya peternak yang memelihara kambing perah jenis PE.

1.5. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan pertimbangan bagi peternak sebagai pengelola usaha ternak kambing perah untuk mengambil keputusan dalam perencanaan dan pelaksanaan usaha ternaknya. Bagi penulis sendiri diharapkan agar penelitian ini berguna sebagai wadah untuk melatih kemampuan analisis serta pengaplikasian konsep-konsep ilmu yang diperoleh selama kuliah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai skala usaha kepada peneliti lain, sebagai referensi dan studi perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

(21)

6

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Jenis Kambing Perah

Dalam klasifikasi biologi, kambing digolongkan dalam Kerajaan Animalia, Filum Chordata, Kelas kelompok Mamalia, ordo Arthodactyla, Famili Bovidae, Subfamili Caprinae, dan Genus Capra. Kambing perah yang tersebar di berbagai belahan dunia dikelompokkan berdasarkan daerah asalnya, sifat-sifat produksinya, dan karakteristiknya sebagai ternak penghasil susu. Beberapa jenis kambing perah yang telah dikenal sebagai ternak penghasil susu yang produktif antara lain kambing Etawa, kambing Peranakan Etawa (PE), kambing Alpen, kambing Anglo Nubian, kambing Beetal, kambing Jamnapari, kambing Saanen, kambing Toggenburg dan masih banyak lagi (Setiadi, B dan Muryanto, 1989) dan Sutama et al.,(2007).

Salah satu jenis kambing yang mempunyai potensi untuk menghasilkan susu adalah kambing Peranakan Etawa (PE) yang saat ini telah tersebar luas di Indonesia. Kambing PE adalah hasil persilangan antara kambing lokal (Kacang) dengan Etawa yang berasal dari India. Kambing Kacang ukuran tubuhnya kecil, rata-rata berat jantan 25 kilogram dan betina 20 kilogram, tetapi dikenal sebagai ternak penghasil daging. Kambing Etawa adalah tipe perah, berat jantan antara 68- 91 kilogram dan betina antara 36-63 kilogram. Di India hasil susu Etawa mencapai 3,8 kg/hari dan produksi maksimum per tahun 562 kilogram.

Penyilangan kedua bangsa kambing tersebut bertujuan untuk menciptakan jenis kambing dwiguna, dengan harapan ukuran tubuhnya lebih besar daripada kambing lokal, serta menghasilkan susu yang bermanfaat untuk meningkatkan gizi masyarakat (Martawidjaja et al., 1985).

Kambing Peranakan Etawa memiliki konformasi tubuh yang lebih besar dari jenis lainnya sehinga sering dipakai dalam program perbaikan mutu bibit kambing di Indonesia (Sutama dan Budiarsana, 1997). Kambing PE memiliki kemampuan memproduksi susu sebanyak 1,5 – 3 liter per hari. Bahkan menurut pengalaman seorang peternak “dengan pemberian pakan bergizi seperti ampas

(22)

7 tahu dan bungkil kedelai, produksi susu bisa digenjot sampai empat liter/hari”3. Dengan kemampuan produksi susu tersebut maka kambing PE cukup signifikan sebagai ternak penghasil susu yang sangat potensial, sehingga memberi peluang yang cukup besar untuk diversifikasi usaha peternakan, terutama pada daerah- daerah yang relatif kering dimana pengembangan sapi perah kurang cocok karena keadaan iklim yang tidak mendukung.

Penelitian yang dilakukan oleh Budiarsana dan Sutama (2001) menyimpulkan bahwa secara biologis kambing PE sangat potensial sebagai kambing perah di Indonesia, yang ditunjukan dengan tingkat produksi, persistensi produksi dan tingkat efisiensi produksinya. Secara non-biologis (teknis) ternak ini mudah dilaksanakan oleh peternak kecil, dan secara ekonomis usaha pemeliharaan kambing PE ini sebagai ternak perah cukup menguntungkan.

2.2. Karakteristik dan Khasiat Susu Kambing

Susu kambing adalah hasil produk utama dari usaha ternak kambing perah.

Susu kambing merupakan cairan yang berasal dari ambing kambing sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar. Selain dijual dalam bentuk segar, sama halnya dengan susu sapi, susu kambing bisa diolah menjadi berbagai produk lain, misalnya yogurt, keju dan mentega. Di Indonesia, susu kambing biasanya dikonsumsi dalam bentuk susu segar. Di beberapa negara, susu kambiing sudah dijual dalam berbagai bentuk makanan olahan seperti yogurt dan keju. Sementara itu, di New Zealand sudah dipasarkan susu kambing dalam kemasan kapsul.

Ditinjau dari kualitasnya, susu kambing mempunyai komposisi nutrisi yang hampir sama dengan susu sapid an air susu ibu (ASI) (Sutama dan Budiarsana, 1997). Pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa kandungan protein, fosfor, kalsium, magnesium dalam 100 gram susu kambing jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan dalam 100 gram susu sapi. Sodik dan Abidin (2008), mengatakan bahwa butiran lemak susu kambing berukuran antara 1 – 10 milimikron sama dengan sapi. Namun, jumlah butiran lemak yang berdiameter

3Adijaya, Dian. 2008. Tangguk Rezeki dari Susu Kambing. Majalah Trubus. Edisi November 2008 XXXIX.

(23)

8 kecil dan homogen lebih banyak terdapat pada susu kambing, sehingga susu kambing lebih mudah dicerna alat pencernaan manusia, serta tidak menimbulkan diare pada orang yang mengkonsumsinya. Secara fisik, perbedaan antara susu sapi dan susu kambing terlihat lebih nyata, yaitu warna susu kambing lebih putih daripada susu sapi karena susu kambing tidak mengandung karoten. Susu kambing murni rasanya enak, sedikit manis dan berlemak.

Dari hasil penelitian Mack pada tahun 1953 disimpulkan bahwa kelompok anak yang diberi susu kambing memiliki bobot badan, mineralisasi kerangka, kepadatan tulang, vitamin A plasma darah, kalsium, tiamin, riboflavin, niacin dan konsentrasi hemoglobinnya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok anak yang diberi susu sapi4. Susu kambing diyakini dapat membantu penyembuhan penyakit pernapasan (asma, bronchitis, pneumonia, TBC), maag, penyakit tulang dan gigi. Selain berkhasiat untuk pengobatan, susu kambing pun dapat mengatasi flek wajah, serta menghaluskan dan memutihkan kulit.

Dokter George Dermitt dari Ohio, Amerika Serikat, menggunakan susu kambing untuk anak-anak yang menderita penyakit eksim (gatal di kulit) dan hasilnya cukup memuaskan. Beberapa pakar penyakit kulit di New Zealand juga menganjurkan pasiennya agar mengkonsumsi susu kambing untuk meningkatkan kesehatan kulit, terutama bagian wajah. Kandungan gizi dalam susu dapat meningkatkan pertumbuhan bayi dan anak-anak serta membantu menjaga keseimbangan proses metabolism, mendukung pertumbuhan tulang dan gigi, serta membantu pembentukan sel-sel darah dan jaringan tubuh. Susu kambing juga baik diberikan kepada wanita dewasa untuk mengembalikan zat besi setelah haidh, kekuranagn darah (anemia), kehamilan, serta pendarahan setelah melahirkan (pendarahan postpartum). Selain itu, kandungan berbagai mineral dalam susu kambing memperlambat osteoporosis atau kerapuhan tulang (Sodik dan Abidin, 2008).

4Yunianti tri atmojo. 2007. Apa Khasiat Susu dan Daging Kambing.

http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/apa-khasiat-susu-dan-daging- kambing/ [7 Februari 2009]

(24)

9 2.3. Usaha Ternak Kambing Perah

Usaha ternak kambing perah adalah semua kegiatan produksi usaha kambing perah dengan tujuan utama menghasilkan susu, di samping menghasilkan anak untuk bibit atau produksi daging. Peternakan kambing dengan tujuan utama sebagai penghasil susu, mulai dikembangkan pada awal tahun 2000.

Beberapa peternakan kambing sudah banyak ditemui di Bogor, Sukabumi, Bandung dan beberapa lokasi di Pulau Jawa.

Manajemen usaha ternak kambing perah adalah seni merawat, menangani dan mengatur kambing. Terdapat beberapa hal yang termasuk di dalamnya yaitu pemeliharaan, tenaga kerja, modal, pencegahan penyakit dan kotoran (Ensminger, 2002). Pengembangan usaha ternak kambing perah tidak akan terlepas dari budidaya, yang merupakan kegiatan produksi hasil ternak berupa susu dan daging.

Siregar dan Ilham (2003) mengatakan bahwa agar produksi usaha ternak dapat berhasil dengan baik, perlu memperhatikan bibit ternak yang digunakan, jumlah dan teknik pemberian pakan, dan manajemen usaha ternak itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Saragih (2002) bahwa untuk mencapai pengembangan agribisnis peternakan secara utuh dalam mewujudkan industrialisasi peternakan, maka dalam pelaksanaannya memerlukan piranti dasar trilogi peternakan yaitu bibit, pakan dan manajemen yang seiring.

Menurut Sumoprastowo dalam Chamdi et al (2003) bahwa beberapa sifat yang menguntungkan dari usaha kambing yaitu kambing berkembang cukup pesat, modal usaha relatif kecil, pemeliharaannya sederhana, dapat memanfaatkan lahan kosong dan dapat berfungsi sebagai tabungan keluarga. Hal senada juga dikemukakan oleh Budiarsana dan Sutama (2001) bahwa pemeliharaan kambing PE relatif mudah, murah (modal yang diperlukan relatif kecil), dan reproduksinya lebih cepat dibandingkan dengan sapi perah. Selain itu, pengembangan kambing PE secara luas akan membantu peningkatan pendapatan atau paling tidak peningkatan konsumsi gizi masyarakat di pedesaan melalui konsumsi susu kambing produksi petani sendiri. Menurut Suradisastra (1993) bahwa usaha peternakan kambing sangat diminati masyarakat karena dapat dipelihara secara tradisional dengan teknologi yang sederhana dan hasilnya digemari masyarakat.

(25)

10 Dilihat dari pengalaman peternak dalam mempertahankan kambing PE yang diusahakan bahwa kambing PE memiliki beberapa keistimewaan khusus, seperti yang dilaporkan dalam penelitian Priyanto et al (1999) yakni tingkat harga yang relatif mahal dibandingkan jenis kambing lainnya yang dilaporkan oleh 52,94 peternak, hasil keturunannya bagus (23,52%) serta tingkat pertumbuhannya yang relatif cepat (17,64%) serta sebagian kecil lagi melaporkan bahwa produksi susu merupakan keistimewaan kambing PE. Persepsi tentang harga yang relatif mahal tersebut akan memberikan indikasi bahwa kambing terbukti memberikan prospek yang menguntungkan di tingkat peternak, di samping memiliki sifat reproduksi yang lebih baik dibandingkan kambing jenis lainnya.

Pengusahaan kambing perah selain mempunyai kelebihan atau keunggulan yang menarik, pengusahaan ini juga masih menghadapi halangan-halangan dalam pengembangannya yang perlu dicermati sehingga dapat dicari pemecahannya.

Beberapa halangan untuk mengembangkan peternakan ternak kambing perah antara lain : (1) ternak kambing perah belum populer, (2) kurangnya pengetahuan tentang teknis pemeliharaan ternak kambing perah, (3) jika peternakan kambing perah dikomersilkan maka menjadi kurang efisien bila dibandingkan peternakan sapi perah, karena ukuran yang kecil justru menambah biaya tenaga kerja (Djoharyani dalam Ardia, 2000).

Menurut Chamdi et al. (2003) bahwa pendapatan dan efisiensi ekonomi suatu usaha ternak kambing dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jumlah pemilikan ternak, jumlah pakan, umur peternak, tingkat pendidikan peternak, dan pengalaman beternak serta sistem pemeliharaan dan status pekerjaan. Sejalan dengan itu, jika efisiensi budidaya peternakan ditingkatkan maka akan dicapai harga yang lebih murah, kualitas yang lebih baik dan keragaman produk yang lebih tinggi. Pada saat yang sama jika terjadi peningkatan pendapatan (daya beli), maka akan meningkatkan permintaan produk peternakan. Permintaan yang selalu meningkat inilah yang secara langsung memacu kegiatan di subsektor peternakan dan yang kemudian menyebabkan keadaan dan tantangan peternakan juga berkembang.

Ternak kambing perah mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mampu hidup di berbagai agro-ekosistem tanpa memerlukan manajemen khusus.

(26)

11 Penyebaran jenis ternak ini sangat luas mulai dari daerah pengairan sampai daerah lahan kering. Setiadi dan Sitorus (1984) dalam penelitiannya mengatakan bahwa secara biologis kambing PE adalah prolifik, mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembangbiak pada daerah-daerah yang relatif kering. Budiarsana et al. (1988) membuktikan bahwa ternak kambing PE dapat beradaptasi baik di lahan kering. Penelitiannya dilakukan pada peternak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Di daerah ini usaha ternak kambing PE berjalan dengan baik, dapat dilihat dari tingginya populasi kambing PE walaupun tanah di daerah ini kering dan sebagian daerahnya berkapur. Roeheni (2004) dalam penelitiannya di Kalimantan Selatan juga membuktikan kemampuan adaptasi kambing perah di daerah pengairan. Bahkan kambing PE dapat hidup di daerah sub optimal. Hal ini dibuktikan dari laporan penelitian Paata et al (1992) yang mengatakan bahwa beberapa ‘kantong kambing’ cenderung berkembang pada daerah kering dengan karakteristik lahan pertanian yang marginal.

Sampai saat ini pemeliharaan ternak kambing perah di Indonesia, umumnya sistem pemeliharaan dikandangkan (intensif). Pada sistem ini pemenuhan kebutuhan pakan ternak semata-mata tergantung petani. Sistem pemeliharaan yang lain adalah pemeliharaan digembalakan (ekstensif) atau kombinasi sistem intensif dan ekstensif. Soepeno dan Manurun (1996), mengatakan bahwa di beberapa daerah yang penduduknya masih relatif jarang seperti di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten), masih banyak ternak kambing perah yang dipelihara secara ekstensif yaitu dilepas pada siang hari (jam 10-18) dan pada malam hari dikandangkan. Tujuannya adalah agar ternak mencari pakan sendiri pada siang hari, sehingga menghemat tenaga mencari pakan. Hasil pengamatan menunjukan bahwa dengan cara pemeliharaan yang demikian justru perkembangan ternak akan lambat dan pendapatan petani dari ternak kambing perah lebih kecil dibandingkan dengan sistem intensif.

Dari segi skala usaha, ada yang berskala kecil untuk keperluan rumah tangga, skala menengah yang tujuan usahanya telah bersifat komersial serta dapat pula diusahakan sebagai peternakan besar atau skala industri. Usaha peternakan kambing perah di Indonesia didominasi oleh usaha ternak kambing perah skala kecil. Menurut Setiadi et al. (1995), skala pengusahaan kambing relatif kecil

(27)

12 yakni sekitar 2 – 5 ekor, dengan tingkat efisiensi usahanya masih rendah. Dalam dua tahun terakhir ini, beberapa peternak atau kelompok petani sudah mulai mengembangkannya ke skala usaha yang lebih besar. Pada kabupaten Bogor, Sukabumi, Bandung dan beberapa lokasi di Pulau Jawa, sudah banyak peternak yang memiliki populasi kambing PE di atas 100 ekor. Salah satu peternakan kambing yang cukup besar adalah Peternakan Prima Fit berlokasi di Ciampea, Kabupaten Bogor.

Pada awalnya, usaha peternakan kambing perah masih terbatas sebagai usaha sambilan atau cabang usaha yang berfungsi sebagai penunjang kegiatan pertanian, sehingga aktivitas kerja dan pembagian waktunya lebih banyak dicurahkan untuk kegiatan pokok sebagai petani. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Martanegara et al. (1982) bahwa para petani skala kecil di Indonesia umumnya mengutamakan usahatani tanaman pangan sedangkan beternak merupakan usaha sambilan. Namun, setelah peternak mengetahui potensi dan peluang usaha yang menjanjikan dari pengusahaan ternak kambing perah, kini tidak sedikit peternak yang usaha ternaknya sudah merupakan usaha pokok.

Seperti yang dilakukan peternakan kambing perah Prima Fit (PF) di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor telah bersifat komersial, artinya salah satu tujuan peternak dalam mengelola usaha ternaknya adalah untuk memperoleh keuntungan.

Pemasaran susu yang diproduksi tidak sebatas hanya untuk memasok dalam negeri, tetapi juga telah merambah ke pasar Internasional dengan mengekspor produknya ke negara Malaysia, Hongkong, Jerman dan India.

Menurut Sutama dan Budiarsana (1997) ada beberapa cara dapat ditempuh dalam pengembangan kambing PE ini sebagai ternak penghasil susu di Indonesia diantaranya :

1) Peternakan rakyat

Pengembangan dengan pola peternakan rakyat ini akan dapat melibatan banyak petani yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mengingat cara pemeliharaan kambing ditingkat petani masih relatif sederhana tanpa memperhatikan teknik-teknik produksi yang tepat, maka harapan kambing ini untuk dapat mengekspresikan potensi genetiknya menjadi sangat kecil, sehingga pemeliharaan kambing PE ini tidak akan dapat sebagai sumber

(28)

13 pendapatan utama bagi petani. Namun, kalau dilihat dari target jumlah petani yang dapat dicapai melalui pola ini sangat besar, sehingga dampaknya terhadap peningkatan konsumsi gizi keluarga tani melalui konsumsi susu kambing akan lebih besar dan luas.

2) Peternakan swasta komersial

Berbeda dengan pola peternakan rakyat, jika pola pengembangan kambing PE melalui pola peternakan swasta komersial ini yang ditempuh, maka usaha peternakan kambing PE penghasil susu ini hanya terbatas pada para pemodal besar saja. Dengan dukungan modal yang kuat, pihak swasta akan mampu memaksimalkan produksi melalui pemanfaatan teknologi mutakhir yang tersedia.

3) Pola kemitraan inti-plasma

Pola ini merupakan kompromi antara kedua pola pengembangan tersebut di atas. Dalam hal ini pihak swasta bertindak sebagai inti yang berkewajiban membina petani (plasma) dalam beternak kambing perah, dan menampung produksi yang dihasilkan plasma untuk dipasarkan. Kunci sukses pola kemitraan ini akan sangat tergantung pada ketersediaan pasar, dan tingkat produksi dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Bagi peternak kambing PE di pedesaan, aspek pemasaran hasil terutama susu kambing, merupakan masalah yang relatif sulit untuk diatasi. Namun melalui usaha kemitraan Inti- Plasma, pihak Inti akan menampung semua produksi Plasma, sehingga jaminan pemasaran produk kambing PE ini telah ada.

2.4. Struktur Biaya dan Skala Usaha Ternak Kambing Perah

Menurut Rahim (2000), pengeluaran usahatani sama artinya dengan biaya usahatani. Biaya ini merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani, nelayan, peternak) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam hal ini, disebut usahatani untuk petani, melaut untuk nelayan dan beternak untuk peternak. Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam proses produksi ialah biaya variabel, terutama biaya pakan dan biaya tenaga kerja.

Menurut Sutama et al. (2007) dalam usaha ternak kambing perah, lebih dari 60

(29)

14 persen biaya produksi adalah untuk pakan. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan peternak dipengaruhi oleh masa kering dan masa laktasi kambing perah.

Skala usaha dapat diterjemahkan sebagai ukuran usaha berdasarkan satuan jumlah ternak produktif. Skala usaha yang optimum bagi seorang pengusaha peternak, yang ditentukan oleh salah satu atau keseluruhan faktor produksi yang dikuasai seperti tenaga kerja keluarga, ketersediaan lahan. Sedangkan faktor umum penentuan skala usaha yang optimum ditentukan oleh efisiensi biaya dan harga (Yusdja et al., 2005).

Besarnya sumbangan pendapatan dari usaha ternak kambing akan sangat ditentukan oleh jumlah dan produktivitas induk. Namun demikian peranan pejantan serta tatalaksana perkawinannya tetap tidak dapat dikesampingkan, karena produktivitas induk juga tergantung pada produktivitas pejantan, khususnya faktor reproduksi dan genetik (Paatb et al., 1992).

Saragih (2000) mengklasifikasikan tipologi usaha berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak menjadi 4 kelompok sebagai berikut :

1) Peternakan sebagai usaha sambilan, petani yang mengusahakan berbagai macam komoditi pertanian terutama pangan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten), dengan tingkat pendapatan dari usahaternak kurang dari 30 persen.

2) Peternakan sebagai cabang usaha, peternak yang mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usahatani dengan tingkat pendapatan yang berasal dari budidaya peternakan 30-70 persen (semi komersial atau usaha terpadu).

3) Peternakan sebagai usaha pokok, peternak mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan (single commodity) dengan tingkat pendapatan dari ternak sekitar 70 persen sampai 100 persen.

4) Peternakan sebagai usaha industri, peternak sebagai usaha industri mengusahakan komoditas ternak secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan 100 persen dari usaha peternakan (komoditi pilihan).

Menurut Siregar dan Ilham (2003), skala usaha peternak sangat menentukan efisiensi usaha. Oleh karena itu perlu meningkatkan skala usaha

(30)

15 hingga pada skala usaha yang optimal. Selain disebabkan keterbatasan modal, kendala peningkatan skala usaha adalah terbatasnya pemilikan lahan untuk kandang dan kebun rumput. Sudono (1993) menyatakan bahwa untuk melihat keefisienan teknis usaha ternak sapi atau kambing perah dapat dilihat dari beberapa hal yaitu : (1) jumlah ternak betina dewasa minimum yang harus dipelihara suatu peternakan rakyat atau perusahaan, (2) minimum persentasi ternak laktasi, (3) minimum produksi susu rata-rata per ekor atau per satuan ternak per hari, (4) rasio antara penerimaan dengan biaya makanan atau biaya produksi.

Penelitian yang membahas hubungan struktur biaya dengan skala usaha telah dilakukan oleh Bantani (2004), pada penelitiannya mengenai usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor. Responden yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah 37 responden dengan proporsi 21 orang merupakan kriteria Pemotong I dan 16 orang merupakan kriteria Pemotong II.

Hasil penelitiannya menunjukan bahwa biaya total per kg pada Pemotong I semakin kecil pada setiap peningkatan skala usaha. Sedangkan pada Pemotong II peningkatan skala usaha tidak mempengaruhi pada biaya total per kg usaha. Hal ini terjadi karena biaya pembelian ayam hidup yang merupakan komponen biaya terbesar usaha pemotongan ayam tradisional di Kelurahan Kebon Pedes pada Pemotong II lebih besar dibanding Pemotong I, sedangkan harga jual produk sama. Persentase biaya variabel berdasarkan skala usaha semakin besar seiring dengan peningkatan skala usahanya, sedangkan persentase biaya tetap semakin menurun.

Capah (2008), melakukan penelitian mengenai pendapatan usahaternak sapi perah di KUD Mandiri Cipanas, Kabupaten Bogor. Peternak responden dibagi menjadi tiga skala yaitu skala I (kecil), skala II (sedang) dan skala III (besar). Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur biaya tetap pada ketiga skala adalah sama, dengan biaya terbesar adalah biaya penyusutan ternak. Struktur biaya variabel terbesar pada skala I adalah biaya tenaga kerja, sedangkan struktur biaya variabel terbesar pada skala II dan III adalah biaya pakan. Semakin besar skala usaha ternak sapi perah maka biaya produksi rata-rata per liter susu akan menjadi semakin kecil dan semakin besar skala usaha ternak, maka semakin tinggi pula tingkat penerimaannya.

(31)

16 Berdasarkan hasil penelitian Pakarti (2000), mengenai usaha ternak ayam broiler di Kabupaten Kuningan. Pada penelitian tersebut dituliskan bahwa skala usaha ternak di tempat penelitian ditentukan berdasarkan jumlah ayam yang dinyatakan dalam ekor. Skala usaha tersebut terdiri dari skala usaha <1.000 ekor, 1001-2.000 ekor, 2001-3.000 ekor dan skala > 3.000 ekor. Struktur biaya yang terjadi dibedakan berdasarkan skala usahanya. Semakin besar skala usaha maka persentase biaya variabel semakin besar juga, namun terjadi penurunan persentase biaya variabel pada skala > 3.000 ekor. Persentase biaya variabel, masing-masing adalah 97,61 persen, 98,25 persen, 98,83 persen dan 98,14 persen. Semakin besar skala usaha maka persentase biaya tetap semakin menurun, namun terjadi peningkatan persentase biaya tetap pada skala > 3.000 ekor. Persentase biaya tetap, masing-masing adalah 2,39 persen, 1,75 persen, 1,17 persen dan 1,86 persen.

Penelitian yang dilakukan oleh Paat et al (1992) mengenai efek skala usaha pembibitan kambing PE terhadap efisiensi dan adopsi teknologi. Pada penelitian ini ditetapkan empat tingkat skala usaha yang didasarkan pada jumlah pemilikan induk yaitu skala I (1-2 ekor), skala II (3-4 ekor), skala III (5-6 ekor) dan skala IV (7-9 ekor). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi biaya produksi terbesar adalah biaya non tunai berupa tenaga kerja keluarga mencarikan pakan dan perawatan. Bila tenaga kerja keluarga dan hijauan pakan tidak diperhitungkan maka keuntungan sudah diperoleh pada skala 1-2 dan terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya skaa usaha. Apabila biaya tersebut tidak dimasukkan sebagai biaya produksi, maka tidak ada skala usaha yang mengalami kerugian, bahkan tingkat keuntungan akan semakin meningkat dengan meningkatnya skala usaha. Mengenai adopsi teknologi, kecuali untuk sistem perkandangan dan kebersihannya, maka faktor manajemen lainnya belum banyak diadopsi, tidak terkecuali pada skala pemilikan terbesar (7-9 ekor).

Anggraini (2003) berdasarkan penelitiannya mengenai pendapatan usaha peternakan sapi potong rakyat di Kabupaten Bima NTB. Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan peternak pada masing-masing skala yang telah ditetapkan di Kabupaten Bima. Terdapat 4 skala usaha yaitu skala I (≤ 10 ST), skala II (11-20 ST), skala III (21-50 ST) dan

(32)

17 skala IV (> 50 ST). Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa biaya produksi yang dikeluarkan meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap antara lain peralatan, penyusutan kandang, penyusutan peralatan dan perbaikan kandang, sedangkan biaya variabel antara lain pakan, obat-obatan, tenaga kerja, vaksinasi dan pajak ternak. Hasil memperlihatkan bahwa biaya pakan merupakan komponen biaya produksi yang terbesar. Biaya pakan yang dikeluarkan semakin besar dengan semakin meningkatnya skala usaha.

Berdasarkan hasil penelitian Sunawan (2000), mengenai peternakan ayam ras pedaging peserta PIR di PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Sidoarjo, Jawa Timur, yang membagi skala usaha ke dalam tiga kelompok yaitu skala usaha kecil, sedang dan besar. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar pula persentase biaya variabelnya. Persentase biaya variabel pada skala usaha kecil, sedang dan besar, masing-masing adalah 98,26 persen, 98,89 persen dan 99,41 persen. Pada biaya tetap, semakin besar skala usaha maka persentase biaya tetap semakin kecil. Persentase biaya tetap pada skala usaha kecil, sedang dan besar, masing-masing adalah 1,74 persen, 1,11 persen dan 0,59 persen. Namun, skala usaha pada penelitian tersebut dibagi berdasarkan rataan bobot panen total, dinyatakan dalam kilogram (kg). Bobot untuk skala kecil adalah 3, 573 kg, bobot untuk skala sedang 9,525 kg dan bobot untuk skala besar adalah 19,427 kg.

Menurut Yusriani (1984), dalam penelitiannya mengenai analisis skala usaha pada peternakan sapi perah di Jakarta Selatan, menyatakan bahwa masing- masing kelompok ternak menunjukan usaha yang menguntungkan. Hal ini dilihat dari nilai IOR (Input Output Ratio) rata-rata sebesar 1,6 0,52. Nilai IOR tertinggi adalah rata-rata 1,77 dengan simpangan baku 0,66 yaitu pada kelompok pemilikan

> 12 ST (satuan ternak). Penelitian tersebut dilakukan terhadap tiga skala menurut kelompok pemilikan ternak dalam satuan ST (Satuan Ternak). Skala tersebut masing-masing adalah < 8 ST, 8-12 ST dan > 12 ST.

Penelitian yang dilakukan oleh Sukraeni (1985) mengenai usaha sapi perah rakyat pada beberapa tingkat skala usaha di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Pada penelitian ini ditetapkan tiga tingkat skala usaha yang didasarkan pada jumlah pemilikan sapi induk dari peternakan sapi perah rakyat. Hasil

(33)

18 penelitiannya menyimpulkan bahwa secara umum keefisienan teknis yang meliputi produksi susu harian, kadar lemak susu, pemberian makanan dan keefisienan reproduksi antara ketiga tingkat skala usaha tidak berbeda. Hal ini menunjukan adanya kesamaan dalam tata laksana dan pemberian makanan pada usaha sapi perah rakyat. Dari segi biaya produksi per unit produksi dapat disimpulkan bahwa skala usaha yang semakin rendah memperlihatkan biaya produksi per unit produksi yang semakin besar.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, terdapat keterkaitan antara skala usaha dengan struktur biaya. Keterkaitan tersebut terjadi karena struktur biaya sangat dipengaruhi oleh skala usaha. Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan skala usaha akan berakibat pada struktur biaya yang lebih rendah untuk tiap unit satuan hasil produksi. Skala usaha yang besar, secara teoritis akan dapat menghasilkan economies of scale yang tinggi.

Namun, kenyataannya di lapangan sering kali skala besar menjadi tidak ekonomis yang disebabkan oleh karakteristik komoditas pertanian yang khas. Terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusriani (1984) yang menunjukan bahwa rata-rata biaya makanan per satuan ternak per hari untuk masing-masing kelompok pemilikan ≤ 8 ST, 8-12 ST dan > 12 ST adalah Rp 1.056,88, Rp 950,10 dan Rp 1.083,55. Penambahan skala juga tidak selalu membuat usaha tersebut semakin efisien, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusminah (2003), mengatakan bahwa total biaya rata-rata tertinggi terdapat pada skala usaha besar.

Kondisi ini terjadi karena manajemen dalam pemberian pakan lebih buruk.

Pemberian pakan konsentrat yang terlalu banyak akan menimbulkan kerugian ekonomis dan biaya tambahan untuk biaya tenaga kerja.

Dari beberapa penelitian sebelumnya, memperlihatkan kemungkinan adanya variasi dalam struktur biaya pada setiap skala usaha yang berbeda-beda.

Jenis ternak juga mempengaruhi efisiensi dari skala usaha yang dijalankan. Maka dari itu, penting untuk diketahui struktur biaya usaha ternak kambing perah menurut skala usaha.

(34)

19

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Struktur Biaya

Biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Komposisi biaya yang terjadi pada suatu usaha disebut struktur biaya. Struktur biaya berdasarkan perilaku biaya yang dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel (Mulyadi, 2005).

Perilaku biaya berhubungan dengan periode produksi. Dalam jangka pendek ada faktor produksi tetap yang menimbulkan biaya tetap, yaitu biaya produksi yang besarnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Pengusaha harus tetap membayarnya berapapun jumlah komoditi yang dihasilkan usahanya. Biaya tetap terdiri dari gaji tenaga kerja administrasi, penyusutan kandang, penyusutan ternak dan lahan tempat pengelolaan ternak yang dianggap sebagai biaya yang diperhitungkan sebagai sewa lahan.

Dalam jangka panjang, karena semua faktor produksi dianggap variabel, maka biaya juga variabel. Artinya, besarnya biaya produksi dapat berubah apabila skala usaha berubah. Biaya variabel terdiri dari biaya tenaga kerja langsung, pakan, obat-obatan, dan penyusutan peralatan tidak tahan lama.

Konsep biaya jangka panjang diperlukan oleh pengusaha untuk menentukan skala usaha dari suatu perusahaan. Pengusaha dapat menyesuaikan besarnya skala usaha agar keuntungan yang diperoleh maksimal. Dalam membuat keputusan jangka panjang, pengusaha harus mengetahui biaya produksi yang minimum pada berbagai tingkat produksi. Biaya minimum perusahaan dalam jangka panjang dapat diketahui dengan kurva biaya rata-rata jangka panjang.

Kurva yang menunjukan titik-titik biaya rata-rata minimum pada berbagai tingkat produksi disebut kurva amplop (envelope curve). Kurva ini merupakan kurva biaya rata-rata jangka panjang atau long-run average cost (kurva LAC), yang melingkupi semua kemungkinan kurva biaya rata-rata jangka pendek.

Hernanto (1989) mengungkapkan bahwa biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan :

(35)

20 1) Berdasarkan jumlah output yang dihasikan terdiri dari :

a) Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian dan bunga pinjaman.

b) Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalkan pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan biaya tenaga kerja.

2) Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari : a) Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai.

Biaya tetap misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja luar keluarga. Biaya tunai berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani.

b) Biaya tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap) dan tenaga dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini melihat bagaimana manajemen suatu usahatani.

Menurut Suratiyah (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya sangatlah kompleks. Namun demikian, faktor tersebut dapat dibagi dibagi ke dalam dua golongan sebagai berikut :

1) Faktor internal dan eksternal

Faktor internal antara lain umur petani, pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal.

Sementara itu, faktor eksternal yang mempengaruhi biaya adalah input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan dan harga).

2) Faktor manajemen

Di samping faktor internal dan eksternal maka manajemen juga sangat menentukan. Dengan faktor internal tertenu maka petani harus dapat mengantisipasi faktor eksternal yang selalu berubah-ubah dan tidak sepenuhnya dapat dikuasai. Petani harus dapat melaksanakan usahataninya dengan sebaik-baiknya yaitu penggunaan faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien sehingga akan diperoleh manfaat yang setinggi-tingginya.

(36)

21 Dalam pelaksanaanny sangat diperlukan berbagai informasi tentang kombinasi faktordan informasi harga baik harga faktor produksi maupun produk. dengan bekal informasi tersebut petani dapat segera mengantisipasi perubahan yang ada agar tidak salah pilih dan merugi.

3.1.2 Skala Usaha

Jumlah pemilikan ternak merupakan salah satu ukuran besarnya usaha, di samping ukuran-ukuran lain seperti luas tanah, jumlah tenaga kerja, penerimaan, keuntungan dan hal-hal lain yang dapat digunakan untuk mengukur suatu skala usaha (Kay dan Edwards, 1981). Penentuan skala usaha bertujuan agar peternak dapat mengetahui sejauhmana dia harus berproduksi berdasarkan keadaan skala usaha yang dimilikinya.

Soekartawi (2002) mengatakan bahwa maksud dari analisis usahatani adalah untuk mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai aspek. Telaah seperti ini (kajian berbagai aspek) sangat penting karena tiap macam tipe usahatani pada tiap macam skala usaha dan pada tiap lokasi tertentu berbeda satu sama lain. Hal tersebut memang ada perbedaan dalam karakteristik yang dipunyai pada usahatani yang bersangkutan. Usahatani pada skala usaha yang besar umumnya bermodal besar, berteknologi tinggi, manajemennya modern, lebih bersifat komersial. Sebaliknya, usahatani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya tradisional, lebih bersifat usahatani sederhana dan sifat usahanya subsisten, serta lebih bersifat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Analisis biaya jangka panjang sangat penting untuk mengetahui apakah suatu perusahaan beroperasi pada skala usaha yang ekonomis (economies of scale) atau tidak ekonomis (diseconomies of scale). Hal ini karena skala usaha menunjukkan hubungan antara biaya produksi rata-rata dengan perubahan dalam ukuran (size) usaha. Jadi, bila perluasan usaha bertambah, tetap atau berkurang dapat pula mencerminkan bahwa perluasan usaha tersebut diikuti oleh biaya produksi rata-rata yang menurun, tetap atau bertambah. Gambar 1 dapat memperjelas hubungan skala usaha dengan struktur biaya.

(37)

22 Keterangan :

Q = jumlah keluaran (output)

SMC = biaya marjinal jangka pendek (short marginal cost)

SATC = total biaya variabel jangka pendek (short average total cost) MC = biaya marjinal jangka panjang (marginal cost)

LAC = total biaya variabel jangka panjang (long-run average cost)

Gambar 1. Kurva Amplop Skala Usaha

Sumber : Rahardja dan Manurung (2002)

Pada Gambar 1 menunjukan kurva biaya rata-rata jangka panjang yang berbentuk U. Kurva ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian menurun, (titik) minimum dan kemudian meningkat. Bagian pertama yaitu dalam rentang output mulai dari titik O sampai Q2 biaya rata-rata jangka panjang menurun. Perluasan usaha akan selalu disertai oleh penurunan biaya rata-rata per unit, daerah ini yang disebut skala usaha yang ekonomis (economies of scale).

Bagian kedua yaitu titik di Q2 yang merupakan titik terendah (minimum) dari kurva LAC dan terjadi perpotongan kurva MC dengan LAC. Pada titik ini adalah skala usaha yang paling efisien karena memiliki struktur biaya terendah, sehingga merupakan pilihan pengusaha dalam jangka panjang.

Bagian terakhir yaitu pada Q3, biaya rata-ratanya berada di atas biaya minimum yang cenderung meningkat. Perluasan usaha akan disertai oleh kenaikan biaya rata-rata per unit output. Pada daerah ini disebut skala usaha tidak ekonomis (diseconomies of scale). Dengan demikian, dari Gambar 1 dapat dikatakan bahwa peningkatan skala usaha akan berakibat pada nilai biaya rata-rata yang lebih rendah untuk tiap unit output.

Bentuk kurva amplop skala usaha tidak hanya berbentuk U (U-shape), tetapi bisa pula berbentuk lain. Jika titik minimum AC adalah sama, maka LAC akan berbentuk horizontal (mendatar) seperti terlihat pada Gambar 2. Pada

O Q1

MC

SMC

Output/period e

SATC 3

SATC 2

SMC1

SMC2

SATC 1

LAC Biaya-biaya

Q2 Q3

(38)

23 Gambar tersebut menunjukkan bahwa biaya rata-rata jangka panjang bernilai konstan (tetap), artinya perluasan usaha tidak berpengaruh terhadap biaya rata-rata jangka panjang.

Gambar 2. Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan

3.1.3 Analisis Titik Impas (Break Even Point)

Jika dianalisis dalam jangka pendek, skala usaha dapat dihubungkan dengan analisis titik impas. Skala usaha yang berbeda akan menyebabkan titik BEP yang berbeda, karena struktur biaya yang terjadi juga berbeda-beda. Syarat penggunaan analisis titik impas yaitu harus mengetahui total biaya tetap, biaya variabel rata-rata dan harga satuan output.

Analisis titik impas (BEP) merupakan metode analisis keuntungan dengan melihat perbandingan (nisbah) antara tingkat penerimaan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Menurut Handoko (2000) analisis titik impas digunakan untuk menentukan berapa jumlah produk (dalam rupiah atau unit keluaran) yang harus dihasilkan agar perusahaan minimal tidak menderita rugi. Tidak hanya semata- mata untuk mengetahui keadaan perusahaan yang break even point saja, akan tetapi analisis break even mampu memberikan informasi kepada pimpinan perusahaan mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan.

Q Q Q

Biaya

Output/Periode SATC1

SMC 1 SMC

2 SMC3

SATC2 SATC3

AC=MC

(39)

24 Kuswadi (2005), menyatakan bahwa analisis titik impas selain dapat digunakan untuk membantu menetapkan sasaran atau tujuan perusahaan, juga mempunyai kegunaan-kegunaan lain seperti :

1) Untuk mengetahui hubungan volume penjualan (produksi), harga jual, biaya produksi dan biaya-biaya lain serta mengetahui laba rugi perusahaan.

2) Sebagai sarana merencanakan laba (profit planning).

3) Sebagai alat pengendalian (controlling) kegiatan operasi yang sedang berjalan.

4) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan harga jual.

5) Sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan perusahaan, misalnya menentukan usaha yang perlu dihentikan atau yang harus tetap dijalankan ketika perusahaan dalam keadaan tidak mampu menutup biaya-biaya tunai.

Untuk menentukan titik impas dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

BEP(dalam liter) = Biaya tetap

Harga satuan ouput – Biaya variabel rata-rata Asumsi-asumsi dalam analisis BEP sebagai berikut :

1) Biaya-biaya dapat diidentifikasikan sebagai biaya variabel atau biaya tetap 2) Biaya tetap tidak mengalami perubahan meskipun volume produksi berubah

atau kegiatan berubah. Hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel tidak bervariasi.

3) Biaya variabel per unit tetap sama. Biaya variabel akan berubah secara proporsional dalam jumlah keseluruhan, tapi biaya per unitnya akan tetap sama.

4) Harga jual per unit tetap sama, berapa pun jumlah unit produk yang terjual.

5) Perusahaan hanya menjual atau memproduksi satu jenis produk. Jika menjual lebih dari satu jenis produk, harus dianggap sebagai satu jenis produk dengan kombinasi yang selalu tetap, atau dengan kata lain bauran penjualannya konstan.

Gambar

Gambar 1. Kurva Amplop Skala Usaha
Gambar 2. Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan
Tabel 2. Pola Kepemilikan Ternak Kambing Perah Pada Skala I
Tabel 3. Curahan Waktu Tenaga Kerja pada Skala I (HKP/tahun)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengusahaan ayam ras yang paling menguntungkan dilakukan oleh peternak mitra skala I dengan R/C rasio sebesar 1.47, yang berarti bahwa setiap satu rupiah biaya yang

Penelitian ini bertujuan untuk membuat rancangan fasilitas fisik usaha ternak sapi perah yang efektif serta bersifat komersial yang meliputi aspek-aspek sebagai

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan karakteristik peternak (umur, pendidikan, pengalaman beternak, dan jumlah tanggungan keluarga) dengan skala usaha ternak

Hasil analisis kolerasi antara skala usaha ternak sapi perah dengan pendapatan dan kontribusi pendapatan usaha ternak sapi perah memiliki nilai yang positif yaitu memiliki

Kesimpulan dari penelitian ini adalah usaha sapi perah rakyat di Kecamatan Cepogo masih menguntungkan dengan skala pemilikan rata-rata 3 ekor sapi laktasi, biaya

switching value ini tertera pada Lampiran 17. Dapat diketahui bahwa perubahan harga ampas tempe pada skenario I tidak boleh lebih dari 630,25 persen karena akan

Penulis melakukan penelitian dengan judul “PERANCANGAN FASILITAS FISIK USAHA TERNAK PUYUH SKALA KOMERSIAL DI KECAMATAN RANCA BUNGUR, KABUPATEN BOGOR, JAWA

Nilai Gross B/C dari usaha ternak itik petelur skala kecil periode waktu bulan Pebruari 2013- Nopember 2014 adalah 1,19 atau lebih besar dari satu, yang artinya bahwa usaha