• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR FUNGSIONAL

Dalam dokumen SOSIOLOGI-ANTROPOLOGI DAN PERILAKU KESEHATAN (Halaman 99-109)

FAKTOR-FAKTOR SOSIAL BUDAYA DAN TEORI-TEORI BUDAYA

C. STRUKTUR FUNGSIONAL

Vago (1996) mengatakan struktur fungsional adalah sebuah sudut pandang luas dalam dan yang berupaya menafsirkan mas-yarakat sebagai sebuah dengan bagian-bagian yang saling ber-hubungan. Fungsional menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya terutama dan sebuah analogi umum yang dipopulerkan menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai “organ” yang bekerja demi ber-fungsinya seluruh “badan” secara wajar. Dalam arti paling men-dasar, istilah ini menekankan “upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampak terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohensif. “Bagi” struktur fungsional” mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengem-bangan metodologis, bukan sebuah mazhab pemikiran.

Teori struktur fungsional adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial diabad sekarang.

Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional, yaitu Auguste Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan tersebut me-rupakan hasil atau konsekuensi agar organism tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan struktural fung-sional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori ini awalnya berangkat dari pemikiran Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Comte dan Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, sehingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan pergerakan analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminologi orga-nismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang.

Bagian tersebut saling interdepidensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseim-bangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Dur-kheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional.

Selain dari Durkheim,teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah :

1. Visi substantif mengenai tindakan sosial dan 2. Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam mengintegrasikan keadaan.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional.

Hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe Brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

1. Kesatuan fungsi masyarakat, seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.

2. Fungsionalisme universal, seluruh bentuk dan struktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur, adat istiadat, gagasan dan keyakinaan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Di-contohkan pula dengan struktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat struktural fungsional menjadi bertentangan.

3. Indispensability, aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian yang tidak tepisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangan Merton pun sama dengan parson bahwa ada berbagai alternative structural dan fungsional yang ada didalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarkan tersebut terstandar pada pernyataan non empiris yang didasarkan sistem teoritik. Merton mengungkapkan bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empirik bukan teorika. Sudut pandangan Merton bahwa analisis struktural fung-sional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaaan, objek-objek yang dibedah dari struktural fungsional haruslah terpola dan berlangsung, merepresentasikan unsur standar.

Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam meng-kaji masyarakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan

bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok.

Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle renge theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengem-bangkan “Teori – teori taraf menengah” dari pada teori–teori besar.

Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar dari hari ke hari, dan usaha yang men-cakup semua keseragaman yang di amati dalam prilaku sosial. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan peng-hubung teori umum mengenai sistem sosial yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok prilaku tertentu, organisasi, dan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal tertentu yang tidak generalisasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang sering terhubung secara logis di mana kesatuan empiris juga di-peroleh.

D. ASIMILASI

Koentjaraningrat (2009) menyebutkan asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada:

1. Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda

2. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama 3. Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebu-dayaan campuran. Biasanya golongan-golongan yang ber-sangkutan dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini golongan-golongan minoritas mengubah sifat khas dari

unsur-unsur kebudayaan dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas. Sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk ked alam kebudayaan mayoritas.

Proses-proses sosial yang disebut asimilasi itu banyak diteliti oleh para sarjana sosiologi, terutama di Amerika Serikat. Di sana timbul berbagai masalah yang berhubungan dengan adanya individu-individu dan kelompok imigran yang berasal dari berbagai suku bangsa dan negara di Eropa, yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda. Indonesia, mempunyai banyak golongan khusus, baik yang berupa suku bangsa, lapisan sosial, golongan agama, pengetahuan mengenai seluk-beluk proses asi-milasi dari tempat-tempat lain di dunia menjadi penting sekali sebagai bahan perbandingan.

Hal yang penting untuk diketahui adalah faktor-faktor yang menghambat proses asimilasi. Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif saja, belum tentu terjadi proses asimilasi, kalau diantara kelompok-kelompok yang berhadapan tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu terhadap yang lain. Orang Cina misalnya ada di Indonesia, bergaul secara luas dan intensif dengan orang Indonesia sejak berabad-abad.

E. AKULTURASI

Koentjaraningrat (2009) mengatakan, akulturasi menunjukan pada pengambilan atribut material dan non-material dari kultur lain sebagai akibat kontak tatap-muka yang berlangsung sejak lama.

Kontak seperti itu dapat terjadi dalam beberapa cara. Dapat terjadi sebagai akibat perang, penaklukan, pendudukan militer, atau ko-lonisasi atau melalui misionaris atau pertukaran kultur. Dapat pula dihasilkan melalui migrasi atau pengiriman tenaga kerja seperti

melalui perbudakan atau pembuangan narapidana. Perpindahan tenaga kerja secara suka rela adalah faktor lain yang dapat men-ciptakan kotak seperti kasus di Eropa dimana “pekerja tamu” dari negara-negara di Eropa yang kurang berkembang, pindah ke Pe-rancis, Jerman dan Swis. Perdagangan, pertukaran teknik, dan penyebaran gagasan dan instuisi mencerminkan sumber kontak lain. Kontak dalam jangka lebih pendek telah dihasilkan melalui bepergian dan berwisata di tahun belakangan ini. Dalam bentuk langsung, kontak meliputi komunikasi massa dan pemindahan pengetahuan.

Kalau masalah-masalah mengenai akulturasi kita ringkas, akan tampak lima golongan masalah,yaitu:

1. Mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat;

2. Mengenai unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima, dan sukar diterima oleh masyarakat;

3. Mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah, dan unsur-unsur yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing;

4. Mengenai individu-individu yang suka dan cepat menerima, dan individu-individu yang sukar dan lambat dalam menerima unsur-unsur kebudayaan asing;

5. Mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial yang timbul sebagai akibat akulturasi.

F. INOVASI

Koentjaraningrat (2009) mengatakan, inovasi adalah suatu proses pembaharuan dan penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal, peraturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi menghasilkan produk-produk baru. Dengan demikian inovasi itu mengenai pembaharuan kebudayaan yang khusus

mengenai unsur teknologi dan ekonomi. Proses inovasi sudah tentu sangat erat kaitannya dengan penemuan baru dalam tehnologi.

Suatu penemuan biasanya juga merupakan suatu proses sosial yang panjang dan melalui dua tahap khusus, yaitu discovery dan invention.

Suatu discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat baru, suatu ide baru, yang di-ciptakan oleh seorang individu atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery baru menjadi invention bila masyarakat sudah mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu.

Proses dari discovery sehingga ke invention sering memerlukan tidak hanya seorang individu, yaitu penciptaannya saja, tetapi suatu rangkaian yang terdiri dari beberapa orang pencipta. Suatu penemuan baru selalu harus dilihat dalam kebudayaan tempat penemuan tadi terjadi. Hal ini disebabkan karena suatu penemuan jarang merupakan suatu perubahan mendadak dan dan keadaan tidak ada, menjadi keadaan ada. Suatu penemuan baru biasanya berupa suatu rangkaian panjang, dimulai dari penemuan-penemuan kecil yang secara akumulatif diciptakan oleh sederet pencipta-pencipta. Dengan demikian, proses inovasi (yaitu proses pemba-haruan tehnologi ekonomi dan selanjutnya) itu juga merupakan suatu proses evolusi. Bedanya ialah bahwa dalam proses inovasi individu-individu itu bersifat aktif, sedangkan dalam proses evolusi individu-individu itu pasif, bahkan sering bersifat negatif. Karena kegiatan dan usaha-usaha individu itulah, maka suatu inovasi memang merupakan suatu proses perubahan kebudayaan yang lebih cepat (artinya lebih cepat kelihatan daripada suatu proses evolusi kebudayaan).

G.RELIGI

Koentjaraningrat (2009) mengatakan, sejak lama ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku

bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, ketika bahan etnografi tersebut di-gunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu:

1. Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahir;

2. Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi.

Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacar-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-upacara itu pada lahir-nya tampak berbeda sekali dengan upacara keagaman dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yakni agama Nasrani. Hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena ke-anehannya itu menarik perhatian.

Dalam membahas pokok antropologi tentang religi, sebaiknya juga dibicarakan sistem ilmu gaib sehingga pokok itu dapat dibagi menjadi dua pokok khusus, yaitu (1) sistem religi dan (2) sistem ilmu gaib. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Mengenai masalah definisi emosi, tidak akan kita persoalkan lebih lanjut dalam buku ini. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan atau gagasan, mendapat nilai ke-ramat (sacred value) dan dianggap keke-ramat.

Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan, atau

gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat (profane), tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihadapi oleh emosi keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi ke-agamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu: (a) sistem keyakinan; (b) sistem upacara keagamaan; (c) suatu umat yang menganut religi itu.

Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak sub-unsur. Mengenai ini para ahli antropologi biasanya menaruh per-hatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat dan tanda dewa-dewa; konsepsi tentang makhluk-makhluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan maut; konsupsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan lain-lain.

Kesimpulan

- Aspek sosial budaya tidak dapat dipisahkan antara manusia dengan pendidikan, sebab dalam aspek ini adanya faktor-faktor sosial budaya dan teori-teori dalam kebudayaan.

- Struktur fungsional adalah sebuah sudut pandang luas dalam dan yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.

- Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif saja, belum tentu terjadi proses asimilasi, kalau diantara kelompok-kelompok yang

berhadapan tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu terhadap yang lain.

- Akulturasi merujuk pada pengambilan atribut material dan non-material dari kultur lain sebagai akibat kontak tatap-muka yang berlangsung sejak lama.

- Inovasi adalah suatu proses pembaharuan dan penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal, peraturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi menghasilkan produk-produk baru

- Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya.

Daftar Pertanyaan

1. Jelaskan maksud dan tujuan dari Determinasi ? 2. Jelaskan lima golongan dalam Alkuturasi?

3. Jelaskan menurut Schon & Rein tentang kedua sistem Difusi ? 4. Jelaskan perbedaan dari proses Inovasi dan proses Evolusi ? Daftra Pustaka

C.H.M. Palm. Sejarah Antropologi Budaya. Bandung: Jemmars, 1980.

Koentjaraningrat. Pengantar ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada,1982

Steven Vago. Teori Perubahan Sosial. New Jersey, 1996.

Bab IX

Dalam dokumen SOSIOLOGI-ANTROPOLOGI DAN PERILAKU KESEHATAN (Halaman 99-109)