• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS

B. Kajian Teoretis

1. Struktur Novel

Karya sastra merupakan struktur yang bermakna. Novel merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca. Biasanya membaca novel memiliki pemikiran yang berbeda-beda dalam mengartikannya, tetapi juga merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu.

Unsur pembangun fiksi yang dimaksud di atas adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik terdiri dari tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, dan amanat (Stanton dalam Sugihastuti dan Irsyad, 2012: 22).

16 a. Tema

Dalam sebuah karya sastra pasti terdapat tema. Tema sering dimaknai sebagai ide pokok dalam sebuah cerita. Mengacu beberapa pendapat ahli (Stanton dalam Sugihastuti dan Al Irsyad, 2012: 36; Aminuddin, 2010: 91; dan Rahmanto, 1988: 75) terkait dengan tema, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendapat ahli di atas memiliki pemikiran yang sama bahwa tema merupakan gagasan sentral dalam sebuah karya sastra. Tema dalam novel adalah suatu gagasan sentral atau ide pokok cerita yang menjadi dasar tolok penyusunan karangan dan sekaligus menjadi sasaran dari karangan hingga menjadi suatu cerita yang utuh. Oleh karena itu, peranan tema dalam suatu karya sastra penting, yaitu sebagai dasar atau ide alur cerita serta masalah yang ada dalam novel.

Stanton dalam Sugihastuti dan Irsyad ( 2012: 36) tema dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) tema utama yang disebut tema mayor yang artinya makna pokok yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya ini. Tema mayor ditentukan dengan cara menentukan persoalan yang paling menonjol, yang paling banyak konflik dan waktu penceritaannya; (2) tema tambahan disebut juga dengan tema minor. Tema minor merupakan tema yang kedua yaitu makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu pada sebuah cerita dan dapat diidentifikasi sebagai makna bagian atau makna tambahan.

b. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam sebuah karya narasi yaitu penggambaran tokoh. Peneliti mengacu pada beberapa pendapat ahli (Sudjiman, 1988: 14; Nurhayati, 2012: 15; dan Aminuddin, 2010: 79 ) tokoh

17

menunjuk pada orang yang menjadi pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran dan penciptaan citra tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Tokoh sebagai pelaku cerita dalam cerita sangat berkaitan dengan jalannya cerita, tanpa tokoh cerita itu tidak akan berkembang. Dalam cerita ada tokoh yang banyak dimunculkan dan ada pula yang jarang dimunculkan. Tokoh yang paling banyak muncul dalam cerita biasanya mempunyai peranan penting dalam cerita.

Tokoh dalam suatu cerita mempunyai keterkaitan dengan penokohan. Penokohan adalah cara atau teknik pengarang dalam menampilkan tokoh atau pelaku (Aminuddin, 2010: 79).

Berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong paling penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagai cerita dan sebaliknya, sedangkan tokoh-tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam porsi penceritaan yang relatif pendek disebut tokoh tambahan (peripheral character) (Nurgiyantoro, 2010: 176).

Dari pernyataan tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa tokoh dan penokohan merupakan pelaku cerita yang hadir untuk menampilkan suatu karakter tertentu. Dilihat dari segi peranan tokoh dalam sebuah cerita terdiri dari tokoh utama dan tokoh tambahan.

18 c. Alur (Plot)

Alur cerita adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Mengacu beberapa pendapat ahli (Aminuddin, 2010: 83; Sudjiman, 1988: 30, Sugihastuti dan Al Irsyad, 2012: 26) penulis dapat menyimpulkan bahwa alur adalah rangkaian atau jalinan peristiwa yang membentuk cerita menjadi satu kesatuan yang utuh dan runtut. Tahapan-tahapan peristiwa yang ada di dalam cerita terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam.

Sudjiman (1988: 30) mengemukakan bahwa alur cerita jika dilihat dari urutan peristiwanya terdiri atas bagian awal, tengah, dan akhir. Lebih terinci lagi terdiri atas eksposisi, konflik, klimaks, pelarian, dan penyelesaian. Jika dilihat dari jenisnya, alur dapat dikelompokkan menjadi alur maju atau progresif (peristiwa diceritakan dari awal, tengah, dan akhir), alur mundur atau regresif (peristiwa diceritakan dari bagian akhir, tengah, baru bagian awal), alur gabungan atau alur maju-mundur (peristiwa kadang-kadang diceritakan dari bagian tengah, baru kebagian awal dan akhir), dan alur melingkar (peristiwa diceritakan dari awal sampai akhir, tetapi akhir peristiwa kembali ke peristiwa awal). Jika dilihat dari cara mengakhiri cerita, terdapat alur tertutup (pengarang telah menyimpulkan atau menyelesaikan cerita) dan alur terbuka (pengarang tidak menyimpulkan akhir cerita, pembaca atau penyimak dipersilakan menyimpulkan akhir cerita itu).

Sudjiman (1988: 37) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor penting dalam kaidah pengembangan plot atau alur. Sesungguhnya, para pakar tersebut

19

memiliki kesamaan dalam mengemukakan kaidah atau hukum dalam pengembangan plot, di antaranya sebagai berikut.

1) Plausibilitas (plausibility)

Plausibilitas (kemasukakalan) merupakan satu di antara kaidah-kaidah yang penting yang mengatur alur dalam fiksi. Tentu saja kemasukakalan dalam kaitan ini merupakan kemasukakalan yang dimiliki atau dibatasi dalam dan oleh cerita itu. Oleh karena itu, tuntutan plausibilitas itu harus tidak dikacaukan dengan tuntutan realism.

Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri.

2) Kejutan (surprise)

Di atas sudah dikemukakan bahwa kemasukakalan menunjukkan adanya kebenaran cerita bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, suatu cerita yang tidak pernah mengejutkan tidak menimbulkan surprise, sudah barang tentu akan menjemukan.

Oleh karena itu, di samping masuk akal,cerita seharusnya juga memberikan kejutan tertentu. Kejutan itu sendiri dalam keseluruhan cerita dapat berfungsi bemacam-macam misalnya untuk memperlambat tercapainya klimaks.

3) Rasa Ingin Tahu (suspense)

Di samping plausibilitas dan surprise, kaidah yang mengatur alur adalah suspense. Artinya, alur cerita yang baik hendaknya menimbulkan suspense, yakni ketidaktentuan harapan terhadap outcome „hasil‟ suatu cerita. Suspense yang sebenarnya lebih banyak daripada masalah ketidaktahuan bagaimana segala sesuatunya menjadi sampai atau selesai. Dalam kaitan ini, suspense melibatkan kesadaran terhadap kemungkinan-kemungkinan dan idealnya masalah yang

20

berkenaan dengan kemungkinan tersebut. Dalam cerita, suspense berkembang tatkala kita menjadi sadar terhadap suatu instabilitas yang bermula dalam suatu situasi.

Sarana yang dapat dipergunakan untuk melahirkan atau menciptakan suspense dalam cerita ialah foreshadowing “padahan”, yakni perkenalan atau pemaparan detail-detail yang mengisyaratkan arah yang akan dituju oleh suatu cerita. Dengan demikian, kehadiran foreshadowing dapat dijadikan sebagai pertanda atau isyarat bahwa akan terjadi suatu peristiwa penting atau konflik yang akan terjadi berikutnya.

4) Kepaduan (unity)

Di samping ketiga hal yang sudah disebutkan di atas, salah satu tuntutan yang terpenting bagi plot ialah unity “keutuhannya”. Jenis plot apapun yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang benar dan mengikuti kaidah-kaidah kemasukakalan, kejutan, dan suspense harus tetap memiliki keutuhan. Apabila keempat kaidah dalam pengembangan plot/alur tersebut dapat dihadirkan dalam sebuah cerita tentu menambah nilai estetis tersendiri dalam karya sastra.

Selain itu, pendapat Tasrif mengenai tahapan alur menjadi lima bagian sebagaimana disarikan oleh Nurgiyantoro (2010: 149-150).

a) Tahap penyituasian (situation)

Tahap ini berisi pelikisan dan pengenalan situasi (latar) dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal dan lain-lain. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tahap

21

penyituasian tahap awal atau dimulainya suatu cerita dalam novel. Tahap ini merupakan tahap memperkenalkan tokoh kepada pembaca.

b) Tahap pemunculan konflik (generating circumstances)

Tahap isi berisi masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Tahap pemunculan konflik dapat diartikan tahap awal masalah yang akan terjadi di dalam cerita. Pada tahap ini tokoh utama memasuki permasalahn yang ada.

c) Tahap peningkatan konflik (rising action)

Tahap ini berisi konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Dalam tahap ini, konflik yang sedang dimunculkan telah dihadapi oleh tokoh utama, tetapi masih berkembang permasalahan yang menimpanya.

d) Tahap klimaks (climax)

Tahap ini berisi konflik atau pertentangan yang terjadi pada tokoh cerita mencapai titik puncak. Permasalahn yang tengah menimpa tokoh utama, dalam tahap ini mencapai titik permasalahan yang berat atau tinggi yang menimpa tokoh utama dengan utama atau tokoh utama dengan tokoh tambahan.

e) Tahap penyelesaian (denouement)

Tahap ini berisi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi. Konflik yang terjadi dalam tahap sebelumya, dalam tahap ini konflik tersebut sudah selesai atau terjadi penyelesaian. Dalam tahap ini terdapat amanat atau pesan yang dapat diambil dari cerita tersebut.

22

Dari uraian tentang alur di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun untuk menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan cerita. Rangkaian kejadian yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita, dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita. Oleh karena itu, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga membentuk kerangka utama cerita yang dimulai dari pengenalan hingga pemecahan konflik.

d. Latar (Setting)

Latar atau setting disebut juga sebagai landastumpu mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurhayati, 2012:16). Suatu cerita rekaan berkisah tentang seorang atau beberapa tokoh. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita tentunya terjadi pada suatu waktu tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan dan petunjuk pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita.

Nurgiyantoro (2010:227) menyatakan unsur latar dapat dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Latar dalam hal ini dapat berarti tempat dan waktu terjadinya cerita.

Suatu cerita pada akikatnya merupakan lukisan peristiwa atau kejadian yang dilakukan oleh tokoh pada waktu dan tempat tertentu (Baribin, 1985: 55-56).

23

Latar memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita. Berkaitan dengan hal tersebut Kenny dalam Nurhayati (2012: 16) menyebutkan tiga fungsi latar yaitu: (1) sebagai gambaran keseluruhan isi cerita. Latar ini mendasari waktu, tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi, (2) sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya memberi tekanan pada sesuatu, dan (3) sebagai unsur dominan yang mendukung plot dan perwatakan, dapat dalam waktu dan tempat.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa latar tidak hanya membahas secara eksplisit, tetapi juga berkaitan dengan situasi yang melingkupinya. Dengan adanya latar, cerita serta watak tokoh dapat tergambar secara lebih jelas.

e. Sudut Pandang (Point Of View)

Sudut pandang merupakan posisi pengarang dalam sebuah cerita. Mengacu beberapa pendapat ahli (Abrams dalam Nurgiyantoro (2010: 248); Booth dalam Nurhayati, 2012:17; dan Aminuddin, 2010: 90) penulis menyimpulkan bahwa sudut pandang merupakan teknik yang dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita.

Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra, namun pandangan pakar tersebut pada dasarnya memiliki pendapat yang sama berkisar pada posisi pengarang sebagai orang pertama,orang ketiga, atau campuran. Waluyo dalam Nurhayati (2012:18) membagi penggolongan sudut pandang menjadi 2 metode dalam pusat pengisahan, yaitu (1) metode orang pertama tunggal (aku), pengarang menceritakan kisah aku. Aku berkemungkinan pengarangnya, tetapi dapat pula hanya sebagai narator (pencerita); (2) pengarang

24

sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia” dan disebut sebagai teknik diaan; yaitu pengarang menceritakan kisah dia atau mereka; (3) omniscient naratif, dalam hal ini pengarang menjadi seseorang yang serbatahu.

Pengarang dapat menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas atau pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang merupakan penyebutan kata ganti nama untuk tokoh-tokoh dalam cerita dan posisi narator dalam cerita.