• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur organisasi LSM ini terdiri dari pengurus inti, pegawai dan pengurus kader. Pengurus inti adalah pengurus organisasi yang memiliki kewenangan kebijakan LSM yang terdiri dari Direktur Eksekutif, Bidang Gender dan Transformasi Konflik, Bidang Poverty Alleviation, Bidang Demokrasi dan Masyarakat Sipil, Bidang Dokumentasi dan Informasi, Bidang Financial and Office Administration and Monitoring dan Bidang Teknologi Informasi. Bidang administrasi, finansial adalah bidang yang disebut pegawai kantor. Kader adalah orang-orang lokal di lapangan biasanya adalah ketua Kelompok Swadaya Masyarakat sebagai sukarelawan LSM.

65 Keseluruhan bagian dalam struktur organisasi ini mengalami proses pematangan sejak LSM ini berdiri hingga sekarang. Awalnya strukturnya masih sangat sederhana yang meliputi ketua, bendahara, dan fungsi-fungsi umum dimana banyak rangkap jabatan. Seiring perjalan waktu, terjadi perubahan struktur menjadi lebih banyak dan ada spesialisasi.

4.7.2 LPS

LPS memiliki struktur organisasi mulai dari direktur, penanggung fungsional, dan ketua kelompok tani sebagai kader dilapangan. LPS juga membangun struktur organisasi pada tingkat petani. Struktur organisasi yang selama ini berjalan sudah mengalami perubahan seiring dengan perubahan bidang yang dikerjakan. Pada awal berdiri LPS berbentuk tim kerja penelitian. Pada saat mulai melakukan aksi pemgembangan komunitas baru struktur mulai dari direktur hingga fungsi opersional di lapang. Pada saat berubah karena penambahan fungsi produksi dan bisnis, unit ini menjadi fungsi yang bersifat semi otonom.

Keseluruhan fungsi saat ini bekerja secara profesional sebagai staf LSM.

Pembagian kerja dilakukan secara spesifik berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahlian. Sampai penelitian ini berlangsung, LSM ini sudah mengenal adanya jenjang karir dalam struktur ini.

66

BAB V

ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM

5.1 Pengantar

Pertumbuhan organisasi masyarakat sipil menimbulkan persoalan baru, yakni bagaimana mempertahankan agar institusi tersebut dapat bertahan. Persoalan sumber pendanaan menjadi hal yang cukup rumit untuk dipecahkan. Mengatasi problem keuangan untuk mempertahankan organisasi masyarakat sipil harus hati-hati. Sebab dana yang dimobilisasi dari sumber yang serampangan dapat mengganggu eksistensi organisasi. Syarat utarna bagi dana yang diperoleh oleh organisasi masyarakat sipil seharusnya dapat menjaga independensi organisasi.

Dana yang dikelola organisasi diharapkan tidak menjadi kuda tunggangan bagi kepentingan pihak lain untuk mengkooptasi publik. Selain itu sumber-sumber pendanaan seharusnya tidak membuat organisasi menjadi sangat tergantung pada pihak pemberi.

Menurut Fakih (2000) LSM mengalami ketergantungan yang cukup kuat terhadap lembaga donor. Sebagaimana diketahui bahwa sejak munculnya organisasi non-pemerintah, yang di Indonesia populer dengan istilah LSM, pada awal 1970, sangat tergantung hibah dari berbagai lembaga donor internasional seperti USAID, FNS, NOVIB, dll. Selain itu, dalam beberapa kegiatan, LSM juga menerima bantuan dana dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank. Dana yang diterima oleh LSM dari sumber terakhir ini ada yang bersifat hibah, ada pula yang bersifat hutang negara.

67 Apapun bentuknya menurut Uhlin (1997), dana bantuan, baik hibah ataupun hutang negara banyak menimbulkan persoalan. Persoalan pertama dana seperti ini terbukti menimbulkan ketergantungan bagi organisasi. Di awal 1970 hingga saat ini, hibah luar negeri mengalir deras. Sehingga oleh sebagian kalangan dianggap sebagai sumber daya yang mudah didapatkan (easy money). Akibatnya, para pengurus organisasi non-pemerintah terbiasa menggantungkan seluruh kegiatan yang dilakukannya pada hibah luar negeri. Padahal belajar dari berbagai pengalaman, pendanaan yang bersumber dari hibah luar negeri tidak dapat diandalkan keberlanjutannya. Persoalan kedua, dana asing tidak bisa membuat organisasi lokal dapat melakukan program sesuai dengan kebutuhan spesifik.

Selama ini yang terjadi adalah organisasi lokal selalu mengikuti arah keinginan pemberi dana (donor driven).

Dana yang berasal dari luar negeri menurut CPSM (1993) rnembuat posisi organisasi lokal lemah secara politis. Kelemahan ini terutama dalam menghadapi tuduhan yang menyatakan bahwa organisasi lokal menuruti instruksi kekuatan asing yang mungkin merugikan negara. Seberapa besar tingkat ketergantungan LSM terhadap lembaga donor asing? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu karena sampai saat ini belum ada penelitian khusus yang berkaitan dengan masalah tersebut. Namun, direktori CSRO (Civil Society Resource Organization) atau organisasi sumber daya masyarakat sipil yang disusun Ibrahim (2002) mungkin bisa menjadi referensi awal rnengenai pola pendanaan dan komposisi dana yang digunakan oleh LSM di Indonesia. Direktori tersebut menunjukkan bahwa mayoritas LSM kita masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang

68 besarnya mencapai 65 persen, sementara 35 persen sisanya didapat dari berbagai sumber dalam negeri. Sacara lebih terperinci, sumber dalam negeri meliputi hasil usaha sendiri (33 persen), sumbangan perusahaan dan dana abadi (masing-masing 17 persen), sumbangan individu (14 persen), sumbangan pemerintah (5 persen), sumbangan ornop (3 persen), dan sumber lainnya (11 persen).

Ketergantungan LSM terhadap lembaga dana asing ini dinilai sudah sangat kronis dan berdampak pada citra dan efektivitas kerja mereka. Menurut Walhi (2001) Sistem pendanaan asing bak pisau bermata dua, dana asing memberikan manfaat sekaligus masalah bagi LSM di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari pengalaman Walhi mengelola dana bahwa di satu sisi dana asing telah berperan besar dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan LSM Indonesia berikut program dan perjuangannya. Namun, di sisi lain, dana asing juga menciptakan ketergantungan dan mematikan kreativitas LSM. Oleh sebab itulah organisasi seperti Walhi berupaya untuk mengurangi ketergantungannya pada lembaga donor terutama donor asing.

Triwibowo (2006) menyebut ketergantungan LSM kita terhadap dana asing juga menyebabkan mereka tidak kreatif, khususnya dalam menggalang potensi lokal.

Mereka lebih suka datang dan "menjajakan" programnya ke lembaga donor, ketimbang menggalang dukungan dari masyarakat lokal. Sebagian besar LSM, khususnya LSM yang bergerak di bidang advokasi, masih enggan masuk ke pasar fundraising lokal. Mereka beralasan masyarakat tidak punya kemampuan finansial untuk mendukung dan mendanai program mereka. Sebagian LSM lainnya

69 beranggapan tak banyak masyarakat yang mengerti peran dan fungsi LSM.

Mereka juga beralasan bahwa organisasi atau kegiatan mereka bukanlah tergolong organisasi atau kegiatan yang mudah mendapatkan dana atau menarik minat orang untuk mendanainya. Sayangnya, asumsi-asumsi itu belum pernah terbukti karena mereka tidak pernah membuktikannya dengan mencoba masuk ke pasar fundraising lokal.

Fakta di atas menunjukkan meskipun dana yang berasal dari luar negeri menimbulkan banyak masalah, akan tetapi tidak ada pilihan yang memadai bagi organisasi lokal. Menurut Fakih (2000) sumber dana dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan LSM. Dana pemerintah, misalnya, dianggap tidak memungkinkan selain karena anggaran pemerintah yang sangat kecil pasca krisis ekonomi, dana seperti ini beresiko mengkooptasi kemandirian masyarakat dalam menghadapi kebijakan publik. Penggalian dana yang berasal dari perusahaan dalam negeri juga problematik. Bagi sebagian organisasi non-pemerintah, sektor swasta di Indonesia punya cukup andil dalam permasalahan bangsa. Pada masa orde baru kalangan swasta, terutama, perusahaan besar bersekongkol dengan rezim berkuasa untuk menguras kekayaan alam negara. Salah satu ulah perusahaan besar adalah mengeksploitasi secara besar besaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang ujungnya menimbulkan kerusakan dan bencana alam. Atas dasar ini organisasi lokai tidak serta merta berkeinginan untuk melakukan penggalangan dana terhadap sektor swasta besar.

70 Sindroma ketergantungan pada aspek pendanaan dapat dilihat dari beragam kepentingan sumber dana. Dana yang berasal dari pemerintah pada masa orde baru membawa kepentingan besar yang membuat LSM harus tunduk dengan pemerintah dan menjadi mitra pemerintah (seperti pengalaman Walhi sehingga mengambil jarak dengan pemerintah). Tetapi sumber dana asing juga menimbulkan ketergantungan dengan agenda kepentingan asing. Dana yang berasal dari perusahaan juga mengandung kepentingan bagi perusahaan dan jalan lain dengan mencoba menggalang dana dari masyarakat sipil.

Dana merupakan bahan bakar bagi gerak laju LSM untuk melakukan aksinya.

LSM yang terkategori mapan salah satunya bisa dilihat dari seberapa mapan menangani masalah pendanaan. Bahkan struktur paling sederhana dalam tubuh LSM, ada bagian yang disebut bendahara, dalam struktur yang lebih kompleks bagian ini dirinci lagi dalam bagian yang lebih spesifik, misalnya bagian bendahara umum, bendahara harian, bendahara perencanaan, dan bendahara audit.

Penelitian ini menfokuskan pada dinamika finansial LSM, mulai dari sumber dana, pengelolaan, hingga monitoring dan evaluasi (termasuk laporan). Pada bab ini akan diuraikan secara lebih rinci mengenai sumber-sumber dana, pengelolaan dana dan monitoring atau evaluasi dana. Penelitian ini membuat kategorisasi hubungan sistem pendanaan (BAB V) dengan aksi (BAB VI) LSM dengan donor.

71 Hasil elaborasi studi pustaka diatas menunjukkan adanya 4 model kontinum ketergantungan LSM donor yaitu :

1. LSM mandiri, bentuk hubungan yang terjadi adalah LSM secara penuh mengontrol inisiasi, aksi dan evaluasi program sesuai dengan visinya. Ini adalah bentuk ideal dari LSM seperti yang dicita-citakan Walhi.

2. LSM Kemitraan seimbang, hubungan ini memberi porsi yang seimbang antara LSM dan donor. Bentuk hubungan seperti ini ditunjukkan oleh LSM-LSM yang bermitra dengan lembaga-lembaga donor dengan intervensi kepentingan yang seimbang. LSM mempunyai kontrol yang sama dengan donor.

3. LSM kemitraan asimetris, bentuk hubungan ini memberi porsi inisiasi, aksi dan evauasi oleh LSM. Tetapi donor memberi pengaruh yang lebih besar dari pada LSM sendiri. Sebagai contoh adalah beberapa LSM yang bermitra dengan pemerintah.

4. LSM yang terkooptasi total, LSM pada tipe ini tergantung secara total terhadap donor. LSM hanya sebagai pekerja/pelaksana kepentingan donor.

LSM tipe ini banyak ditunjukkan oleh LSM yang hanya berorientasi proyek dan keuntungan semata.

Keempat tipe diatas hanya gambaran awal peta LSM berhadapan dengan lembaga donor dalam aspek dana dan aksi. Lebih lanjut, tulisan ini akan mengulas aspek pendanaan pada BAB V dan mengulas aksi pada BAB VI. Kedua pembahasan ini akan dijelaskan dan dianalisis dengan lebih mendalam pada dua bab ini.