Di Indonesia, teknologi untuk mengubah biomassa menjadi energi terdiri atas dua jenis: 1) biogas menjadi energi melalui mesin digestion dan ignition untuk limbah pertanian cair dan 2) limbah biomassa menjadi energi melalui tungku pendidih (boiler) dan pembangkit listrik tenaga uap. Kedua jenis teknologi ini sudah digunakan secara internasional dan tergolong matang, walaupun biaya investasi dan struktur keuangan yang berlaku pun beragam.
Kriteria utama untuk menentukan apakah proyek bisa dibiayai melalui skema project finance yang sepenuhnya non-recourse adalah kesesuaian skala proyek dan persepsi resiko.
Seperti yang dijabarkan di atas, pengembang proyek membuat perusahaan khusus untuk pelaksanaan dan pengelolaan proyek energi, yakni Special Purpose Vehicle (SPV). SPV memberikan peluang untuk memisahkan proyek dan mengisolasi proyek tersebut dari bisnis utama pemilik proyek. Pembiayaan dilakukan secara off-balance: SPV menampung semua aset (misalnya pembangkit listrik) dan kewajiban, oleh karenanya juga menerima semua pemasukan. Tahap pengembangan dan konstruksi tidak menghasilkan pemasukan. Oleh karena itu, pinjaman SPV didasarkan pada cash flow proyek di masa mendatang, tanpa recourse atau limited recourse kepada sponsor proyek, dan pinjaman hanya akan diberikan setelah proyek sudah operasional dan memiliki cash flow positif.
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara berbagai aktor yang terlibat dalam struktur proyek SPV. SPV menjadi pemilik aset-aset proyek dan peminjam sesungguhnya untuk project finance.
Gambar 4:
Struktur Proyek SPV
Debt Service Cover Ratio (DSCR) dan rasio modal terhadap utang digunakan untuk mempertimbangkan resiko yang dihadapi dalam struktur project finance, lihat Lampiran A.1. Proyek dengan profil resiko yang lebih tinggi meminta porsi modal yang lebih tinggi dan buffer dalam faktor DSCR yang berlaku.
Saat pemberi pinjaman mengambil alih resiko-resiko proyek dari segi skema non-recourse, proyek harus lulus dalam due diligence rinci untuk menyiapkan strukturisasi pinjaman bagi SPV tersebut. Struktur seperti ini lebih melibatkan pemberi pinjaman dan membutuhkan biaya transaksi tambahan bagi pengembang proyek dan lembaga keuangan. Karena biaya pembiayaan yang tinggi serta kompleksitasnya, project finance dianggap layak secara ekonomi untuk skala proyek umumnya lebih dari USD 5 juta; akan tetapi, di Indonesia PT. SMI menerapkan struktur project finance yang lebih kecil bagi proyek-proyek tenaga air di masa lampau.
Jika tidak, skema pinjaman konvensional berbasis kolateral akan berlaku, mengingat bahwa biaya transaksi, waktu yang diperlukan dan kompleksitas biasanya lebih rendah daripada pembiayaan non-recourse.
Gambar 5:
Skala proyek umumnya menentukan struktur keuangan.
III. Langkah-langkah untuk Secara Sukses Mendapatkan Persetujuan Pembiayaan
3.1. Peran Entitas terkait
Selain entitas yang secara langsung terlibat dalam pembiayaan proyek, entitas publik juga memainkan peranan penting dalam mengembangkan dan menjalankan proyek. Peran mereka akan dijabarkan di bawah.
3.1.1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia
Kementerian ESDM dibantu oleh dua Direktorat Jenderal: 1) Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) dan 2) Direktorat Jenderal Kelistrikan (DJK) menetapkan kebijakan dan program yang mengatur sektor energi terbarukan. Lembaga ini juga menetapkan norma, standar, prosedur teknis dan kriteria bagi pembangunan yang sesuai dan mengikuti target Pemerintah Indonesia, yakni 23%
energi terbarukan dalam bauran energi pada tahun 2025.
Skema saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No. 50/2017, mengatur bahwa harga jual tenaga listrik final yang merupakan hasil negosiasi antara PLN dan Pembangkit Listrik Swasta (IPP) memerlukan persetujuan dari Menteri, yang dapat menunjuk Ditjen EBTKE atau DJK untuk mengkaji harga yang disepakati dalam PJBL. PLN dan pemilik proyek baru dapat menandatangani PJBL setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak Ditjen EBTKE dan DJK.
3.1.2. PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN)
Di masa lampau, PLN selalu menjadi pembeli wajib terkontrak (off-taker) tenaga listrik utama, tetapi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri No. 12/2017 (yang sudah direvisi dalam Peraturan Menteri No.
50/2017), perusahaan utilitas milik negara ini kini mengemban tanggung jawab penuh dalam pengadaan energi terbarukan. Peraturan Menteri No. 50/2017 tidak hanya menetapkan harga tertinggi (ceiling price) untuk berbagai PJBL teknologi energi terbarukan tetapi juga mengalihkan banyak tanggung jawab kepada PLN. Jika tidak ada peraturan lain yang dikeluarkan untuk menggantikan Peraturan Menteri No. 50/2017, PLN harus melakukan pemilihan langsung dalam proyek-proyek energi terbarukan bukannya penunjukan langsung. Perubahan ini saja mensyaratkan agar PLN menyiapkan diri dan melakukan pra-seleksi para pengembang proyek yang akan diundang dalam tender untuk kalangan terbatas agar memenuhi kriteria pemilihan langsung. Pengembang proyek yang lulus dari proses pra-kualifikasi dimasukkan ke dalam “Daftar Penyedia Terpilih” dan dapat berpartisipasi dalam tender. Entitas asing dari negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dapat berpartisipasi jika mereka bermitra dengan entitas lokal untuk memenuhi persyaratan kepemilikan Indonesia yang diwajibkan.
Kriteria pra-kualifikasi mencakup kepatuhan terhadap aspek teknis, finansial dan administrasi. Persyaratan teknis membutuhkan pengalaman dalam mengembangkan, membangun dan/atau mengoperasikan pembangkit listrik energi terbarukan yang sudah beroperasi secara sukses selama paling tidak satu tahun.
Perusahaan induk yang tidak memiliki pengalaman seperti ini tetapi memiliki anak perusahaan operasional yang memiliki keahlian yang disyaratkan (misalnya entitas proyek bertujuan khusus yang bertempat di wilayah yurisdiksi di mana proyek tersebut dijalankan), dapat mengajukan aplikasi pra-kualifikasi.
Dari aspek finansial, persyaratan yang ditetapkan adalah agar para bidder memiliki rating kredit tertentu yang dijaminkan oleh salah satu lembaga rating kredit yang diakui dan memenuhi ambang batas EBITDA historis minimum untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki aset yang memadai untuk membiayai porsi modal proyek. Surat dari bank yang memberikan konfirmasi mengenai hubungan dengan perusahaan juga diminta.
Tender PLN akan menetapkan lokasi khusus dan kapasitas bidding bagi para pengembang proyek. Pemenang lelang akan diputuskan berdasarkan harga terendah yang masih harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Jika pengembang proyek sudah membuat simulasi dalam proposalnya yang menyatakan bahwa PJBL perlu menggunakan mata uang USD karena pendanaan dan/atau investasi dilakukan dalam USD, maka PLN juga terbuka terhadap opsi untuk membuat PJBL-kontrak menggunakan mata uang USD. Sebelum penandatanganan PJBL, para pengembang proyek perlu menyediakan jaminan bank sebesar 10% dari nilai proyek sebagai komitmen untuk merealisasikan proyek secara tepat waktu.
Setelah penandatanganan kontrak PJBL, pengembang proyek memiliki 6-12 bulan untuk mendapatkan persetujuan pembiayaan. Kontrak PJBL akan dibatalkan jika persetujuan pembiayaan tidak berhasil dicapai dan jaminan bank akan diberikan kepada PLN.
Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak PLN.
3.1.3. PT Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI), Indonesia
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT. SMI) merupakan badan usaha milik negara dengan spesialisasi pembiayaan infrastruktur, PT SMI bertindak sebagai katalis dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia. PT SMI didirikan pada bulan Februari 2009 sebagai lembaga keuangan non-bank dan menjadi jembatan untuk memfasilitasi pemilik proyek dan lembaga keuangan dalam tahap persiapan proyek dan jasa konsultasi. PT. SMI juga mendukung agenda pembangunan infrastruktur Pemerintah Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia 2015-2019, melalui kemitraan dengan lembaga keuangan swasta dan/atau multilateral/bilateral dalam proyek Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
PT. SMI menawarkan pembiayaan jangka panjang serta jangka pendek dan terlibat di berbagai sektor, yang meliputi energi terbarukan dan efisiensi energi, dengan menyediakan berbagai produk investasi/pembiayaan dari investasi modal hingga pinjaman seperti pinjaman investasi, pinjaman modal kerja, bridging loans, take-out financing, promoter financing, pembiayaan subordinasi dan mezzanine loans.
PT. SMI berpengalaman dalam menetapkan struktur pembiayaan proyek untuk pembangkit listrik tenaga mini hydro dengan menyediakan senior loans dan mezzanine loans bagi proyek. PT SMI membutuhkan sponsor proyek yang kuat dari special purpose vehicle (SPV) yang mengembangkan proyek energi terbarukan.
Pada saat yang sama, PT SMI juga menyediakan layanan konsultasi, yang secara efektif mendukung fungsinya sebagai katalis karena peran ini memungkinkan pengembangan kapasitas di antara pejabat pemerintah dan badan usaha dalam pembiayaan pengembangan infrastruktur. Selain proyek energi terbarukan, PT SMI juga
menyediakan pembiayaan bagi pembangkit listrik bahan bakar fosil dan proyek infrastruktur lainnya seperti jalan, bandara, stasiun kereta api, dsb.
PT SMI mendapatkan akreditasi sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Green Climate Fund (GCF).
Dengan lebih dari USD 10 miliar dalam bentuk mobilisasi di awal dan berbagai instrumen keuangan yang tersedia, termasuk hibah, pinjaman konsesi, pembiayaan subordinasi, modal, dan jaminan, yang memberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan kebutuhan proyek, PT. SMI akan memainkan peranan kunci dalam mendukung ambisi Indonesia untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon.
Pada tahun 2011, PT SMI bersama-sama dengan Asian Development Bank (ADB), International Finance Corporation (IFC) dan Deutsche Investitions- und Entwicklungsgesellschaft GmbH (DEG) membentuk usaha bersama (joint venture company) yang berfokus pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur, yakni PT Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF).
Melalui kerja sama dengan berbagai donor, PT. SMI mengembangkan berbagai produk untuk mendukung proyek-proyek energi terbarukan.
Program untuk Energi Terbarukan
Dengan bantuan finansial dari AFD, PT. SMI dapat menyediakan hingga 100 juta USD untuk investasi dalam proyek-proyek energi terbarukan. Terlebih lagi, program ini menawarkan hibah sejumlah 5 juta USD dalam bentuk subsidi suku bunga, jaminan dan mekanisme kerugian pertama.
Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak PT SMI.
3.1.4. Asian Development Bank (ADB), Indonesia
Asian Development Bank (ADB) mengelola Leading Asia’s Private Infrastructure Fund (LEAP) sebagai kendaraan pembiayaan bersama (co-financing vehicles) yang didedikasikan bagi infrastruktur sektor swasta yang berkualitas dan berkelanjutan (antara lain mencakup produksi energi terbarukan) di Asia dan Pasifik.
Fund ini dapat menyediakan pembiayaan bagi perusahaan dan proyek. Japan International Cooperation Agency (JICA) telah memberikan kontribusi bagi fund senilai USD 1,5 miliar dalam bentuk komitmen modal saat dibentuk pada bulan Agustus 2016.
Fund ini menyediakan pembiayaan bersama (co-financing) bagi proyek infrastruktur skala besar pada berbagai tahap pengembangan termasuk tahap awal, tahap pertumbuhan, proyek greenfield dan brownfield. Dukungan yang diberikan kepada proyek diwujudkan dalam bentuk dampak pembangunan yang sudah diantisipasi dan diselaraskan dengan strategi-strategi ADB dan JICA. Fund akan mengambil alih pembiayaan proyek (non-recourse atau limited recourse) dan transaksi corporate finance, serta akan berupaya untuk memberikan dukungan bagi serangkaian modalitas partisipasi sektor swasta termasuk kerja sama pemerintah badan usaha, joint ventures, proyek inisiatif pembiayaan swasta, dan privatisasi, serta pembiayaan proyek konvensional.
Pembiayaan bersama ini disediakan dalam bentuk pinjaman, investasi modal, dan transaksi mezzanine.
ADB yang memiliki kantor pusat di Manila, berdedikasi untuk mengurangi kemiskinan di Asia dan Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi inklusif, pertumbuhan berkelanjutan yang ramah lingkungan, dan integrasi
regional. ADB menyadari pentingnya investasi berkelanjutan bagi kawasan ini dan setiap tahunnya sudah menginvestasikan lebih dari $2 miliar untuk proyek-proyek energi bersih sejak tahun 2011.
Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak ADB.
3.2. Alur Lembaga
Pemilik proyek atau investor perlu menyadari bahwa mereka harus dapat mengelola proyek secara sukses dengan mengatasi hambatan-hambatan di berbagai lembaga. Manajemen sesungguhnya dapat mengarahkan proyek dan profil resiko proyek untuk mematuhi standar-standar tertinggi. Profil resiko proyek yang rendah akan berdampak pada mudahnya mendapatkan pembiayaan dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah.
Investor harus menyadari bahwa formulir aplikasi, proposal, perizinan, perjanjian dsb., yang menjelaskan mengenai proyek bioenergi harus dipahami dari sudut pandang masing-masing lembaga terkait.
Bank memiliki proses due diligence sendiri yang biasanya lebih rinci dibandingkan dengan persyaratan perusahaan utilitas. Akan tetapi, Peraturan Menteri No 50/2017 yang memberikan mandat agar PLN mengambil tanggung jawab penuh atas pengadaan energi terbarukan mengatur agar dokumentasi serupa diberikan kepada PLN dan bank. Mempertimbangkan bahwa proses due diligence bank dilakukan terhadap setiap detail proyek khususnya di bawah skema project finance, maka kerja sama dengan pihak perbankan, idealnya dan sangat disarankan, dilakukan sejak tahap paling awal. Selain itu, deskripsi proyek - bahkan untuk PLN - harus disampaikan secara komprehensif dan rinci kepada bank.
Gambar 6:
Alur lembaga dan checklist yang membantu (lihat bab 3.4.)
Checklist yang dicantumkan pada bab 3.4. berisi daftar dokumen dan perizinan yang diminta oleh PLN dan bank. Gambar 6 menunjukkan ketergantungan langkah-langkah pengembangan proyek selanjutnya hingga mencapai keputusan “
‘Iya” atau “tidak” final dari masing-masing Lembaga terkait . Kasus di mana dokumentasi proyek tidak memenuhi standar yang diperlukan atau tidak lengkap atau jika harga yang disepakati antara sponsor proyek dan PLN tidak disetujui oleh Kementerian ESDM, dapat menjadi dasar penolakan. Oleh karena itu, investor harus menyampaikan deskripsi proyek dari sudut pandang lembaga-lembaga ini untuk finalisasi yang sukses.
Panduan merekomendasikan agar dokumentasi proyek ini disiapkan untuk memenuhi persyaratan due diligence bank, mulai dari dokumentasi pertama yang disiapkan untuk PLN.
3.3. Manajemen Resiko
Salah satu elemen penting dalam penetapan stuktur pembiayaan adalah penilaian rinci mengenai resiko-resiko yang mungkin terjadi sepanjang masa proyek untuk menentukan aksi mitigasi dan alokasi resiko-resiko yang optimal. Kategori-kategori resiko dapat dibagi berdasarkan pihak yang menanggung resiko, baik perusahaan yang menjalankan proyek (resiko proyek) atau bank (resiko pemberi pinjaman). Akan tetapi, pemberi pinjaman juga akan mengevaluasi resiko-resiko proyek karena resiko ini berdampak langsung terhadap cash flow proyek dan juga kelayakan kredit proyek. Dampak terhadap cash flow bisa terjadi dari sisi pemasukan, yang berarti pemasukan yang berkurang atau tertunda, atau dari sisi pengeluaran, artinya bertambahnya pengeluaran.
Strategi-strategi manajemen resiko akan dijelaskan di bawah.
1) Penghindaran Resiko
Penghindaran resiko mengeliminasi resiko khusus dengan mengabaikan resiko tersebut. Akan tetapi, penghindaran resiko biasanya mengarah kepada hilangnya laba dan/atau munculnya resiko lainnya.
Misalnya, seorang pemilik proyek bermaksud untuk membeli mesin custom-made berkualitas tinggi untuk meningkatkan efisiensi dan laba. Akan tetapi, teknologi ini memiliki resiko, jika mesin tersebut rusak, suku cadang atau mekanik yang dapat memperbaiki mesin tersebut mungkin tidak tersedia. Untuk menghindari resiko ini, pemilik proyek dapat memutuskan apakah dia memilih untuk membeli mesin standar yang dapat berakibat pada berkurangnya laba.
2) Pengalihan Resiko
Pengalihan resiko adalah cara untuk mengalihkan resiko kepada pihak ketiga, umumnya dengan membayar biaya tertentu.
Non-asuransi sebagai mitra untuk pengalihan resiko
Prinsip hukum menyatakan bahwa dalam transaksi penjualan, resiko yang timbul dari penjualan produk, dialihkan dari pemasok kepada pembeli yang memegang barang tersebut, artinya setelah pengembang proyek membeli mesin, resiko-resiko yang timbul seperti kerusakan menjadi tanggungan pembeli. Salah satu cara paling umum untuk mengalihkan resiko semacam ini adalah dengan tidak melibatkan perusahaan asuransi adalah melalui garansi. Garansi ini merupakan kepastian yang mengikat secara hukum, biasanya dengan batas waktu, yang mendeskripsikan ketentuan yang mengatur kapan pemasok harus memperbaiki,
mengganti atau memberikan kompensasi untuk sebuah produk atau layanan. Garansi ini, misalnya, dapat menetapkan bahwa pemasok harus mengganti mesin jika rusak karena gagal beroperasi.
Asuransi sebagai mitra untuk transfer resiko
Tidak ada perusahaan asuransi yang menanggung semua jenis resiko dan perusahaan asuransi selalu merupakan pilihan terbaik kedua setelah kualitas material dan operasional. Pemilik proyek harus memilih berbagai jenis perusahaan asuransi yang paling sesuai untuk proyeknya. Kontrak dengan perusahaan asuransi harus meliputi cakupan asuransi yang ditanggung dan yang tidak ditanggung, serta tugas kedua belah pihak dan cara untuk mengatasi perselisihan hukum. Perusahaan asuransi umum, seperti asuransi tanggung gugat (liability insurance) yang menanggung kerusakan yang dialami pihak lain seperti kecelakaan pekerja atau asuransi peralatan listrik yang meliputi kerusakan peralatan, misalnya karena kebakaran atau banjir. Dalam skema project finance, asuransi kerusakan mesin merupakan hal yang wajib, asuransi terbaik adalah yang menanggung kerugian saat downtime akibat kerusakan.
3) Pembagian Resiko
Pembagian resiko atau distribusi resiko merupakan metode manajemen resiko di mana biaya yang ditimbulkan dari konsekuensi resiko dibagi oleh para mitra. Salah satu bentuk pembagian resiko adalah sindikasi, artinya membentuk sekelompok orang atau perusahaan, yang disebut sindikat. Bank seringkali menggunakan sindikasi untuk membagi resiko kredit dari sebuah proyek. Dalam kasus seperti ini, bank bermitra dengan sindikat untuk memberikan berbagai pinjaman dengan jumlah pinjaman yang lebih kecil daripada satu bank memberikan pinjaman volume besar dan menanggung resiko kredit sendirian.
4) Pengurangan Resiko
Pengurangan resiko berarti secara aktif memitigasi kemungkinan sebuah resiko terjadi atau mengurangi paparan terhadap resiko. Istilah ini didefinisikan secara luas dan mencakup kegiatan-kegiatan seperti membeli lebih banyak persediaan untuk mengurangi resiko kekurangan pasokan serta meningkatan kapasitas karyawan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya resiko operasional. Berbeda dengan penghindaran resiko, resiko khusus tidak sepenuhnya diabaikan melainkan dikurangi.
5) Penerimaan Resiko
Penerimaan resiko dipilih sebagai strategi manajemen resiko yang sesuai dalam hal di mana biaya pengelolaan resiko dianggap terlalu tinggi dibandingkan kemungkinan terjadi atau paparan resiko tersebut. Pengembang proyek bioenergi, misalnya, menanggung resiko secara teoritis bahwa bahan baku rusak karena kemarau.
Akan tetapi, pengembang proyek tersebut beranggapan bahwa kondisi seperti itu nyaris tidak mungkin terjadi, oleh karena itu pengembang proyek tidak secara aktif mengelola resiko ini melainkan menerimanya.
Gambar 7:
Profil resiko sejak tahap pengembangan proyek hingga tahap operasional pembangkit listrik biomassa.
3.3.1. Kategori-Kategori Resiko Proyek
Gambaran di bawah mendeskripsikan resiko-resiko proyek yang paling umum terjadi dan strategi-strategi mitigasi terkait6 :
6 Beberapa elemen dambil dari
http://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/financing/risk-allocation-mitigation#construction
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi
I. Resiko Konstruksi:
Biaya penyelesaian akan sangat menentukan kelayakan finansial proyek karena asumsi dan rasio keuangan semuanya bergantung pada asumsi biaya konstruksi proyek.
Investor memerlukan mekanisme untuk mengelola resiko seperti kontrak EPC yang rinci dan sistem kontrol proyek sehari-hari di lokasi konstruksi, red/yellow/green flag reports untuk tindakan-tindakan pengendalian yang perlu diambil.
Keterlambatan dalam konstruksi yang memundurkan tanggal penyelesaian.
Kontrak membahas dengan jelas mengenai penyelesaian;
EPC yang dipilih harus bertanggung jawab atas keterlambatan yang diakibatkan dan kompensasi yang ditimbulkan
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi II. Resiko Kinerja:
Pemberi pinjaman ingin memastikan bahwa penyelesaian mengharuskan agar pekerjaan diselesaikan dengan kualitas baik agar kontraktor konstruksi dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan ganti rugi akibat kinerja yang tidak memenuhi standar.
Kinerja harus diperiksa selama penyelesaian serta sebelum masa garansi dan jaminan berakhir; EPC bertanggung jawab atas kinerja yang tidak memenuhi standar. Kinerja akan dibandingkan dengan tolok ukur selama periode operasional untuk memastikan dasar teknis bagi arus pendapatan. Opini pihak ketiga mungkin diperlukan.
III. Resiko Operasional:
Kelayakan proyek bergantung pada biaya operasional yang diproyeksikan. Jika biaya operasional meningkat, pemberi pinjaman akan menginginkan perlindungan untuk segala sesuatu yang berdampak terhadap arus pendapatan.
Proyek, dalam hal ini cicilan utang (debt service), harus mempunyai perlindungan terhadap kenaikan biaya bahan baku biomassa yang tidak dapat diprediksi (biomassa untuk pembangkit listrik atau POME untuk pembangkit listrik biogas); biaya operasional utama lainnya adalah biaya pekerja dan asumsi inflasi upah yang biasanya dimasukkan ke dalam perjanjian dengan mengacu kepada indeks seperti indeks harga eceran.
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi IV. Resiko Permintaan:
Kemampuan jaringan listrik untuk menerima tenaga listrik yang dihasilkan harus dipastikan.
Proyeksi permintaan pembeli wajib terkontrak untuk lokasi tertentu harus dinilai, misalnya melalui perkiraan pertumbuhan, pergerakan demografis; bankability pembeli wajib terkontrak dalam membayar tarif.
V. Force Majeure dan Perubahan Undang-undang:
Perjanjian pembiayaan tidak meliputi force majeure atau perubahan dalam ketentuan undang-undang.
Kewajiban untuk melunasi pinjaman akan terus berjalan dalam keadaan force majeure atau perubahan dalam undang-undang dan tergantung kepada kemampuan finansial pemberi pinjaman; jika tidak, proyek mungkin tidak akan berjalan.
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi VI. Resiko Politik dan Regulasi:
Keputusan mengenai harga pembelian tenaga listrik (feed-in tariff) atau skema promosi lainnya dapat dibatalkan atau diubah oleh pemerintah.
Umumnya, investor harus menanggung resiko ini. Untuk proyek-proyek besar, ada beberapa instrumen keuangan seperti derivatif, kontrak berjangka atau hedging tetapi ini tidak berlaku bagi proyek skala kecil seperti PLTBg.
VII. Resiko Nilai Tukar Mata Uang:
Pembiayaan utang bisa didapatkan dari pemberi pinjaman asing, dalam mata uang asing selain dari, atau sebagai tambahan dari, pinjaman dalam negeri.
Permen No. 50/2017 memungkinkan PLN untuk membayarkan renumerasi dalam USD. Pengembang proyek harus membuat simulasi dalam proposal yang menyatakan diperlukannya PJBL dalam USD. Jika pembayaran dikaitkan dengan nilai tukar USD dan disesuaikan setiap bulannya, resiko ini dapat dimitigasi menjadi fluktuasi bulanan.
Tabel 4:
Daftar resiko-resiko umum dan tindakan-tindakan mitigasi yang bisa diambil.
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi
VIII. Resiko Tingkat Suku Bunga:
Tingkat suku bunga yang digunakan dapat berupa suku bunga tetap selama jangka waktu tertentu atau
Tingkat suku bunga yang digunakan dapat berupa suku bunga tetap selama jangka waktu tertentu atau