Promotion of Least Cost Renewables in Indonesia (LCORE-INDO)
Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation,
Supported by: In cooperation with:
Implemented by:
Dipl.-Vw. MSc Martina Schweneke, E.Quadrat GmbH & Co. Energy Experts KG Editor:
Advisors dari Promotion of Least Cost Renewables in Indonesia (LCORE-INDO), GIZ
Direktorat Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Penerbit:
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE)
Tempat dan Tanggal Penerbitan:
Jakarta, Indonesia Oktober, 2017 Layout:
Wahyu B. Pratomo ([email protected]) Hak Cipta
® 2017 Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia
PENAFIAN:
Upaya-upaya terbaik sudah dilakukan untuk memastikan dan menjaga akurasi panduan ini. Akan tetapi, panduan ini sama sekali tidak mengklaim lengkap atau bebas dari kesalahan. Kementerian ESDM, Ditjen EBTKE maupun para penulis tidak akan bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan apapun yang mungkin menimpa siapapun yang menggunakan panduan ini sebagai acuan.
Saran, masukan dan informasi terbaru sangat diharapkan dan dapat dikirim ke [email protected]
PANDUAN PEMBIAYAAN BIOENERGI UNTUK PENGEMBANG PROYEK
Edisi Pertama, Oktober 2017
Dafar Isi... ii
Daftar Gambar ... iv
Daftar Tabel ... vi
Daftar Istilah ... vii
Kata Pengantar ... ix
Mengenai Panduan ... xi
2.1. Potensi Investasi ... 6
2.2. Perspektif Pemilik Proyek dan Pengembang Proyek ... 8
2.3. Perspektif Lembaga Pembiayaan ... 9
2.4. Struktur Pembiayaan ...14
2.5. Modal ...14
2.6. Kontribusi Utang ...17
2.7. Struktur Pembiayaan Yang Sesuai Untuk Proyek Bioenergi ...21
1. Pendahuluan ... 1
Pendahuluan
Perspektif Investasi Pemangku Kepentingan
I.
II.
3.1. Peran Entitas Terkait ... 25
3.1.1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia ... 25
3.1.2. PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) ... 26
3.1.3. PT Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI), Indonesia ... 28
3.1.4. Asian Development Bank (ADB), Indonesia ... 30
3.2. Alur Lembaga ... 31
3.3. Manajemen Risiko ... 33
3.3.1. Kategori-Kategori Risiko Proyek ... 38
3.3.2. Kerja sama antara Pengembang Proyek dan Bank Pembiaya ... 43
3.3.3. Upaya Manajemen yang Mendukung ... 45
3.4. Menyiapkan Permohonan Pembiayaan yang Sukses ... 51
Persetujuan Pembiayaan
4.1. Pembangkit Listrik Biogas ... 634.2. Pembangkit Listrik Biomassa ... 81
dan Rencana Bisnis Lampiran
A.1. Debt Service Coverage Ratio ... 99A.2. Kontak dan Tautan yang Berguna ... 101
Gambar 2 : Target biomassa dan biogas pada tahun 2025: 5.500 MW. ... 7
Gambar 3 : Kontribusi modal dan utang serta alokasi selama tahapan proyek ...20
Gambar 4 : Struktur Proyek SPV ...22
Gambar 5 : Skala proyek umumnya menentukan struktur keuangan. ...24
Gambar 6 : Alur lembaga dan checklist yang membantu ...32
Gambar 7 : Profil risiko sejak tahap pengembangan proyek hingga tahap operasional pembangkit listrik biomassa ...37
Gambar 8 : Software manajemen proyek profesional . ...46
Gambar 9 : Protokol untuk menunjukkan struktur red-flag. ...48
Gambar 10: Pembangkit Listrik Biogas POME di Belitung ...69
Gambar 11: EBITDA dan EBIT; selisih antara EBIT dan EBITDA = depresiasi + amortisasi. ...75
Gambar 12: Akumulasi cash flow sejak tahun pertama, mempertimbangkan investasi modal awal ...76
Gambar 13: Statistik keuangan sejak tahun operasional pertama, balancing revenues, OPEX dan cicilan utang ...77
Gambar 14: DSCR aktual (warna hijau) dan DSCR minimum selama tenor utang ...78
Gambar 15: Rekening escrow selama tenor utang ...80
Gambar 16: PLTBm di Malaysia, termasuk boiler house, fuel conveyor, pengolahan TBK ...86
Gambar 19: Statistik keuangan sejak tahun operasional pertama, balancing revenues,
OPEX dan cicilan utang. ...95 Gambar 20: DSCR aktual (warna hijau) dan DSCR minimum selama tenor utang...96 Gambar 21: Rekening escrow selama tenor utang...97
Tabel 1 : Corporate Finance vs Project Finance ... 2
Tabel 2 : Ekspektasi utama pemilik proyek dan pengembang proyek dibandingkan dengan persyaratan dan pertimbangan pemberi pinjaman ... 13
Tabel 3 : Tipe investor dan skala investasi umum ... 16
Tabel 4 : Daftar risiko-risiko umum dan tindakan-tindakan mitigasi yang bisa diambil... 38
Tabel 5 : Peringkat setiap langkah dalam proses kontrol manajemen ... 49
Tabel 6 : Checklist untuk Pengembang Proyek ... 52
Tabel 7 : Komponen-komponen biaya utama untuk pembangkit listrik biogas ... 62
Tabel 8 : Statistik Teknik dan Ekonomi Utama untuk pembangkit listrik biogas (asumsi) ... 68
Tabel 9 : Komponen-komponen biaya utama untuk pembangkit listrik biomassa ... 79
Tabel 10 : Statistik teknik dan ekonomi utama untuk pembangkit listrik biomassa (asumsi) ... 85
CAPEX Biaya Investasi
COD Tanggal Operasi Komersial
Pengembang Perusahaan yang memulai proyek hingga pelaksanaan; pengembang proyek dan investor bisa entitas yang sama
Ditjen EBTKE Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi DSCR Debt Service Coverage Ratio
DSRA Debt Service Reserve Account EBIT Laba sebelum Bunga dan Pajak
EBITDA Laba sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi dan Amortisasi EPC Engineering Procurement Construction
ET Energi Terbarukan
Investor Perusahaan memulai proyek hingga pelaksanaan; pengembang proyek dan investor bisa sama
IPP Pembangkit Listrik Swasta
OPEX Biaya Operasional
Pemberi pinjaman Lembaga keuangan yang memberikan pinjaman
Pemilik ProyekEntitas yang memulai proyek, membiayainya, menyiapkan kontrak dan mendapatkan manfaat dari output
PFI Lembaga Pembiayaan Proyek POME Limbah Cair Kelapa Sawit PJBL Perjanjian Jual Beli Listrik
PLTBg / PLTBm Pembangkit Listrik Biogas / Biomassa Sponsor Proyek Investor modal
SPV Special Purpose Vehicle
TBK Tandan Buah Kosong
Kata Pengantar
Dengan melimpahnya keberadaan sumber daya energi terbarukan, Indonesia dapat menjadi yang terdepan dalam pemanfaatan bidang energi bersih di dunia.
Saat ini, bauran energi baru terbarukan pada penyediaan energi nasional baru mencapai 7,7% (Bioenergi 2,39%, Panas Bumi 1,65%, Air 3,64%, Surya 0,02%, dan Bayu 0,001%). Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Pemerintah Indonesia menargetkan porsi energi baru terbarukan menjadi 23% pada tahun 2025. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan dapat memperluas akses masyarakat terhadap energi, mendukung pertumbuhan industri, dan menghidupkan daerah-daerah yang kurang berkembang. Sebagai salah satu negara di dunia dengan potensi biomassa tertinggi, bioenergi diharapkan berkontribusi sebesar 5,5 GW pada bauran energi pada tahun 2025.
Pesatnya perkembangan bioenergi modern dalam beberapa tahun terakhir ini menghadirkan peluang besar bagi pembangunan berkelanjutan dan
yang terus
meningkat sebagai
alasan penting
untuk berinvestasi
di sektor energi
terbarukan... “
terbarukan. Dengan latar belakang di atas maka Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menyusun “Bioenergy Finance Guidelines for Project Developers” melalui kerja sama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH di bawah proyek Promotion of Least Cost Renewables in Indonesia (LCORE) sebagai suatu pedoman aspek pendanaan pengembangan bioenergi.
Pedoman ini bertujuan untuk memfasilitasi akses terhadap pembiayaan proyek bioenergi untuk pembangunan berkelanjutan. Pedoman ini dapat digunakan sebagai sarana bagi para pengembang proyek dalam menaksir berbagai opsi pembiayaan untuk proyek bioenergi serta memberikan gambaran yang jelas tentang kriteria seleksi dan karakteristik proyek yang harus dipenuhi untuk dapat menerima pembiayaan.
Dengan senang hati kami sampaikan panduan ini sebagai rujukan bagi pengembang proyek di sektor bioenergi Indonesia dalam menyusun proyek mereka untuk mencapai financial close dengan sukses.
Ir. Rida Mulyana, M.Sc.
Direktur Jenderal
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
Karl Segschneider Principal Advisor
Promotion of Least-Cost Renewables in Indonesia (LCORE-INDO)
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH
Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) telah mengembangkan kebijakan dan peraturan untuk energi terbarukan (ET). Indonesia telah menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Indonesia menyatakan bahwa pembangkit listrik energi terbarukan perlu menyediakan tambahan tenaga listrik sebesar 35 GW agar target ini dapat tercapai. Hal lain yang diperlukan untuk mencapai target ini adalah investasi sekitar USD 118 – 130 miliar pada tahun 2025 atau sekitar USD 15 miliar setiap tahun.1
Dari total produksi tenaga listrik berbasis energi terbarukan, lebih dari 10% kapasitas terpasang yang diharapkan, yakni 5,5 GW, akan diproduksi dari biomassa dan biogas. Investasi dalam bioenergi memerlukan total investasi sebesar USD 13,5 miliar pada tahun 2025. Target ini setara dengan sekitar 1300 proyek yang membutuhkan pembiayaan yang sesuai. Tantangan ini tidak dapat ditangani oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) saja dan memerlukan dukungan investasi dari sektor swasta. Oleh karena itu, sektor swasta dan
Tujuan panduan ini adalah untuk membantu para pengembang proyek dalam mendapatkan pembiayaan eksternal, khususnya pembiayaan utang, pembiayaan modal dan hibah, dengan membantu mereka untuk memahami perspektif investasi yang berbeda dan, berdasarkan hal itu, menyiapkan permohonan pembiayaan yang sukses.
“Panduan Pembiayaan Bioenergi untuk Pengembang Proyek” ini distruktur sebagai berikut:
Pendahuluan (Bab I) memberikan gambaran umum mengenai tujuan panduan.
Perspektif Investasi (Bab II) menggambarkan perspektif pemilik proyek dan pemberi pinjaman serta merangkum peluang untuk membiayai proyek bioenergi melalui utang dan pembiayaan modal serta hibah.
Langkah untuk Mendapatkan Persetujuan pembiayaan (Bab III) menyebutkan entitas-entitas yang terlibat dan memiliki ketertarikan atau kepentingan dalam sebuah proyek dan menjabarkan cara-cara, seperti mitigasi risiko, kerja sama dengan bank dan langkah-langkah manajemen, untuk memperbaiki akses terhadap metode-metode pembiayaan yang disebutkan di atas. .
Studi Kasus (Bab IV) dari proyek-proyek bioenergi berfungsi untuk menjelaskan prinsip-prinsip pembiayaan proyek bioenergi dari sisi cash flow.
Lampiran memberikan penjelasan dan tautan yang berguna (A.1 dan A.2).
I. Pendahuluan
Secara umum, ketersediaan instrumen keuangan bagi proyek-proyek ET di Indonesia semakin meningkat tetapi akses terhadap instrumen ini masih terbatas. Pemerintah dan lembaga keuangan yang didanai donor telah menyediakan pembiayaan untuk mendukung proyek-proyek baru melalui pinjaman lunak atau pinjaman bersubsidi. Akan tetapi, skema pembiayaan yang digunakan hanyalah skema pembiayaan konvensional, bahkan dalam kasus-kasus di mana proyek telah mendapatkan persetujuan pembiayaan.
Dengan kata lain, analisis kelayakan kredit (creditworthiness analysis) yang dilakukan oleh lembaga keuangan didasarkan pada kemampuan perusahaan untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki aset-aset memadai dalam neraca keuangan yang dapat digunakan sebagai jaminan jika mereka tidak melunasi utang. Model- model ini disebut corporate finance dan kurang diminati dari perspektif investor. Bahkan, pembiayaan semacam ini membatasi peluang investasi, karena pemilik proyek harus mendapatkan pembiayaan melalui neraca keuangan mereka, bukannya melalui proyek itu sendiri. Para investor lebih meminati model-model pembiayaan yang dapat menerima proyek itu sendiri sebagai jaminan. Model-model seperti ini disebut
“project finance” non-recourse atau off-balance sheet yang membatasi resiko agar hanya mencakup proyek itu saja. Biasanya, pengembang proyek membuat perusahaan khusus untuk menjalankan dan mengelola proyek
PROJECT FINANCE CORPORATE FINANCE Keputusan pembiayaan
terutama didasarkan pada…
… cash flow dan profitabilitas proyek … kelayakan kredit pemilik proyek.
Pembiayaan dijaminkan… … oleh proyek (off-balance / non-recourse).
… oleh aset-aset perusahaan (on- balance / recourse).
Resiko-resikonya terletak pada…
… para pemegang saham dari special purpose vehicle.
… pengembang proyek dan pemilik.
Pendekatan ini sesuai untuk… … proyek skala menengah dan besar. …proyek skala kecil dan menengah.
Tabel 1:
Corporate Finance vs Project Finance
Model-model project finance saat ini masih belum tersedia di Indonesia, terutama karena batasan-batasan yang ditetapkan dalam peraturan dan kecenderungan lembaga-lembaga keuangan untuk menghindari resiko tinggi.
Akan tetapi, bahkan metode-metode pembiayaan konvesional, terutama corporate finance, mengalami keterbatasan dalam pengembangan proyek bioenergi di Indonesia karena kurangnya kapasitas dari sisi bank (terkait dengan kesadaran teknologi, prosedur internal, evaluasi aplikasi kredit, batasan hukum, dll.) dan juga dari sisi pengembang proyek (terkait dengan kualitas aplikasi kredit dan dokumentasi proyek dll).
Saat ini jumlah pembangkit listrik biogas dan biomassa yang beroperasi masih sedikit, beberapa di antaranya memiliki kinerja teknis dan ekonomis yang masih belum memenuhi ekspektasi. Bukti peluang bisnis yang kuat dan proyek-proyek bioenergi yang dijalankan dengan sukses dapat memotivasi bank untuk lebih menelaah potensi industry ini. Pendekatan pembiayaan baru ini dapat menjadi kunci untuk menstimulasi investasi, terutama untuk proyek-proyek bioenergi yang lebih besar dan memerlukan beberapa juta USD per investasi, untuk mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan di atas.
Ditjen EBTKE dan Asean Center of Energy (ACE) menerbitkan “Pedoman Energi Terbarukan tentang Pengembangan Proyek Tenaga Listrik Biomassa dan Biogas di Indonesia” dengan dukungan GIZ pada tahun 2015 untuk membantu para pengembang proyek dan investor dalam meningkatkan kinerja saat menjalankan proyek. Pedoman tersebut membantu pengembang proyek dan pelaku terkait dalam menjalani prosedur perizinan dan proses administrasi yang diperlukan di Indonesia. Peraturan Menteri 50/2017 yang baru telah mengubah beberapa prosedur administratif untuk Pembangkit Listrik Swasta (Independent Power
Gambar 1:
“Pedoman Pengembangan Proyek Tenaga Listrik Biomassa dan Biogas di Indonesia” (Edisi ke-2, Februari 2015 oleh Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi dan ASEAN Centre for Energy.
Panduan Pembiayaan Bioenergi untuk Pengembang Proyek bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai prosedur-prosedur pembiayaan serta memberikan checklist terkait informasi yang diperlukan untuk mendapatkan persetujuan pembiayaan. Panduan ini membahas mengenai kesenjangan perspektif antara wirausaha sektor perbankan (misalnya pencapaian hasil dalam jangka pendek) dan persyaratan bisnis energi (misalnya pembayaran kembali dalam jangka panjang).
Panduan Pembiayaan Bioenergi untuk Pengembang Proyek ditujukan bagi proyek berskala kecil dan menengah dengan pembangkit listrik antara 1 MW dan 10 MW serta volume investasi antara USD 2 juta - 25 juta. Karakteristik proyek seperti ini adalah intensitas modal dan kebutuhan investasi yang berjangka panjang. Biaya investasi untuk bioenergi berbeda dengan investasi teknologi konvensional yang ditandai dengan besarnya biaya investasi (CAPEX) yang diperlukan di awal dan periode pengembalian yang panjang.
II. Perspektif Investasi Pemangku Kepentingan
Perspektif yang berbeda antara pemilik proyek dan lembaga pembiayaan perlu dianalisis untuk memahami berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pemangku kepentingan yang terlibat.
2.1. Potensi Investasi
Pencapaian target energi terbarukan nasional, yakni 23%, memerlukan investasi sebesar USD 13,5 miliar untuk pemasangan 5,5 GW dalam sektor biomassa dan biogas.
Jumlah ini setara dengan sekitar 1.300 proyek yang harus direalisasikan hingga tahun 2025.
Gambar 2:
Taget biomassa dan biogas pada tahun 2025: 5.500 MW. Sekitar 1.300 proyek yang memerlukan total investasi sekitar USD 13,5 miliar. Sumber: Ditjen EBTKE, estimasi oleh E.Quadrat dan GIZ.
2.2. Perspektif Pemilik Proyek dan Pengembang Proyek
Saat ini, para sponsor proyek yang berinvestasi pada proyek-proyek bioenergi di Indonesia umumnya pengembang proyek atau investor yang merupakan:
■ Perusahaan lokal yang beroperasi di industri pertanian, nutrisi, hutan atau kayu, dan/atau
■ Pengembang proyek dan/atau investor nasional atau internasional yang memberikan pinjaman atau modal.
Perusahaan lokal yang beroperasi di bidang yang disebutkan di atas biasanya menghasilkan limbah dari biomassa sebagai produk sampingan dari proses inti mereka. Produk sampingan ini menjadi bahan baku untuk keperluan bioenergi baik dalam bentuk padat, cair atau gas. Pada dasarnya ada tiga peluang bisnis untuk bioenergi bagi perusahaan-perusahaan ini.
Pertama, perusahaan ini berinvestasi pada bisnis mereka sendiri dengan memasang dan mengoperasikan pembangkit listrik berbasis bioenergi. Pendekatan ini mengurangi biaya listrik yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dan menambah pemasukan dengan menjual kelebihan produksi. Dalam kasus ini, perusahaan lokal menanggung resiko-resiko investasi dan harus menyediakan atau mencari pembiayaan. Investasi seperti ini umumnya mendapatkan hasil yang sepadan dalam jangka menengah.
Yang kedua, perusahaan lokal bekerja sama dengan pengembang proyek dengan cara menjual biomassa kepada perusahaan tersebut, dengan cara ini perusahaan dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi
biaya pembuangan limbah. Pilihan ini tidak memberikan resiko-resiko substansial bagi perusahaan lokal.
Yang ketiga, perusahaan lokal mamanfaatkan surplus limbah bioenergi sebagai titik awal investasi dalam industri penghasil energi. Artinya, tujuan utama untuk mengubah biomassa menjadi tenaga listrik tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik pribadi melainkan untuk menjual tenaga listrik.
Dalam hal ini, perusahaan lokal menjadi operator lokal yang menanggung resiko-resiko proyek dan harus mencari pembiayaan. Karena bioenergi merupakan pasar yang relatif baru, sebagian besar perusahaan lokal masih belum memiliki track record yang memadai dan kurang berpengalaman dalam mengembangkan dan mengoperasikan pembangkit listrik seperti ini. Akibatnya, pemasok bahan baku lokal seringkali mencari mitra internasional untuk mengembangkan, membiayai dan mengoperasikan proyek.
Panduan ini hanya akan berfokus pada pendekatan ketiga.
2.3. Perspektif Lembaga Pembiayaan
Lembaga-lembaga pembiayaan di Indonesia masih menahan diri dalam menawarkan solusi pembiayaan untuk proyek-proyek bioenergi dan jika mereka menyediakan pembiayaan, ketentuan kredit tersebut biasanya tidak cocok untuk pemilik proyek. Alasan-alasan yang mendasari hal ini akan dijabarkan di bawah.
Para pengembang proyek harus memahami pertimbangan lembaga-lembaga pembiayaan agar dapat secara bersamaan menyiapkan permohonan pembiayaan.
Kapasitas yang terbatas untuk menganalisis proyek
Karena pasar bioenergi masih relatif baru, pengetahuan yang dimiliki lembaga keuangan mengenai
membandingkan model bisnis proyek-proyek bioenergi dengan teknologi energi konvensional yang sudah lama beredar di pasar. Berdasarkan hal ini, lembaga-lembaga keuangan mungkin masih sulit memahami kenapa proyek bioenergi membutuhkan investasi di muka yang jauh lebih tinggi dan memerlukan periode pelunasan yang lebih lama. Alhasil, produk-produk keuangan mereka tidak disesuaikan dengan bioenergi dan justru berupa kredit perusahaan dengan ketentuan-ketentuan standar. Terlebih lagi, proses untuk menganalisis proyek-proyek bioenergi tergolong panjang dan rumit karena fakta bahwa proses ini masih belum distandarisasi.
Resiko yang Diidentifikasi
Secara umum, lembaga keuangan beranggapan bahwa resiko kredit adalah tantangan terbesar bagi pertumbuhan kredit, walaupun tingkat kredit macet belum lama ini semakin meningkat, secara umum tingkat kredi macet masih relatif rendah2. Kondisi ini mencerminkan kecenderungan lembaga-lembaga keuangan di Indonesia untuk menghindari resiko tinggi. Akan tetapi, resiko yang diidentifikasi dari proyek bioenergi bahkan lebih besar.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, lembaga-lembaga keuangan masih belum cukup berpengalaman dalam menyediakan pinjaman bagi proyek-proyek semacam ini karena teknologi bioenergi masih tergolong baru. Selain itu, masih sedikit proyek-proyek bioenergi yang sudah dijalankan dengan sukses dan dapat dianggap sebagai proyek mercusuar atau baseline project, dan juga terbatasnya permohonan-permohonan
2 PWC (2017): Indonesia Banking Survey 2017
pembiayaan proyek yang disampaikan kepada lembaga keuangan yang memaparkan business case yang kuat.
Terlebih, pengalaman yang dirasakan oleh lembaga keuangan justru sebaliknya. Beberapa proyek yang telah dibiayai melalui pasar keuangan lokal seringkali memiliki kinerja yang buruk dan terkadang mengakibatkan beberapa kasus kredit macet.
Karena model bisnis ini tergolong spesial, lembaga keuangan masih belum familiar dengan strategi dan metode untuk memitigasi resiko-resiko ini. Para pemberi pinjaman akan kesulitan untuk melakukan penilaian resiko tanpa tolok ukur dan pemahaman mereka mengenai proyek-proyek bioenergi di Indonesia dan model- model bisnis terkait masih terbatas, khususnya dalam kondisi di mana dokumentasi yang memadai tidak disediakan. Oleh karena itu, pemberi pinjaman memerlukan dokumentasi yang jelas, transparan, cukup rinci dan komprehensif terkait dengan tahap pengembangan, konstruksi dan operasional. Selain itu, pemberi pinjaman juga berupaya untuk mendapatkan perlindungan terhadap perubahan dalam undang-undang atau kondisi force majeure. Situasi ini menjadi penyebab kenapa resiko proyek bioenergi dianggap tinggi atau bahkan tidak dapat dikelola, tidak seperti resiko proyek energi konvesional. Tingginya resiko ini mengarah kepada ketentuan pembiayaan yang tidak menarik bagi proyek bioenergi, khususnya persyaratan yang ketat terkait jaminan, biaya pembiayaan yang tinggi dan jangka waktu yang pendek.
Terlebih lagi, karena jumlahnya terbatas, para sponsor proyek bioenergi memiliki daya tawar yang rendah terhadap lembaga keuangan.
Pembiayaan dan Investasi yang Tidak Sesuai
Hambatan lain bagi bank dalam menawarkan pembiayaan yang sesuai adalah situasi pembiayaan mereka sendiri. Bank hanya dapat menawarkan pembiayaan jangka panjang bagi para pemilik proyek dengan tingkat suku bunga yang terjangkau, saat mereka mendapatkan pembiayaan serupa dari pasar modal. Bank-bank di Indonesia umumnya menyediakan pembiayaan jangka pendek dan jangka menengah, tetapi mereka juga seringkali kurang memiliki akses terhadap pembiayaan jangka panjang. Selain itu, lembaga keuangan merasakan tekanan pada margin mereka karena tingginya biaya manajemen resiko3 , mereka terpaksa mengenakan tingkat suku bunga yang lebih tinggi kepada klien-klien mereka.
Oleh karena itu, dari sisi bank sekalipun tampak bahwa ada ketidaksesuaian antara kondisi dimana pendanaan tersedia dan kondisi dimana pemilik proyek mengharapkan investasi.
Sebagai konsekuensi, lembaga keuangan menetapkan suku bunga yang tinggi dan waktu pelunasan yang pendek dimana kondisi ini menciptakan kesenjangan antara tujuan kewirausahaan dan persyaratan pasar energi. Tabel 2 menjabarkan beberapa ekspektasi utama para pemilik proyek dan pengembang proyek serta membandingkannya terhadap persyaratan dan pertimbangan pemberi pinjaman. Bab 4 membahas tentang bagaimana pengembang proyek dapat menanggapi kesenjangan ini.
Pengembang Proyek dan Pemilik biasanya… Lembaga keuangan dan bank biasanya…
… memiliki pengetahuan teknis mengenai
teknologi bioenergi. … kurang memiliki pengetahuan teknis mengenai teknologi bioenergi.
… kurang berpengalaman dalam
mengembangkan model dan business case yang baik.
… berminat untuk berinvestasi pada proyek-proyek yang memiliki business case.
… mencari pembiayaan proyek. … menyediakan corporate finance.
… mencari pembiayaan proyek jangka panjang. … kekurangan pendanaan jangka panjang.
… mencari tingkat suku bunga yang terjangkau. … harus mengenakan tingkat suku bunga yang lebih tinggi karena margin yang berkurang akibat tingginya biaya manajemen resiko.
… mencari pembiayaan dalam sektor bisnis baru. … mencari pengembang proyek dan pemilik yang memiliki track record.
Tabel 2:
Ekspektasi utama pemilik proyek dan pengembang proyek dibandingkan dengan persyaratan dan pertimbangan pemberi pinjaman
2.4. Struktur Pembiayaan
“Struktur pembiayaan” proyek mengacu kepada sisi pasif dari neraca keuangan perusahaan yang menjalankan proyek 4. Struktur ini terdiri atas kontribusi modal dan utang.
Untuk mengembangkan proyek bioenergi, serangkaian skema pembiayaan modal dan utang yang tersedia bergantung pada berbagai jenis faktor seperti kebutuhan komersial dan keuangan dari para investor atau kondisi pasar (misalnya permintaan, insentif). Pemilik proyek dan/atau pengembang proyek harus menyadari bahwa semua struktur keuangan bergantung kepada profil resiko dan kesadaran dari lembaga keuangan tersebut.
2.5. Modal
Istilah modal mengacu kepada sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan yang menjalankan proyek dan tidak berupa pinjaman dari lembaga pembiayaan, oleh karena itu modal ini berupa modal yang disertakan atau modal bersama. Modal awal ini biasanya disediakan oleh pemilik proyek yang juga merangkap sebagai pemilik perusahaan yang menjalankan proyek. Modal tambahan bisa didapatkan dengan menjual saham perusahaan yang menjalankan proyek kepada para investor yang juga pemilik perusahaan (co-owner). Investor ini dapat berupa peserta proyek, investor lokal dan bank pembangunan milik negara serta mitra internasional, investor institusional dan organisasi bilateral atau multilateral. Sebagian investor
4 Dalam panduan ini, istilah “perusahaan yang menjalankan proyek” mengacu kepada entitas yang menjadi pemilik proyek, baik perusahaan standar atau SPV.
modal bersedia untuk menanamkan investasi pada tahap pengembangan, sementara investor lainnya hanya bersedia untuk berinvestasi pada tahap operasional.
Pemegang saham menanggung resiko utama, artinya mereka akan mendapatkan penggantian biaya setelah memenuhi kewajiban terhadap pemberi pinjaman. Oleh karena itu, para pemegang saham cenderung akan mencari imbal hasil investasi yang tinggi atas pembiayaan yang mereka sediakan. Terlebih lagi, jenis-jenis saham dibagi menjadi dua berdasarkan senioritas, i) saham preferen dan ii) saham biasa. Saham preferen, sesuai namanya, lebih senior, artinya jenis saham ini lebih diprioritaskan di atas saham biasa dari segi pembayaran dividen atau jika terjadi likuidasi. Sebagai kompensasi, pemegang saham preferen tidak dapat memberikan suara dalam rapat pemegang saham.
Investor Tahapan Proyek Durasi Ekspektasi Imbal Hasil
Investasi (Juta USD) Private Equity
Fund5
Pengembangan
Konstruksi Operasional Pendek - menengah Lebih dari 20% Minimum 100
Konstruksi Operasional Panjang 10 – 20% 50-100
Operasional Konstruksi Operasional Pendek - panjang 15 – 20% 1 - 100
Tabel 3:
Tipe investor dan skala investasi umum
5 Private equity fund merupakan skema investasi kolektif yang digunakan untuk berinvestasi pada berbagai saham (dan terkadang memberikan pinjaman) berdasarkan salah satu strategi investasi yang berkaitan dengan private equity. Jenis investasi ini digalang dan dikelola oleh para ahli investasi dari sebuah firma private equity
Perjanjian pendanaan antara investor modal dan perusahaan yang menjalankan proyek dapat disusun secara fleksibel berdasarkan kebutuhan perusahaan yang menjalankan proyek dan harapan investor modal, misalnya ketentuan mengenai durasi investasi atau exit solutions. Oleh karena itu, kontribusi modal dapat disesuaikan dengan karakteristik-karakteristik khusus dari proyek bioenergi. Akan tetapi, berbagai investor modal biasanya lebih memilih ketentuan-ketentuan yang dirangkum dalam tabel diatas.
2.6. Kontribusi Utang
Utang bisa didapatkan dari tiga jenis skema pembiayaan: 1) obligasi, 2) pinjaman dari lembaga keuangan komersial lokal dan 3) pinjaman dari bank pembangunan.
Pembayaran utang lebih diprioritaskan daripada pembayaran modal. Dengan kata lain, para pemberi pinjaman memiliki hak terhadap aset dan pemasukan proyek sebelum investor modal bisa mendapatkan imbal hasil atau pembayaran kembali dalam kasus pengakhiran atau kepailitan.
Obligasi
Penerbit obligasi, misalnya perusahaan yang menjalankan proyek, berkewajiban untuk membayar jumlah yang sudah ditetapkan sebelumnya kepada pemegang obligasi pada tanggal yang sudah ditetapkan dan untuk membayar bunga tetap. Suku bunga, yang disebut sebagai kupon, biasanya dibayarkan setiap tahun. Dengan demikian, obligasi mirip dengan pelunasan kredit sekaligus (bullet loan). Akan tetapi dalam kasus obligasi:
individu, perusahaan atau negara dapat menjadi pemegang obligasi. Artinya, jumlah investor potensial tergolong banyak. Karena strukturisasi obligasi diatur dengan ketat dan merupakan proses yang memakan
biaya serta kompleks, obligasi biasanya hanya cocok untuk digunakan bagi pembiayaan proyek-proyek besar.
Oleh karena itu, obligasi tidak akan dibahas lebih lanjut dalam panduan ini.
Pinjaman dari Lembaga Keuangan Komersial
Pinjaman dari bank umum seringkali, selain sebagai modal, juga digunakan sebagai metode standar untuk membiayai proyek-proyek energi skala kecil dan menengah. Ketentuan pinjaman didasarkan pada kelayakan kredit perusahaan yang menjalankan proyek serta bankability proyek.
Untuk mendapatkan pinjaman, bank sebelumnya membutuhkan jaminan dari pemilik proyek atau investor.
Jaminan ini dapat berupa aset berwujud seperti peralatan, properti dan real estate, atau tidak berwujud seperti hipotek, jaminan dari organisasi induk atau jaminan kredit. Dalam hal ini, skema pembiayaan yang digunakan adalah recourse atau limited recourse, tergantung pada profil jaminan.
Selain itu, bank juga dapat meminta rekening escrow cadangan untuk pinjaman. Rekening escrow dapat dianggap sebagai trust account tempat pengembang proyek membayarkan sebagian dari pemasukan tenaga listrik mereka secara teratur untuk memastikan likuiditas bagi pembayaran utang di masa depan.
Investor yang menawarkan pembiayaan utang memerlukan kontribusi modal minimum, biasanya sekitar 20% - 50%. Rasio utang-modal ini mencerminkan profil resiko dari proyek.
Bab 4 akan membahas dengan rinci mengenai cara untuk mendapatkan pembiayaan utang dari bank.
Pinjaman dari Bank Pembangunan
Perbedaan utama antara pinjaman komersial dan pinjaman dari bank pembangunan adalah ketentuan kreditnya. Sesuai namanya, bank pembangunan tidak menyediakan pinjaman untuk alasan komersial melainkan untuk mendukung pengembangan ekonomi setempat atau sektor tertentu, misalnya energi terbarukan. Oleh karena itu, produk-produk pinjaman mereka disesuaikan dengan persyaratan pembiayaan khusus dan menawarkan pembiayaan berjangka lebih panjang dengan masa tenggang serta tingkat suku bunga yang lebih rendah. Sebagai kompensasi, mereka biasanya meminta keterangan mengenai dampak sosial, lingkungan atau ekonomi proyek tersebut terhadap masyarakat. Hingga saat ini, masih belum ada bank pembangunan lokal di Indonesia tetapi proyek bisa mendapatkan pembiayaan dari bank pembangunan internasional seperti Asian Development Bank melalui Leading Asia’s Private Private Infrastructure Fund (LEAP), lihat bab 4.1.4.
Di Indonesia, PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT. SMI) menawarkan pembiayaan proyek jangka panjang serta jangka pendek yang mencakup energi terbarukan, lihat bab 4.1.3.
Gambar 3:
Kontribusi modal dan utang serta alokasi selama tahapan proyek; bank, pemberi pinjaman akan melakukan uji tuntas proyek untuk skema project finance.
2.7. Struktur Pembiayaan yang Sesuai untuk Proyek Bioenergi
Di Indonesia, teknologi untuk mengubah biomassa menjadi energi terdiri atas dua jenis: 1) biogas menjadi energi melalui mesin digestion dan ignition untuk limbah pertanian cair dan 2) limbah biomassa menjadi energi melalui tungku pendidih (boiler) dan pembangkit listrik tenaga uap. Kedua jenis teknologi ini sudah digunakan secara internasional dan tergolong matang, walaupun biaya investasi dan struktur keuangan yang berlaku pun beragam.
Kriteria utama untuk menentukan apakah proyek bisa dibiayai melalui skema project finance yang sepenuhnya non-recourse adalah kesesuaian skala proyek dan persepsi resiko.
Seperti yang dijabarkan di atas, pengembang proyek membuat perusahaan khusus untuk pelaksanaan dan pengelolaan proyek energi, yakni Special Purpose Vehicle (SPV). SPV memberikan peluang untuk memisahkan proyek dan mengisolasi proyek tersebut dari bisnis utama pemilik proyek. Pembiayaan dilakukan secara off-balance: SPV menampung semua aset (misalnya pembangkit listrik) dan kewajiban, oleh karenanya juga menerima semua pemasukan. Tahap pengembangan dan konstruksi tidak menghasilkan pemasukan. Oleh karena itu, pinjaman SPV didasarkan pada cash flow proyek di masa mendatang, tanpa recourse atau limited recourse kepada sponsor proyek, dan pinjaman hanya akan diberikan setelah proyek sudah operasional dan memiliki cash flow positif.
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara berbagai aktor yang terlibat dalam struktur proyek SPV. SPV menjadi pemilik aset-aset proyek dan peminjam sesungguhnya untuk project finance.
Gambar 4:
Struktur Proyek SPV
Debt Service Cover Ratio (DSCR) dan rasio modal terhadap utang digunakan untuk mempertimbangkan resiko yang dihadapi dalam struktur project finance, lihat Lampiran A.1. Proyek dengan profil resiko yang lebih tinggi meminta porsi modal yang lebih tinggi dan buffer dalam faktor DSCR yang berlaku.
Saat pemberi pinjaman mengambil alih resiko-resiko proyek dari segi skema non-recourse, proyek harus lulus dalam due diligence rinci untuk menyiapkan strukturisasi pinjaman bagi SPV tersebut. Struktur seperti ini lebih melibatkan pemberi pinjaman dan membutuhkan biaya transaksi tambahan bagi pengembang proyek dan lembaga keuangan. Karena biaya pembiayaan yang tinggi serta kompleksitasnya, project finance dianggap layak secara ekonomi untuk skala proyek umumnya lebih dari USD 5 juta; akan tetapi, di Indonesia PT. SMI menerapkan struktur project finance yang lebih kecil bagi proyek-proyek tenaga air di masa lampau.
Jika tidak, skema pinjaman konvensional berbasis kolateral akan berlaku, mengingat bahwa biaya transaksi, waktu yang diperlukan dan kompleksitas biasanya lebih rendah daripada pembiayaan non-recourse.
Gambar 5:
Skala proyek umumnya menentukan struktur keuangan.
III. Langkah-langkah untuk Secara Sukses Mendapatkan Persetujuan Pembiayaan
3.1. Peran Entitas terkait
Selain entitas yang secara langsung terlibat dalam pembiayaan proyek, entitas publik juga memainkan peranan penting dalam mengembangkan dan menjalankan proyek. Peran mereka akan dijabarkan di bawah.
3.1.1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia
Kementerian ESDM dibantu oleh dua Direktorat Jenderal: 1) Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) dan 2) Direktorat Jenderal Kelistrikan (DJK) menetapkan kebijakan dan program yang mengatur sektor energi terbarukan. Lembaga ini juga menetapkan norma, standar, prosedur teknis dan kriteria bagi pembangunan yang sesuai dan mengikuti target Pemerintah Indonesia, yakni 23%
energi terbarukan dalam bauran energi pada tahun 2025.
Skema saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No. 50/2017, mengatur bahwa harga jual tenaga listrik final yang merupakan hasil negosiasi antara PLN dan Pembangkit Listrik Swasta (IPP) memerlukan persetujuan dari Menteri, yang dapat menunjuk Ditjen EBTKE atau DJK untuk mengkaji harga yang disepakati dalam PJBL. PLN dan pemilik proyek baru dapat menandatangani PJBL setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak Ditjen EBTKE dan DJK.
3.1.2. PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN)
Di masa lampau, PLN selalu menjadi pembeli wajib terkontrak (off-taker) tenaga listrik utama, tetapi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri No. 12/2017 (yang sudah direvisi dalam Peraturan Menteri No.
50/2017), perusahaan utilitas milik negara ini kini mengemban tanggung jawab penuh dalam pengadaan energi terbarukan. Peraturan Menteri No. 50/2017 tidak hanya menetapkan harga tertinggi (ceiling price) untuk berbagai PJBL teknologi energi terbarukan tetapi juga mengalihkan banyak tanggung jawab kepada PLN. Jika tidak ada peraturan lain yang dikeluarkan untuk menggantikan Peraturan Menteri No. 50/2017, PLN harus melakukan pemilihan langsung dalam proyek-proyek energi terbarukan bukannya penunjukan langsung. Perubahan ini saja mensyaratkan agar PLN menyiapkan diri dan melakukan pra-seleksi para pengembang proyek yang akan diundang dalam tender untuk kalangan terbatas agar memenuhi kriteria pemilihan langsung. Pengembang proyek yang lulus dari proses pra-kualifikasi dimasukkan ke dalam “Daftar Penyedia Terpilih” dan dapat berpartisipasi dalam tender. Entitas asing dari negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dapat berpartisipasi jika mereka bermitra dengan entitas lokal untuk memenuhi persyaratan kepemilikan Indonesia yang diwajibkan.
Kriteria pra-kualifikasi mencakup kepatuhan terhadap aspek teknis, finansial dan administrasi. Persyaratan teknis membutuhkan pengalaman dalam mengembangkan, membangun dan/atau mengoperasikan pembangkit listrik energi terbarukan yang sudah beroperasi secara sukses selama paling tidak satu tahun.
Perusahaan induk yang tidak memiliki pengalaman seperti ini tetapi memiliki anak perusahaan operasional yang memiliki keahlian yang disyaratkan (misalnya entitas proyek bertujuan khusus yang bertempat di wilayah yurisdiksi di mana proyek tersebut dijalankan), dapat mengajukan aplikasi pra-kualifikasi.
Dari aspek finansial, persyaratan yang ditetapkan adalah agar para bidder memiliki rating kredit tertentu yang dijaminkan oleh salah satu lembaga rating kredit yang diakui dan memenuhi ambang batas EBITDA historis minimum untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki aset yang memadai untuk membiayai porsi modal proyek. Surat dari bank yang memberikan konfirmasi mengenai hubungan dengan perusahaan juga diminta.
Tender PLN akan menetapkan lokasi khusus dan kapasitas bidding bagi para pengembang proyek. Pemenang lelang akan diputuskan berdasarkan harga terendah yang masih harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Jika pengembang proyek sudah membuat simulasi dalam proposalnya yang menyatakan bahwa PJBL perlu menggunakan mata uang USD karena pendanaan dan/atau investasi dilakukan dalam USD, maka PLN juga terbuka terhadap opsi untuk membuat PJBL-kontrak menggunakan mata uang USD. Sebelum penandatanganan PJBL, para pengembang proyek perlu menyediakan jaminan bank sebesar 10% dari nilai proyek sebagai komitmen untuk merealisasikan proyek secara tepat waktu.
Setelah penandatanganan kontrak PJBL, pengembang proyek memiliki 6-12 bulan untuk mendapatkan persetujuan pembiayaan. Kontrak PJBL akan dibatalkan jika persetujuan pembiayaan tidak berhasil dicapai dan jaminan bank akan diberikan kepada PLN.
Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak PLN.
3.1.3. PT Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI), Indonesia
PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT. SMI) merupakan badan usaha milik negara dengan spesialisasi pembiayaan infrastruktur, PT SMI bertindak sebagai katalis dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia. PT SMI didirikan pada bulan Februari 2009 sebagai lembaga keuangan non-bank dan menjadi jembatan untuk memfasilitasi pemilik proyek dan lembaga keuangan dalam tahap persiapan proyek dan jasa konsultasi. PT. SMI juga mendukung agenda pembangunan infrastruktur Pemerintah Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia 2015-2019, melalui kemitraan dengan lembaga keuangan swasta dan/atau multilateral/bilateral dalam proyek Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
PT. SMI menawarkan pembiayaan jangka panjang serta jangka pendek dan terlibat di berbagai sektor, yang meliputi energi terbarukan dan efisiensi energi, dengan menyediakan berbagai produk investasi/pembiayaan dari investasi modal hingga pinjaman seperti pinjaman investasi, pinjaman modal kerja, bridging loans, take- out financing, promoter financing, pembiayaan subordinasi dan mezzanine loans.
PT. SMI berpengalaman dalam menetapkan struktur pembiayaan proyek untuk pembangkit listrik tenaga mini hydro dengan menyediakan senior loans dan mezzanine loans bagi proyek. PT SMI membutuhkan sponsor proyek yang kuat dari special purpose vehicle (SPV) yang mengembangkan proyek energi terbarukan.
Pada saat yang sama, PT SMI juga menyediakan layanan konsultasi, yang secara efektif mendukung fungsinya sebagai katalis karena peran ini memungkinkan pengembangan kapasitas di antara pejabat pemerintah dan badan usaha dalam pembiayaan pengembangan infrastruktur. Selain proyek energi terbarukan, PT SMI juga
menyediakan pembiayaan bagi pembangkit listrik bahan bakar fosil dan proyek infrastruktur lainnya seperti jalan, bandara, stasiun kereta api, dsb.
PT SMI mendapatkan akreditasi sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Green Climate Fund (GCF).
Dengan lebih dari USD 10 miliar dalam bentuk mobilisasi di awal dan berbagai instrumen keuangan yang tersedia, termasuk hibah, pinjaman konsesi, pembiayaan subordinasi, modal, dan jaminan, yang memberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan kebutuhan proyek, PT. SMI akan memainkan peranan kunci dalam mendukung ambisi Indonesia untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon.
Pada tahun 2011, PT SMI bersama-sama dengan Asian Development Bank (ADB), International Finance Corporation (IFC) dan Deutsche Investitions- und Entwicklungsgesellschaft GmbH (DEG) membentuk usaha bersama (joint venture company) yang berfokus pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur, yakni PT Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF).
Melalui kerja sama dengan berbagai donor, PT. SMI mengembangkan berbagai produk untuk mendukung proyek-proyek energi terbarukan.
Program untuk Energi Terbarukan
Dengan bantuan finansial dari AFD, PT. SMI dapat menyediakan hingga 100 juta USD untuk investasi dalam proyek-proyek energi terbarukan. Terlebih lagi, program ini menawarkan hibah sejumlah 5 juta USD dalam bentuk subsidi suku bunga, jaminan dan mekanisme kerugian pertama.
Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak PT SMI.
3.1.4. Asian Development Bank (ADB), Indonesia
Asian Development Bank (ADB) mengelola Leading Asia’s Private Infrastructure Fund (LEAP) sebagai kendaraan pembiayaan bersama (co-financing vehicles) yang didedikasikan bagi infrastruktur sektor swasta yang berkualitas dan berkelanjutan (antara lain mencakup produksi energi terbarukan) di Asia dan Pasifik.
Fund ini dapat menyediakan pembiayaan bagi perusahaan dan proyek. Japan International Cooperation Agency (JICA) telah memberikan kontribusi bagi fund senilai USD 1,5 miliar dalam bentuk komitmen modal saat dibentuk pada bulan Agustus 2016.
Fund ini menyediakan pembiayaan bersama (co-financing) bagi proyek infrastruktur skala besar pada berbagai tahap pengembangan termasuk tahap awal, tahap pertumbuhan, proyek greenfield dan brownfield. Dukungan yang diberikan kepada proyek diwujudkan dalam bentuk dampak pembangunan yang sudah diantisipasi dan diselaraskan dengan strategi-strategi ADB dan JICA. Fund akan mengambil alih pembiayaan proyek (non-recourse atau limited recourse) dan transaksi corporate finance, serta akan berupaya untuk memberikan dukungan bagi serangkaian modalitas partisipasi sektor swasta termasuk kerja sama pemerintah badan usaha, joint ventures, proyek inisiatif pembiayaan swasta, dan privatisasi, serta pembiayaan proyek konvensional.
Pembiayaan bersama ini disediakan dalam bentuk pinjaman, investasi modal, dan transaksi mezzanine.
ADB yang memiliki kantor pusat di Manila, berdedikasi untuk mengurangi kemiskinan di Asia dan Pasifik melalui pertumbuhan ekonomi inklusif, pertumbuhan berkelanjutan yang ramah lingkungan, dan integrasi
regional. ADB menyadari pentingnya investasi berkelanjutan bagi kawasan ini dan setiap tahunnya sudah menginvestasikan lebih dari $2 miliar untuk proyek-proyek energi bersih sejak tahun 2011.
Lihat Lampiran A.2 untuk mendapatkan nomor kontak ADB.
3.2. Alur Lembaga
Pemilik proyek atau investor perlu menyadari bahwa mereka harus dapat mengelola proyek secara sukses dengan mengatasi hambatan-hambatan di berbagai lembaga. Manajemen sesungguhnya dapat mengarahkan proyek dan profil resiko proyek untuk mematuhi standar-standar tertinggi. Profil resiko proyek yang rendah akan berdampak pada mudahnya mendapatkan pembiayaan dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah.
Investor harus menyadari bahwa formulir aplikasi, proposal, perizinan, perjanjian dsb., yang menjelaskan mengenai proyek bioenergi harus dipahami dari sudut pandang masing-masing lembaga terkait.
Bank memiliki proses due diligence sendiri yang biasanya lebih rinci dibandingkan dengan persyaratan perusahaan utilitas. Akan tetapi, Peraturan Menteri No 50/2017 yang memberikan mandat agar PLN mengambil tanggung jawab penuh atas pengadaan energi terbarukan mengatur agar dokumentasi serupa diberikan kepada PLN dan bank. Mempertimbangkan bahwa proses due diligence bank dilakukan terhadap setiap detail proyek khususnya di bawah skema project finance, maka kerja sama dengan pihak perbankan, idealnya dan sangat disarankan, dilakukan sejak tahap paling awal. Selain itu, deskripsi proyek - bahkan untuk PLN - harus disampaikan secara komprehensif dan rinci kepada bank.
Gambar 6:
Alur lembaga dan checklist yang membantu (lihat bab 3.4.)
Checklist yang dicantumkan pada bab 3.4. berisi daftar dokumen dan perizinan yang diminta oleh PLN dan bank. Gambar 6 menunjukkan ketergantungan langkah-langkah pengembangan proyek selanjutnya hingga mencapai keputusan “
‘Iya” atau “tidak” final dari masing-masing Lembaga terkait . Kasus di mana dokumentasi proyek tidak memenuhi standar yang diperlukan atau tidak lengkap atau jika harga yang disepakati antara sponsor proyek dan PLN tidak disetujui oleh Kementerian ESDM, dapat menjadi dasar penolakan. Oleh karena itu, investor harus menyampaikan deskripsi proyek dari sudut pandang lembaga-lembaga ini untuk finalisasi yang sukses.
Panduan merekomendasikan agar dokumentasi proyek ini disiapkan untuk memenuhi persyaratan due diligence bank, mulai dari dokumentasi pertama yang disiapkan untuk PLN.
3.3. Manajemen Resiko
Salah satu elemen penting dalam penetapan stuktur pembiayaan adalah penilaian rinci mengenai resiko- resiko yang mungkin terjadi sepanjang masa proyek untuk menentukan aksi mitigasi dan alokasi resiko yang optimal. Kategori-kategori resiko dapat dibagi berdasarkan pihak yang menanggung resiko, baik perusahaan yang menjalankan proyek (resiko proyek) atau bank (resiko pemberi pinjaman). Akan tetapi, pemberi pinjaman juga akan mengevaluasi resiko-resiko proyek karena resiko ini berdampak langsung terhadap cash flow proyek dan juga kelayakan kredit proyek. Dampak terhadap cash flow bisa terjadi dari sisi pemasukan, yang berarti pemasukan yang berkurang atau tertunda, atau dari sisi pengeluaran, artinya bertambahnya pengeluaran.
Strategi-strategi manajemen resiko akan dijelaskan di bawah.
1) Penghindaran Resiko
Penghindaran resiko mengeliminasi resiko khusus dengan mengabaikan resiko tersebut. Akan tetapi, penghindaran resiko biasanya mengarah kepada hilangnya laba dan/atau munculnya resiko lainnya.
Misalnya, seorang pemilik proyek bermaksud untuk membeli mesin custom-made berkualitas tinggi untuk meningkatkan efisiensi dan laba. Akan tetapi, teknologi ini memiliki resiko, jika mesin tersebut rusak, suku cadang atau mekanik yang dapat memperbaiki mesin tersebut mungkin tidak tersedia. Untuk menghindari resiko ini, pemilik proyek dapat memutuskan apakah dia memilih untuk membeli mesin standar yang dapat berakibat pada berkurangnya laba.
2) Pengalihan Resiko
Pengalihan resiko adalah cara untuk mengalihkan resiko kepada pihak ketiga, umumnya dengan membayar biaya tertentu.
Non-asuransi sebagai mitra untuk pengalihan resiko
Prinsip hukum menyatakan bahwa dalam transaksi penjualan, resiko yang timbul dari penjualan produk, dialihkan dari pemasok kepada pembeli yang memegang barang tersebut, artinya setelah pengembang proyek membeli mesin, resiko-resiko yang timbul seperti kerusakan menjadi tanggungan pembeli. Salah satu cara paling umum untuk mengalihkan resiko semacam ini adalah dengan tidak melibatkan perusahaan asuransi adalah melalui garansi. Garansi ini merupakan kepastian yang mengikat secara hukum, biasanya dengan batas waktu, yang mendeskripsikan ketentuan yang mengatur kapan pemasok harus memperbaiki,
mengganti atau memberikan kompensasi untuk sebuah produk atau layanan. Garansi ini, misalnya, dapat menetapkan bahwa pemasok harus mengganti mesin jika rusak karena gagal beroperasi.
Asuransi sebagai mitra untuk transfer resiko
Tidak ada perusahaan asuransi yang menanggung semua jenis resiko dan perusahaan asuransi selalu merupakan pilihan terbaik kedua setelah kualitas material dan operasional. Pemilik proyek harus memilih berbagai jenis perusahaan asuransi yang paling sesuai untuk proyeknya. Kontrak dengan perusahaan asuransi harus meliputi cakupan asuransi yang ditanggung dan yang tidak ditanggung, serta tugas kedua belah pihak dan cara untuk mengatasi perselisihan hukum. Perusahaan asuransi umum, seperti asuransi tanggung gugat (liability insurance) yang menanggung kerusakan yang dialami pihak lain seperti kecelakaan pekerja atau asuransi peralatan listrik yang meliputi kerusakan peralatan, misalnya karena kebakaran atau banjir. Dalam skema project finance, asuransi kerusakan mesin merupakan hal yang wajib, asuransi terbaik adalah yang menanggung kerugian saat downtime akibat kerusakan.
3) Pembagian Resiko
Pembagian resiko atau distribusi resiko merupakan metode manajemen resiko di mana biaya yang ditimbulkan dari konsekuensi resiko dibagi oleh para mitra. Salah satu bentuk pembagian resiko adalah sindikasi, artinya membentuk sekelompok orang atau perusahaan, yang disebut sindikat. Bank seringkali menggunakan sindikasi untuk membagi resiko kredit dari sebuah proyek. Dalam kasus seperti ini, bank bermitra dengan sindikat untuk memberikan berbagai pinjaman dengan jumlah pinjaman yang lebih kecil daripada satu bank memberikan pinjaman volume besar dan menanggung resiko kredit sendirian.
4) Pengurangan Resiko
Pengurangan resiko berarti secara aktif memitigasi kemungkinan sebuah resiko terjadi atau mengurangi paparan terhadap resiko. Istilah ini didefinisikan secara luas dan mencakup kegiatan-kegiatan seperti membeli lebih banyak persediaan untuk mengurangi resiko kekurangan pasokan serta meningkatan kapasitas karyawan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya resiko operasional. Berbeda dengan penghindaran resiko, resiko khusus tidak sepenuhnya diabaikan melainkan dikurangi.
5) Penerimaan Resiko
Penerimaan resiko dipilih sebagai strategi manajemen resiko yang sesuai dalam hal di mana biaya pengelolaan resiko dianggap terlalu tinggi dibandingkan kemungkinan terjadi atau paparan resiko tersebut. Pengembang proyek bioenergi, misalnya, menanggung resiko secara teoritis bahwa bahan baku rusak karena kemarau.
Akan tetapi, pengembang proyek tersebut beranggapan bahwa kondisi seperti itu nyaris tidak mungkin terjadi, oleh karena itu pengembang proyek tidak secara aktif mengelola resiko ini melainkan menerimanya.
Gambar 7:
Profil resiko sejak tahap pengembangan proyek hingga tahap operasional pembangkit listrik biomassa.
3.3.1. Kategori-Kategori Resiko Proyek
Gambaran di bawah mendeskripsikan resiko-resiko proyek yang paling umum terjadi dan strategi-strategi mitigasi terkait6 :
6 Beberapa elemen dambil dari
http://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/financing/risk-allocation-mitigation#construction
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi
I. Resiko Konstruksi:
Biaya penyelesaian akan sangat menentukan kelayakan finansial proyek karena asumsi dan rasio keuangan semuanya bergantung pada asumsi biaya konstruksi proyek.
Investor memerlukan mekanisme untuk mengelola resiko seperti kontrak EPC yang rinci dan sistem kontrol proyek sehari-hari di lokasi konstruksi, red/yellow/green flag reports untuk tindakan-tindakan pengendalian yang perlu diambil.
Keterlambatan dalam konstruksi yang memundurkan tanggal penyelesaian.
Kontrak membahas dengan jelas mengenai penyelesaian;
EPC yang dipilih harus bertanggung jawab atas keterlambatan yang diakibatkan dan kompensasi yang ditimbulkan
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi II. Resiko Kinerja:
Pemberi pinjaman ingin memastikan bahwa penyelesaian mengharuskan agar pekerjaan diselesaikan dengan kualitas baik agar kontraktor konstruksi dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan ganti rugi akibat kinerja yang tidak memenuhi standar.
Kinerja harus diperiksa selama penyelesaian serta sebelum masa garansi dan jaminan berakhir; EPC bertanggung jawab atas kinerja yang tidak memenuhi standar. Kinerja akan dibandingkan dengan tolok ukur selama periode operasional untuk memastikan dasar teknis bagi arus pendapatan. Opini pihak ketiga mungkin diperlukan.
III. Resiko Operasional:
Kelayakan proyek bergantung pada biaya operasional yang diproyeksikan. Jika biaya operasional meningkat, pemberi pinjaman akan menginginkan perlindungan untuk segala sesuatu yang berdampak terhadap arus pendapatan.
Proyek, dalam hal ini cicilan utang (debt service), harus mempunyai perlindungan terhadap kenaikan biaya bahan baku biomassa yang tidak dapat diprediksi (biomassa untuk pembangkit listrik atau POME untuk pembangkit listrik biogas); biaya operasional utama lainnya adalah biaya pekerja dan asumsi inflasi upah yang biasanya dimasukkan ke dalam perjanjian dengan mengacu kepada indeks seperti indeks harga eceran.
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi IV. Resiko Permintaan:
Kemampuan jaringan listrik untuk menerima tenaga listrik yang dihasilkan harus dipastikan.
Proyeksi permintaan pembeli wajib terkontrak untuk lokasi tertentu harus dinilai, misalnya melalui perkiraan pertumbuhan, pergerakan demografis; bankability pembeli wajib terkontrak dalam membayar tarif.
V. Force Majeure dan Perubahan Undang-undang:
Perjanjian pembiayaan tidak meliputi force majeure atau perubahan dalam ketentuan undang-undang.
Kewajiban untuk melunasi pinjaman akan terus berjalan dalam keadaan force majeure atau perubahan dalam undang- undang dan tergantung kepada kemampuan finansial pemberi pinjaman; jika tidak, proyek mungkin tidak akan berjalan.
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi VI. Resiko Politik dan Regulasi:
Keputusan mengenai harga pembelian tenaga listrik (feed-in tariff) atau skema promosi lainnya dapat dibatalkan atau diubah oleh pemerintah.
Umumnya, investor harus menanggung resiko ini. Untuk proyek-proyek besar, ada beberapa instrumen keuangan seperti derivatif, kontrak berjangka atau hedging tetapi ini tidak berlaku bagi proyek skala kecil seperti PLTBg.
VII. Resiko Nilai Tukar Mata Uang:
Pembiayaan utang bisa didapatkan dari pemberi pinjaman asing, dalam mata uang asing selain dari, atau sebagai tambahan dari, pinjaman dalam negeri.
Permen No. 50/2017 memungkinkan PLN untuk membayarkan renumerasi dalam USD. Pengembang proyek harus membuat simulasi dalam proposal yang menyatakan diperlukannya PJBL dalam USD. Jika pembayaran dikaitkan dengan nilai tukar USD dan disesuaikan setiap bulannya, resiko ini dapat dimitigasi menjadi fluktuasi bulanan.
Tabel 4:
Daftar resiko-resiko umum dan tindakan-tindakan mitigasi yang bisa diambil.
Resiko-resiko Tindakan Mitigasi
VIII. Resiko Tingkat Suku Bunga:
Tingkat suku bunga yang digunakan dapat berupa suku bunga tetap selama jangka waktu tertentu atau suku bunga yang bervariasi selama periode penebusan (redemption period).
Pinjaman project finance cenderung memiliki suku bunga tetap paling tidak untuk jangka waktu yang dapat diperkirakan, agar pelunasan dapat dilakukan secara stabil.
Jika suku bunga tetap tidak dapat diberikan, investor harus menanggung resiko untuk proyek-proyek kecil; hedging hanya berlaku untuk proyek-proyek besar.
3.3.2. Kerja sama antara Pengembang Proyek dan Bank Pembiayaan
Setelah perjanjian pembiayaan berlaku, pembangunan proyek akan dimulai dan diikuti oleh tahap operasional. Di bawah skema project finance, kerja sama antara pengembang proyek dan bank akan dimulai - atau bank dan pengembang proyek, dari segi total kontribusi modal - untuk mewujudkan proyek dengan kinerja baik. Kemitraan ini berarti bahwa bank tersebut menjadi mitra proyek sesungguhnya dengan wawasan penuh tentang setiap detail kemajuan, masalah dan keterlambatan. Terkait dengan kemajuan, bank mengontrol rekening dan menyetujui pembayaran. Semua biaya dan pengeluaran yang berkaitan dengan keterlibatan bank atau advisor akan ditanggung oleh SPV. Elemen-elemen utama yang dilakukan oleh bank dalam melakukan control adalah sebagai berikut:
Tahap Konstruksi:
■ Pelaporan periodik mengenai kemajuan yang dicapai sesuai dengan jadwal (investasi, waktu);
masalah, keterlambatan, dampak dan konsekuensi (potensi keterlambatan, pembengkakan anggaran dan kinerja yang tidak memenuhi standar) harus dianalisis dan dijelaskan. Periode dan tingkat pelaporan bergantung kepada definisi yang ditetapkan oleh bank.
■ Di pembangkit listrik skala besar atau saat masalah terjadi, bank mungkin akan menugaskan engineer atau advisor mereka untuk mengontrol manajemen proyek di lokasi perusahaan atau di lokasi pembangunan. Engineer dari bank harus diterima oleh pengembang proyek sebagai mitra yang memberikan bantuan.
■ Semua pembayaran dalam jumlah besar kepada pihak ketiga seperti EPC, subkontraktor dan
kewajiban lainnya harus disetujui oleh bank dan bank akan melakukan transfer dari rekening SPV kepada penerima. Bank umumnya menerapkan prinsip empat mata untuk mengurangi risiko kredit macet.
■ Prosedur pengujian untuk penerimaan akhir harus dilakukan oleh engineer independen atau badan yang memiliki sertifikat penerimaan resmi. Pengalihan kepemilikan pembangkit listrik dari EPC kepada SPV dilakukan pada tanggal operasi komersial (COD), yang mengikuti langkah berikut. Bank akan menerima COD dan melakukan transfer untuk pembayaran terkait jika punch list sudah disetujui.
Tahap Operasional:
■ Pelaporan periodik (misalnya setiap triwulan) mengenai kinerja ekonomi dan teknis pembangkit listrik; masalah, penggantian, downtime, dampak dan konsekuensi (potensi downtime di masa depan, pembengkakan OPEX dan kinerja yang tidak memenuhi standar) harus dianalisis dan dijelaskan. Rencana aksi harus disusun setelah ancaman-ancaman berat sudah diidentifikasi; bank mungkin akan melibatkan engineer mereka atau pihak ketiga.
■ Semua pembayaran dalam jumlah besar kepada pihak ketiga seperti biaya OPEX atau kewajiban lainnya harus disetujui oleh bank dan bank akan melakukan transfer dari rekening SPV kepada penerima. Sekali lagi, prinsip empat mata digunakan untuk mengurangi risiko kredit macet.
■ Pengawasan bank berakhir dengan pembayaran pelunasan akhir.
3.3.3. Upaya Manajemen yang Mendukung
Bank akan mengevaluasi investor, tim proyek dan struktur manajemen untuk memastikan manajemen yang kuat dan kualitas yang baik. Pengembang proyek dan investor sangat disarankan untuk mempekerjakan tim manajemen proyek yang berpengetahuan luas dan mahir serta seorang project manager yang berpengalaman.
Untuk tahapan pengembangan dan tantangan tertentu, engineer dari perusahaan pemilik mungkin akan diperlukan. Instrumen-instrumen berikut akan memberikan beberapa gagasan mengenai langkah-langkah pengendalian seperti software manajemen proyek, red-flag reports dan protokol.
Jadwal Proyek Rinci - Gantt Chart
Jadwal proyek, seringkali disebut Gantt chart, menggambarkan secara rinci kapan dimulainya dan berakhirnya sebuah proyek. Chart ini menjabarkan milestone dan titik-titik akhir dari sebuah proyek yang dibagi berdasarkan jenis kegiatan, dan menunjukkan ketergantungan antara setiap kegiatan seperti prosedur pemberian persetujuan utama serta minor sub-supplier, pelaksanaan, commissioning dan pengujian untuk penerimaan akhir. Daftar tersebut dapat disusun dalam berbagai tingkat kedetailan, antara lain misalnya:
detail kontrak pemasok yang harus dipenuhi pada waktu tertentu, dokumen, rencana, foto, protokol, dll.
Manajemen database dan alat analisis yang sesuai untuk mencakup semua rincian proyek yang relevan untuk menghitung ketergantungan masing-masing sebaiknya digunakan untuk membantu kontrol proyek.
Ketergantungan dapat bersifat sementara sebagai keterlambatan milestone atau pembengkakan biaya dalam kasus di mana keterlembatan ini akan menimbulkan biaya tambahan. Alat seperti ini memberikan masukan proyek yang terperinci pada saat tertentu dan memberikan sinyal peringatan jika jadwal yang direncanakan tidak terpenuhi. Aspek-aspek yang berguna dari alat tersebut adalah bahwa investor menyetujui untuk
Gambar 8:
Software manajemen proyek profesional menyediakan alat kontrol untuk waktu dan anggaran.
mengikuti logika internal alat tersebut untuk mengurangi risiko-risiko proyek sepanjang pelaksanaan. Ada banyak jenis software Gantt chart profesional yang tersedia secara komersial.
Daftar Komponen dan Interface
Sebagai elemen tambahan manajemen, daftar dan deskripsi komprehensif untuk semua komponen teknis utama seperti infrastruktur teknis dan pekerjaan sipil, akses ke jaringan listrik, pengolahan bahan bakar, boiler pembangkit listrik dan generator dsb harus disiapkan, mencakup data teknis dan interface relevan. Daftar ini harus dikaitkan dengan pengadaan dan pasokan komponen untuk memastikan manajemen interface yang sesuai. Terlebih lagi, daftar ini harus mencakup status flags untuk informasi dan detail yang relevan, kontrak, perjanjian dsb. Yang terakhir, daftar ini akan menjadi bagian penting dari manajemen proyek dan rangkaian alat kontrol.
Gambar 9:
Protokol untuk menunjukkan struktur red-flag untuk tingkatan tindakan yang diperlukan
Daftar tersebut harus disiapkan dengan menggunakan coloured-flag alert system. Ide di balik struktur ini adalah untuk menentukan peringkat setiap langkah proses ke dalam mekanisme peringatan dan untuk memberikan flag merah, kuning atau hijau sesuai status peringatan
Contoh Management Control List Tindakan MERAH
- Tidak sesuai spesifikasi - Keterlambatan - Pembengkakan biaya
Tindakan langsung yang diperlukan
KUNING
- Hampir tidak sesuasi spesifikasi - Keterlambatan mungkin terjadi - Anggaran terancam
Tindakan pencegahan dan pengendalian intensif diperlukan
HIJAU
- Sesuai spesifikasi - Tepat waktu - Biaya terkendali
Tidak memerlukan tindakan tambahan
Tabel 5:
Peringkat setiap langkah dalam proses kontrol manajemen