• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak dan memenuhi syarat-syarat perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :

1. Adanya kesepakatan (Toestemming) kedua belah pihak

Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain, artinya pihak-pihak yang mengikatkan perjanjian ini mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang bebas dari kedua belah pihak, mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan kata sepakat maka perjanjian tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas kehendak kedua belah pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepakat yang dimaksud adalah perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir sejak tercapainya kesepakatan, sebagaimana diatur dalam pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

20

Ibid, hlm. 338. 21

memberikan pengertian bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan : a. Bahasa yang sempurna dan tertulis.

b. Bahasa yang sempurna secara lisan.

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawannya.22

Pada prinsipnya cara yang paling banyak disukai dan digunakan oleh para pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna dan tertulis. Tujuan dibuatnya perjanjian secara tertulis adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila kemudian hari timbul konflik atau sengketa.

2. Kecakapan bertindak atau cakap untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Pada dasarnya setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang dianggap cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat perjanjian. Hal ini ditegaskan didalam pasal 1329Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “setiap orang adalah cakap

22

untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

Sedangkan orang-orang yang tidak termasuk cakap hukum dalam membuat persetujuan diatur dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :

a. orang-orang yang belum dewasa

b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.23

Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap hukum diatur di dalam pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :24

a. Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “karena ituorang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan perempuan-perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah membuat suatu perjanjian”.

23

Subekti, Op.Cit., hlm.341. 24

b. Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “semua perikatan yang dibuat oleh orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaanatau pengampuannya. Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekadar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka.

3. Suatu hal tertentu atau adanya objek perjanjian

Objek perjanjian adalah pretasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah kewajiban debitur dan hak kreditur. Prestasi adalah sesuai dengan pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Prestasi harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang. Dapat ditentukan, artinya didalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan, dalam arti dapat ditentukan secara cukup.

Beberapa ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang objek perjanjian, yaitu :25

a. Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.

25

b. Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

c. Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang atau objek yang jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, jumlahnya walaupun tidak diharuskan oleh undang-undang.

4. Suatu sebab yang halal (causa)

Kata “causa” berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak.

Adapun beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang sebab yang dilarang, yaitu :26

a. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

b. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Dari uraian tentang syarat-syarat sahnya perjanjian di atas maka syarat tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif terdapat dalam dua syarat pertama karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian, apabila tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan oleh salah satu pihak, sedangkan syarat objektif terdapat dalam dua syarat yang terakhir, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.