• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

H. Prosedur Penelitian

4. Tahap Penyusunan Laporan

a. Mengatur data serta memeriksa kembali kelengkapannya. b. Menulis laporan lengkap.

c. Memeriksa kesatuan laporan. d. Memperbanyak laporan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN KERAJINAN SOUVENIR LORO BLONYO DI BOBUNG

1. Deskripsi Lokasi Bobung, Putat, Patuk, Gunung Kidul

Bobung merupakan Dusun yang secara administratif terletak di Desa Putat, Kecamatan Patuk. Wilayah Dusun ini memiliki luas 78.100 Ha, dengan tata guna lahan sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian, perkebunan, ladang, dan pekarangan. Dusun Bobung terletak sekitar 7 Km dari Kecamatan Patuk, atau 12 Km dari kota Wonosari. Topografi lahan di Dusun Bobung ini didominasi oleh perbukitan yang memiliki kemiringan agak curam, dengan jenis tanahnya adalah tanah merah dan berpasir sehingga tanah tersebut memiliki tingkat daya serap tanah yang baik (tidak mudah erosi). Di sebelah Barat Dusun terdapat anak sungai yang berasal dari sungai Blumbungan dengan kondisi debit air yang relatif minim. Lahan disekitar sungai banyak dimanfaatkan untuk areal pertanian sawah maupun palawija.

Gambar 4.1. Peta Kecamatan Patuk

(Sumber: Penyusunan Site Plan Desa Wisata Bobung, 2008)

Gambar 4.2 Peta Dusun Bobung

(Sumber: Penyusunan Site Plan Desa Wisata Bobung, 2008)

Secara administratif, Dusun Bobung memiliki batas untuk sebelah Barat berbatasan dengan desa Blumbungan, sebelah Utara berbatasan dengan dusun Batur, kecamatan Patuk, sebelah Timur berbatasan dengan desa Nglegi, kecamatan Nglegi, dan sebelah Selatan berbatasan dengan desa Bunder, kecamatan Bunder. Sedangkan untuk batas alam Dusun Bobung sebelah Barat dibatasi oleh sungai Blumbungan, sebelah Utara dibatasi oleh sungai Nglegi, sebelah Timur juga dibatasi sungai Nglegi, dan sebelah Selatan dibatasi oleh sungai Bunder.

Kondisi sarana dan prasarana yang ada di Dusun Bobung masih relatif minim, seperti yang dijabarkan berikut ini:

a. Jalan

Aksesbilitas yang yang ada memiliki klasifikasi jalan lokal dengan kelas jalan IIIc. Hampir semua jalan yang ada di Dusun Bobung sudah beraspal, namun beberapa kondisinya masih memprihatinkan. Seluruh permukiman Bobung sudah mendapatkan akses ke jalan ini, sehingga aktivitas sosial-ekonomi masyarakat relatif tidak mengalami kendala. Akses jalan menuju dusun Bobung bisa ditempuh melalui ruas jalan Sambipitu-Nglipar yang memiliki panjang 10.79 Km dengan kondisi jalan baik. Akses lain juga bisa ditempuh melalui ruas Wonosari-Nglipar yang memiliki panjang 10.00 Km dengan kondisi jalan sedang.

b. Transportasi

Jalur trayek angkutan umum belum dapat menjangkau permukiman penduduk yang berada di Dusun Bobung, hal ini dikarenakan belum cukup tingginya intensitas penumpang yang melalui Dusun Bobung. Namun pemerintah Kabupaten Gunung Kidul telah menetapkan jalur trayek yang melalui kawasan Sambipitu.

c. Listrik

Dusun Bobung sudah mendapatkan jaringan listrik yang tersebar keseluruh permukiman warga. Selain dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari juga digunakan dalam pengerjakan industri kerajinan kayu.

d. Telekomunikasi

Saluran telekomunikasi masih menggunakan telepon selular, mengingat jaringan telekomunikasi kabel masih belum menjangkau Dusun Bobung. Sedangkan apabila ada gangguan atau bahaya seketika masyarakat menggunakan kenthongan atau pengeras suara.

e. Air Bersih

Kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat Bobung selama ini dipenuhi dari sumber air tanah yang ada disekitar permukiman. Jaringan instalasi air dari PDAM belum dapat menjangkau kawasan ini dikarenakan area Dusun Bobung yang mempunyai kemiringan lahan yang lumayan curam.

2. Sejarah Loro Blonyo diproduksi Sebagai Souvenir

Desa Bobung memang sudah identik dengan kerajinan kayunya, terutama kerajinan topeng dan patung loro blonyo. Dari hasil penelitian, menurut Pak Tukiran (60 thn) kerajinan kayu di desa Bobung mulai terkenal sejak tahun 1973. Sedangkan untuk loro blonyo mulai diproduksi massal sebagai souvenir sejak tahun 1985. Loro blonyo diproduksi sebagai souvenir adalah semakin tertariknya wisatawan yang berkunjung ke Keraton Jogja terhadap patung loro blonyo yang dipajang di museum keraton. Berhubung patung tersebut tidak boleh dibeli, maka Romo Asmo memiliki inisiatif untuk menciptakan loro blonyo yang dibuat sebagai souvenir. Pada tahun 1985 Romo Asmo kemudian memilih Pak Tukiran untuk membuat loro blonyo sebagai souvenir dan mengajarkan cara untuk membuatnya. Hingga sekarang desa Bobung terkenal tidak hanya kerajinan topeng saja, namun juga kerajinan loro blonyo.

Berkaitan dengan posisi loro blonyo sebagai souvenir, ada berbagai respon yang menanggapi hal tersebut. Respon positif dan kurang mendukung muncul dikarenakan sudut pandang yang berbeda. Loro blonyo pada dasarnya merupakan cerminan sepasang temanten Jawa yang mengenakan busana tradisi Jawa. Beberapa definisi loro blonyo dalam Slamet Subiyantoro (2011:17, 27, 41, 144), antara lain:

e. Rajiman menyatakan Roro Blonyo adalah perwujudan sepasang pengantin yang diletakkan di depan ruang penganten, keduanya bersikap; perempuan duduk simpuh, dan laki-laki duduk bersila dengan pakaian penganten basahan (dalam Subiyantoro, 2011:17)

f. Edy Tri Sulistyo menyatakan patung loro blonyo terbuat dari tanah liat, kayu, logam, tembaga, atau kuningan dan dirias sperti pengantin putra dan pengantin putri, ditempatkan di depan pedaringan atau di depan petanen (krobongan), boneka pengantin putra di kanan dan boneka pengantin putri di sebelah kirinya (dalam Subiyantoro, 2011:27).

g. Agus Nur Setyawan mendefinisikan patung loro blonyo adalah sepasang patung pengantin Jawa dalam posisi duduk bersimpuh, yang mengenakan busana gaya basahan (dalam Subiyantoro, 2011:41).

h. Slamet subiyantoro menuliskan bentuk patung loro blonyo merupakan pasangan patung laki-laki dan perempuan mengenakan busana adat Jawa gaya basahan (Subiyantoro, 2011:144).

Dari beberapa definisi dan penggambaran tentang loro blonyo diatas, disimpulkan bahwa loro blonyo adalah pasangan patung laki-laki dan perempuan yang terbuat dari kayu, tanah liat atau perunggu atau benda lain, dalam posisi duduk bersimpuh, yang mengenakan busana gaya basahan dan ditempatkan di depan pedaringan atau di depan petanen (krobongan).

Persepsi loro blonyo sebagai souvenir menurut beberapa tokoh masyarakat mendapat respon yang sedikit beragam. Dari pihak yang tidak sepaham dengan posisinya sebagai souvenir beranggapan bahwa loro blonyo seharusnya sesuai pakem, mulai dari bahan, teknik penecatan, dan motif batik (Pak Kemiran, 51 tahun). Namun dengan adanya dorongan kebutuhan ekonomi dan semakin banyaknya pesanan loro blonyo, maka eksistensi loro blonyo sebagai souvenir tetap terjaga walaupun makna sebenarnya dari loro blonyo mulai kurang dipahami oleh kaum awam. Menurut Kepala Dusun Bobung ini, loro blonyo memiliki makna yang sangat dalam pada kehidupan berumah tangga. Dua insan menjadi satu dan untuk selamanya, merupakan nilai dapat ditampilkan oleh loro blonyo. Di pihak lain, salah satu perintis kerajinan kayu di desa Bobung, Pak Sujiman berpendapat bahwa dengan adanya loro blonyo sebagai souvenir akan menambah penghasilan, baik untuk pengrajin dan untuk pemerintah desa. Tidak hanya menambah penghasilan pengrajin, dengan adanya

industri ini mampu menciptakan sentra industri kerajinan kayu dan mendukung terwujudnya desa wisata kerajinan kayu Bobung.

Perkembangan selanjutnya, pada pola kehidupan yang materialistis ini anggapan terhadap keberadaan loro blonyo sering diposisikan sebagai barang hiasan interior. Maka melalui souvenir, loro blonyo diharapkan mampu menjadi pengingat akan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Makna loro blonyo menurut salah satu pengrajin di Dusun Bobung, Pak Slamet Riyadi (43 tahun) adalah simbol sepasang suami-istri yang tidak dapat dipisahkan. Pada posisi loro blonyo sebagai souvenir, memiliki fungsi sebagai pengingat sepasang suami-istri akan pentingnya kesatuan dalam manjalin rumah tangga. Seperti yang dikemukakan Endraswara dalam Subiyantoro (2009:214), sepasang patung tersebut pada hakekatnya satu (manunggal, bulat, utuh) simbol keutuhan dan kemanunggalan pria dan wanita, walau keduanya beda setelah dilulur dengan warna sama maka mereka menyatu. Untuk perlakuan loro blonyo sebagai fungsi pengingat juga tidak ada perbedaan, dipajang di kamar atau tempat berkumpulnya keluarga. Dan dengan semakin majunya jaman, pemaknaan terhadap loro blonyo juga mengalami perkembangan. Loro blonyo yang secara tradisi ditempatkan di senthong tengah dan disakralkan, berkembang menjadi hiasan ruangan yang menambah nilai estetik.

Menurut pengrajin lainnya, loro blonyo sebagai souvenir sangat mendukung kelangsungan usaha mereka. Order semakin meningkat karena tidak hanya sebatas topeng,tapi juga loro blonyo ahun). Loro blonyo sendiri

Motif dan desain semua tergantung pesanan. Menurut Pak Sujiman, dalam order ada tiga macam desain, yakni desain buyer, desain pengrajin, dan desain paduan. Prospek loro blonyo sebagai souvenir sudah mampu menembus pasar ekspor luar negeri. Jepang, Kanada, Amerika, Arab, Cina, dan Timur Tengah merupakan beberapa negara tujuan ekspor loro blonyo. Untuk negara-negara Timur karakteristik yang diminati lebih mengarah dari segi bahan, yakni kayu utuh. Sedang untuk

negara Barat tidak begitu bermasalah dengan bahan, karena mereka lebih tertarik pada batik yang ada.

Adapun tahapan pembuatan kerajinan patung loro blonyo adalah sebagai berikut (Subiyantoro, 2009:162-174):

a. Menentukan Desain

Gambar 4.3. Contoh Desain Loro Blonyo Model Basahan (Sumber: Yohanes,2012)

Menentukan desain, yakni membuat rencana bentuk dengan cara mendesain. Penentuan desain bisa berasal hasil kreatifitas pengrajin, namun dalam konteks sebagai souvenir tidak menutup kemungkinan desain berasal dari konsumen. Berdasarkan penelitian, menurut Pak Sujiman (53 tahun) desain patung loro blonyo ada tiga macam, yakni desain dari pengrajin, desain dari konsumen, dan desain campuran antara ide pengrajin dan konsumen. Dengan demikian diharapkan mampu memberikan kepuasan terhadap bentuk yang diinginkan konsumen.

b. Penyediaan Bahan dan Alat

Gambar 4.4. Bahan yang digunakan (Sumber: Yohanes,2012)

Penyediaan bahan baku dan alat. Bahan kayu yang biasa digunakan dalam pembuatan loro blonyo adalah kayu sengon, pule, puso, dan jati. Kayu sengon memiliki sifat yang lunak dan mudah dibentuk, awet, dan sangat baik untuk finishing dengan menggunakan cat. Namun kayu jenis ini mudah retak, terutama apabila terkena sinar matahari secara langsung. Kayu pule memiliki sifat yang mudah dibentuk dan sangat baik untuk finishing dengan teknik batik. Hanya saja kayu jenis ini mudah lapuk yang disebabkan oleh rayap. Selain itu, kayu pule tidak ditemukan disekitar Yogyakarta, tetapi didatangkan dari daerah Purworeja dan Wonosobo sehingga diperlukan modal tambahan untuk mendatangkan kayu pule ini. Sedangkan untuk kayu puso memiliki sifat lebih halus dari kayu sengon dan pule. Kekurangan kayu ini adalah lebih keras dan bekas daunnya masih ada, sehingga untuk finishing hasilnya kurang memuaskan. Kayu yang paling bagus untuk membuat loro blonyo adalah kayu jati, meskipun keras tapi mudah dibentuk dan lebih awet. Namun harga patung dengan kualitas kayu jati tidaklah murah, sehingga pengrajin hanya membuatnya jika ada pesanan saja. Alat yang digunakan antara lain gergaji dengan

berbagai ukuran, kapak, pengot (untuk meghaluskan), bubut, pisau ukir, dan pisau cecek (untuk detail).

c. Memotong Kayu

Gambar 4.5. Proses Memotong Kayu (Sumber: Yohanes,2012)

Memotong kayu, dengan menggunakan gergaji besar (xinsaw) untuk memotong kayu glondhongan atau yang masih utuh. Gergaji kecil digunakan untuk memberi batas bagian kayu yang akan dihilangkan.

d. Membelah Kayu

Gambar 4.6. Proses Membelah Kayu (Sumber: Yohanes,2012)

Membelah kayu, proses ini dilakukan dengan menggunakan circle diesel atau circle listrik.

e. Bakali

Gambar 4.7. Proses Bakali (Sumber: Yohanes,2012)

Bakali, proses membentuk patung secara global dari potongan kayu dengan menggunakan kapak.

f. Pembentukan Detail

Gambar 4.8. Proses Pembentukan Detail (Sumber: Yohanes,2012)

Pembuatan bentuk secara detail mulai dari bagian atas hingga bawah. g. Penghalusan

Gambar 4.9. Proses Penghalusan (Sumber: Yohanes,2012)

Penghalusan, menggunakan pengot yang berfungsi untuk menghaluskan bagian yang sudah dibentuk. Sedangkan untuk membuat bagian anggota tubuh seperti tangan menggunakan bubut.

h. Penyambungan

Gambar 4.10. Proses Penyambungan (Sumber: Yohanes,2012)

Penyambungan, dengan cara menekan paku sebagai penyatu dengan menggunakan martil dan pemberian lem perekat.

i. Pengeringan

Gambar 4.11. Pengeringan dengan Tungku (Sumber: Yohanes,2012)

Pengeringan, agar terhindar dari hama yang masih menempel pada kayu biasanya dilakukan langkah pengawetan dengan direndam air yang sudah dicampur PK (potosium permanganat) selama empat jam. Perbandingan campuran air dengan obat pengawet adalah 1 liter banding 75 liter, sebagai gambaran obat pengawet bisa mengawetkan seratus pasang patung dengan ukuran 25cm. Setelah direndam kemudian dikeringkan, namun untuk kayu yang mudah retak cukup diangin-anginkan saja. Ada dua alternatif unutk proses pengeringan, yakni dengan sinar matahari langsung dan menggunakan tungku kayu. Proses pemanasan menggunakan tungku dengan kekuatan panas sekitar 50o selama 24 jam. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk menetralkan kandungan air dari kayu bisa keluar sehingga tidak pecah.

j. Pendhempulan

Gambar 4.12. Proses Pendhempulan (Sumber: Yohanes,2012)

Pendhempulan, tujuan dari proses ini adalah untuk menutupi bagian kayu yang cacat supaya tidak terlihat. Bahan yang digunakan adalah serbuk grajen yang sudah diayak dan dicampur dengan lem kayu.

k. Pengamplasan

Gambar 4.13. Proses Pengamplasan (Sumber: Yohanes,2012)

Pengamplasan, merupakan penyempurnaan penghalusan yang masih kasar terutama pada bagian yang terkena dhempul.

l. Finishing

Gambar 4.14. Teknik Finishing Cat (Sumber: Yohanes,2012)

Finishing, tahap akhir (pewarnaan) yang memberi kesan bahwa patung sudah selesai dibuat. Ada dua teknik dalam pewarnaan, teknik cat dan teknik batik. Pada umunya teknik cat lebih banyak dilakukan karena lebih murah dan awet. Alat-alat seperti kuas dan bahan bisa digunakan berulang-ulang. Untuk teknik ini diawali dengan diolesi warna dasar kemudian diamplas, diulang sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk menghilangkan bekas goresan kuas supaya tampak lebih rapi dan halus. Selanjutnya memberi warna pada tiap bagian tubuh dan ornamen untuk memunculkan detail bentuk. Langkah terakhir dalam teknik cat ini adalah penyemprotan dengan menggunakan melamin. Tujuannya supaya cat tidak luntur ketika terkena air. Tampak lebih halus, dan mengkilat.

Pada teknik finishing dengan batik sama dengan batik pada umunya. Alat dan bahan yang digunakan sama, yakni canthing, malam, wajan kecil, dan kompor.

Tahapan teknik batik diawalai dengan pembuatan sketsa, mencanthing, pewarnaan, dan melorod. Warna yang digunakan adalah naptol karena warna yang muncul lebih cerah, sementara bahan warna indigosol jarang digunakan karena warna yang muncul kurang cerah. Untuk warna cerah dilakukan dengan cara dicelup, dan untuk warna yang lebih gelap dilakukan dengan cara colet. Jika menghendaki warna lain, prosesnya diulang-ulang hingga sesuai warna yang diinginkan. Jika sudah selesai, tahap terakhir adalah proses lorod dengan menggunakan abusoda. Khusus untuk teknik finishing batik tidak selalu dikerjakan di bengkel pengrajin setempat, namun tidak jarang dilemparkan ke pengrajin lainnya.

3. Pengaruh Loro Blonyo Sebagai Souvenir Terhadap Masyarakat Bobung Loro blonyo sebagai souvenir memiliki dampak kepada mayarakat Dusun Bobung, baik secara sosial, ekonomi, budaya, maupun infrastruktur dan lainnya. Ada dua sisi dampak loro blonyo sebagai souvenir, segi positif dan negatif. Segi positif dapat terlihat dari semakin banyaknya pesanan ke pengrajin yang tentu akan meningkatkan ekonominya. Selain itu, dengan semakin tersebarnya loro blonyo sebagai souvenir secara tidak langsung telah mengenalkan kebudayaan Jawa ke berbagai daerah dan berbagi negara lain. Untuk desa Bobung sendiri, akan bisa mewujudkan desa wisata sentra kerajinan kayu yang akan meningkatkan kualitas dan nama baik desa Bobung dan akan meningkatkan pendapatan desa.

Sementara itu, sisi negatif yang akan muncul dengan loro blonyo sebagai souvenir adalah potensi terjadinya platgiat. Hal ini sangat memungkinkan apabila melihat dengan banyaknya workshop dan sistem magang kerja yang secara tidak langsung telah membuka jalan bagi orang luar untuk mencuri ide dan keterampilan dapat membuat kerajinan kayu ini, terutama loro blonyo. Selain itu, dengan semakin banyaknya produksi secara besar-besaran akan berpengaruh pada kondisi lingkungan alam. Kalau tidak ada antisipasi untuk hal ini akan sangat besar kemungkinan terjadinya kesulitan pengadaan bahan.

Sebagai souvenir, loro blonyo tentu tidak hanya berkaitan dengan permasalahan penjualan produk saja tetapi juga sangat berkaitan dengan pariwisata. Hal ini karena souvenir merupakan salah satu unsur yang terdapat pada dunia pariwisata. Wardiyanto (2011:14-18), mengelompokkan dampak pariwisata menjadi tiga, yakni dampak sosial, dampak budaya, dan dampak ekonomi.

a. Dampak Sosial

Dampak sosial yang muncul cukup luas dan tidak mudah dideteksi. Mekanismenya dapat dideteksi dari konteks hubungan yang terjadi antara wisatawan dan masyarakat lokal, antara lain: wisatawan membeli barang-barang (loro blonyo) dan menggunakan jasa-jasa yang ditawarkan oleh penduduk lokal, wisatawan dan penduduk secara kebetulan berdampingan satu sama lain, dan mereka saling bertemu untuk bertukar informasi. Dalam hal ini, sangat jelas bahwa adanya kontak budaya antara wisatawan dan penduduk lokal terjadi. Latar belakang budaya berbeda membuat local genius yang dimiliki Bobung menjadi kunci tetap bertahannya budaya asli penduduk lokal, jika tidak bisa menimbulkan goncangan sosial budaya.

b. Dampak Budaya

Wood (1984) dalam Wardiyanto (2011:16), selama ini banyak peneliti yang -menghantam objek diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Dari ilustrasi diatas jelas digambarkan bahwa benturan budaya terjadi menyebabkan mobilitas terhadap kebudayaan itu sendiri. Selanjutnya Wood (1984) menganjurkan didalam melihat pengaruh wisata terhadap kebudayaan masyarakat setempat, harus disadari bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang paling memungkinkan adalah dengan menganggap bahwa

pariwisata adalah pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat, dimana masyrakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai tourisfication (turisfikasi). Urry (1990) dalam Wardiyanto (2011:17) menjelaskan bahwa kebudayaan memang selalu mengalami proses adaptasi, termasuk dalam menghadapi pariwisata, dan didalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas akan hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antar budaya. c. Dampak Ekonomi

Keberadaan loro blonyo sebagai souvenir pariwisata diharapkan mampu menambah kekuatan disektor ekonomi masyarakat Bobung. Untuk mendukung hal tersebut telah diadakan palatihan-pelatihan yang membawa dampak pada semakin pahamnya masyarakat Bobung akan home stay, pengadaan tracking, pengadaan sistem paket wisata, keterampilan berbahasa Inggris, dan pengembangan desain produk.

B. Kerajinan Souvenir Loro Blonyo ditinjau dari Unsur Rupa

Suatu gagasan rupa dapat dituangkan dengan unsur rupa, sehingga dapat dimengerti oleh penafsir (Sachari, 2005:71). Sebelum masuk kedalam unsur rupa, unsur konsep merupkan hal dasar dalam sebuah perancangan. Unsur konsep sebenarnya tidak ada, namun keberadaannya terasa (Wong, 1986:3). Adapun yang termasuk dalam unsur konsep adalah titik, garis, bidang, gempal (volume). Wong (1986:3) menjelaskan bahwa, titik tidak memiliki panjang dan lebar, tidak mengambil daerah atau ruang, merupakan pangkal dan ujung sepotong garis, dan merupakan perpotongan atau pertemuan antara dua garis Jika sebuah titik bergerak, jalan yang dilalui membentuk garis. Garis mempunyai panjang tanpa lebar, mempunyai kedudukan dan arah, kedua ujungnya berupa titik. Garis juga merupakan batas sebuah bidang. Jalan yang dilalui seutas garis yang bergerak (ke arah yang bukan arah dirinya) membentuk sebuah bidang. Bidang mempunyai panjang dan lebar, tanpa

tebal, mempunyai kedudukan dan arah, dibatasi oleh garis dan menentukan batas terluar sebuah gempal (volume). Sedangkan jalan yang dilalui bidang bergerak (ke arah yang bukan arah dirinya) membentuk gempal. Gempal mengambil tempat dalam ruang dan terbungkus oleh bidang.

Unsur yang berupa konsep menjelma sebagi wujud yang terlihat, wujud itu mempunyai raut (bentuk), ukuran, warna, dan barik (tekstur). Unsur rupa merupakan komponen dasar dalam perancangan karena benar-benar dapat dilihat (Wong, 1986:3). Secara lebih jelas, Wong (1986:3) menuliskan tentang raut (bentuk), ukuran. warna, dan barik (tekstur) sebagai berikut:

1. Bentuk

Suatu bidang yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya perbedaan warna yand berbeda oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya tekstur (Dharsono, 2004:102). Bentuk bisa berupa menyerupai wujud alam (figur), dan tidak sama sekali menyerupai wujud alam (non figur).

2. Ukuran

Semua bentuk mempunyai ukuran. Ukuran bergantung dari yang lain (nisbi) jika berbicara tentang besar dan kecil, tetapi dapat juga diukur dengan pasti (Wong, 1986:3). Ukuran dapat diukur dengan menghitung panjang, lebar, dan tinggi. 3. Warna

Warna merupakan kesan yang ditimbulkan cahaya pada mata (Soegeng TM dalam Dharsono, 2004:108), karena secara alami mata dapat menagkap cahaya yang dipantulkan dari permukaan benda melalui retina dan menembus kesadaran untuk selanjutnya menagkap benda yang berwarna. Warna sebagai salah satu elemen atau medium seni rupa merupakan unsur yang sangat penting, baik pada bidang seni murni atau seni terapan.

4. Tekstur

Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa,

sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang. Terdapat dua jenis tekstur, artificial texture (tekstur buatan) yang sengaja dibuat atau hail penemuan dan nature texture (tektur alami).yang merupakan wujud rasa permukaan bahan yang sudah ada secara alami (Dharsono, 2004:107).

Loro blonyo sebagai salah satu produk seni rupa juga tidak terlepas dari unsur-unsur rupa di atas. Di Bobung, Putat, Patuk, Gunung Kidul ada tiga model loro blonyo, yakni model keprabon, kasatrian, dan basahan. Setiap model menggunakan

Dokumen terkait