• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Tahap Proses awal dan identifikasi kasus

BAB VI PENUTUP

Bagan 2. 2 Tahap Proses awal dan identifikasi kasus

39 Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018

Kontrak merupakan hal wajib di dalam manajemen kasus. Pelaksanaan manajemen kasus tidak dapat dilakukan tanpa adanya kontrak atau persetujuan anak maupun keluarga. Sekalipun anak yang tidak memiliki keluarga, kontrak harus tetap dilakukan yakni kepada wali atau pihak yang bertanggung jawab atas anak tersebut.

2) Asesmen

Asesmen dapat diartikan sebagai suatu proses atau produk. Proses berarti pengumpulan informasi, sedangkan produk berarti hasil asesmen ini akan menjadi dasar dirumuskannya rencana pemecahan masalah pada tahap selanjutnya. Pada proses ini mengikutsertakan tahapan dimulai dari wawancara atau interview clinical sampai dengan penggunaan instrument asesmen (Husmiati 2012). Wawancara atau interview digunakan sebagai metode yang utama guna mengumpulkan informasi yang diperlukan, dan digunakan untuk membuat

Menerima

40 keputusan dalam pelaksanaan intervensi (Haryanto 2009) . Elizabeth Nicholds mengutip dalam (Budhi Wibawa, 1985), mengemukakan beberapa saran yang perlu dilakukan oleh case worker atau pekerja sosial saat melakukan wawancara, antara lain:

a) Pekerja sosial menjaga volume suara agar tetap bernada rendah. Jika suara peksos bernada tinggi, maka klien akan merasa tegang, dan sebaliknya, apabila suara peksos dapat dikendalikan dan tenang, maka klien akan merasa nyaman saat diwawancarai.

b) Pekerja sosial tidak boleh memperlihatkan rasa bosan dan/atau tidak sabar.

c) Akhirilah selalu wawancara dengan membuat kejelasan mengenai apa yang akan dilakukan selanjutnya, dan juga mengadakan perjanjian untuk pertemuan yang akan datang.

Selain itu, pada saat wawancara, case worker atau pekerja sosial juga dituntut untuk dapat melakukan keterampilan berupa:

a) Keterampilan memperhatikan b) Keterampilan membuka percakapan c) Keterampilan mendengarkan

d) Keterampilan menjawab secara empatis Bagan 2. 3 Tahap Asesmen

41 Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018

Instrumen Asesmen

Pada tahap asesmen, dapat menggunakan berbagai tools atau alat asesmen. Adapun tools atau alat asesmen yang digunakan pada proses asesmen antara lain:

a) Instrumen Asesmen Awal Anak

Digunakan pada awal asesmen untuk menggali identitas, pendidikan, informasi tentang keluarga, situasi anak pada saat ini, aktivitas sehari-hari, hubungan komunikasi anak dan keluarga, hingga kondisi kesehatan dan keterampilan yang dimiliki anak.

b) Instrumen Asesmen Kerentanan Keluarga Digunakan untuk menggali identitas orangtua dan kondisi keluarga, perkembangan anak, isu pengasuhan, isu ekonomi, isu perlindungan, dan isu pendidikan.

Mengumpulkan

42 c) Instrumen Asesmen Bio Psiko Sosial Spiritual

Digunakan pada asesmen lanjutan untuk memahami kondisi fisik atau biologis, psikologis, sosial, dan spiritual klien. Hingga situasi pengasuhan yang meliputi keselamatan, permanensi, dan kesejahteraan diri klien.

d) Genogram

Untuk mengetahui silsilah hingga anggota keluarga klien, umumnya sampai derajat ketiga.

e) Eco Map

Untuk mengetahui hubungan klien dengan keluarga dan orang-orang di sekitar.

f) Geno Map

Merupakan penggabungan antara genogram dan ecomap.

g) History Map

Untuk mengetahui riwayat klien atau kronologis kasus yang dialami.

h) Life Road Map

Untuk mengetahui riwayat klien beserta traumatik yang dialami klien.

i) Mobility Map

Untuk mengetahui rutinitas perpindahan klien sehari-hari, umumnya digunakan klien dengan tingkat mobilitas tinggi seperti anak jalanan, gelandangan, dan sebagainya.

j) Body Map

43 Untuk mengetahui bagian tubuh yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual.

k) Napoleon Hills

Untuk mengetahui cita-cita atau harapan klien di masa mendatang.

3) Rencana Intervensi

Rencana intervensi merupakan rencana tindak lanjut dari tahapan asesmen, karenanya rencana intervensi yang disusun harus berdasarkan pada asesmen yang telah dilakukan sebelumnya. Pada proses perencanaan itervensi, dapat dilakukan melalui:

a) Case Conference (Konferensi Kasus)

Konferensi Kasus berarti melakukan perencanaan intervensi dengan melibatkan para profesional.

b) Pertemuan Keluarga

Melakukan perencanaan intervensi dengan melibatkan keluarga dan para profesional.

c) Konferensi Keluarga

Serupa dengan pertemuan keluarga, akan tetapi peran keluarga sangatlah dominan pada proses ini, dibandingkan para peran profesional.

Karena pada kegiatan ini, terdapat private time, dimana keluarga merumuskan rencana intervensi tanpa melibatkan para profesional.

44 Tujuan intervensi pun harus dinyatakan jelas dengan menggunakan SMART dalam merumuskan tujuan.

Tabel 2. 1 Metode SMART

S Pernyataan tujuan difokuskan pada tujuan yang jelas.

M Dapat mengukur ketika tujuan telah dicapai.

A Fokus pada perilaku.

R Tujuan harus dicapai.

T Ditetapkan dalam kerangka waktu tertentu, bisa juga terkait dengan seberapa sering, atau kapan.

Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018

4) Pelaksanaan Intervensi

Pelaksanaan intervensi adalah pelaksanaan dari perencanaan intervensi yang sudah dirumuskan dan dilaksanakan selaras dengan hasil asesmen sebelumnya. Pada proses intervensi dalam manajemen kasus, pada dasarnya kita hanya melaksanakan dua kegiatan utama, yaitu:

a) membisakan (enabling)

Artinya, peksos atau pendamping mengatasi sendiri permasalahan yang dialami oleh klien.

b) memfasilitasi (facilitating)

Artinya, peksos atau pendamping mengatasi permasalahan yang dialami oleh klien dengan mengakses atau menghubungkan klien dengan sistem sumber atau layanan yang dibutuhkan.

45 5) Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi upaya untuk mengetahui keberhasilan dari pelaksanaan intervensi. Pada proses ini, peksos atau pendamping harus melibatkan klien dan keluarga dengan memberikan penilaian terhadap keberhasilan dan manfaat pelayanan yang diterimanya serta pelayanan yang telah diberikan oleh peksos atau pendamping itu sendiri.

Menurut Pietrzak, Ramler, Ford, Renner, dan Glibert (1990) di dalam (Adi 2001), evaluasi sendiri terbagi menjadi tiga model, yaitu:

a) Evaluasi input. Menurut Glibert (1990) dalam (Adi 2001), evaluasi input ialah evaluasi yang mampu menentukan komponen pada standar layanan program, sumber daya program, dan sumber penunjang yang lain.

b) Evaluasi proses. Adalah evaluasi kepada berbagai elemen terkait dalam menentukan pelayanan dan kualitas pemberian pada pelayanan suatu program. Fokusnya pada aktivitas program yang melibatkan interaksi langsung antar klien dan petugas, serta bagian dari pusat pencapaian target program.

c) Evaluasi hasil. Dilakukan setelah pelaksanaan suatu program berakhir. Dilakukan untuk fokus melihat apakah masyarakat atau anggota

46 komunitas mengalami suatu perubahan setelah menjalankan suatu program.

6) Terminasi

Terminasi adalah proses pengakhiran seluruh rangkaian proses manajemen kasus. Terminasi pun diartikan sebagai pemutusan relasi pertolongan antara peksos atau pendamping dengan klien dan pihak-pihak yang terlibat dalam seluruh rangkaian proses manajemen kasus.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan, yakni:

a) Perencanaan terminasi

Dimana peksos atau pendamping berkonsultasi dengan supervisor untuk menentukan apakah kasus sudah layak diterminasi atau tidak. Apabila supervisor menilai layak untuk dilakukan terminasi, maka peksos atau pendamping menyampaikan rencana intervensi kepada klien dan keluarga.

b) Terminasi

Peksos atau pendamping melakukan pengakhiran layanan yang disaksikan oleh supervisor, manajer kasus, dan pihak perujuk.

Pelaksanaan terminasi diawali dengan pembacaan formulir terminasi oleh peksos atau pendamping, yang dilanjutkan dengan mendengarkan kesan-kesan klien, dan diakhiri

47 dengan penandatanganan formulir oleh klien, peksos atau pendamping, dan para saksi.

Terminasi dapat menghasilkan reaksi emosional pada klien karena relasi yang dekat telah terjalin antara peksos atau pendamping dengan klien. Reaksi tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Sebaliknya, klien juga mungkin merasa tidak puas, tidak senang, sedih, atau marah ketika merasa ditinggalkan.

Untuk kasus-kasus tertentu, dikenal dengan istilah terminasi sepihak, yakni terminasi yang hanya dilakukan oleh peksos atau pendamping atas persetujuan supervisor yang dilakukan karena situasi-situasi tertentu seperti klien meninggal dunia, tidak diketahui keberadaannya, ataupun menolak didampingi.

Pada situasi ini, peksos atau pendamping harus membuat surat pernyataan ataupun justifikasi mengenai alasannya dilakukan terminasi sepihak. Surat pernyataan atau justifikasi harus atas persetujuan dan ditandatangani oleh supervisor.

h. Membangun dan Mengembangkan Sistem Rujukan Sistem rujukan ialah suatu sistem kerjasama antar berbagai pihak, baik instansi pemerintah maupun masyarakat. Sistem ini penting dilakukan untuk

48 mempertahankan keberhasilan penanganan kasus.

Pentingnya sistem rujukan dikarenakan keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh suatu lembaga layanan serta kompleksitas permasalahan yang ditangani, sehingga memerluka dukungan dari lembaga yang lain.

Tidak hanya itu, eksistensi lembaga layanan terjadi apabila lembaga tersebut memiliki hubungan yang baik dengan lembaga lain, baik lembaga pemerintah, swasta, dan/ atau masyarakat.

Langkah membangun sistem rujukan adalah dengan:

a) Identifikasi lembaga atau pihak pitensial menjadi oendukung penanganan kasus.

b) Lakukan pemetaan dan analisis lembaga atau pihak tersebut.

c) Lakukan kontak konsultasi dan koordinasi masing-masing lembaga atau pihak tersebut.

d) Menginisiasi pertemuan dengan seluruh lembaga atau pihak tersebut untuk menyamakan persepsi dan menyusun visi bersama.

e) Membangun komitmen bersama untuk sharing sumber daya sesuai dengan kewenangan dan kapasitas yang dimiliki masing-masing lembaga.

Perkuat dengan mendorong adanya MoU, Surat Keputusan, dan peraturan lainnya.

f) Menghimpun seluruh lembaga atau pihak dalam suatu wadah seperti tim kerja, dan sebagainya

49 dengan jadwal pertemuan rutin bulanan untuk membahas kasus.

g) Membuat mekanisme koordinasi antar lembaga atau pihak yang dilibatkan. Tuangkan dalam bentuk Standar Operasional Prosedur Penanganan Kasus yang disepakati bersama.

h) Mulailah bekerja sesuai rencana secara sistematis, konsisten, dan bertahap.

Disamping itu, pengembangan sistem rujukan dimaksudkan untuk memperkuat kinerja sistem rujukan itu sendiri. Langkah-langkah dalam mengembangkan sistem rujukan antara lain:

a) Tambahkan jumlah lembaga atau pihak potensial pendukung penanganan kasus.

b) Lakukan penataan sistem rujukan seperti penyelenggaraan pelatihan bersama, penguatan administrasi, manajemen, dan kepercayaan di antara pihak atau lembaga yang dilibatkan.

2. Teori Kognisi-Tingkah Laku

Teori kognisi berpendapat bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh persepsi atau interpretasi terhadap lingkungan selama proses belajar. Apabila tingkah laku nya tidak sesuai, maka dapat dipastikam karena tidak benar dalam mempresepsikan dan menginterpretasi lingkungan.

Karenanya, terapis (pekerja sosial) berupaya untuk

50 memperbaiki kesalahpahaman sehingga tingkah laku nya menjadi lebih baik (Malcolm 2005).

Teori belajar sosial (Bandura, 1977) membangun ide tersebut dengan sebuah alasan bahwa biasanya belajar dilakukan oleh persepsi orang dan memikirkan tentang pengalaman apa yang dimiliki. Mereka belajar dengan cara mencontoh orang yang berada di sekelilingnya. Proses ini akan membantu mempermudah terapi.

Konsep dasar terapi kognisi adalah bahwa kognisi merupakan kunci untuk memahami dan menangani gangguan psikologis. Oleh sebab itu, kognisi didefinisikan sebagai fungsi yang melibatkan tentang pengalaman seseorang dan tentang terjadinya peristiwa di masa mendatang dan pengontrolannya. Hal ini karena manusia dihadapkan pada keharuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah. Kognisi berperan dalam mengidentifikasi dan memprediksi berbagai hubungan kompleks di antara berbagai kejadian untuk tujuan adaptasi (Jones 2011).

Terapi perilaku didasarkan atas berbagai teori belajar dan perilaku yang dipelajari, sementara teori kognitif didasarkan atas keyakinan bahwa kebanyakan gangguan berasal dari pemrosesan informasi yang salah. Interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa yang tercermin dalam kandungan pemikiran-pemikiran otomatis individu merupakan komponen utama bias-bias sistematik lain yang mencirikan gangguan-gangguan tertentu seperti:

51 a. Panik: diinterpretasikannya tanda-tanda tubuh (gejala otomatis). Misalnya, meningkatnya denyut jantung menandakan serangan jantung.

b. Hipokondrosiasis: Menandakan bahwa suatu keyakinan terhadap penyakit tertentu lebih mungkin terjadi.

c. Depresi: Pandangan negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan.

d. Kecemasan: Rasa bahaya secara fisik atau psikologis.

e. Keadaan paranoid: Bersifat bias terhadap orang lain.

f. Krisis: Peristiwa genting yang menimbulkan keyakinan-keyakinan dasar tentang diri sendiri, yang menimbulkan persepsi tentang situasi sebagai krisis.

Pada prinsipnya, teori kognitif perilaku adalah mengidentifikasikan kandungan pemikiran meliputi asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri, atau kelengkapan. Melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien. Beberapa model juga meliputi penggalian pengembangan pemikiran untuk mempromosikan pemahaman diri. Hal ini diikuti dengan penggunaan teknik-teknik yang mendorong klien untuk mengadopsi pemikiran alternatif dan yang lebih dapat menyesuaikan diri (Jones 2011).

52 3. Teori Belajar Sosial

Alber Bandura (1977), salah satu pencetus social learning theory atau teori belajar sosial, beranggapan bahwa setiap orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan kemudian mencontoh dan mempraktikannya. Atau bisa juga melalui apa yang ia baca, dengar dan lihat, serta dari orang di lingkungan sekitarnya.

Para ahli mengemukakan peran aktivitas kognitif dan belajar dengan mengamati tingkah laku manusia, dan melihatnya sebagai orang yang berpengaruh terhadap lingkungannya, seperti lingkungan berpengaruh terhadap dirinya. Dapat juga dikatakan, teori belajar sosial adalah pandangan yang mengedepankan kombinasi tingkah laku, lingkungan, serta kognisi sebagai faktor utama dalam perkembangan.

Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori belajar sosial, antara lain:

a. Faktor-faktor yang saling menentukan

Bandura menyatakan diri manusia pada dasarnya merupakan sebuah sistem. Sistem ini bermakna perilaku, berbagai faktor yang terdapat pada diri seseorang, dan peristiwa yang terjadi di dalam lingkungannya, secara bersama saling bertindak sebagai penentu yang satu dengan lainnya. Terdapat tiga faktor yang menjadi penentu dalam teori ini, yaitu kepribadian (personal), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment).

53 b. Kemampuan memahami sebuah simbol atau gambar

Bandura menjelaskan, manusia memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognisi. Selain itu, perilaku yang terlihat akan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya terlebih dulu. Karena pikiran-pikiran yang timbul atau gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan akan mempengaruhi munculnya perilaku tertentu.

c. Kemampuan berpikir ke depan

Kemampuan berpikir selain untuk mengingat hal yang sudah pernah dialami, juga dapat dimanfaatkan untuk berpikir ke depan. Manusia dapat bereaksi terhadap orang lain, selain itu dapat menentukan tujuan, dan merencanakan sesuatu yang ditentukan untuk mencapai tujuannya. Hal ini yang biasanya mengawali tindakan dan membuat manusia berpikir ke depan.

d. Kemampuan seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain

Manusia pada dasarnya mampu belajar dengan cara memperhatikan perilaku orang lain dan melihat bagaimana konsekuensi yang diterimanya.

e. Kemampuan mengatur diri sendiri

Pada umumnya, orang memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilakunya sendiri, sehingga ia

54 tetap memiliki tanggung jawab pada setiap tingkah lakunya.

f. Kemampuan berefleksi

Prinsip ini menjelaskan bahwa kebanyakan orang-orang melakukan refleksi sebagai upaya perenungan untuk memikirkan kemampuan dirinya, dengan menilai ide-ide yang terdapat di dalam pikirannya. Yang paling penting pada prinsip ini adalah, mengukur kemampuan diri sendiri untuk melakukan tugas dan tanggung jawab.

4. Perlindungan Sosial

a. Pengertian Perlindungan Sosial

Perlindungan sosial merupakan sebuah aspek yang tidak terpisahkan dalam proses pembangunan serta pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan dalam sebuah negara. Cita-cita bangsa Indonesia akan sistem perlindungan sosial telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai landasan konstitusi negara. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 34 UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara dan negara wajib mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan

55 sosial yang bersifat nasional (Supriyanto, Ramdhani, and Rahmadan 2014).

Perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai segala inisiatif, baik yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat yang bertujuan untuk menyediakan transfer pendapatan atau konsumsi pada orang yang kurang dan/atau tidak mampu, melindungi kelompok rentan terhadap risiko-risiko penghidupan (livelihood) dan meningkatkan status dan hak sosial kelompok-kelompok yang terpinggirkan di dalam suatu masyarakat. Perlindungan sosial merupakan elemen penting strategi kebijakan publik dalam memerangi kemiskinan dan mengurangi penderitaan multidimensi yang dialami kelompok-kelompok lemah dan kurang beruntung (Suharto 2011).

(Guhan 1994) melihat bahwa perlindungan sosial mempunyai komponen yang lebih luas, diantaranya mencakup komponen perlindungan, pencegahan, serta promosi. Komponen perlindungan terdiri dari berbagai kebijakan yang bertujuan memastikan tingkat kesejahteraan minimal untuk masyarakat yang kesusahan. Komponen pencegahan berisikan berbagai kebijakan yang bertujuan mencegah masyarakat yang tergolong rentan untuk jatuh dibawah standar kesejahteraan yang ditentukan. Komponen promosi mencakup kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk

56 mengurangi kerentanan setiap individu di masa mendatang.

Menurut Department for International Development (DFID 2005), terdapat setidaknya jalan untuk mewujudkan konsep pendekatan perlindungan sosial yang seimbang. Pertama, melalui peningkatan keamanan dengan membantu rumah tangga dan komunitas untuk meningkatkan kesinambungan penghidupannya dalam menghadapi guncangan ekonomi, politik, lingkungan, kesehatan, serta bentuk guncangan lainnya. Kedua, melalui peningkatan kesetaraan dengan memperbaiki tingkat penghidupan untuk menjamin keterpenuhan hak-hak dasar seluruh penduduk serta dengan meningkatkan konsumsi masyarakat miskin. Ketiga, melalui peningkatan pertumbuhan dengan menjamin akses setiap rumah tangga untuk menghasilkan tenaga kerja yang produktif, membangun nilai-nilai solidaritas sosial, serta menyediakan lingkungan yang menjamin kemudahan individu dalam beradaptasi. Disamping itu, (Scott 2012) tipe program perlindungan sosial yang paling umum mencakup bantuan sosial, jaminan sosial, intervensi pasar tenaga kerja, dan program berbasiskan komunitas. (Van Ginneken 1999) serta (Ferreira and Robalino 2010) mengklasifikasikan program perlindungan sosial menjadi dua kelompok, yaitu bantuan sosial dan program jaminan sosial.

57 Dapat disimpulkan berdasarkan hal di atas, perlindungan sosial adalah suatu kebijakan yang telah diatur oleh Undang-Undang, yang dirumuskan ke dalam bentuk program-program dalam melindungi warga negara. Perlindungan sosial juga ditujukan untuk menuruni angka kemiskinan di suatu negara serta masalah kerentanan melalui upaya perbaikan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

b. Langkah-langkah Pengembangan Perlindungan Sosial

1) Mekanisme Penargetan Penerima Program Perlindungan Sosial

Penentuan penerima merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam program perlindungan sosial sehingga memerlukan sebuah mekanisme yang mampu meminimalkan permasalahan. Sebelum melakukan penetapan sampai level terkecil dari target suatu program perlindungan sosial, diperlukan pengumpulan data yang dapat menggambarkan sasaran penerima program.

Data kemiskinan yang ada saat ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Data kemiskinan makro di Indonesia tersedia sejak tahun 1976 dengan pelaksaan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Badan Pusat Statistik sebagai

58 penanggung jawab pengumpulan data menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep yang juga digunakan oleh beberapa negara lain adalah pendekatan pengukuran kemiskinan absolut yang ditentukan dari sumber daya minimum yang diperlukan untuk kesejahteraan fisik, biasanya dalam konsumsi. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan (diukur dari sisi pengeluaran).

Pemanfaatan data kemiskinan makro dimanfaatkan sebagai untuk indikator kinerja dan sebagai target geografis, tidak dalam lingkup operasional atau penargetan langsung untuk pelaksanaan program bantuan langsung kepada rumah tangga.

Disamping itu, data kemiskinan mikro dilakukan untuk keperluan penargetan program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan secara spesifik berdasarkan nama dan alamat. Sumber data kemiskinan mikro sudah tersedia sejak tahun 2005 melalui Pendataan Sosial Ekonomi (PSE), yang kemudian disempurnakan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008 dan 2011. Data PSE dan PPLS memuat informasi rumah tangga sasaran by name by address dan digunakan dalam proses penargetan

59 sasaran untuk program perlindungan sosial (BLT, PKH, Raskin, Jamkesmas, dan BSM).

2) Pendekatan Siklus Hidup dalam Program Perlindungan Sosial

Kebijakan perlindungan sosial difokuskan kepada pencegahan dan pengurangan risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh individu, rumah tangga, serta komunitas. Adanya risiko dan kerentanan merupakan hal yang pasti dalam setiap fase hidup, serta memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada setiap fase hidup yang dilalui.

Berdasarkan hal tersebut, pendekatan siklus hidup dapat menjadi sebuah cara untuk mengidentifikasi tantangan dan kerentanan secara sistematis dari setiap tahapan hidup bagi penduduk yang rentan.

Setiap fase hidup dari seorang penduduk dapat memiliki bentuk risiko dan kerentannnya sendiri.

Sebagai gambaran, bayi dan balita (0 s.d. 5 tahun) dapat menghadapi risiko dan kerentanan berupa kekurangan nutrisi dan masalah pertumbuhan, kehilangan orang tua atau ketelantaran, serta kesulitan akses untuk imunisasi.

Anak usia sekolah (6 s.d. 18 tahun) dapat menghadapi risiko dan kerentanan berupa kesulitan akses untuk bersekolah, putus sekolah, kehilangan orang tua atau ketelantaran, dipekerjakan dibawah umur, terinfeksi penyakit, hingga terlibat

60 pernikahan atau kehamilan dini. Penduduk usia praproduktif (19 s.d. 24 tahun) dan usia produktif (25 s.d. 60 tahun) dapat menghadapi risiko dan kerentanan berupa kehilangan pendapatan, terinfeksi penyakit, mengalami kecelakaan kerja, mengalami diskriminasi, kehilangan anggota keluarga, serta risiko dan kerentanan lainnya.

Penduduk berusia lanjut (60 tahun keatas) dapat menghadapi risiko dan kerentanan berupa ketiadaan penghasilan, memburuknya kondisi kesehatan, hingga diskriminasi. Perencanaan kebijakan perlindungan sosial di masa mendatang diharapkan dapat lebih memanfaatkan pendekatan siklus hidup.

Pendekatan siklus hidup terhadap kebijakan perlindungan sosial dilakukan untuk mengetahui dan memahami kerentanan dan kebutuhan individu pada setiap tahapan hidupnya. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh penduduk yang tergolong miskin dan rentan dapat melewati seluruh fase hidupnya dengan baik.

Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam penerapan pendekatan siklus hidup dalam kebijakan perlindungan sosial di Indonesia. Pertama, identifikasi risiko sosial utama yang dihadapi oleh penduduk Indonesia dan estimasi jumlah populasi yang menghadapi risiko

61 dan kerentanan. Kedua, analisis efektivitas kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang telah dilaksanakan untuk menanggulangi risiko dan kerentanan tersebut. Ketiga, identifikasi praktik terbaik untuk memperbaiki cakupan dan efektivitas dari kebijakan perlindungan sosial untuk memenuhi kebutuhan dari populasi yang menghadapi risiko dan kerentanan. Penerapan pendekatan siklus hidup terhadap kebijakan perlindungan sosial ini diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan keberhasilan dari program perlindungan sosial (Supriyanto, Ramdhani, and Rahmadan 2014).

3) Pengembangan Sistem Rujukan dan Layanan

3) Pengembangan Sistem Rujukan dan Layanan